🌸41. Secret Letter From N

Ah, entahlah, menjalani hari bersama Arcas setiap hari malah membuat Nebula semakin bingung dengan apa yang ia rasakan. Apa mungkin cinta itu memang tak berbentuk, misalnya kalau di rumah sakit itu di USG kayak rahim, oke pikirannya mulai kacau.

Gadis itu terus melangkah menyusuri koridor sendirian. Namun, kenapa kalimat Arcas kemarin di taman justru berkeliling di kepalanya? Mungkinkah memang ada sesuatu yang aneh dari teman-temannya, tapi sengaja mereka sembunyikan demi mendapat barang endorse gratis? Katanya, lumayan hemat Shopeepay setiap bulan.

Baik sepertinya ia harus mencari Halona dan Asya, lalu menodong mereka dengan beberapa pertanyaan agar semua jelas. Dasar memang si Arcas! Sudah membuat anak orang ber-overthinking di pagi hari yang cerah ini.

Tapi kalau ternyata Halona dan Asya diam-diam menjauh, lalu temenan berdua doang, gimana? Masa nanti Nebula jadi sendirian ke mana-mana? Siapa yang akan membeberkan gadis itu dengan aura-aura positif?

Datang tanpa diundang, seorang perempuan dengan rambut panjang sepinggang yang tumben sekali digerai itu datang menghampiri Nebula sambil melambaikan tangan di udara. "Nebul, haii!!"

Sontak saja Nebula mengerutkan kening. Kenapa bisa Halona justru menyapa dengan hati penuh riang gembira? Apa jangan-jangan dia habis dijadikan Arcas sebagai pacar kedua? Soalnya kemarin saja mereka melakukan tindakan misterius!

"Onaaa!!! Nggak boleh ya!" seru Nebula tiba-tiba.

Halona yang baru saja hendak mendaratkan bokong di area kursi lorong lantai dua itu pun menyipitkan mata hingga Nebula ikut terduduk di sebelahnya.

"Nggak boleh apa?"

"Nggak boleh rebut Arcas dari gue!"

"Hey ... lo udah jadian sama dia? Kapan? Ya ampun, kenapa enggak ngabarin? Masa gue udah expired jadi sahabat lo sampe nggak dikasih tau? Oh apa mungkin lo terlalu capek jadi lupa buat kasih tau?"

Segera Nebula hantamkan telapak tangannya ke atas paha yang tertutup oleh rok abu-abu kotak-kotak yang sedang dikenakan Halona.

"Mau pajak jadiannya, dong."

"Bawel, Ona!" balasnya sambil menepuk kencang bahu sahatnya itu.

Sontak saja Halona yang berjalan di samping kanan Nebula pun sedikit melompat ke samping—untung saja tidak menabrak orang yang sedang berkeliaran di lorong.

"Sya mana?"

Halona mengangkat kedua bahunya santai. Seingat dia tadi, hanya tas sekolah Asya yang terlihat di kursi kelas. Sudah, dihubungi melalui WhatsApp pun tak hanya berujung centang satu abu-abu dengan last seen dimatikan—tak tahu ada masalah hidup apa.

"Bul, Ona, tolongin Asya! Ada di rooftop!" seru seorang lelaki berambut jabrik sambil meletakkan kedua telapak tangan di depan dada. Napas lelaki itu masih memburu, bahkan beberapa tetes keringat sudah melintas di area wajah cowok yang rupanya sekelas dengan mereka bertiga.

Bukan menjawab, Nebula justru terdiam di tempat dengan tatapan kosong. Apa maksud cowok yang hanya pernah berbincang dengannya ini satu kali? Tubuhnya yang mendadak kaku ternyata membuat jantung Nebula berdetak semakin cepat walau langkahnya sulit untuk digerakkan.

"Asya lagi cari angin?"

Lelaki itu menggeleng cepat. "BUNUH DIRI!"

"BOHONG!"

"Enggak boleh bercanda sama hal sensitive kayak gitu!" seru Halona dengan kalimat bijaknya.

"ENGGAK ANJIR!"

Sontak kedua gadis yang baru saja mendapat kabar ini pun langsung berlari menuju area rooftop. Mereka ingat, bahkan sangat kalau selama ini Asya tak pernah bercerita soal permasalahan yang terjadi. Hanya tawa dan canda, atau bahkan sindiran yang kerap kali ia lontarkan pada Halona karena selalu bermain ponsel.

Sepanjang jalan jantung keduanya tak berhenti berdebar, bahkan semakin lama, serasa ada sesuatu yang sesak dan memaksa untuk keluar walau tak bisa dikeluarkan.

Nebula terus mengembuskan napasnya kasar. Berpikir bagaimana jika ini semua adalah karena ulahnya yang sudah terlalu lama lebih sering bertemu Arcas dan meninggalkan sahabatnya, lalu bagaimana jika ternyata Asya semakin dendam karena Nebula tak pernah memberikan barang endorse lagi kepada mereka. Astaga, mengingat semua itu, rasanya ingin Nebula berteriak bila tak sadar jika dirinya sedang berlari di area lorong.

Hingga akhirnya keduanya pun sampai—tepat di depan gedung tinggi yang menghadap ke arah lapangan basket. Sudah ada seorang gadis berseragam SMA Daun Biru yang sudah berdiri di atas sana.

Dengan kepala tertunduk, menatap barisan orang-orang yang sudah bersatu di tengah lapangan sambil melontarkan berbagai kata dalam bentuk bisikan. Asya akui, dirinya sadar saat ini. 

Iya, dirinya sudah tak peduli dengan bagaimana orang mau mengatakannya apa seperti yang selalu Nebula lakukan, tak pernah mempedulikan ucapan haters, dan kini Asya menggunakan itu sebelum ia melangkah lebih ke depan dan berakhir dengan tenang dan damai tanpa sedikit pun usikan dari dunia.

Dunia terlalu kejam, sampai tak bisa memilih siapa yang boleh disakiti, menyembunyikan beberapa pelaku di balik topeng, lantas menunjukkannya dengan tega tanpa mempedulikan siapa dan bagaimana nasibnya kemudian.

Ia mengembuskan napasnya kasar sampai tak sadar bahwa setetes air mata sudah turun 'tuk menunjukkan bahwa dirinya selama ini sengaja bersembunyi di balik pelupuk yang telah menyimpan genangan.

"Sya, tolong turun, Nak! Jangan buat Miss. Sunshine khawatir!"

Suara nyaring itu terdengar jelas di telinga Asya. Hatinya masih merasakan sesuatu; namun apa gunanya hidup jika hanya ada satu orang yang peduli? Bukankah lebih baik mati?

Asya menggeleng pelan kemudian maju beberapa langkah hingga akhirnya ujung sepatu gadis itu menyentuh bagian terluar rooftop, angin sepoy yang begitu kencang seolah ingin menarik tubuhnya untuk terjun. Pilihannya ada dua; menjatuhkan diri, atau justru dijatuhkan.

Asya memejamkan matanya pelan, lantas menarik napas dalam-dalam.

"Asya, kalau lo ada masalah, bilang! Cerita! Bukan gini caranya!" Nebula berteriak seolah mengikuti tiupan angin yang menarik rambutnya hingga terurai ke sana kemari, dibaluri oleh keringat dengan jantung yang berdebar amat kencang.

Asya menggeleng. Ucapan hanyalah menjadi kata yang mencuri masuk ke area pendengaran. Ia juga bisa berbicara seperti itu, tapi apa yang bisa dibuktikan? Kebanyakkan manusia di muka buni ini, sangat pandai merangkai kata-kata, namun kala mempraktikkan, semua manusia mendadak lupa.

"Asya, jangan berbuat bodoh!" seru seorang guru yang tak kalah heboh menggigit jari kukunya di sebelah Miss. Sunshine

"Asya, turun! Mau ditambah nilai olahraganya? Jangan seperti itu!"

Entah apa hubungannya dengan nilai, tetapi yang jelas, pria dengan perut buncit yang sudah habis akal karena kepala sekolah pun sedang menemui seseorang di luar sekolah dan menunda niatnya untuk meminta kenaikkan gaji pun membuatnya tak bisa berpikir sama sekali.

"Sya, Miss minta tolong, jangan seperti itu, Nak. Kamu boleh bicara apa pun, boleh menemui saya kapan pun kalau ingin bercerita."

Hatinya seolah teriris kala melihat bagaimana anak kesayangannya itu berdiri di tepian. Asya, seorang gadis di kelas X yang tak pernah membantah omongannya; selalu mendapat nilai bagus.

"Sya capek!" teriaknya sambil menggelengkan kepala pelan. Tanpa sadar, air mata gadis itu lolos begitu saja usai sang pemilik tubuh menelusupkan jemarinya ke dalam saku rok dan mengambil sebuah kertas yang terlipat dengan sempurna.

"Sya, tolong turun! Lo jangan bikin gue trauma lagi untuk yang kedua kali!" pekik Nebula dari bawah sana. Seluruh kakinya mendadak lemas hingga tak sadar bahwa dirinya sudah berjongkok sambil menarik rambutnya kasar. Tidak, semua tatapan tertuju pada Asya, di sana Nebula bagaikan sebuah butiran debu yang tengah mencoba untuk melekat pada permukaan tanah.

"Sya nggak peduli! Buat apa urusin orang yang udah jahat? Nebul nggak usah sok baik! Ngomong aja terang-terangan sekarang, kalau Nebul juga mau Sya mati!" Bibir gadis berkepang dua itu bergetar–bukan karena menyaksikan seberapa tinggi tingkatan gedung yang ia pijak–ada hal lain yang jauh membuat tekadnya menjadi lebih kuat untuk segera lompat.

"Asya! Jangan begitu, gue minta maaf kalau ada salah!"  Nebula tak kehabisan kata-kata, baik mungkin ini adalah konsekuensi karena sudah menelantarkan sahabatnya.

Halona, gadis itu masih terdiam di tempat. Sesekali mengerjapkan mata sambil meneguk liurnya susah payah. Tak ada lagi tenaga untuk sekedar mengeluarkan kalimat positif. Bisa jadi, ini juga karena salahnya, sebab terlalu fokus pada ponsel.

Sementara Miss. Sunshine yang tak kalah bosan untuk mondar-mandir dengan keringat dingin pun mengembuskan napasnya kasar.

"Tolong ... jangan seperti itu, Nak Asya! Kita bicarakan baik-baik!" sahut seorang wanita berseragam kemeja biru dengan celana bahan hitam—diikuti oleh beberapa guru lain di belakangnya.

Asya menggeleng pelan, seolah apa yang terucapkan di depan sana telah keluar dari telinga kanannya. Untuk apa mereka membela kalau ujung-ujungnya setelah ini, Asya akan semakin disalahkan tanpa perlindungan, dibiarkan terjebur dalam lubang masalah sengan alasan "Bercanda". Padahal sudah jelas semua tertera di atas kertas.

"Asya! Nggak usah tolol jadi orang!"

Tubuh Asya seolah tertarik ke belakang, bersandar pada dada bidang seorang lelaki yang memeluk tubuhnya erat dan membawa langkahnya semakin mundur hingga beberapa guru yang sudah berdiri di bawah pun dapat bernapas lega.

"Buat apa Sya hidup kalau setiap hari disiksa batinnya? Bertahan? Buat siapa?" Tarikan senyum tipis gadis itu terlukis dengan sinis. Setetes air mata pun perlahan jatuh membasahi pipinya yang memerah.

"Setiap hari Sya dikirimin surat, dan dia bilang, Sya bakal lenyap di tangan dia. Kenapa enggak sekalian aja Sya bongkar di sini? Toh besok atau lusa, Sya nggak tau masih ada di dunia apa enggak," jelas Asya sambil menggelengkan kepalanya pelan. Lebih baik mati dengan segudang bukti, daripada hidup bersama rahasia.

"Sya ada bukti kalau kalian mau liat!"

"Kasih gue, Asya!" Kertas yang sudah ia genggam erat dalam jemarinya itu pun ia serahkan pada Arcas. Oke, kalau ini memang mau semesta untuk menghancurkan sang pengirim di depan keramaian dan Asya rasa, ini adalah waktu yang tepat untuk membuktikan bahwa tak ada lagi orang baik di dunia. Semua telah menelan ego, membohongi diri, menjadi orang lain, hanya karena sebuah alasan tak masuk diakal.

Asya kembali merogoh saku roknya. Mengeluarkan beberapa bola kertas yang sudah ia kumpulkan sejak beberapa hari lalu dan memberikannya pada Arcas. Biar saja semua orang tahu, kalau di sekolah ini, pencapain akademis bisa dipertaruhkan melalui nyawa.

Arcas menoleh, lantas mengembuskan napasnya kasar. Memejamkan mata sejenak, kemudian lelaki itu mengambil beberapa langkah ke depan–tepat di ujung rooftop–persis seperti lokasi Asya berpijak sambil membacakan kertas polos bertinta merah yang katanya sudah melenyapkan mental seseorang secara perlahan.

"Nggak usah sok pinter inggris, nggak akan lo dilirik Arcas. Sunshine noh yang bakal makin sayang sama lo, gue sih jijik to the iyuh.

-S' someone"

Selembar kertas itu ia lempar ke udara, kemudian membuka kertas lainnya, dan bersuara, "Anak kesayangan SUNSHINE CENTIL! Harusnya lo bilangin sama guru kesayangan buat jauh-jauh dari ayah gue!

-N"

"Enyah lo dari muka bumi! Nggak usah nampakkin diri di sekolah!

-M"

"Lo pergi dari sekolah atau gue hancurin lo hidup-hidup!
-K"

Kening Arcas sedikit mengerut, aneh. Ketika ia satukan semua kertas, maka ada 3 huruf yang memberikan inisial terkait siapa pengirimnya, dan Arcas yakin, penulis dari surat ini memang bodoh. Membongkar identitas, dan merasa bahwa korbannya terlalu lemah sampai tak berani membuat laporan.

"Semua kertas punya inisial S, N, M, dan K. Kalau disatuin, bakal jadi inisial N.M.K dan berkaitan sama seseorang yang huruf depan namanya S."

Mendengar penjelasan Arcas, rasanya mereka tak tahu, bahkan tidak bisa mencoba untuk paham soal siapa yang dimaksud. Aneh, bahkan kalau disatukan sekalipun, ah ... ya, ada satu orang yang paling diarahkan.

Happy new year!!

Semoga tahun ini lebih baik ya :)

Terima kasih sudah membaca sampai di bab sini

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top