23. Lexsi Party.

Lycanthrope House Tea.

"Jadilah kekasihku...," Aaric mencoba fokus dan memandang wajah orang di depannya.

Alvian yang jadi lawan bicara Aaric mendesah kesal. "Tak bisakah kau lebih manis sedikit? Kau terlalu dingin!"

"Pppffffff," Lykaios yang sedang duduk melihat menahan tawanya.

"Hahahaha, aku tak tahan lagi," Ernest tertawa pecah.

Aaric menggaruk tengkuknya. "Aku tak akan bisa fokus jika berlatih denganmu. Yang benar saja ... aku ini normal."

Pletak! Alvian memukul kepala Aaric. "Apa kau pikir aku tak normal? Serigala sialan ini," Alvian menatap murka. "... ulang lagi!"

Aaric mengambil napas dan menghembuskan perlahan. Mencoba memandang Alvian dengan penuh cinta dan rasa sayang. Ernest dan Lykaios yang melihat itu semua lagi-lagi tertawa keras. Membuat fokus Aaric pecah dan gagal lagi untuk berlatih. Ellina yang dari tadi duduk dan melihat sesi latihan Aaric hanya bisa tersenyum tipis. Menggelengkan kepala pelan dan meminum teh ditangannya dengan anggun.

"Kau tahu, aku telah lama memperhatikanmu, aku ... menyukaimu. Jadilah kekasihku," Aaric memandang Alvian yang tersenyum manis dan menahan tawa. "... lalu aku akan membunuhmu!" Aaric benar-benar marah karena semua orang tertawa menatapnya.

Ellina yang tak tahan lagi meletakkan gelasnya. Berdiri dan menghampiri empat pengawalnya. "Coba latihan denganku,"

Semua menoleh dan menatap Ellina. Diam membisu hingga Ellina ikut duduk bersama mereka. "Kita butuh semuanya dengan cepat. Hari semakin siang, dan Lexsi akan datang saju jam lagi. Berlatihlah denganku, Aaric."

"Jika begitu, aku saja yang akan menggantikan Aaric. Jadi Ratu, berlatih denganku saja...," Alvian berdiri, menawarkan diri dan tersenyum manis.

Ellina tersenyum tipis. "Tidak Alvian. Ini juga tugas Aaric," Ellina menatap Alvian sesaat dan kembali menatap Aaric. "Atau, kau latihan saja dengan mereka," tambah Ellina dengan nada dingin.

Aaric langsung bangun dan berujar mantap. "Hamba akan menjalankan tugas, Yang Mulia. Mohon berlatih bersama hamba."

Ellina tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, lakukan dengan benar,"

Alvian duduk dengan muka sedih karena tak dapat sesi latihan bersama Ellina. "Aku selalu kalah. Sial,"

Lima belas menit berlalu. Namun Aaric tetap diam dan kelu meski hanya berucap sedikit saja. Alvian, Ernest dan Lykaios juga mulai terlihat bosan. Mereka duduk dan menikmati makanan ringan yang terhidang sambil menunggu hal yang akan Aaric lakukan. Ellina yang  tengah menunggu juga mulai bosan. Menatap Aaric sekilas yang terlihat begitu rumit untuk menyusun kata-kata.

Sreekkk! Suara deritan kursi dan kaki Ellina terdengar. Ellina berdiri dan membalikkan badannya. Berjalan dua langkah untuk meninggalkan empat pengawalnya karena bosan. Tap! Langkah Ellina tertahan karena tangan Aaric menahan tangannya. Membuat Ellina diam sesaat dan menbalikkan badan untuk menatap Aaric.

"Ellina," ucap Aaric pelan hingga seperti sebuah bisikan. Membuat Ellina menaikkan satu alisnya dan menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut Aaric.

"Ya," jawab Ellina lembut.

Aaric tersenyum dan menatap dalam mata Ellina. Mendekatkan diri untuk lebih dekat dengan Ellina. Meraih kedua tangan Ellina dan menangkup dengan dua tangannya. Aaric tersenyum menatap dua tangan yang berada dalam genggamannya. Menggenggam dengan lembut dan menatap teduh Ellina dengan penuh cinta.

"Ell, apa kau tahu? Disini," Aaric membawa satu tangan Ellina yang berada dalam genggamannya ke dada bidangnya. "... ada rasa yang tak bisa kuungkapkan dengan mudah. Aku ... aku telah menyimpan rasa ini sejak lama,"

Ellina terpaku dan menatap wajah Aaric yang tersenyum sambil menunduk. Alvian yang tengah menikmati makanan ringan terhenti dan memandang apa yang Aaric lakukan dengan serius. Ernest yang melihat itu juga terpaku dan menantikan dengan waswas. Sedangkan Lykaios yang baru saja hendak mengambil minuman juga terhenti dan menantikan adegan selanjutnya. Mereka seakan sedang menonton sebuah drama romantis di depan mata mereka.

"Aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Jadi Ell ... Maukah kau menjadi kekasihku? Kekasih yang selalu menemaniku dalam menjalani hidup," Aaric mencium punggung tangan Ellina dan menggenggam erat. Mendekatkan diri lebih dekat lagi dan menempelkan keningnya ke kening Ellina. "... aku sangat mencintaimu. Amat sangat mencintaimu," ucap Aaric jelas terdengar oleh semua.

Alvian membuka mulutnya tak percaya. Membuat makanan yang berada ditangannya jatuh begitu saja. Lykaios menyemburkan minuman sudah yang berada didalam mulutnya. Lalu kembali menatap Aaric dengan serius. Ernest yang tengah menangkup pipi dengan kedua tangannya yang berada di atas meja memandang Aaric dengan senyum tipis.

"Itu terasa seperti perasaannya yang sesungguhnya," ucap Lykaios sangat pelan.

"Detak jantungnya bahkan juga berpacu lebih cepat," tambah Alvian.

"Rencana kita akan berhasil dengan mudah. Jangan pikirkan yang lain, kita tahu ini hanyalah latihan...," Ernest tersenyum dan menepis pikiran yang sama dengan yang Lykaios dan Alvian miliki.

Ellina tersenyum menatap Aaric, menjauhkan wajahnya dan memundurkan badannya. Aaric masih menggenggam tangan Ellina. Meremasnya pelan dan menatap wajah Ellina yang telah jauh dari wajahnya.

"Bisakah kau katakan iya? Aku sangat berharap, kau akan menjadi kekasihku," ucap Aaric lagi.

Plok, plok, plokk! Ernest bangun dan bertepuk tangan. Alvian dan Lykaios pun ikut bangun dan mengikuti Ernest yang tengah bertepuk tangan. Ellina tersenyum lagi dan menarik tangannya dari genggaman Aaric. Membuat Aaric terpaku dan memandang tangannya yang telah kosong.

"Bagus, kau melakukannya dengan baik, Aaric." Ellina berjalan meninggalkan Aaric dan kembali duduk menikmati tehnya.

"Kerja bagus," Ernest menepuk bahu Aaric pelan. Membuat Aaric menoleh dan tersenyum.

"Kalian akan melakukan tugas ini dengan benar kan?" Lykaios menatap Aaric dan Alvian bergantian.

"Tentu saja. Ini demi berburu tikus kecil," jawab Alvian mantap.

"Baiklah, kita harus bersiap-siap. Tak lama lagi Lexsi datang," Ernest membalikkan badan dan masuk kedalam kafe. Menyusul Ellina yang lebih dulu meninggalkan halaman belakang kafe.

Lykaios, Alvian dan Aaric ikut menyusul. Semua mulai terlihat sibuk dengan kesibukan masing-masing. Ellina siap dengan pakaian kerajaan dan telah duduk manis menjaga kasir. Lykaios dengan pakaian yang mirip dengan Ellina lengkap dengan nampan ditangannya. Sedangkan Ernest siap dengan semua ide untuk menampilkan semua menu menjadi berkelas. Alvian dan Aaric merapikan baju pendek yang mereka kenakan. Karena rencana hari ini, Alvian dan Aaric akan berperan besar dalam menjalankan semua rencana.

Alvian memperhatikan wajahnya di depan kaca. Merapikan rambut putih pendeknya dan berkali-kali melihat kemeja hitam pendek yang melekat pas ditubuhnya. Sedangkan Aaric hanya merapikan rambut coklat pendeknya secara acak. Kaos pendek coklat gelap terlihat sangat cocok dengan kulit putih Aaric. Aaric menatap Alvian sekilas, tersenyum samar lalu meninggalkan ruangan lebih dulu. Alvian hanya menaikkan dua bahunya dan tetap fokus pada penampilanya di depan kaca.

Aaric duduk di dekat taman kecil dengan air mancur didalam ruangan kafe. Ernest, Lykaios dan Ellina hanya menoleh sesaat namun kemudian mereka hanya acuh dan tak memperdulikan Aaric. Semua dilakukan demi rencana yang telah mereka susun secara rapi. Tak lama Alvian keluar, menatap Aaric sekilas lalu menatap Ernest. Alvian keluar kafe dan masuk kedalam mobil. Menunggu saat yang tepat untuk kekuar dan menjalankan rencananya.

Sepuluh menit kemudian Lexsi datang dan memarkirkan mobilnya. Keluar, dan menatap kafe di depan matanya. Lexsi tersenyum tipis menyadari kafe yang ia datangi terlihat unik dan mewah. Lexsi melangkahkan kakinya memasuki kafe. Lykaios tersenyum dan menyambut Lexsi dengan sopan. Lalu mengantarkan Lexsi pada meja Aaric yang tak jauh dari mereka.

Aaric berdiri saat Lexsi baru saja datang. Mencoba tersenyum lembut dan bersikap hangat. "Kau datang?"

Lexsi mengangguk. "Apakah kau sudah lama menunggu? Maaf,  aku sedikit telat." Lexsi ikut duduk di depan Aaric.

Aaric menggeleng. "Tidak, aku juga baru datang. Dan kau ... terlihat cantik hari ini," puji Aaric sambil tersenyum menatap Lexsi.

Kedua pipi Lexsi memerah. "Terimakasih," ucap Lexsi pelan dengan lembut.

Aaric menghembuskan napasnya perlahan. Menahan muak dengan semua tingkah manis yang Lexsi tunjukkan. Alvian tersenyum dan keluar dari mobil. Sebuket mawar merah yang telah disiapkan didalam mobil masih terlihat sangat segar. Alvian berjalan santai dengan sebuket mawar merah ditangannya, memasuki kafe dan tersenyum saat melihat punggung Lexsi dan Aaric yang terlihat bosan.

"Lexsi," panggil Alvian pelan.

Lexsi menoleh. "Alvian...,"

Alvian tersenyum manis. "Hei, aku sudah lihat undanganmu,  dan ah ... aku lupa," Alvian memberikan sebuket bunga yang ada di tangannya. "Bunga untukmu,"

Lexsi menutup mulutnya tak percaya dan menerima bunga dari Alvian. "Bunga yang sangat cantik," ucap Lexsi sambil mencium bunga mawar di tangannya.

"Karena memang untuk seseorang yang cantik dan spesial," sambung Alvian sambil mengedipkan satu matanya.

Wajah Lexsi lagi-lagi memerah. Tersenyum penuh arti dan kembali duduk saat Alvian ikut duduk bergabung bersamanya. Lykaios datang membawa buku menu dan siap mencatat semua pesanan. Aaric hanya memesan air putih sedangkan Alvian memesan teh hijau. Lexsi tampak sibuk membaca buku menu dengan serius. Lykaios, Aaric dan Alvian saling bertatapan sekilas.

"Saatnya permainan dimulai," ucap Lykaios melalui pesan pikiran.

"Kau hanya perlu menonton dan akan kupastikan semuanya sukses," balas Aaric.

"Kita akan buat para tikus kecil merengek di jalanan!" sambung Alvian.

Tak lama Lexsi memesan sebuah minuman yang sama dengan Alvian. Lykaios pergi dengan catatan kecil di tangannya. Lalu setelah beberapa waktu Lykaios kembali dengan semua pesanan. Meletakkan dengan sopan dan kembali menunggu untuk menonton sebuah drama yang akan Alvian dan Aaric berikan.

"Lykaios bekerja disini?" tanya Lexsi memecah keheningan.

"Ya, bersama Ellina dan Ernest," jawab Aaric.

Lexsi memutar bola matanya jengah saat nama Ellina di sebut. "Dia lagi? Kenapa dimana-dimana selalu ada dia. Bersama para Pangeran tampan di sekolah? Dia benar-benar ... sangat pandai mencari perhatian. Dasar pembawa sial!"

"Lexsi, Lexsi, Lexsi? Kau tak apa?" Alvian mengibaskan tangannya di depan wajah Lexsi yang tengah melamun.

Lexsi tergagap. "Ah, eh ... ya. Aku tak apa,"

"Bagaimana dengan acaramu nanti malam?" tanya Aaric.

"Bukankah itu akan jadi pesta yang meriah? Kau pasti memiliki banyak teman, mengingat kau adalah gadis yang cantik," tambah Alvian.

Lexsi tersenyum senang. "Ya,  pesta yang cukup besar. Kalian akan datang kan?"

"Tentu," jawab mereka bersamaan.

Hening. Lima belas menit berlalu dan semua tetap diam. Suasana menjadi dingin saat Alvian dan Aaric saling bertatap tajam, membuat Lexsi bingung. Aaric berdiri dan membuat suara deritan bangku, membuat semua mata yang berada di kafe menatap padanya. Aaric tersenyum lembut, menatap Lexsi dan berjalan mendekati Lexsi. Memegang tangan Lexsi dan menarik pelan membuat Lexsi ikut berdiri.

Aaric menatap Lexsi lama dengan senyum manis dan tatapan teduh penuh rindu. Dengan gerakan pelan, merapikan rambut Lexsi yang tersangkut di bibirnya. Membuat Lexsi terpaku dan menatap Aaric tak percaya. Aaric kembali meraih tangan Lexsi, menggenggam erat dan menunduk untuk melihat tangan Lexsi yang berada dalam genggaman tangannya.

"Si, aku ingin katakan sesuatu," Aaric menatap Lexsi yang masih membeku menatapnya. "... aku, aku telah sangat lama menyimpan rasa ini. Hingga aku tak bisa lagi menahannya. Bisakah kau mendengarkan dengan baik apa yang akan aku katakan?" Aaric memandang wajah Lexsi yang mulai memerah.

Lexsi mengangguk. "Ya, aku akan mendengarkan,"

Aaric tersenyum manis, merapatkan tubuhnya menjadi sangat dekat dengan tubuh Lexsi. Membuat Lexsi sukses salah tingkah dan tak tahu harus berbuat apa. "Si, jadilah kekasihku," ucap Aaric jelas.

Lexsi mengangkat wajahnya menatap Aaric yang juga tengah menatapnya. Waktu seakan berhenti berputar. Lexsi memandang wajah Aaric yang begitu dekat dengan wajahnya. Alvian tersenyum tipis dan menaikkan satu alisnya. Lykaios yang telah berdiri disamping Ellina tersenyum tipis. Ernest yang juga tengah menonton ikut tersenyum. Sedangkan Ellina tertawa sangat pelan. Tawa sinis yang tak pernah Ellina tunjukkan.

"Karena aku mencintaimu Lexsi. Amat sangat mencintaimu. Maka, jadilah kekasihku...," ucap Aaric lagi untuk meyakinkan Lexsi.

Grekkk! Suara deritan bangku yang mundur terdengar. Alvian tersenyum manis dan menarik satu bunga mawar merah yang berada di atas meja. Berjalan dan mendekati Aaric yang masih memegang tangan Lexsi. Meraih tangan Lexsi dari tangan Aaric. Membuat Aaric harus mundur kebelakang karena Alvian menggantikan posisi Aaric. Menggenggam satu tangan Lexsi dan mencium bunga di tangannya. Tersenyum manis dan memberikan bunga tersebut pada Lexsi.

Lexsi yang dari tadi cukup terkejut karena perlakuan Aaric menjadi tambah salah tingkah karena perbuatan Alvian. Lexsi menerima bunga dari Alvian begitu saja, hingga tanpa ia sadari duri bunga mawar itu mengenai jarinya.

"Ah," ucap Lexsi pelan.

Alvian langsung meraih tangan Lexsi dan memasukkan dalam mulutnya. Meski darah yang keluar hanya sedikit, Alvian tetap harus bisa bersikap wajar. Dengan pelan Alvian menghisap darah Lexsi agar berhenti. Membuat jantung Lexsi berdetak kencang. Lexsi memandang wajah tampan Alvian yang tengah menghentikan darahnya. Sampai Alvian melepaskan tangan Lexsi dari mulutnya. Menatap Lexsi dan menyentuh pipi Lexsi lembut.

"Hati-hati Si, dalam keindahan menyimpan sesuatu yang menyakitkan," ucap Alvian lembut namun lebih terdengar seperti peringatan. Lexsi hanya mengangguk tanpa memikirkan maksud perkataan Alvian.

Alvian tersenyum manis dan mengelus pipi Lexsi lembut. "Si, berjanjilah padaku. Kau akan selalu baik-baik saja, karena aku tak sanggup melihatmu terluka,"

Lexsi mengangguk. "Alvian, kau...,"

Alvian mencium punggung tangan Lexsi. "Ya Si, aku mengkhawatirkanmu karena aku menyukaimu. Selama ini, aku selalu memperhatikanmu. Dan aku semakin yakin, bahwa aku benar-benar menginginkanmu."

Lexsi membulatkan kedua matanya. Menatap tak percaya pada apa yang Alvian ucapkan. Hari ini cukup membuat Lexsi terkejut. Dua pria tampan di sekolahnya mengatakan sesuatu yang sangat jauh dari pikirannya. Lexsi hanya membeku saat Alvian merapatkan tubuhnya. Merengkuh tubuh Lexsi dalam satu pelukan hangat.

"Aku sangat lama menantikan hari ini dan selalu ingin memelukmu seperti ini," ucap Alvian pelan di telinga Lexsi.

Lexsi hanya diam dan membeku. Menatap Aaric yang juga tengah menatapnya. Wajah Aaric berubah dingin dan menusuk Lexsi. Membuat Lexsi semakin diam terpaku. Alvian melepaskan pelukannya, menatap wajah Lexsi dekat. Mencium pipi Lexsi sesaat dan tersenyum manis.

"Lexsi Larissa, maukah kau menjadi kekasihku?" tanya Alvian lembut namun terdengar jelas.

Lexsi bingung harus menjawab apa. Aaric yang dari tadi hanya menonton kini maju dan menarik tubuh Alvian agar menjauh. Menarik tubuh Lexsi dan memeluk Lexsi dengan posesif. "Tidak, dia adalah kekasihku. Aku yang pertama kali memintanya menjadi kekasihku."

Lexsi hanya menoleh pada Aaric yang masih memeluknya tanpa ijin. Suasana yang tiba-tiba membuat Lexsi bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya. Cukup membuat Lexsi senang dan terbang karena para pria tampan tengah memperebutkannya.

"A-aaric," ucap Lexsi pelan.

Aaric tak menjawab dan semakin memeluk tubuh Lexsi erat. Memandang Alvian yang tertawa sinis dengan tajam. Alvian mendekat, memandang Aaric tajam dan berganti menatap Lexsi.

"Hah, apa-apaan kau ini? Dia adalah kekasihku, bodoh!" Alvian menarik tangan Lexsi dan merengkuh tubuh Lexsi. Tersenyum sinis pada Aaric dan menatap Lexsi sekilas yang diam membeku karena tangan Alvian begitu erat memeluk pinggang Lexsi.

"Dia milikku!" Aaric menarik tangan Lexsi agar terlepas dari pelukan Alvian.

"Dia hanya milikku," Alvian juga menarik satu tangan Lexsi.

Alvian dan Aaric saling menarik tangan Lexsi. Membuat Lexsi bingung dan sakit. Lykaios, Ernest dan Ellina tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. Menonton drama yang Alvian dan Aaric ciptakan lalu Lexsi sebagai korbannya. Pengunjung kafe yang lain pun ikut menikmati tontonan gratis yang tersaji. Hingga Lexsi lelah dan berteriak keras.

"Cukup! Hentikan!" Lexsi melepaskan kedua tangannya dari genggaman dua pria yang berbeda.

"Katakan bahwa kau adalah kekasihku," ucap Aaric dengan nada memohon.

"Tidak, Si. Bukankah kau hanya milikku? Kau kekasihku," ucap Alvian dengan nada posesif.

Lexsi bingung menatap Alvian dan Aaric bergantian. Semua pilihan yang sulit. Dua pria tampan tengah memperebutkannya. "Apa yang kalian inginkan?"

"Kamu," jawab Alvian dan Aaric bersamaan.

Lagi-lagi hal itu membuat Lexsi bingung. "Berikan aku waktu untuk berpikir,"

"Tak bisakah sekarang? Aku ingin di sampingmu saat pesta nanti," desak Alvian.

"Aku tak bisa menunggu lebih lama," tambah Aaric.

Lexsi menggigit bibir bawahnya. "Akan kujawab di pesta nanti malam. Aku akan memilih diantara kalian,"

Alvian dan Aaric tersenyum. Mengangguk setuju dengan ide Lexsi. Dua puluh menit kemudian, Lexsi memutuskan untuk pulang. Berjalan dengan angkuh melewati Ellina. Tersenyum mengejek karena rasa senang telah diperebutkan dua pria tampan yang berbeda. Ellina hanya menatap datar, namun saat mobil Lexsi meninggalkan halaman kafe, semua langsung berkumpul di halaman belakang.

Alvian berlari dengan cepat dan memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Membuat Aaric, Lykaios, Ernest dan Ellina menatap khawatir.

"Hei, kau tak apa?" tanya Ernest mendekat.

Alvian menggeleng. "Aku hanya mengeluarkan darah Lexsi dari tubuhku. Rasanya sangat tak nyaman,"

Aaric menaikkan satu alisnya. "Bukankah itu memang makananmu?"

Alvian memelototkan matanya. "Hei, kami tak meminum semua darah. Terlebih darah tikus yang akan kubuat jadi rempah beracun,"

"Lalu kalian minum apa?" tanya Lykaios.

"Ah, itu ... kami hanya meminum jika amat sangat dibutuhkan. Aku meminum darah dari kakakku seribu tahun yang lalu. Hingga saat ini, aku sama sekali tak pernah meminum darah," jawab Alvian.

"Darah kakakmu?" tanya Ernest meyakinkan.

Alvian mengangguk. "Karena dia yang terkuat di klan kami. Hanya sedikit saja darah darinya, sudah cukup membuat kami bertahan ribuan tahun. Kami hidup layaknya manusia, makan dan minum untuk formalitas meski itu tak berpengaruh pada rasa haus kami," Alvian menatap Ellina sesaat. " ... meski terkadang kami susah untuk mengendalikan diri dari darah manis yang menggiurkan."

Semua mengangguk mengerti. Saling tersenyum karena rencana akan dijalankan dengan sempurna.

"Bagaimana dengan Vania?" tanya Aaric lagi.

"Semua seperti rencana. Kita hanya membiarkan dia berbelanja dengan bebas. Membeli semua barang mahal yang ia inginkan. Tapi seluruh keluarganya akan membayar semuanya. Jika mereka menyiksa Ratu, maka kita akan membuat seluruh keluarganya menjadi pembantu seumur hidup! Tinggal disebuah rumah kumuh nan sempit, bekerja siang dan malam untuk melunasi semua hutang pada Ratu. Kita akan buat mereka sengsara seumur hidup!" Ernest tertawa sinis dengan semua rencananya.

"Itu terdengar sangat menyenangkan. Kau benar-benar mengolah tikus beracun menjadi bubuk serba guna," ucap Alvian.

"Aku tak sabar menantikan semuanya," tambah Lykaios.

Ellina tertawa pelan, membuat empat pengawalnya menoleh dan diam. "Aku inginkan kematian mereka secara perlahan," ucap Ellina jelas.

Deg! Mereka membeku mendengar perkataan Ellina.

"Yang Mulia," ucap mereka bersamaan.

Ellina tersenyum lembut. "Aku ingat, kelembutan hati. Itu yang akan kalian ingatkan kan? Maaf membuat kalian khawatir. Mari pulang, hari telah sore. Kita butuh waktu untuk bersiap," Ellina bangun dan berjalan keluar.

"Aku seperti melihat Lord yang dulu," ucap Lykaios pelan.

"Ratu sangat berubah. Apa karena jiwa kegelapannya?" tanya Aaric.

"Semua akan baik-baik saja saat tubuh Ratu dapat menerima semua darah dalam tubuhnya," jawab Ernest.

"Ya ampun, itu tadi menakutkan...," Alvian bergidik ngeri.

Semua beranjak mengikuti Ellina. Menutup kafe dan kembali pulang kerumah. Mereka semua tampak sibuk menyiapkan diri untuk ke pesta. Ellina menatap semua pelayan yang melayani kebutuhannya. Jika biasanya Ellina menolak akan semua tawaran para pelayan,  kali ini berbeda. Ellina menikmati semua yang para pelayan berikan.

"Aku akan pergi ke pesta. Siapkan gaun yang cocok untukku," ucap Ellina memerintah dengan dingin.

Para pelayan mengangguk cepat. Menjalankan tugas hingga Ellina setuju pada sebuah gaun yang cocok untuknya. Ellina hanya diam menurut saat semua pelayan merias wajahnya. Menata rambut lurusnya hingga sedikit bergelombang dan terlihat serasi dengan wajahnya. Sedangkan Alvian, Aaric, Ernest dan Lykaios telah siap dengan gaya santai namun terlihat berkelas untuk mereka. Mereka duduk menunggu Ellina dalam canda tawa yang akan terjadi di acara pesta Lexsi.

Ellina turun dengan anggun. Tersenyum lembut dan memamerkan senyum manisnya. Menatap empat pengawalnya yang telah berdiri menyambutnya. "Apa kalian telah lama menungguku? Maaf membuat kalian menunggu," ucap Ellina sambil tersenyum manis.

Empat pengawalnya menunduk perlahan, rona merah hadir di wajah mereka saat melihat senyum Ellina. "Ayo berangkat. Kita sudah telat lima belas menit." Ellina berjalan keluar rumah dan diikuti oleh empat pengawalnya. Jika biasanya Ellina duduk di belakang, kali ini Ellina memilih duduk di depan menemani Ernest. Lykaios ikut masuk satu mobil bersama Aaric dan Alvian.

Mereka sampai di halaman rumah besar yang mewah. Hiasan dan harum bunga menyapa indera penciuman dengan lembut. Ellina turun saat Lykaios membukakan pintu mobil untuk Ellina. Ellina mematung menatap rumah di depan matanya yang telah dihias begitu indah dengan berbagai lampu dan pernak-pernik yang indah. Keempat pengawalnya ikut berdiri menemani Ellina.

"Ayah, Bunda, Ellina pulang...," ucap Ellina lirih. Setitik air mata jatuh di pipi Ellina. Ellina menunduk dan menghapus pelan.

"Queen," ucap keempat pengawalnya secara bersamaan.

Ellina mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. "Tak apa, aku baik-baik saja."

Mereka bernapas lega. Mengikuti dan mendampingi Ellina mamasuki rumah yang telah ramai karena pesta. Mereka berjalan beriringan dan memasang senyum manis. Seluruh orang yang hadir seketika berbisik-bisik pelan. Kehadiran Ellina  bersama empat pria tampan bersamanya cukup mengundang tatapan pesona. Ellina ikut tersenyum manis dan menikmati suasana pesta. Sesekali termenung karena ingatan akan kedua orangtuanya tampak begitu jelas terbayang.


Lexsi mematutkan penampilannya sekali lagi di depan cermin. Tersenyum senang dengan angan-angan tinggi untuk memiliki kekasih diantara pria tampan di sekolahnya. Lexsi menoleh saat ibunnya tersenyum menatapnya di tengah pintu kamarnya.

"Mama, Papa sudah datang?" tanya Lexsi manja.

Vania mengelus rambut pendek  Lexsi. "Turunlah sayang, semua tamu sudah menunggu. Dan Papa akan sedikit telat."

Lexsi mengangguk. Keluar kamar dan menuruni tangga untuk sampai di lantai bawah. Semua orang tersenyum dan mengucapkan selamat pada Lexsi. Valerie datang dan memeluk tubuh Lexsi. Membuat Lexsi tersenyum senang dan sesekali mencari keberadaan Alvian dan Aaric.

"Lexsi," ucap Valerie senang. "... selamat ya, panjang umur."

"Terimakasih. Val, hari ini aku akan menjadi salah satu puteri yang bisa mendapatkan pangeran tampan di sekolah," curhat Lexsi.

Valerie menaikkan satu alisnya. "Maksudmu?"

Lexsi tersenyum malu. "Siang tadi, aku bertemu Aaric dan Alvian. Kau tahu apa yang terjadi?"

Valerie menggelengkan kepalanya. Membuat Lexsi tertawa kecil karena senang. "Mereka menyatakan perasaannya, dan menginginkan aku menjadi kekasihnya," lanjut Lexsi semangat.

Valerie membulatkan mata dan menutup mulutnya tak percaya. "Benarkah?  Aaric dan Alvian? Apa kau sudah menjawab?"

Lexsi menggeleng. "Malam ini, aku akan menjawabnya. Dan aku akan memilih Aaric lalu secara diam-diam juga akan menjalani hubungan dengan Alvian."

Valerie menggeleng. "Alvian, Alvian ... dia-"

"Kau cantik malam ini princess," sapa Alvian mendekati Lexsi dan Valerie.

Valerie terkejut dan kata-katanya terhenti saat suara Alvian begitu lembut terdengar. Valerie menatap Alvian yang tengah tersenyum manis padanya dan Lexsi. Namun bagi Valerie, senyum Alvian adalah peringatan untuknya.

"Kau sudah menentukan pilihanmu, Si?" Aaric ikut bergabung dan memandang Lexsi lembut.

Lexsi tersenyum dan mengangguk. Alvian mundur dan mendekati Valerie saat Aaric mengalihkan perhatian Lexsi. "Valerie," panggil Alvian lembut di telinga Valerie. "... jadilah tikus yang baik dan jangan sesekali membuat masalah. Jangan mengacaukan acara berburu tikus yang tengah aku lakukan!"

Valerie mengangguk takut pada kata-kata dingin Alvian. Lalu dengan hati-hati Valerie menjauh secara perlahan dari Lexsi, Aaric dan Alvian. Berjalan berkeliling hingga Valerie melihat Ellina yang tampil cantik dan tengah menikmati pesta sambil berbincang dengan Ernest dan Lykaios. Valerie mendekat, membuat Ernest dan Lykaios menatap tajam. Namun Ellina hanya mengacuhkan kedatangan Valerie.

"Bersenang-senang Cinderella?" tanya Valerie dingin.

Ellina tertawa sinis. "Cinderella? Beraninya kau memanggilku cinderella!"

Valerie cukup terkejut dengan keberanian Ellina membalas kata-katanya. Terlebih senyum sinis yang terukir di bibir Ellina. "Kau," tunjuk Valerie.

Ellina menatap tajam pada jari telunjuk Valerie yang berada tepat di depan wajahnya. Ellina dengan santai menumpahkan minuman di tangannya pada baju Valerie. Membuat Valerie terkejut dan langsung memegang bajunya. "Ah,  maaf. Tanganku bergerak sendiri, dan seperti katamu. Cinderella telah melakukan kesalahan dengan menyiram baju sang putri bodoh tak berotak!" Ellina tertawa kecil lalu berjalan meninggalkan Valerie yang masih mematung.

Seluruh tamu diam saat Lexsi mulai menyapa. Lexsi membawa Aaric dan Alvian bersamanya. Menatap kedepan dengan senyum bahagia karena di temani dua Pangeran tampan. Lexsi selesai mengucapkan kata-kata penyapa dengan semua rentetan acara formal lainnya. Hingga akhirnya tiba waktu untuk menjawab pertanyaan yang selalu membuat Lexsi tersenyum jika mengingatnya.

Lexsi memandang seluruh tamu yang hadir. Namun pandangannya terhenti pada Ellina yang tengah ikut berkumpul bersama yang lain dengan minuman ringan di tangannya. Tak lupa Ernest dan Lykaios yang berdiri di samping Ellina. Ellina balas menatap pandangan Lexsi, tersenyum penuh arti dengan semua rasa kesal yang coba Ellina tahan.

"Pada malam ini, aku akan menjawab sebuah pertanyaan yang cukup bersejarah dalam hidupku," Lexsi diam sebentar dan memandang seluruh tamu yang juga tengah menatapnya. "... aku akan memilih salah satu pria tampan yang tengah berdiri bersamaku, untuk menjadi kekasihku."

Sorak ramai terdengar riuh. Membuat suasana pesta menjadi meriah. Lexsi menahan rona merah diwajahnya. Mengengam satu tangan Alvian dan satu tangan Aaric erat. Perlahan suasana menjadi reda. Semua tamu diam menunggu pilihan Lexsi.  Aaric dan Alvian hanya tersenyum tipis, saling berpandangan sesaat dan kembali tersenyum sinis.

"Aku memilih, Aar-" ucapan Lexsi terhenti saat Aaric melepaskan tangannya dari genggaman Lexsi dengan kasar. Tak lama Alvian melakukan hal yang sama. Membuat Lexsi bingung dengan perubahan yang terjadi begitu cepat.

"Bisa kau lepaskan tanganku? Kenapa kau memegangku dengan erat? Merepotkan!" Aaric memandang dingin Lexsi yang cukup terkejut dengan keadaan.

"Ah, sial. Kenapa aku harus berdiri disini bersamamu?" Alvian mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan mengelap tangannya.

Aaric dan Alvian berjalan beriringan untuk menjauh. Membuat tamu berbisik pelan namun cukup terdengar.

"Tunggu, kalian mau kemana? Aku akan memilih diantara kalian. Kalian bilang, kalian menginginkanku menjadi kekasih kalian," Lexsi berbicara cukup kencang. Membuat semua tamu diam dan menonton.

Aaric membalikkan badannya. "Kami? Kapan? Berbicaralah yang benar Lexsi, untuk apa kami menginginkan gadis sepertimu? Aku bahkan sangat membencimu," ucap Aaric jelas.

"Aaric, kau? Alvian-" Lexsi diam saat Alvian tertawa pelan.

"Hahaha, aku menginginkanmu? Untuk menjadi kekasihku? Yang benar saja, aku masih waras untuk melihat kebodohanmu! Kau bahkan tak lebih cantik dari pembantuku!" Alvian tersenyum sinis dan memandang Lexsi yang sudah mulai menangis.

"Kalian, kenapa kalian...," Sebulir air mata jatuh dari mata Lexsi. Lexsi menatap punggung Alvian dan Aaric yang telah tersenyum bersama Ellina, Lykaios dan Ernest. Seluruh tamu mulai tertawa kecil melihat angan-angan Lexsi yang menurut mereka lucu. Lexsi menahan malu dan berjalan mendekati Ellina yang tengah tertawa bersama empat pengawalnya.

"Kau, ini pasti semua gara-gara gadis pembawa sial sepertimu!" Lexsi berteriak kencang dan mengamuk pada Ellina.

Ellina tertawa kecil melihat Lexsi yang menangis karena menahan malu. "Apa yang kau bicarakan? Aku sama sekali tak mengerti,"

Lexsi murka dan mencoba menampar pipi Ellina. Namun dengan cepat Ellina menahan tangan Lexsi dan menampar pipi Lexsi hingga Lexsi tersungkur. Lexsi memegang pipinya dan menatap benci Ellina. "Pergi, pergi dari sini! Keluar dari rumahku sekarang juga!!!" Lexsi berteriak kencang.

Ellina tertawa, membuat semua tamu yang menonton memandang tak mengerti. "Keluar? Kau sadar apa yang kau ucapkan? Kenapa aku harus keluar dari rumahku sendiri? Kau membuat pesta dirumahku tanpa seijinku, lalu kau mengusirku keluar? Kau hanya menumpang dirumahku, Lexsi!"

Vania menatap nanar pada apa yang Ellina katakan. Vania maju dan menolong Lexsi untuk berdiri, beralih menatap Ellina dengan benci. "Beraninya kau gadis pembawa sial! Kau sudah gila ya? Mengatakan hal bodoh dan membuat keributan! Keluar dari rumahku sekarang juga!"

Ellina tertawa sinis, balas menatap Vania dengan tajam. "Cih, kalian membuatku muak! Bagaimana mungkin kalian mengusirku dari rumahku!"

"Kau gadis bodoh, rumah ini milik kami. Semua yang kau miliki itu milik kami!" Vania mendorong tubuh Ellina, namun Ellina sama sekali tak terdorong.

"Bodoh? Ya, kau dan anak gadismu memang bodoh. Apa kau tak tahu? Aku menarik semua aset dan perusahaan yang kupunya! Kalian tak lebih hanyalah hama yang harus aku lenyapkan!" Ellina mengulurkan tangannya pada Ernest, lalu Ernest mengeluarkan selembar kertas dari balik jasnya.

Ellina melemparkan kertas itu tepat di wajah Vania. "Baca baik-baik dan lihatlah, siapa yang bodoh disini!"

Vania membaca selembar  kertas dari Ellina. Mengernyitkan dahinya lalu beralih pada telepon rumah yang berdering. Vania berjalan mengangkat telepon itu.

"...."

"Ya, dengan saya sendiri,"

"...."

"Apa? Rumah sakit?"

Lexsi menatap ibunya yang sangat terkejut hingga ganggang telepon yang ibunya pegang jatuh. "Ma, ada apa?" Lexsi menghampiri ibunya.

Ellina tersenyum tipis, menatap Vania yang juga mematung menatapnya. Ellina menoleh sesaat pada Alvian. "Alvian," panggil Ellina jelas.

Alvian mengerti lalu maju. "Saya Alvian Raitrama selaku pengurus semua aset yang Nona Ellina miliki. Kami akan menarik semua fasilitas yang Nyonya Vania pakai beserta semua yang Nyonya miliki. Semua uang yang Nyonya gunakan selama ini akan masuk dalam piutang. Mohon selesaikan pembayaran tepat waktu. Jika Nyonya Vania menolak, bisa langsung bicara dengan pengacara Nona Ellina yaitu Tuan Ernest Avram." Alvian menundukkan kepalanya sesaat lalu mundur dan kembali berdiri di belakang Ellina.

"Kalian," ucap Lexsi pelan.

"K-kau," kata Vania terbata.

Ellina tersenyum. "Sudah dengar? Jadi siapa yang bodoh disini? Lalu, bisa kalian pergi? Tolong keluar dari rumahku sekarang juga!"

Seluruh tamu yang hadir menggelengkan kepala dan keluar dari rumah Ellina. Sedangkan Vania dan Lexsi membeku dan terduduk dalam diam. Menyesali dan termenung dengan semua yang terjadi. Semua berakhir begitu mudah dalam sekejap, meski mereka telah berusaha sangat lama. Semua hancur, semua mimpi untuk memiliki segalanya dan menyingkirkan Ellina telah hancur.

Salam hangat.
=Ellina Exsli=

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top