🍧3. Peyakor

Pikiran-pikiran kecil itu berlalu bagai kunang-kunang yang menghiasi langit malam. Tapi ... apakah mereka itu nyata ataukah semu?

-Nebula Merichie Karmayanti-

Astaga, kepada siapa pun Nebula meminta tolong agar semuanya dapat berakhir. Ia tak sanggup menerima takdir, apalagi jika sampai ini benar-benar terjadi. Lebih baik menghadap kematian daripada harus menerima kenyataan yang tak akan pernah bisa ia restui sampai kapan pun!

Gadis itu terus memijat kepalanya yang pening. Sesekali menoleh ke arah Halona dan Asya walau napasnya malah semakin dihela secara kasar. Ah, terlalu lama rasanya untuk menunggu dalam diam di atas kursi kayu yang menyambung dengan meja berwarna cokelat muda ini.

Nebula perlahan bangkit dan melangkah ke arah dua sahabatnya yang masih setia menunggu bibi-bibi penjual es krim tak bergigi itu.

"Belum?"

Halona—si gadis berkucir satu itu lantas menoleh dan menepuk bahu Nebula pelan. "Sebentar lagi."

"Mau Sya temenin duduk?"

Nebula menggeleng sembari berputar menuju tempat ia duduk tadi. Beruntung rasanya jam istirahat ditukar dengan pelajaran lain yang hendak melaksanakan kuis. Kalau tidak, mungkin gadis ini tak akan tahu apa yang siap terjadi selanjutnya.

Baiklah, ia akan mencoba 'tuk memejamkan matanya sebentar walau setetes air mata justru lolos dari pelupuk matanya. Dadanya yang begitu sesak justru tak mampu menahan isakan. Beberapa tatap mata sontak menoleh ke arahnya walau gadis itu dengan cepat segera menelungkupkan kepala agar semua orang mengira bahwa dirinya sedang tertidur.

Meneteskan tiap air mata rasanya membuat gadis itu semakin merasakan candu. Ia ingin lebih. Kalau saja bukan karena ada kuis, mungkin dirinya tak akan bertahan lagi di sekolah.

"Nebula? Are you okay?" Asya yang hendak menaruh semangkuk es krim cokelat bercampur vanila, serta beberapa bungkus lainnya langsung melangkah dan duduk di samping sahabatnya itu.

Sementara Halona yang baru saja selesai membayar pun ikut melakukan hal yang sama. Mengusap punggung sang sahabat, lantas memeluknya dengan hangat. "Ada apa? Cerita, yuk."

Dengan cepat Nebula mengusap air matanya kasar. "Gue nggak mau, Sya, Na. Jijik tau nggak, sih?"

Kedua mata gadis itu terpejam sebentar sembari membuang napasnya secara perlahan. "Please, bilang sama gue kalau ini cuman overthinking gue aja."

Halona mengangguk pelan sambil menarik mangkuk es krim yang sudah dihiasi oleh toping meses dan juga choco chips.

"Makan dulu, biar tenang."

Tangan kanan Nebula sontak meraih sendok plastik kecil yang menancap di atas krim berwarna putih itu. Mengemutnya secara perlahan, baru beberapa menit kemudian mood gadis itu membaik.

"Gue nggak suka sama Ms. Sunshine! Gue benci sama dia!" pekik Nebula yang sontak membuat Halona menangkup bibir sahabatnya tersebut.

Beberapa murid yang sedang terduduk manis di area pojok sembari membaca buku catatan Sosiologi itu pun langsung menoleh. Walau mereka tak peduli, tapi sepertinya ini adalah berita hangat yang seru untuk diperbincangkan.

"Nebula, ngomongnya jangan keras-keras. Nanti didenger guru." Halona terus melirik ke kiri dan kanan seraya memastikan bahwa kondisi aman.

"Mau Sya suapin nggak?" Gadis berkepang dua itu terkekeh sembari menatap wajah Nebula yang tak lagi terkondisikan. Bedak tipisnya pun perlahan luntur berkat lelehan air bening yang meluncur tanpa diizinkan.

Nebula menggeleng. "Dia ngapain astaga lirik-lirik ayah? Gue nggak mau punya ibu tiri!"

Seperti ada batu kerikil kecil yang melintas di tenggorokkan Halona, beberapa tetes es krim yang baru saja ia telan kembali berlari memenuhi area lidah.

"Astagfirullah, Sya pikir ada apa. Ternyata Nebula overthinking lagi." Asya menghela napasnya kasar seraya mengambil sebungkus es krim cokelat berisi vanila yang sudah memanggil sedari tadi.

"Tetep aja! Dia tuh genit banget, bahkan dia yang pertama kalinya bikin ayah marah! Gue nggak terima anjir sama si guru bangsat itu!" Es krim yang semula masih berdiri kokoh dan cantik itu tiba-tiba saja menghilang dari tempatnya. Dengan cepat pula Nebula membuka bungkus baru demi meredakan emosi yang sedari tadi menjulang tinggi.

"Sya yakin kalau Ms. Sunshine itu guru yang baik. Dia nggak mungkin rebut Om Karma. Dia kan bukan tante-tante pelakor kayak temen penulis kita."

"Iya, La. Itu mustahil banget, apalagi dia itu guru. Eh, apa mungkin, ya? Ya ampun, eh nggak, nggak mungkin." Astaga, lagi dan lagi pikiran negatif Nebula menular.

"Ona!" teriak Nebula tak terima seraya melempar stik es krim itu ke wajahnya.

Kalau saja sahabatnya itu tidak segera menghindar dan berpindah ke seberang kursi Nebula, maka sudah dapat dipastikan luka lebam dan nyeri menyelimuti seluruh lapisan kulit wajah ovalnya.

"Liat aja, kalau sampe dia berani, gue viralin ke para Bul-Bul!" Matanya memicing, bahkan napasnya pun ikut memburu. Lihat saja, tak, 'kan, pernah ia biarkan hidup dengan tenang siapa pun yang berani mengganggu sang ayah! Kecamkan itu!

"Tapi emang, njir, reputasi Ms.  Sunshine emang jelek. Kalau ngomong suka nusuk pula!" sahut salah seorang siswi yang sedari tadi menahan untuk tidak ikut campur.

Bukan, bukan Nebula yang melirik ke arahnya dengan tak suka. Melainkan Halona yang justru mengisyaratkan kepada gadis berambut keriting panjang itu untuk diam. Begitu pula dengan Asya yang ikut menoleh dengan sinis.

Hampir saja masalah padam, tapi beberapa siswi tukang gosip di sana justru menambah-nambahi masalah.

"Liat aja! Biar mampus dia! Dia pikir followers gue nggak mempan buat bikin dia bunuh diri, hah?"

"Iya, viralin aja!" sahut beberapa siswi di sudut sana.

"Astagfirullah! Jaga mulut lo, Nebula!" sahut Asya yang reflek.

"Apa? Lo belain si Ms. Sunshine? Gue tau lo anak kesayangan dia, tapi gue juga punya perasaan, Sya. Bayangin lo ada di posisi gue!"

Bibir gadis itu seketika bungkam. "Maaf,  Sya emosi."

"Terserah lo, deh."

"Asya, jadi lo ada di tim Ms. Sunshine atau di tim Nebula?" sahut gadis dari sudut sana lagi. Ya ... di sana ada tiga orang, dan mereka terkenal sebagai geng gosip di SMA Daun Biru.

Sebuah suara dehaman seketika membuat seluruh isi kantin sunyi. Wanita bersanggul yang baru saja diperbincangkan itu seketika hadir memasuki area kantin.

"Afternoon, Miss," sapa geng gosip di sudut sana secara kompak walau hanya dibalas dengan anggukkan.

"Penjilat ...," desis Nebula sambil memutar bola matanya malas.

Langkah wanita itu semakin mendekat dan mendekat. Kedua tangannya terlipat di depan dada bersama wajah tegas yang ia tampilkan ke mana pun ia berada.

Jantung Nebula seketika berdetak dengan cepat walau hatinya masih merasakan pedih yang begitu dalam apabila mengingat apa yang dilakukan oleh guru tidak berkeperimuridan itu. Mungkin saja kalau ternyata ia sengaja menyita ponsel Nebula agar bisa bertemu dengan Karma. Ya, 'kan?!

Tangan wanita berkemeja biru muda itu terulur di depan wajah Nebula. Dagunya sedikit terangkat hingga Halona dan Asya yang awalnya ikut bingung seketika menundukkan kepala. Sepertinya ada bau-bau horror sebentar lagi.

"When?" tanya Nebula sembari membuang muka.

"Sorry Nebula, Sya mau benerin dikit. Bukan when, tapi mungkin what atau why." Senyum gadis mungil itu kembali terukir dengan malu-malu.

"Good job, Asya."

Kedua bola mata Nebula seketika terbelalak. Menatap Asya penuh dendam walau di sudut sana terdengar sedikit tawa.

Menghela napas kasar, lantas Nebula berkata, "Ada apa?"

Hai, apa kabar malmingnya? Udah dapet pacar? Atau masih rebahan aja? Ya udah, kita halu bareng-bareng aja. Tapi-tapi, sebentar aku dapet pesen dari Nebula buat kalian yang baca. Enggak horror, sih, tapi sedikit menyentil hati.

Ini, saya sebagai mamaqnya cuman bisa menyampaikan aja. Katanya, kalau kalian berani belain Arcas atau halu jadi ibu tirinya, bakal kena konsekuensi. Gitu doang sih.

Tuh, allahuakbar iya maaf nak. Mamaq cuman menyampaikan, kamu pelototin yang lagi baca ini aja oke? Nggak usah melotot gitu dong. Kamu mending lampiasin semuanya ke Prinses anaknya si saturasisenja aja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top