10. MTAL - Lari Pagi
Halooo, saya kembali! Maaf ya, lambat update. Saya kan kemarin liburan. Maklum, baru pulang. Oke, siap ketemu Ana dan Pierre? Sebelum itu, vote dulu yak! Semisal masih ditemukan typo di part ini, saya mohon maaf karena manusia tidak luput dari kesalahan.
Happy reading😉
°°°
Sekitar jam setengah enam pagi, Ana iseng-iseng keluar rumah. Niat hati ingin sekadar menghirup udara segar, namun nyatanya ia juga bertemu Pierre di luar. Saat Ana baru berdiri beberapa menit di luar teras, ia melihat Pierre keluar dari Paviliun Ajudan.
Ana yang melihat Pierre melintas, tiba-tiba saja bertanya, "Woi! Mau ke mana lu?!"
"Anjir! Kek ngajak temen akrab ngobrol aje gue! Pahlawan Revolusi nih! Ana goblok!" batin Ana menyesal, sedetik dari ia melontarkan pertanyaan.
Pierre yang mendengar suara Ana, sempat berhenti sebentar. Pria itu menoleh. Saat ia tahu jika yang menyapa barusan adalah Ana, pria itu mendengus.
"Bukan urusanmu, mau tau saja!" jawabanya ketus.
"Woiii! Gue ini nanya tandanya peduli! Kepo dikit sih," balas Ana bersuara rendah di akhir kalimat. Ana lalu maju selangkah. "Serius, lo mau ke mana? Lo jangan keluar subuh-subuh buta begini, Pierre. Entar lo kena culik,"
"Kamu ini terus membahas pasal penculikan. Ada apa sih?" decak Pierre jengah.
Sontak Ana panik, sebab ucapannya berhasil membuat Pierre penasaran. Setelah Ana pikir-pikir, memang ia banyak berkata tentang penculikan. Bagaimana tidak? Ana di kelilingi orang-orang yang akhir hidupnya di culik oleh sebuah organisasi terlarang. Jadinya, Ana suka spontan berceletuk mengenai tragedi itu.
"Ya, lo--logis aja sih menurut gue. Kan bisa aja lo di culik orang. Kita gak tau takdir! Setidaknya kita berjaga-jaga lah!" alibi Ana terbata-bata. Kentara sekali kalau wanita itu sedang gugup.
"Sebelum penculik itu menculik saya, saya duluan yang menculik dia." ucap Pierre enteng, sementara Ana syock bukan main.
"Heh, jangan maen-maen lo! Gue lagi serius, anjir! Bercanda mulu lo ah!"
"Tidak ada yang bercanda, pintar!" timpal Pierre cepat, membuat Ana bungkam. Benar juga ucapan Pierre itu. Karena malu sudah berucap salah, cepat-cepat Ana mengalihkan pembicaraan.
"Yaudah, lo mau ke mana dah? Dari tadi gue tanyain, tapi lo gak jawab-jawab,"
"Lari pagi!" dengus Pierre, setengah hati menjawab.
Mata Ana seketika berbinar cerah. "Hah, mau lari pagi? Ikut dong! Boleh gak?!"
"Tidak boleh!" tolak Pierre tanpa pikir panjang. Penolakan Pierre itu langsung melenyapkan raut antusias Ana menjadi cemberut.
"Dih, kok gak boleh? Kenapa?!"
"Ingat kakimu itu! Kaki sedang terluka, mana bisa diajak berlari,"
"Tapi kan, kejadiannya udah seminggu yang lalu. Kaki gue udah sehat kok." Ana menggerak-gerakkan kakinya yang sempat terkena cidera seminggu lalu.
Kakinya sudah benar-benar sembuh. Tidak lagi terasa sakit saat diinjak ataupun digerakkan. Dengan cara itu, ia meyakinkan Pierre. Siapa tahu setelah itu Pierre berubah pikiran, jadi mau mengajaknya.
"Tetap tidak boleh! Saya tidak mau ambil risiko kerepotan nantinya."
Bibir Ana cemberut. Cara Ana tadi tidak mumpan juga untuk meyakinkan Pierre.
"Pelit banget sih! Kalo lo gak mau ajak gue lari pagi, gue--"
"Apa? Kamu mau apa?" potong Pierre menghentikan ucapan Ana. Beberapa detik Ana dibuat bungkam. Tapi tidak bertahan lama, Ana kembali melanjutkan ucapannya.
"Gue bakal aduin ke Pak Nas! Rasain lo!" ancam Ana. Tubuh Ana berbalik hendak masuk ke dalam rumah untuk melapor ke Pak Nas.
Pierre yang menyadari Ana tidak main-main, langsung mencegah. "Tunggu! Dasar pengadu kamu!"
Ana menoleh balik ke Pierre. Lidahnya terjulur lantas berucap. "Biarin, emang gue pikirin! Wleee!" setelahnya Ana berteriak, "Pak Naass! Paakk! Pierre nih! Dia-- mmphh!"
"Diam! Ini masih pagi, jangan buat keributan!"
Telapak tangan Pierre sudah membekap mulut Ana. Ana meronta-ronta, berupaya melepaskan diri dari bekapan Pierre. Akan tetapi hasilnya nihil. Percuma Ana memberontak. Tenaga wanita tak sebanding dengan pria. Apalagi Pierre adalah seorang Tentara.
"Saya akan melepaskan bekapan ini, tapi kamu harus janji dulu jangan berteriak setelahnya," bisik Pierre tepat di telinga Ana.
Tanpa pikir panjang, kepala Ana mengangguk berkali-kali. Ana setuju saja, yang penting ia bisa bebas. Pierre menepati ucapannya tadi. Setelah mendapat anggukan dari Ana, bekapannya ia lepas.
"Sialan lo!" umpat Ana selepas mulutnya terbebas dari bekapan Pierre.
Pierre yang mendengar itu terkejut. Ia memperingati Ana satu hal. "Nah, ngomong kotor, nanti ada kecoa terbang lagi."
"Hihhh!" spontan saja Ana terperanjak.
Ana langsung mendekat ke Pierre. Tangannya spontan juga menggalung di lengan Pierre erat. Sepasang mata wanita itu menatap takut ke arah lantai. Biasanya kecoa sering melintas di sana. Ekspresi takut Ana ini membuat Pierre terkekeh geli. Bahkan ia tidak mempersalahkan gandengan Ana di lengannya.
Ana mengguncang-guncang lengan Pierre yang masih ia gandeng. Kepala Ana mendongak ke atas untuk menatap Pierre yang tinggi. Wajah wanita itu memelas ketika matanya dan Pierre saling bertemu.
"Pierre, serius deh! Gue pengen ikut tau! Gue janji gak akan ngerepotin lo!" mohon Ana dengan bibir cemberut.
Untuk sesaat Pierre sempat terpaku ke arah wajah memelas Ana. Menyebabkan ia kehilangan fokus. Alhasil ucapan Ana lambat ia cerna.
Tersadar, Pierre mengerjapkan mata berkali-kali lantas membuang muka. Di saat seperti itu, ia baru memberi jawaban.
"Iya-iya, kamu boleh ikut!"
"Yeaayyy!"
Ana langsung bersorak senang begitu Pierre memperbolehkannya ikut. Bukan hanya bersorak, Ana juga mengguncang-guncang lengan Pierre kuat. Menyebabkan tubuh Pierre oleng.
"Astaga, senang boleh, tapi jangan menyakiti orang! Lenganku sakit ini, kamu guncang-guncang!" gerutu Pierre kesal.
"Ups, sorry!" cicit Ana tersenyum tidak enak. Gandengannya pun ia lepas. Kaki Ana mundur beberapa langkah ke belakang.
"Cepat lah ganti baju. Saya tunggu di sini. Awas lama!"
"Iya-iya!"
Secepat kilat Ana melangkah masuk ke dalam rumah. Ia harus ekstra cepat ganti baju. Pierre sudah berbaik hati mau mengajaknya sampai rela menunggu. Sungguh suatu hal yang luar biasa Pierre mau melakukan itu semua untuk seorang Ana. Yang kita ketahui saja, mereka sering menjadi musuh di setiap waktu.
Kala melewati ruang tamu, Ana berpapasan dengan Bu Nas. Menyempatkan diri Ana menyapa.
"Selamat pagi, Bu Nas!"
"Pagi. Kamu mau ke mana, An?" tanya Bu Nas, seiring matanya mengikuti langkah Ana yang menjauh.
"Lari pagi sama Pierre. Ini mau ganti baju dulu!"
"Ha? Sama Pierre?" beo Bu Nas tidak menyangka.
"Selamat pagi Pak Nas!" sapa Ana, bertemu pula dengan Pak Nas yang datang dari ruang tengah menuju ruang tamu di arah yang berlawanan.
"Pagi, An..." jawab Pak Nas singkat, sedikit bingung melihat Ana yang lewat terburu-buru sekali.
Pak Nas yang bertemu istrinya di ruang tamu, lantas bertanya lantaran penasaran. "Itu Ana mau ke mana? Kok lari-larian begitu?"
"Katanya mau ganti baju, karena di ajak Pierre lari pagi,"
"Dengan Pierre? Tumben," balas Pak Nas dengan respons yang sama seperti istrinya tadi. Terkejut dan tidak menyangka.
Di seberang, arah berlawanan dengan jendela yang menampakkan halaman rumah. Pak Nas memang menemukan sosok Pierre di sana. Tampak Pierre berdiam diri persis seperti orang yang sedang menunggu.
°°°
Sangat jauh jarak Ana dan Pierre terbentang. Di awal-awal, Ana bersemangat sekali berlari. Setelah beberapa menit berlalu, stamina Ana lambat laun menurun. Napas Ana terengah-rengah, berusaha agar kakinya tetap bergerak.
"Pi--pierre! Pierre! Woi!" Ana berteriak memanggil-manggil nama Pierre.
Pierre mendengar panggilan Ana itu meski jarak mereka lumayan jauh. Namun, Pierre enggan menjawab. Pria itu tetap fokus berlari, mengabaikan panggilan Ana barusan.
"WOI, PIERRE ANDRIES TENDEAN!" teriak Ana sekali lagi, kali ini lebih kencang. Nama lengkapnya diteriaki Ana, sontak kaki Pierre berhenti.
Tubuh Pierre berbalik ke belakang. "Apa?" tanya singkat.
Sekujur tubuh pria itu dipenuhi keringat. Napasnya juga sama seperti Ana, memburu. Akan tetapi, stamina Pierre masih seimbang. Sedikitpun Pierre tidak merasa kelelahan. Mungkin karena sering berlatih sewaktu di Taruna. Jadinya ia terbiasa.
"Gue... Ca... Pek." ucap Ana ngos-ngosan. Kedua telapak tangannya bertumpu di masing-masing lutut.
"Kan, sudah dibilang jangan ikut. Lihat! Benar-benar menyusahkan kan?!" keluh Pierre. Gara-gara Ana berhenti di tengah jalan, lari paginya jadi terhambat. Ana mengacaukan segalanya.
"Santai aja kali! Lagian wajar lah gue capek! Mikir dong Mas, lo ngajak lari pagi tapi gak ada istirahat-istirahatnya!" oceh Ana menatap Pierre nyalang.
"Istirahat itu kalau sudah jauh! Ini satu satu kilometer dari rumah Pak Nas saja belum!"
"Anjir! Satu kilo?! Gile lu, Ndro!" syock Ana, matanya membulat sempurna. Seketika rasa lelahnya lenyap. "Ini udah berapa meter emangnya?"
"Paling delapan ratus meter lah." terawang Pierre santai. Sementara Ana yang mendengar tambah syock.
"ANJAY! KAN WAJAR GUE CAPEK, PIEERREEE!" jerit Ana kencang sekali, berhasil membuat kuping Pierre berdenging.
Pedagang bubur kecil yang berjualan di tepi jalan tempat mereka berdiri, juga ikut terkejut. Piring yang ia cuci hampir lepas dari genggaman.
"Pokoknya gue mau istirahat! Terserah lo mau setuju atau nggak!" sambung Ana. Wanita itu menegakkan badannya, lantas berlalu menuju pedagang bubur ayam yang membuka jualan di tepi jalan sebelah kanan.
"Mau apa ke situ?" tanya Pierre penasaran.
Tanpa membalikkan tubuh dan terus berjalan, Ana menjawab ketus. "Duduk lah, ngapain lagi? Beli minum kek, apa kek!"
"Heh, beli minum? Punya uang kamu memangnya?"
Spontan langkah Ana berhenti, begitu Pierre melontarkan pertanyaannya tadi. Ana pun akhirnya menoleh. Ia melirik Pierre sambil tersenyum miring. Samping wajah wanita itu sedikit terkena pantulan cahaya matahari yang mulai menunjukkan sinarnya.
"Elo yang bayarin!" detik berikutny, Ana berteriak kepada penjual bubur ayam. "Pakk! Saya beli bubur ayam semangkok! Nanti minta bayarannya sama Mas ganteng di sana aja ya!"
Selepas berucap demikian, Ana langsung berlari duduk di kursi yang sudah tersedia. Ia terkikik puas melihat wajah kaget Pierre. Pierre semakin kaget, tatkala melihat penjual bubur berdiri dari kursi pencuci piring. Tampaknya penjual bubur itu akan mulai menyiapkan pesanan Ana.
Buru-buru Pierre menghampiri Ana. Pria itu langsung memarahi Ana di tempat.
"Enak saja, kamu! Saya tidak mau membayarnya! Bayar sendiri!"
"Eits! Gak bisa! Buburnya udah di buat! Yhaaahayyuukkk!"
Kepala Pierre menoleh cepat ke arah tukang bubur yang sedang mengerjakan sesuatu. Memasukkan bumbu-bumbu ke dalam sebuah mangkok. Sepertinya memang benar ucapan Ana. Buburnya sedang dalam proses pembuatan.
"Dasar wanita licik!" hardik Pierre pedas untuk di dengar, terutama wanita. Namun berbeda dengan Ana. Ana malah menanggapi dengan santai.
"Biarin..." setelahnya Ana menghela napas. Ia bergeser, memberi ruang kosong di sebelah. Ruang kosong di kursi itu, Ana tepuk-tepuk. "Gue tau, lo capek. Udah lah, Mas Ajudan... Istirahat yuk, di sini bareng Bidadari cantik jatuh dari Syurga tepat di hadapanmu. Eaaa!"
Pierre mendelik geli. Kepercayaan diri Ana tinggi sekali. Bisa-bisanya ia memuji diri sendiri. Terlepas Ana memang cantik, Pierre akui itu. Namun, tidak sampai cantiknya sebanding dengan Bidadari. Itu berlebihan.
Mata Pierre melirik ke arah kursi kosong yang sudah Ana sediakan di sebelahnya. Hati Pierre sebenarnya ragu untuk duduk di sana. Tapi, entah mengapa beberapa detik kemudian, Pierre akhirnya duduk di kursi itu.
"Duduk juga kan, lo! Dasar gengsian!" ledek Ana yang dengan cepat Pierre balas ketus.
"Diam lah!"
Tak lama, bubur Ana datang. Semangkok bubur saja, mengingat Ana hanya memesan satu tadi. Ketika buburnya ditaruh penjual di meja makan, ia melirik Pierre di sebelah. Tidak mungkin ia makan seorang diri, mengabaikan Pierre di sebelah. Apalagi yang membayar buburnya adalah Pierre. Gila-gila begini, Ana ada sedikit sisi waras.
"Pak, buburnya buat satu lagi ya. Untuk Mas di sebelah saya,"
"Baik, Mbak." angguk si penjual bubur, kemudian berlalu untuk membuatkan semangkok pesanan bubur Ana yang kedua kali.
Pierre melirik Ana. Lirikan Pierre itu disadari Ana. Kala Pierre tertangkap basah sedang meliriknya, Ana pun berbicara.
"Baik kan gue. Bilang terima kasih dulu lo, ke gue." ujar Ana sombong, seraya mengaduk buburnya. Lirikannya tadi telah ia putuskan.
Pierre mendengus. "Tidak salah? Harusnya kamu yang berterima kasih! Kalau bukan saya yang membayar buburmu itu, kamu mana bisa makan bubur."
"Siapa bilang gue gak berterima kasih? Udah gue bilang terima kasih ke elo, kok."
"Kapan?"
"Barusan. Tuh, tadi, gue bilang terima kasih ke elo." jawab Ana logis. Ana lantas tertawa geli, merasa menang.
Terlihat wajah Pierre menggeram menahan kesal. Ingin marah, namun tidak bisa. Ucapan Ana memang benar, tidak ada yang salah. Jadilah Pierre tidak bisa memprotes lagi. Dalam perdebatan ini, Ana menang.
Menunggu sesaat, akhirnya bubur pesanan Pierre datang. Sebuah sendok Pierre ambil. Ia siap menyantap buburnya yang masih hangat. Ana yang duduk di sebelah Pierre, memperhatikan cara makan pria itu diam-diam.
Ana mendelik, tiba-tiba bersuara. "Dih, buburnya gak diaduk. Makan bubur itu harus diaduk. Kayak gue nih!"
Mangkoknya ia dekatkan sedikit, menunjukkan ke Pierre. Bubur Ana diaduk rata, berbeda dengan bubur Pierre yang bumbu-bumbunya masih tertata rapih.
"Nanti juga bakal teraduk," ucap Pierre tanpa minat, padahal barusan Ana sudah memulai kontes adu mulut lagi. Pierre menyedok buburnya ke dalam mulut, tanpa mengeluarkan satu patah kata pun setelahnya. Membuat Ana bingung.
"Kata temen gue, orang yang makan buburnya nggak di aduk itu, Psikopat!"
Sendok Pierre yang hendak memasukkan bubur ke dalam mulut, mendadak terhenti di udara. Ucapan Ana yang satu ini, sukses menarik minat Pierre. Sendoknya yang menggantung di udara, Pierre turunkan. Ia tidak jadi menelan buburnya.
"Berarti saya psikopat. Dan artinya juga, nyawa kamu sedang terancam sekarang."
Pierre menunjukkan seringai menyeramkan, berusaha menakuti Ana. Bukannya takut, Ana malah tertawa. Respons Ana itu membuat seringai Pierre tadi hilang. Pierre jadi kebingungan.
"Kenapa kamu malah tertawa?" tanya Pierre dengan alis berkerut.
"Abisnya lo lucu sih!" tawanya coba Ana redakan dahulu, supaya bisa bicara jelas dengan Pierre. "Gini ya, wajah-wajah lo itu gak ada kesan psikopatnya. Malah lo yang jadi korban psikopat."
Seketika Ana terbelalak karena ucapannya sendiri. Ucapannya barusan mengeluarkan sebuah spoiler lagi. Mulut Ana sepertinya harus mengikuti sekolah tata krama dan adab, agar jangan suka bicara sembarangan. Sering asal celetuk.
Ingin mengalihkan suasana, Ana melakukan tindakan yang mengejutkan Pierre. Wanita itu mengambil sendoknya, lantas mengaduk bubur Pierre.
"Mulai sekarang, lo resmi jadi tim gue. Tim bubur diaduk. Jangan mau jadi tim bubur gak diaduk, kayak Alaska."
"Alaska siapa?" tanya Pierre. Entah lah, Pierre agak penasaran saja dengan nama asing yang baru sekali ini ia dengar dari Ana.
"Adik gue. Adik satu-satunya yang nyebelin banget! Sumpah, kelakuannya macam anggota sekte sesat! Meresahkan!"
Mendengar celotehan Ana, Pierre tertawa. "Kedengarannya kalian sering bertengkar."
"Beehhh, bukan lagi! Tiap hari ntuh ya, ada aja yang bisa buat kami ribut. Yang gue gak suka sama Alaska itu, dia manja jadi cowok. Dikit-dikit minta duit sama orang tua. Kalo gak di kasih, marah, cemberut, bete!"
"Tapi kan, itu orang tuanya. Wajar saja dia minta dengan orang tuanya. Memangnya umur Adikmu itu berapa?"
"Tujuh belas, jir! Udah termasuk gede itu! Harusnya bisa lah cari duit sendiri!" jawab Ana gregetan, sebab ucapan Pierre tadi seakan membela Alaska.
"Masih SMA. Masih tanggung jawab orang tua."
"Tanggung jawab ya, tanggung jawab! Tapi, masa traktir temen juga minta duit sama orang tua!" timpal Ana menggebu-gebu. Jika sudah berhubungan dengan Adiknya, drastis darah Ana mendidih.
Sekali lagi Pierre tertawa menanggapi. Tidak mau membahas lebih lanjut tentang perkara ini, Pierre menanyakan hal lain. Perkara tadi tampak sensitif sekali bagi Ana.
"Nama Adikmu unik ya? Alaska. Terinspirasi dari mana? Apa saat melahirkannya di teluk Alaska?" canda Pierre.
Ana memberi pukulan pelan di lengan pria itu. "Gak gitu konsepnya! Gak tau juga gue. Gak penting menurut gue. Mau namanya Alaska, Angkasa, Antariksa, terserah! Tapi dia bangga anjir, dikasih nama Alaska. Katanya kayak cogan-cogan di Wattpad!"
"Wattpad?" beo Pierre. Pendengarannya lagi-lagi merasa terusik dengan kata-kata aneh yang Ana ucapkan.
Ana pun memberi tahu apa itu Wattpad. Tidak terlalu mendalam. Hanya sekadar saja. Dari sini, tanpa sadar obrolan terus berlanjut menghiasi suasana mereka berdua. Tidak ada lagi adu mulut, melainkan obrolan ringan di antara Pierre dan Ana. Mendadak mereka seperti bercerita layaknya teman akrab.
°°°
Bersambung...
Ekhem, yang mulai akrab! Lancar terooss PDKT nya! Sudah vote & comment belom? Bagi yang belom, yok di vote & comment dulu. Jadilah readers budiman dengan dukungan kalian untuk penulis berupa vote & comment. Terima kasih. See you next time di part selanjutnya. Lop yu tomat🍅❤
❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top