🥘5. Etika Berbicara
Manusia memang tempatnya untuk lupa, tetapi ada satu hal yang wajib mereka ingat, etika berbicara.
-Arcas-
Kalau saja bukan karena ancaman, tak akan sudi Nebula berlaku seperti ini. Sepanjang jalan kedua kelopak mata gadis itu memicing. Memangnya si iblis betina itu pikir, dia ikhlas? Oh, tentu saja tidak!
Lo pikir gue kayak gini bahagia? Hah? Oh, apa jangan-jangan dia sengaja, batin Nebula terus berseteru, apalagi saat bayang-bayang wajah Miss. Sunshine yang rajin kali melintas seolah ingin menyuruh Nebula berlari ke arah kelas Arcas.
Napasnya pun memburu saat kakinya berhasil memijak lantai tiga. Iya, bayangkan saja, dengan tidak ikhlas gadis itu harus naik dari lantai dua ke lantai tiga, hanya untuk mengajukan permohonan pada seseorang yang tak berarti.
Cuih!
Allahuakbar, hampir saja saliva yang tengah ia teguk berlari dari tenggororokan. Baik, ini memang salah Miss. Sunshine yang tak pernah bisa membiarkan hidupnya tenang. Pokoknya segala sesuatu yang buruk itu pasti ulah sang guru bahasa Inggris.
Hingga akhirnya Nebula pun sampai di hadapan pintu cokelat kayu yang tertutup rapat. Menyisakan sekotak kaca di bagian tengah hingga memudahkan gadis itu untuk mengintip dan mencari tahu di mana letak makhluk hidup itu berada.
Namun, sebentar langkah Nebula terpaksa melompat pelan ke belakang saat sebuah wajah kotak milik seorang lelaki tiba-tiba saja memenuhi seisi kaca. Sembari menempelkan hidung dan rambut cepaknya, cowok itu terus melempar tatap ke arah Nebula yang sudah merasa sesak.
Diusaplah dadanya yang terus mengembang mengempis dengan cepat seraya mengatur napas yang tak lagi beraturan. Ya Tuhan, kenapa bisa ada sosok hantu yang bergentayangan di siang hari?
#Dret
Suara khas ala pintu terbuka akhirnya kembali memecahkan suasana. Gadis itu tak berani mendongak, melainkan terus terpaku pada lantai abu-abu bermotif marmer yang menampakkan dua buah kaki bersepatu hitam polos.
Baru secara perlahan, bola mata gadis itu melirik ke atas dan akhirnya ia bisa bernapas lega. Ternyata manusia. Aduh, napasnya masih terengah pula sampai membuat sosok yang tak dikenal tadi sedikit tertawa.
"Hai," sapanya sambil melambaikan tangan. Lelaki itu perlahan memamerkan sederet gigi rapi dan juga mata yang mengeluarkan sinar terpukau. Begitu takjub dengan kecantikkan Nebula dari dekat. Selama ini cowok itu tak pernah berpapasan secara langsung, hanya melihat dari jauh atau social media.
"Lo cantik banget hari ini." Lelaki yang tingginya hampir mencapai dua meter itu berucap seraya merapikan rambutbya yang tampak berantakkan.
Bukannya terharu atau terpesona, Nebula justru berdecak sembari menggelengkan kepala. Dasar cowok genit tukang penggoda. Berkenalan saja belum, tapi sudah berani memuji. Iya, ia juga sadar kalau dirinya memang cantik, tapi kenapa geli kali rasanya saat mendengar pujian langsung dari orang tak dikenal yang mirip siluman babi di kaca tadi.
"Cari siapa?"
"Arcas," sahut Nebula sewot. Gadis itu memutar kedua bola matanya malas seraya melipat kedua tangan di depan dada.
Apakah lelaki itu tidak salah dengar? Sumpah, ini adalah kali pertama nama itu disebut oleh seorang gadis yang bukan berasal dari OSIS atau guru.
Cowok yang dikenal dengan nama Cornetto itu seketika melebarkan pintu yang semula hanya menampilkan wajahnya. Melompat ke dalam seraya bertepuk tangan di udara sampai menbuat beberapa murid yang tengah belajar pun berdecak, bahkan ada pula yang bangkit karena terlalu gatal untuk tidak menjambak rambut lelaki itu.
"Woi!" teriaknya saat salah seorang siswi datang menumpahkan segala emosi. Dipikirnya mengerjakan soal Matematika itu tak perlu menggunakan konsentrasi? Sekarang, karena si cowok tidak penting itu, semua ingatannya soal rumus-rumus pun buyar dalam hitungan detik.
"Arcas ada tamu penting, cantik pula! Yuhu ... keluar sana!" Cornetto kembali berkumandang sembari mengambil bendera merah putih yang berada di sudut kelas dan mengibarkannya secara heboh.
Menghela napas kasar, lantas nama yang sedari tadi disebut pun berjalan ke arah luar kelas. Lelaki itu terdiam seraya menatap Nebula yang sama sekali tak membuka suara. Gadis itu masih sibuk menutup kedua telinga dan berjongkok di depan kelas.
"Ada urusan apa?" tanyanya dengan tatapan lurus ke depan.
Nebula perlahan bangkit dan menatap Arcas bulat-bulat. Ya ampun bayangan soal apa yang terjadi kemarin serasa ingin membuat gadis itu membawa pisau dan menancapkannya ke perut lelaki yang baru saja menoleh.
Tak mendapatkan jawaban apa pun, lantas ia pergi. Hendak melangkah masuk walau tangannya dicekal terlebih dahulu oleh si gadis bermanik cokelat tua itu.
"Sebenernya gue nggak ikhlas buat ngomongin ini, tapi kalau boleh jujur, dan asal lo tau kalau gue terpaksa."
"Dalam pembuatan proposal yang biasanya gue ajuin ke kepala sekolah, semua kalimat harus disusun rapi dan tidak bertele-tele. Asal lo tau, lo kebanyakkan basa-basi. Gue nggak punya waktu, makasih."
Membelalakkan mata lebar seraya menghela napasnya kasar, Nebula pun mendaratkan sebuah pukulan ke arah punggung lelaki yang segera berputar posisi dengan keras. Biar saja memar, memangnya dia pikir, dia seberharga itu untuk dicari? Hah?!
"Bangs—" Baiklah, ia harus sabar dalam menghadapi tikus kecil macam Nebula yang tak mengerti apa itu sopan santun.
Ia kembali berbalik dan menarik Nebula ke arah kaca yang menghadap pada lapangan voli. Entah kekuatan apa yang dimiliki Arcas, tetapi sekarang Nebula hanya bisa mengatur napasnya agar berjalan dengan teratur lagi. Memangnya salah siapa tadi tak mau bersabar dalam menghadapi perempuan?!
"Lepasin!" Nebula menarik tangannya kuat-kuat dari cekalan Arcas walau berujung cuma-cuma.
"Lo pernah dengerin Bu Nisnos—guru BK kita—kalau lagi ngejelasin soal etika di kelas?"
Nebula terdiam.
"Gue rasa lo nggak pernah denger dan asik main hp tanpa peduli pentingnya pelajaran etika."
"Bawel! Lo mau gue viralin? Jadi cowok itu nggak boleh kasar sama cewek!"
Arcas menghela napasnya kasar seraya melepaskan cekalannya pada Nebula. Mengepal kedua tangannya kuat, lantas mengetatkan rahang sekuat mungkin demi menahan emosi.
Baik, ia harus sabar. Jadi cowok memang selalu salah, apa pun masalahnya. Iya, dia tahu betul kalau perempuan memang egois, terkecuali sang ibu.
"Mukanya nggak usah sok galak gitu!" Tolonglah, Nebula tak kuat jikalau harus berhadapan dengan orang yang sedang emosi. Dipikirnya, ia tak takut? Ya jelas takut! Makanya, enggak usah sok galak di depan Nebula kalau tak mau membuat gadis itu menangis. Ah, memang dasar Nebula! Hanya berani di mulut, tetapi hati mirip seperti Hello Panda.
Dengan terpaksa Arcas menarik tiap sudut bibirnya. "Iya, ada urusan apa?"
"Lo inget, ya, gue bisa viralin lo, Kak!"
"Nggak penting? Oke gue balik." Arcas segera melangkah masuk. Tak lagi peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh gadis itu. Selama dirinya benar, maka tak perlu takut berbuat aneh.
"Lo dipaksa jadi guru privat bahasa Inggris gue sama Miss. Sunshine!"
Hah? Apakah pendengarannya tidak salah hingga dirinya terpaksa berhenti di ambang pintu dan menoleh ke arah Nebula. Oh, iya, dia tahu, pasti Nebula hanya menjual nama guru itu demi mendapat belas kasihan.
"Enggak." Usai satu kata berhasil keluar dari bibir tipisnya, lelaki itu segera berjalan masuk dan kembali ke tempat duduk.
"Kak! Gue serius!" Ya ampun, baik, ia harus menurunkan kadar reputasinya demi mengejar Arcas ke dalam walau harus menjadi bahan perhatian seluruh anak-anak.
"Kak Arcas!" Kini, Nebula sudah berdiri tepat di samping mejanya. Tangannya mengguncang lengan sang lawan walau ia tahu sedang menjadi bahan perhatian. Tapi ... biarkan saja, ia yakin Arcas akan luluh walau harus menahan malu.
"Please!"
"Gue enggak mau. Ngerti?"
"Lo mau gue laporin ke Miss. Sunshine?"
"Bodo."
"Woi!" Ya ampun, mana ponselnya masih disita sang ayah, mana bisa merekam aksi kejam Arcas. "Halah, ternyata lo itu Ketos gadungan, ya? Mana sikap sok bijak yang lo pamerin ke orang-orang?! Hah? Mana ada Ketos menolak melakukan perbuatan baik yang di mana itu merupakan kewajiban dia!"
Astagfirullah, oke Nebula sadar kalau dirinya sudah mirip seperti pembina upacara yang membosankan. Tapi ... mungkin ini bisa menjadi salah satu cara agar Arcas pusing, terus berkata iya. Bukankah begitu?
"Udah selesai ngomongnya?"
Kedua telapak tangan milik Nebula mengepal. Sudah tak sabar mendaratkan tonjokkan apabila ia tak sadar bahwa dirinya sedang berada di kelas orang lain. Sederet gigi rapi gadis itu perlahan juga mengetat, bahkan sampai tak sadar sudah menghantam gigi bagian atas dan juga bawah seolah mengisyaratkan bahwa Arcas akan segera dicabik sampai hancur.
"Boleh keluar kalau udah selesai."
"Loh, jadi lo ngusir gue?"
Arcas mengangguk dengan santai. Membuka buku catatan Matematika, lantas menatapnya dengan penuh nafsu seolah itu merupakan sesuatu yang lezat untuk dinikmati.
Ia sudah tak memiliki waktu untuk meladeni siswi tak penting macam Nebula. Memangnya gadis itu siapa? Dirinya saja tidak diberikan tambahan nilai atau uang, haruskah diterima dengan ikhlas?
"Belom mau pergi? Kesimpulan yang biasanya gue tulis di proposal itu isinya indah, terstruktur, dan rapi. Apa perlu gue usir lo dengan kalimat panjang kayak gitu?"
Sip, ini adalah cara paling memalukan yang harus ia lakukan. Gadis itu bersujud di hadapan Arcas sembari melipat kedua tangan di depan dada. "Gue janji bakal jadi anak baik, tapi tolong iyain!"
"Astaga, kasian Nebula," sahut Cornetto.
"Woah parah lo, Cas. Masa jahat banget sama cewek?" Seorang siswi berambut panjang dengan make up tipisnya ikut bersuara.
Tenang, Arcas bukan lagi seorang lelaki idaman para kaum hawa yang dikejar ke mana-mana. Siapa yang mau sama singa galak itu?
"Kak? Tolong ... ya udah gue janji tobat dan nggak durhaka lagi sama lo! Tolonglah kerja samanya!"
"Gue nggak butuh kerja sama dari lo. Silakan keluar dan belajar di kelas."
Ya Tuhan, tolong berikan Nebula kesabaran yang lebih agar tidak mengambil gunting di meja sebelah Arcas. Semoga, gadis ini hanya sampai menghentakkan kaki ke atas lantai.
Tapi bukan itu yang terjadi, menghentakkan kaki nyatanya tak juga memberikan rasa puas untuk Nebula. Didaratkannya sebuah pukulan keras, bahkan dua kali lipat dari yang tadi ke arah bahu Arcas.
Biar! Biar muntah darah sekalian! Nebula tidak peduli walau cowok itu meringis dan melempar tatapan penuh dendam hingga gadis itu berlari keluar kelas.
"Nebula Merichie Karmayanti!"
Hari ini malam minggu. Sudah seberapa jauh mencintai diri sendirinya? Iya ... kamu terlalu sibuk memikirkan orang lain sampai lupa kalau dirimu juga penting :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top