38. Hari Teraneh
"Duduk."
Nebula tak menghiraukan, gadis itu justru melihat ke sekeliling—mengamati keadaan rumah Arcas yang begitu sepi. Bagaimana bisa di ruang tamu berwalpaper batu bata putih itu hanya berisi sebuah lemari besar dengan rongga yang kosong tanpa hiasan apa pun. Sudah begitu, saat ia berjalan ke arah sofa merah tua yang menghadap ke arah televisi, gadis itu sempat-sempatnya menatap ke bawah. Tak ada karpet. Di atas meja pun hanya terisi satu buah kulkas mini dan setoples nastar.
"Gue suruh duduk. Kenapa masih berdiri?"
"SEJAK KAPAN TUAN RUMAH BOLEH MARAHIN PACARNYA!" teriak Nebula tanpa sadar. Tunggu ... apa yang baru saja ia ucapkan? Kenapa jantungnya mendadak berdebar saat Arcas diam di tempat dan menatapnya tanpa berkedip. Enggak tahu pegal apa tidak, tapi yang pasti Nebula yakin jika bibirnya sedang tidak baik-baik saja sekarang.
Arcas masih tak berkutik, sibuk menatap Nebula yang langsung menutup mulutnya erat sambil membuka mata selebar mungkin. Ia yakin, pasti gadisnya itu sudah malu setengah mati. Tampak jelas dari bagaimana gadis itu terus melirik ke kiri dan kanan seolah membutuhkan pertolongan dari siapa pun untuk memecah keheningan.
"Khilaf, maaf," ucapnya buru-buru, kemudian duduk di sebelah Arcas.
Arcas menarik sudut bibirnya miring, lantas menoleh ke arah lain sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Yakin?"
Nebula mengangguk cepat. "Iya, dong!"
"Nggak percaya."
"Harus! Nggak boleh nggak percaya, Kak Arcas! Nanti lo bisa viral!"
"Boleh, silahkan rekam. Nanti gue ngaku-ngaku jadi pacar lo."
"Hih!"
Tawa Arcas pecah saat itu juga, sementara Nebula-nya justru mengerucutkan bibir seperti anak ayam. Iya, gadis itu terheran. Mana ada yang lucu coba dari tadi? Kenapa bisa ketawa kayak orang gila? Jangan-jangan Arcas harus dilarikan ke psikiater!
"Diem, ih, Kak!"
Suara senyap seketika mendominasi suasana saat itu. Iya, Arcas menurut, langsung diam kala mendengar perintah dari calon ibu negaranya. Membuat mereka menjadi saling menatap satu sama lain tanpa tahu siapa yang lebih dulu harus membuka suara.
Kalau diibaratkan dengan fitur ponsel, rasa-rasanya gerakan kelopak mata mereka pun sudah menyerupai hal tersebut. Iya, keduanya saling bertatapan dengan kedipan yang pelan.
Dalam diam Nebula terus menekan jarinya ke atas sofa yang ia duduki dengan kuat. Bingung harus takut dengan apa yang siap terjadi selanjutnya atau justru melukis senyum lebar-lebar karena bisa berduaan tanpa belajar bahasa inggris.
"Nebula."
"Iya, Kak Arcas. Kenapa?"
"Mau es krim?"
Nebula mengangguk pelan.
"Ada syaratnya."
"Ih, nggak ikhlas?" Gadis itu tampak membulatkan bola matanya.
Sebentar ... tampaknya ada yang salah dengan Arcas hari ini. Sejak kapan cowok itu mendadak baik dan mau memberinya es krim? Bukankah kapan hari Arcas justru mencela gadis itu dan mengatakannya seperti anak kecil!
"Kak, nggak ada niat racunin gue 'kan?"
"Menurut lo?"
"Ada," balasnya mantap. Ia yakin, pasti Arcas ada maksud tersembunyi di balik pemberian es krim. Cowok itu tak mungkin tidak menjebaknya!
"Ya udah. Tapi kata-kata lo, kalau dalam pembuatan proposal, itu termasuk ke dalam kritik tak beralasan. Di mana-mana semua harus menggunakan alasan yang logis."
"Terserah lo dah! Gue nggak peduli sama apa pun yang lo omongin. Intinya kalo gue mati, lo masuk neraka."
"Oke," jawabnya santai, kemudian mengambil satu cup es krim kecil yang ia taruh di dalam kulkas mini itu.
Iya, itu es krim merk Wolles, yang brand ambassadornya sendiri sedang duduk di hadapannya sekarang. Nebula mendadak diam bak seorang anak kecil yang menunggu ibunya membukakan kertas penutup es krim agar sang putri lebih mudah untuk menikmati.
Tak ada protes, bola mata gadis itu mendadak tertuju pada cup bulat berisikan es krim tiga warna; cokelat, merah muda; dan putih. Iya, Nebula sadar dirinya mampu jikalau membeli ratusan es krim, tapi entah kenapa, serasa ada yang berbeda saja kalau Arcas yang beri. Ibarat kalau di iklan Le Mineral, tangan Arcas seperti ada manis-manisnya, astagfirullahaladzim.
"Kak, lo serius nggak naro racun atau obat tidur 'kan?" ucapnya tiba-tiba, sebentar ini memang harus dicurigai. Arcas tak mungkin berbaik hati secara dadakan kalau bukan ada udang di samping cumi-cumi.
"Menurut lo?"
Nebula mengangguk yakin.
"Ya udah, selamat keracunan."
"Ih! Kak Arcas! Enggak boleh begitu!"
"Lah, katanya? Gue mengikuti apa kata lo hari ini, sebelum akhirnya lo yang ngikutin semua maunya gue."
Nebula tampak mengerutkan kening, kemudian mengerucutkan bibir. Tak pernah sekali-kali cowok itu membahagiakan dirinya, kenapa harus berbuat seperti itu terus!
"Udah, makan aja." Arcas kembali bersuara, kemudian Nebula mengangguk.
"Makannya sambil main."
"Hah!"
"Iya. Jawab cepet."
Baru saja setetes es krim menyentuh lidah Nebula saat itu juga, satu detik waktu berjalan, tetapi sudah meninggalkan sesuatu yang manis di penghujung lidah. Senyumnya baru saja mau ia ukir karena terlalu bingung harus menggambarkan ekspresi apa saat memakan es krim, tapi lagi-lagi Arcas selalu saja mengganggu!
"Lo benci Miss. Sunshine."
"Iya!" jawabnya tanpa berpikir. Pertanyaan macam apa itu? Sudah tahu tapi masih sok tidak tahu. Dasar manusia tidak berakal budi!
"Lo cantik."
"Jelas."
"Lo worth it untuk diperjuangkan?"
"Iyalah!" Bodo amat artinya apa, tetapi kata ayah, semua anak-anaknya worth it untuk disayangi. Sudah tahu juga kalau Nebula tak akan bertanya soal artinya. Malas!
"Lo pintar bahasa inggris?"
"Iya!" seru Nebula penuh semangat. Apa pun pertanyaannya, akan ia jawab dengan "Iya". Toh, yang ditanya juga bagus-bagus semua.
"Lo sayang sama diri sendiri?"
"Iyalah!"
"Lo sayang Arcas dan mau jadi pacarnya?"
"Iya." Seketika kedua bola mata gadis itu terbelalak. Menutup mulutnya rapat sambil berharap jantungnya mau berdetak lebih pelan. Kenapa? Ya ampun, hey ... menjebak diri sendiri dengan tidak berpikir sebelum berbicara adalah hal yang ... ah, entahlah ia juga bingung!
"Oke. Kita udah pacaran sekarang, Nebula."
Kedua bibir gadis itu masih terkatup rapat, bahkan tubuhnya pun sama sekali tak bergerak usai meletakkan cup es krim pemberian Arcas di atas meja sebelum mereka melakukan sesi jawab cepat.
Jantungnya berdebar semakin kencang, apalagi saat lelaki itu terus menatap matanya tanpa berkedip. Suasana hening kembali merampas ruang tamu saat itu. Nebula jujur bingung, bahkan masih mencerna apa yang Arcas ucapkan. Bagaimana bisa ...?
"Kak."
"Apa?"
"Kok jadi begini?"
"Kenapa? Udah gue bilang, semua sesuai kesepakatan awal. Lo yang jawab sendiri dan ini tidak mengandung unsur pemaksaan kayak gue pas dipaksa jadi kandidat ketua OSIS."
"Woi ... ih, aduh." Mendadak pula gadis itu menepuk jidat sambil melirik ke arah kiri dan kanan. Iya, Nebula bingung juga kenapa tubuhnya bergerak sedemikian rupa.
Ya ampun, kenapa ia jadi tidak bisa tenang begini? Nanti kalau Nash tahu, bagaimana? Tapi kata ayah, hidup itu bukan perihal memikirkan bagaimana perasaan orang lain, kita tidak memiliki kewajiban, yang ada Nebula harus membahagiakan dirinya sendiri. Tak ada orang lain yang mampu mengisi ruang kosong, apalagi menabur bibit bahagia.
"B-be-bener-beneran kita pacaran? Lo nggak takut dijulidin netizen sebagai ajang pansos?"
"Bodo amat."
"Kok gitu?"
"Lo sayang gue, dan gue sayang sama lo. Ada lagi yang perlu dibantah, Nyonya Nebula Merichie Karmayanti Orchastor?"
"Ih, sejak kapan nama gue ada Astornya!"
"Sejak lo jadi cewek gue, Nebula," ucap Arcas penuh penekanan di setiap katanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top