🍪45. Temennya Nebula
Hingga detik ini, Arcas masih enggan menjawab pertanyaan Nebula. Ya ... kala keduanya sudah sampai di depan tempat kreatif yang Arcas pikir bisa meredakan segala masalah pun, rasanya Nebula juga tak lagi mengajukan pertanyaan terkait.
Gadis itu diam, sepanjang jalan pun masih enggan membuka suara dan terus mengikuti ke mana pun tarikan Arcas. Jangan tanya kenapa, karena dia sendiri juga tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Bul."
"Ngapain, sih, ngajak ke sini?"
"Biar nggak stres." Arcas menjawab dengan santai.
Nebula yang masih tak paham dengan maksud Arcas itu pun justru terdiam di tempat. Berdiri mematung di depan bangunan besar berpintu kaca yang di atasnya memiliki tulisan "Eat in Art".
Gadis itu tampak mengernyitkan mata sesekali. Untuk apa pula ia diajak ke sini? Apa pula itu arti dari judul besar yang ada di sana?
"Kenapa nggak Asya aja yang diajak? Bukan lo udah ada gandengan baru, ya?"
Sontak saja Arcas berputar posisi dan berdiri menghadap Nebula-nya. Menatap gadis itu lembut, sambil menaruh kedua telapak tangannya di bahu Nebula, lantas berkata, "You are mine. The one and only."
"Hah?"
"Jangan bawel, pokoknya kita masuk."
Sambutan hangat dari seorang satpam kafe itu pun pada akhirnya berhasil membawa Nebula masuk ke sana. Mengitari pandangan pada area tengah yang dipenuhi oleh sebuah kanvas dengan angka-angka di atasnya, serta sebuah cat warna yang bertumpu di atas easel.
=> easel
"Itu, kok ada gambar muka gue sama lo, Kak?" Mata Nebula sontak membulat dengan sempurna. Bagaimana bisa ada wajahnya di sana? Sudah begitu bersama manusia berengsek ini pula.
Nebula lantas menoleh. Namun, Arcas malah berjalan ke arah belakang punggung Nebula dan mendorong gadis itu untuk terduduk di hadapan kanvas. Gadis itu menurut. Mengikuti tiap perintah Arcas, kemudian terdiam kaku sambil menatap kanvas di hadapannya.
I-itu si Nebula bukan, sih? Yang ngebunuh temennya?
Duh, jangan asal nuduh lo. Mirip, sih, tapi itu temennya bukan, sih? Yang katanya hampir lompat.
Iya, rada mirip sih mereka. Tapi kenapa sampe pake masker ya?
Takut kali diserang fans-nya Nebula..
Dah ah. Gibah mulu lo, Bund. Bibir sumbing baru tau kena azab.
Tenang Nebula, tidak perlu menoleh karena kalau kamu menoleh, maka sama saja mengakui jika perkataan orang itu benar adanya. Baik, seperti biasa, mengeluarkan jurus sok tenang dan tidak tahu apa-apa adalah jalan keselamatan.
Baik, harus ia akui bahwa kemiripan wajahnya dengan Asya, yang mungkin didukung oleh faktor gaya rambut, nyawanya bisa diselamatkan. Namun, jangan pernah kalian berkata bahwa karakter keduanya persis! Akan Nebula viralkan satu-satu.
"Bul."
"Apaan? Mau ngapain manggil-manggil?"
"Lo nggak nyaman di sini?"
"B aja. Bawel lo, Kak. Nggak usah sok jadi pahlawan kalau enggak bisa jahit bibir mereka. Kemaren di ruang BK aja–"
"Udah. Diem. Fokus." Sontak saja Arcas menutup bibir Nebula agar telinganya tak rusak karena mengalami polusi suara. Lantas, lelaki itu pun sedikit mendorong dagu Nebula ke atas agar tatapannya kembali fokus pada sebuah kanvas putih yang begitu menggambarkan kenangan mereka sebelum insiden Asya terjadi.
Bisa-bisanya pula Nebula mengangguk dan mengambil sebuah kuas kecil dengan tangkai berwarna biru, lalu mencelupkannya pada sebuah wadah berisikan gumpalan pewarna hitam pekat, baru kemudian mengoleskannya pada gambar hoodie yang dipakai oleh Arcas.
Ia menikmati tiap tekanan kuas yang menari dengan lembut. Nebula menikmati, dan ia akui itu, kali ini Arcas mampu membuat emosinya semakin reda, lantas memaafkan lelaki itu sedikit demi sedikit.
"Seru?"
Nebula mengangguk, sementara Arcas sedari tadi justru terdiam sembari memandangi gadisnya. Arcas sadar, pandangan mata Nebula saat ini benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Keduanya sayu, kantong matanya pun tebal. Sama sekali tak dipoles oleh make up seperti biasanya agar terlihat lebih pudar.
"Lo mau cobain juga? Dari tadi liatin gue terus. Emang ada apaan? Nggak ada sesuatu di muka gue yang bikin lo pengen ngelecehin gue kan?"
Arcas tampak tertawa walau pelan. Ada-ada saja memang, tapi itu pula yang terkadang ia rindukan.
"Nggak jelas."
Arcas diam.
"Apa, sih, Kak? Jangan diem begitu, guenya takut."
Masih sama. Arcas tetap diam sembari memandangi bola mata kecoklatan milik Nebula yang terlalu fokus memperhatikannya sejak gadis itu menjauhkan kuasnya dari area bergambar.
"Lanjut."
"Awas ya lo apa-apain gue. Gue santet nanti!"
Arcas mengangguk cepat. Sontak saja cowok itu meletakkan telunjuknya di pipi Nebula, dan sedikit mendorongnya lagi agar kembali fokus pada apa yang sedang dikerjakan.
"Loh, Nebula sama Kak Arcas lagi ngapain?"
Nebula menoleh. Mendapati seorang perempuan yang entah sejak kapan, dan memiliki maksud apa untuk datang ke tempat ini.
"Kenapa? Mau tau banget lo?" tanya Nebula ketus.
Arcas hanya melirik gadis itu malas, kemudian langsung mengambil sebuah kuas dan mencelupkannya pada sebuah cup kecil berisikan pewarna krem.
Keduanya mendadak tak ada yang peduli dengan kehadirannya. Arcas justru sibuk mewarnai wajah Nebula yang diberikan kode angka 1. Sungguh, ya, Arcas akui dari struktur gambar seperti ini saja sudah indah.
"Kacang garing." Hanya dua kata itu yang keluar dari bibir Halona.
"Arcas, tolong jangan sakiti anak saya lagi. Sudah saya besarkan dia sendirian, lalu kamu hancurkan hatinya."
Arcas rasanya mengenal suara itu. Langsung saja ia menoleh, dan ternyata dirinya sudah mendapati Karma yang berdiri di belakang Nebula. Gadisnya itu pun langsung ikut menoleh, kemudian bangkit dan berdiri sejejer dengan sang ayah.
"Saya enggak pernah tahu apa maksud kamu mendekati putri saya. Kalau memang hanya mau main-main, silahkan dengan perempuan lain saja."
"Maaf, Om. Namun, saya tidak berniat seperti itu."
"Bagus. Itu artinya kamu sadar, tapi ada satu hal yang perlu kamu ketahui, anak saya tidak pernah pantas untuk diselingkuhi, apalagi dijatuhkan oleh pacarnya sendiri," ucap Karmayanto tegas sembari menepuk pelan bahu milik Arcas yang menegang detik itu juga.
Enak saja, dipikirnya membedarkan seorang gadis cantik sukses ini, tidak membutuhkan banyak uang? Lalu apakah Arcas pernah berpikir bahwa selama ini, Karma selalu berusaha menjaga kesehatan mental anak-anaknya agar mengalami tumbuh kembang yang baik, dan sekarang dihancurkan begitu saja.
Arcas akui, baru kali ini, napas laki-laki itu mendadak berhenti rasanya.
"Jauhkan Nebula karena buaya seperti kamu tidak pernah pantas untuk gadis kecil cantik saya ini."
Bibir Arcas terkatup. Menatap kepergian Karma yang sudah menggandeng putrinya keluar dari kafe. Kini, tinggal ia dan Halona di sana. Sama-sama menyaksikan kepergian kedua insan yang sebenarnya tak pernah ia ketahui–momen permintaan maaf ini akan berujung rusak.
"Ayah, makasih," ucap Nebula tiba-tiba kala Karma mengangguk saat seorang satpam membukakan pintu untuknya.
"Bagus juga akting Ayah buat jadi calon mertua galak."
"Ayah! Jadi yang tadi bukan betulan?"
"Ayah serius sedikit, sih. Soalnya kesel, masa anak cantik ayah disakiti. Di mana harga diri dia sebagai laki-laki?"
Nebula tersenyum tipis sambil memasuki mobil. Melirik sebentar ke arah ayahnya, kemudian sedikit mengangguk seolah sadar bahwa memang hanya ayahnyalah yang paling baik. Untung kemarin overthinking-nya juga cuman sebentar, jadi ia juga tak akan terlalu merasa bersalah apabila berbuat seperti itu lagi.
Hingga secara perlahan, mobil Nebula pun melaju melewati kafe yang mereka datangi tadi. Arcas keluar. Berdiri di depan sambil menatap kepergian mobil gadisnya yang telah meninggalkannya secara tidak baik-baik saja.
"Maaf, gue nggak sengaja," ucapnya pelan sembari memandang kosong ke area parkiran motor yang berbaris dalam jarak beberapa meter dari pintu kafe.
Kepala lelaki itu sedikit tertunduk. Oke, ia salah dan tapi ia bingung caranya meminta maaf.
Namun, kalau ia pikir-pikir lagi, haruskah sebuah permintaan maaf ia lontarkan? Bukankah dalam kasus Nebula, rasanya tidak perlu untuk melakukan itu semua, mungkin yang wajib itu hanya kepada orang tertentu yang usianya sudah jauh lebih dewasa dibandingkan dirinya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top