12. MTAL - Titipan Bu Nas
Sebelum baca, biasakan Vote & setelahnya comment yak. Hargailah penulis. Semisal masih menemukan typo di part ini, saya mohon maaf. Karena manusia tidak luput dari kesalahan.
Happy reading😍
°°°
Rupa-rupanya, di dalam kamar Pak Nas merasakan hal yang sama dengan Ana. Susah tidur. Pria itu bergerak resah di atas ranjang. Bu Nas yang merasakan goncangan di kasur pun, membuka mata. Ia belum terlelap tidur.
Bu Nas menoleh ke samping. "Ada apa, Nas?"
"Entah lah, Na. Saya sulit memejamkan mata malam ini." jawab Pak Nas, lalu ia berdiri dari posisi tidur jadi duduk.
Bu Nas menyusul suaminya. Ikut duduk, "Kamu minum kopi kah tadi?"
"Tidak ada. Cuma, saya merasa malam ini agak sedikit gerah. Saya keluar sebentar ya, Na? Mau cari udara segar di luar, siapa tahu bisa tidur. Sekalian memeriksa Anak-anak, apa sudah tidur mereka."
Bu Nas mengangguk menyetujui. Bergerak lah Pak Nas pergi keluar kamar. Pria itu berjalan menuju pintu keluar dengan menggunakan sarung dan kaos putih. Langkah Pak Nas terhenti, ketika menemukan Ana di ruang tamu. Wanita itu membelakanginya, tengah menutup pintu perlahan.
"Ana?"
"Ikan hiu makan tomat! Goblok!" latah Ana, terlonjak kaget. Ana berbalik dan menemukan Pak Nas yang kebingungan melihat reaksi latahnya.
Ana menyentuh dada kirinya yang berdegup kencang. "Pak Nas ternyata... Kaget saya, Pak. Kirain penculik ngubah siasat."
"Kamu dari mana An? Dari luar, ya?" tanya Pak Nas dengan kening berkerut. Pak Nas agak bingung.
Jelas sekali pendengarannya menangkap ucapan Ana yang bicara tentang penculik mengubah siasat. Pak Nas jadi penasaran akan maksud ucapan Ana itu. Bagi Pak Nas, apapun yang Ana lakukan selalu sukses menjadi pertanyaan buntu.
"Iya, Pak. Saya gak bisa tidur. Pak Nas sendiri?"
"Sama, saya juga tidak bisa tidur. Hari ini panas sekali perasaan." jawab Pak Nas, seraya mengibas-ngibas tangan.
"Di luar dingin kok, Pak. Coba aja keluar. Pierre dan Bang Hamdan juga belom tidur keknya."
"Kamu bertemu mereka di luar?"
Kepala Ana mengangguk, "Iya. Pak Nas bisa denger sendiri, suara radio masih nyala."
"Oohh, baiklah," jeda tiga detik, Pak Nas bersuara lagi. "Ana, saya mau tanya sesuatu kepada kamu, boleh?"
"Boleh kok, Pak. Tanya aja,"
"Pekerjaan Papa kamu apa?"
Ana terdiam. Tadi dia berkata seolah bisa menjawab pertanyaan yang akan Pak Nas ajukan. Setelah pertanyaan Pak Nas ia terima, Ana mendadak terdiam seribu bahasa. Ana kesulitan memberi jawaban.
"Kenapa Pak Nas tiba-tiba nanya soal pekerjaan Bapak gue? Apa jangan-jangan, Pak Nas udah mulai curiga? Duh, gimana nih? Lo sih, Ana! Kenapa pakek acara keceplosan nyebut nama Bokap, yaelaahh?!" rutuk Ana di batin. Tidak ada yang bisa ia salahkan selain diri sendiri.
"Ana,"
Panggilan Pak Nas menyadarkannya dari lamunan. Di depan, Jenderal itu menatapnya kebingungan.
"Kamu tidak apa kan?" tanya Pak Nas khawatir. Pasalnya wajah Ana mendadak pucat pasi.
Ana menggeleng cepat, "Nggak papa kok, Pak. Cuma... Ya--itu. Pekerjaan Papa... Eemm."
"Gue harus jawab apa njir?!" teriak Ana di batinnya. Ana benar-benar terpojok, tidak bisa mengelak. Pak Nas menunggu jawabannya.
"Pekerjaan Papa saya..."
"Jenderal?"
"Bukan!" bantah Ana tegas, spontan terdengar ngegas lantaran terkejut bahwa tebakan Pak Nas benar.
"Jadi? Tapi, kemarin kamu bilang, Papa kamu adalah seorang--"
"Mantan pengusaha!" celetuk Ana asal. Hanya itu ide yang melintas secara dadakan di otaknya. "Papa pernah buka usaha bes--besi gitu, Pak! Cuma udah gak lagi, bangkrut. Jadinya, sekarang Papa kerja serabutan."
"Maafin Papa Ana! Ana udah mendzholimi dikau!"
Kepala Pak Nas mengangguk seraya bergumam. "Oohh, kirain ucapan kamu tempo lalu itu benar. Kalau Papamu Jenderal."
"Ha? Ahaha, nggak kok Pak. Canda doang itu." kekeh Ana garing. Kentara sekali Ana gugup, takut-takut kebohongannya terbongkar. Entah sudah kebohongan yang keberapa.
Pak Nas ikut tertawa. "Hahaha, iya. Tidak mungkin sekali ada dua Jenderal bernama Nasution. Padahal di Angkatan Bersenjata, hanya saya satu-satunya Jenderal yang bernama Nasution. Maafkan pemikiran aneh saya, Ana."
"Hehehe, iya, Pak. Gak papa, santuy aja." Ana lalu menunjuk dirinya. "Mustahil banget Papa saya Jenderal. Pak Nas liat sendiri aja muka saya. Ada muka-muka Anak Jenderal?"
Pak Nas menggeleng kurang yakin. Sebenarnya lebih ke arah bingung mau merespons apa. Jadilah Pak Nas asal merespon.
"Muka-muka saya bukan muka Anak Jenderal yang kaya Pak, tapi muka-muka orang pengangguran yang putus asa. Mati segan, hidup gak mau."
Seketika tawa Pak Nas meledak. Ungkapan Ana berhasil membuat Pak Nas tergelak geli. Sementara Ana sendiri, bingung mengapa Jenderal yang kelak mendapat pangkat kehormatan Jenderal Besar itu tertawa sampai terpingkal-pingkal.
"Kamu ini, An. Bisa saja. Yasudah, kembali ke kamar. Tidur, ini sudah malam."
"Iya, Pak. Permisi," angguk Ana, menurut saja tanpa protes. Ana melenggang pergi melewati Pak Nas.
Kepergiaan Ana itu, Pak Nas tatap hingga sosoknya menghilang. Pak Nas masih berdiam diri di tempat, tidak melakukan pergerakan apapun.
"Tapi, kenapa saya masih saja tidak bisa mempercayai ucapanmu, An?" gumam Pak Nas gundah. Pak Nas merasa masih ada yang Ana sembunyikan.
°°°
Sedangkan Ana sendiri, tak henti-hentinya mengoceh setelah sampai di kamar. Perasaan Ana resah gara-gara ucapan Pak Nas. Sepertinya Jenderal itu mulai menaruh curiga kepadanya.
"Ya Allah... Jangan sampeee, Pak Nas tau! Semoga dia gak curiga. Semoga!" ratap Ana, mendongak ke atas dengan kedua tangan menangkup. Kemudian, Ana menutup wajahnya gusar. "Aaaa, pasti Pak Nas udah curiga! Lo sih, Ana! Goblok banget jadi orang, pakek segala kerjaan Bapak di bawa-bawa!"
Ana terus merutuki diri sendiri. Ini semua salahnya. Coba saja dia tidak menyebutkan pekerjaan Papanya saat itu. Tetapi, kemarin itu Ana benar-benar terdesak. Karena terdesak, ia jadi keceplosan memberi tahu pekerjaan Papanya guna mengancam.
Beralih ke kamar Pak Nas. Bu Nas yang sedang meyisir rambut, terheran-heran melihat pintu kamar terbuka. Sosok suaminya kembali, padahal tidak lama keluar. Bu Nas menghentikan aktivitas menyisir rambutnya. Ia berbalik menatap Pak Nas.
"Loh, kok balik lagi? Cepat sekali. Kenapa?"
Pak Nas menggeleng tanpa jawaban. Pria itu mendudukan tubuh di tepi kasur. Tingkah Pak Nas yang datang-datang aneh, membuat Bu Nas bingung. Pikirannya dipenuhi tanda tanya, mengapa gerak-gerak suaminya mendadak jadi aneh begini.
Bu Nas menyusul suaminya, duduk di tepi kasur bersebelahan. Bu Nas lantas bertanya, "Ada apa, Nas?"
Pak Nas menoleh, "Tadi saya menanyakan langsung ke Ana. Tentang pekerjaan Ayahnya yang benar Jenderal atau tidak,"
Bu Nas terbelalak, mendengar pengakuan suaminya. Ia terkejut, bisa-bisanya suaminya itu menanyakan hal ini kepada Ana. Pasalnya menurut Bu Nas, pertanyaan suaminya itu agak sensitif jika dibahas.
"Lalu, apa kata Ana?"
"Ana bilang, pekerjaan Papanya adalah Penguasaha. Tapi, itu dulu. Pekerjaan Papanya bukan Jenderal, Johanna."
"Tapi, kemarin dia ada bilang Papanya Jenderal," kata Bu Nas, seingatnya.
"Nah, itu dia, Na! Saya ragu dengan pengakuan dia," seru Pak Nas. "Menurutmu bagaimana? Ana bohong atau tidak?"
Kedua bahu Bu Nas mengendik, "Tidak tahu sih, Nas. Kita juga sama-sama belum mengetahui selak beluk keluarga Ana. Dia datang ke rumah ini agak terkesan misterius, menurut saya."
Terdapat jeda di ucapan Bu Nas. Bu Nas tertawa, menepuk pundak suaminya. "Sudah, Nas, sudah. Tidak perlu kamu pusingkan. Lagipula, mana mungkin ada dua Nasution di Angkatan Bersenjata."
Setelah berucap demikian, Bu Nas tertawa kecil. Wanita itu bergerak dari posisi duduk menuju kasur. Ia akan melanjutkan tidur yang sempat tertunda.
"Nas! Sudah tidur!" panggil Bu Nas yang sudah merebahkan tubuh.
Pak Nas pun mengangguk. Menyusul istrinya. Meski begitu, pikiran Pak Nas masih dipenuhi tanda tanya. Mengenai latar belakang hidup Ana.
°°°
Jam sembilan pagi di kediaman Jenderal Nasution. Ibu Nas dan semua para wanita yang tinggal di sana, sibuk membuat adonan kue. Tidak membutuhkan waktu lama. Tiga loyang kue bolu pun, sudah siap saji di atas meja.
"Ana, ini kuenya berikan ke Paviliun Ajudan ya?"
Ana menerima kue yang Bu Nas beri, dengan perasaan bingung. Bukannya ini hari kerja. Yang artinya semua Ajudan sedang bertugas. Tapi, Ana tidak protes. Ia mengangguk saja menurut.
"Oke, Bu Nas." angguk Ana. Wanita itu pun melenggang pergi menuju Paviliun Ajudan.
Sembari melangkah menuju Paviliun Ajudan, Ana bersenandung. Ia menyanyikan sebuah lagu, kira-kira tempo dulu. Ana tidak tahu pasti tahun berapa. Intinya lagu yang ia nyanyikan, ia ketahui lewat aplikasi tiktok.
Pagiku cerahku
Matahari bersinar
Kugendong tas merahku di pundak
Selamat pagi semua
Kunantikan dirimu
Di depan kelasmu
Menantikan kami
"Guruku tersayang... Guru tercinta... Tanpamu apa jadinya akuuu!!!"
Di lirik akhir, intonasi suara Ana mendadak tinggi. Bertepatan itu pula, ia sampai di depan pintu Ajudan. Pintu itu terbuka lebar. Akan tetapi, Ana tidak berani masuk.
"Berarti, ada Ajudan yang gak lagi tugas hari ini." gumam Ana. Wanita itu belum bergerak dari tempatnya.
Entah lah, Ana ragu. Apalagi Paviliun Ajudan di isi laki-laki. Melihat laki-laki berkumpul saja Ana takut. Ini mesti masuk ke sarang perkumpulan laki-laki. Tambah menyeramkan. Terlepas semisal hanya ada satu orang Ajudan di dalam. Tetap saja bertemu laki-laki di sebuah ruang tertutup itu, agak tidak mengenakan.
"Bodo amat lah!"
Tapi pada akhirnya, Ana lelah berdiam seorang diri di luar. Sudah seperti orang tidak waras. Ana putuskan masuk.
"Assala--"
Salam Ana terhenti di ujung tenggorokan. Langkah Ana sebatas di ambang pintu. Ana kesulitan menggerakan tubuhnya, lantaran melihat pemandangan yang tidak mengenakan. Untuk yang kedua kalinya, Ana bertemu sosok Pierre tanpa baju. Tapi bedanya sekarang, sosok Pierre yang bertelanjang dada tengah dikerok oleh Hamdan.
"Aaaaaa!"
Ana memekik histeris, langsung berlari keluar. Pekikan Ana mengintruksi kedua pria itu. Rupa-rupanya mereka tidak menyadari kehadiran seseorang.
"Ana," Pierre dan Hamdan saling pandang. Setelahnya, mereka terlonjak segera menyusul Ana.
"Ya Allah! Ya Allah!" Ana memegang dadanya, sesak. Sulit baginya menerima kenyataan yang amat pahit ini. "Kenapa, ya Allah?! Kenapa yang ganteng, selalu doyan yang ganteng juga?! KENAPAAA?! KALO GINI TERUS, SAMPE KAPAN GUE BERHENTI NGEJOMBLOOO!"
"Ana!"
Ana menoleh, ketika dua orang memanggil namanya bersamaan. Terlihat Pierre yang sudah memakai baju, berlari tergopoh-gopoh mendekat.
"Apa?! Lo pasti mau jelasin ke gue, kan?! Cukup ya, Mas! Ana gak butuh penjelasan dari, Mas! Aku jyjyk sama, Mas! Jangan sentuh aku! Jangan sentuh!"
Pierre dan Hamdan terbingung-bingung melihat reaksi Ana. Rasa-rasanya, ia belum menjelaskan apapun. Pierre juga tidak menyentuh seinci pun bagian tubuh Ana. Namun, mengapa reaksi Ana berlebihan sekali?
"Saya tadi itu minta dikerokin Hamdan. Saya masuk angin, Ana." jelas Pierre, menatap Ana melas. Berharap Ana akan percaya.
Berkali-kali mata Ana berkedip. Coba menyambungkan ucapan Pierre dan kejadian yang ia lihat tadi. Berarti, ia sudah salah sangka.
"Oohh, bilang dong!" seru Ana, lalu menepuk lengan Pierre tiba-tiba. Membuat pria itu terkejut. "Jadi, karena itu lo gak kerja hari ini? Kasihan. Makanya, Yer, lo itu makek baju tadi malem! Kan, sekarang jadi masuk angin!"
Pierre mendengus. Barusan Ana mengocehinya. Melebihi ibunya saja. Selanjutnya, lengan Ana melingkar di pundak Pierre akrab. Perlakuan Ana itu membuat Pierre terkejut sekaligus bingung.
"Gini. Dulu, gue juga sering kayak lo. Suka masuk angin. Tapi setelah sepupu gue, namanya Ria saranin buat berobat ke klinik Tongfang, gue gak ada lagi tuh masuk angin."
"Sungguh?" tanya Pierre tidak menyangka yang diangguki Ana dengan senyum penuh makna.
"Iya. Gue gak masuk angin lagi, tapi gue malah jadi pengendali angin. Keren kan?"
Seketika wajah Pierre berubah jadi datar. Menyesal ia sudah menyimak ucapan Ana, kalau tahu pembicaraan mereka berujung tidak jelas. Pierre mendengus, sementara Ana tertawa puas. Hamdan yang mendengar percakapan mereka, juga ikut tertawa di ujung sana.
Tawa Ana berhenti, tidak berlangsung lama karena teringat tujuannya kemari.
"Eh, btw, ini buat lo sama Ajudan yang lain. Dari Bu Nas." Ana menyerahkan bungkusan berisi kue yang Ibu Nas pesankan.
"Apa ini?" Pierre menerima bungkusan yang Ana berikan. Ia mengintip sedikit isi bungkusan itu.
"Kue bolu. Bu Nas baru bikin. Eh, tapi, gue juga ikut bantu bikin ini kue loh. Bantu doa,"
Lagi, Pierre mesti mendengar ucapan bodoh Ana. Pierre menatap Ana datar. Sangat datar. Ana tergelak geli melihat wajah Pierre yang seperti itu. Ana menepuk bahu Pierre. Ia lalu mendekat, membisikkan sesuatu.
"Gue udah dua kali liat lo tanpa baju. Sekali lagi ngeliat, fix kita jodoh!"
Selepas berucap demikian, Ana melenggang pergi begitu saja meninggalkan Pierre yang cengo di tempat. Sempat Ana menoleh, menunjukkan senyuman simpul yang menawan.
"Dadah, Mas Ajudan!" pamit Ana, lantas terkikik berlari cepat. Kabur karena sebenarnya malu, sudah berucap seperti tadi kepada Pierre.
"Wanita itu benar-benar penuh kejutan,"
°°°
Bersambung...
Makin gercep ya, si Ana. Gak papa, siapa tau sukses kan ya An. Coba-coba aja terus. Xixixi😙. Btw, menurut buku Sang Patriot yang saya baca, Om Pierre emang suka masuk angin karena tiap malem gak pakek baju kalo tidur. Jadi, ujung-ujungnya dia minta kerokin Hamdan pas paginya. Saya gak cantumin, karena lupa itu halaman berapa. Mager juga ambil buku di rak. Baru pulang dari acara keluarga. Maklumkan😬Terima kasih yang sudah Vote & Comment di part ini. Lop yu tomat🍅❤
❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top