19. Berburu tikus.


Kenzie mengangkat tubuh Ellina yang tertidur kedalam gendongannya dan membawa Ellina kedalam kamar. Kenzie menatap Ellina yang tengah tertidur. Rasa rindu yang besar membuat Kenzie selalu berada di samping Ellina. Menatap Ellina dan memperhatikan hal-hal kecil. Kenzie tersenyum tatkala Ellina selalu menampakkan rasa kesal karena Kenzie selalu menganggunya.

"Tidurlah yang nyenyak, Queen. Aku disini ... menjagamu," Kenzie mencium kening Ellina.

Tersenyum karena Ellina hanya menggeliat kecil. Kenzie merapikan selimut tidur Ellina dan melangkah ke sebuah kursi yang tak jauh. Kenzie menatap laporan yang ada di tangannya. Tersenyum senang karena hak asuh Ellina akan segera ia dapatkan. Aldric, paman Ellina tak bisa berkutik. Hanya tinggal satu langkah lagi, yaitu meminta Ellina untuk ke kantor dan memerintah menarik semua hal yang pamannya lakukan.

"Ah, aku ingin lihat susahnya kehidupan orang-orang yang menyiksa Ratuku. Aku ingin sekali membuatnya sengsara hingga seumur hidup," Kenzie tersenyum sinis dengan semua kekesalan yang sudah ia tahan.

Kenzie mengerjakan semua laporan dan dokumen yang akan Ellina butuhkan. Menarik semua kemewahan yang pamannya dapatkan dan menarik semua kartu kredit yang terus mereka gunakan. Tak hanya itu, Kenzie berniat untuk menjadikan paman Ellina sebatas orang yang hanya Ellina kenal sesaat. Bukan saudara apa lagi orang yang penting untuk Ellina.

"Tak ada seorang paman yang rela menggerogoti keponakannya kan? lalu kenapa mereka masih saja membuat Ratuku tersiksa? Mereka menyiksa Ratuku, dan menikmati semua harta yang bukan milik mereka. Mereka sangat buruk hingga aku ingin membunuhnya. Ah ... aku jadi kesal dibuatnya!" Kenzie mendesah kasar.

Kenzie keluar ruangan, membawa semua dokumen dan berhenti tatkala melihat Ernest, Lykaios, Aaric dan Alvian yang tengah saling menatap tanpa ada yang ingin bicara. Menyadari kesepian yang tercipta, Kenzie mendekat dengan perlahan lalu melemparkan dokumen di tangannya ke sebuah meja di antara mereka.

Semua terlonjak dan langsung berdiri. Menghormat pada Kenzie dan menundukkan kepalanya dalam.

"Lord..., " ucap mereka bersamaan.

"Apa yang kalian lakukan? Berdiam diri dan saling menatap tajam? Apa kalian tengah bertanding tatapan mata? Jadi ... siapa pemenangnya?" Kenzie menatap mereka semua bergantian.

"Ampun Lord, ini tak seperti itu. Kami hanya ingin diam dan berpikir dengan pikiran masing-masing," Lykaios menatap Kenzie sesaat dan menundukkan kepalanya.

"Kalian ... pelajari semua dokumen itu," Kenzie menatap dokumen yang ia bawa dan kini telah berada di atas meja. "... atur bagaimana Ratu bisa tegas dan menarik semua yang menjadi haknya. Mereka telah terlalu lama bersenang-senang," Kenzie berlalu dan meninggalkan mereka semua.

Lykaios langsung mengambil dokumen tersebut, meneliti dan menganggukkan kepalanya berulang kali. Setelah itu, Lykaios menyerahkan dokumen di tangannya pada Ernest yang masih menatapnya dengan tak sabar.

"Ah ... perburuan tikus telah dimulai," ucap Ernest pelan dengan menyerahkan dokumen ditangannya pada Aaric.

Aaric menerima dan menbacanya. Menaikkan satu alisnya dan bergumam pelan. "Kita akan buat mereka merasakan yang semestinya,"

Alvian merebut dokumen ditangan Aaric dan membacanya. Detik berikutnya Alvian tertawa. "Hahaha, dari mana dulu aku harus memulai? Mereka semua tikus yang wajib dilenyapkan!"

"Jangan lupa ... kita punya dua tikus di sekolah yang juga harus diberi pelajaran," Aaric tersenyum penuh arti.

"Itu mudah, aku akan mulai malam ini," dengan sekelebat mata, Alvian telah melangkah dengan cepat dan melompat dari lantai dua.

"Itu terlihat menyenangkan. Aku akan pergi bersamanya," Lykaios ikut menyusul Alvian.

"Lalu ... bagaimana dengan kita?" Aaric menatap Ernest.

"Apa lagi, kita akan menunggu dan mempelajari semua dokumen ini," jawab Ernest sambil mengangkat dokumen ditangannya.

Aaric mengangguk dan kembali duduk. Membaca dengan seksama dan menyusun semua ide agar Ellina mampu melawan pamannya.

"Oke, kita ke House Tea besok. Dan kurasa idemu cukup menghibur. Karena mereka telah bersenang-senang malam ini, itu akan menjadi kejutan untuk mereka," Ernest tersenyum dengan ide gilanya.

Aaric tertawa kecil. "Besok giliran kita untuk bersenang-senang,"

Alvian berlari dengan cepat. Melangkah melewati pohon dan melompat ke pohon lain. Lykaios menyusul dengan cepat. Mengikuti langkah Alvian dan tepat berada di belakang Alvian. Mereka berhenti tepat disebuah rumah elit yang tampak sunyi. Alvian tersenyum menatap Lykaios dan menganggukkan kepalanya.

Alvian mundur dan berlari melompati pagar tinggi di depannya. Lalu dengan cepat berlari mengikuti arah pagar dan melompat lagi kesebuah balkon kamar yang terlihat mewah. Alvian menatap tajam lewat jendela di depannya. Mengetuk pelan dan merubah semua ekspresinya.

Kriettt, suara jendela balkon terbuka. Lengkap dengan wajah seorang gadis yang memakai baju piyama dan rambut terlihat berantakan.

"Hai, Valerie...," sapa Alvian lembut.

Valerie membuka matanya lebar. Menatap tak percaya pada seseorang di depan wajahnya. "Al-alvian ... apa yang kau lakukan?"

Alvian terkekeh pelan. "Merindukanmu,"

Valerie membulatkan kedua matanya dan berjalan keluar kamar menuju balkon. "Kau, bagaimana mungkin kau bisa masuk?"

Alvian tersenyum lagi. Memamerkan senyum manisnya yang membuat Valerie tertegun. "Aku melompatinya demi bertemu denganmu. Apa kau tak menyukainya?" Alvian memasang tampang imut.

Valerie lagi-lagi tak percaya. "Alvian...,"

"Ikutlah bersamaku. Aku merindukanmu, Valerie."

Valerie begitu mudah mempercayai Alvian. Mengikuti Alvian yang telah mengangkat tubuhnya. Alvian tersenyum puas. Membawa Valerie bersamanya dan melompat dari balkon kamar Valerie. Kemudian kembali berlari melompati pagar hingga akhirnya mereka berada diluar rumah.

"Sekarang kau percaya? Aku memang melompatinya," Alvian menurunkan tubuh Valerie dan menatap pagar di belakang tubuhnya.

Valerie mengangguk. Menatap Alvian yang terlihat begitu tampan dengan senyum manisnya yang selalu tersungging. Tapi kemudian Valerie kecewa saat melihat Alvian berjalan begitu saja meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Alvian," Valerie berlari dan menghampiri Alvian dan mensejajarkan langkahnya.

Alvian menoleh tanpa tersenyum. "Apa?" ucap Alvian dingin.

Valerie berhenti melihat perubahan sikap Alvian. Menatap punggung Alvian yang terus berjalan meninggalkannya dalam jalan yang sepi. Valerie mendesah kasar, namun teringat akan perkataan Alvian. Alvian merindukannya.

Valerie tersenyum dan kembali berlari mengejar Alvian. Semakin jauh dari halaman rumahnya tanpa mengingat bahwa kini sudah tengah malam. Suatu keputusan yang membuat Lykaios tersenyum diatas pohon sana. Menatap dan menyaksikan sebuah drama yang baru saja Alvian ciptakan.

"Alvian, tunggu. Kenapa jalan begitu cepat? Kau bilang kau merindukanku?" Valerie berusaha menarik tangan Alvian agar terhenti.
Alvian tersenyum tipis, berhenti dan menoleh. Menatap Valerie tajam dengan dingin. "Dan kau mempercayainya?"

Valerie menaikkan satu alisnya tak mengerti. "Maksudmu...,"

"Kenapa kau begitu bodoh dan ceroboh? Apa kau berpikir aku benar-benar merindukanmu?"

"Ka-kau," Valerie terbata dan mundur selangkah.

Namun Alvian dengan cepat meraih tubuh Valerie dan mendekapnya. Menghirup aroma tubuh Valerie dalam. "Kau ingin aku bersikap seperti ini?"

Valerie tersenyum mendapati Alvian memeluk tubuhnya. "Benarkah ini dirimu?"

"Bukan. Aku hanya sedang berburu tikus yang tengah terpesona akan jalan salah yang ia pilih," jawab Alvian dingin.

Valerie Kembali menaikkan satu alisnya tanda tak mengerti. "Maksudmu?"

Alvian tertawa keras, membuat Valerie tertegun dan mulai takut. "Apa yang dilakukan seorang gadis ditengah malam begini? Mengikuti pria yang bahkan sama sekali tak ia kenal dengan baik? Valerie ... kaulah tikus kecil pertama yang sangat ingin kulenyapkan!"

Valerie menatap sekitarnya dan menyadari bahwa ia telah sangat jauh melangkah. Meninggalkan halaman rumah dan berada ditempat yang sangat sepi. Valerie mundur saat Alvian bergerak cepat dan pindah di belakang tubuh Valerie.

"Kenapa? Kau takut?" Alvian berlari dan telah sampai disebuah pohon yang tinggi.

Valerie menatap takut pada sekitarnya. Menyadari Alvian telah berdiri di sebuah pohon yang tinggi. Menatapnya dengan tajam dan tersenyum sinis.

"Kau percaya aku merindukanmu?" Alvian terjun dan berdiri tepat di depan Valerie. membuat Valerie menjerit kecil karena terkejut. Alvian tertawa pelan. Menampakkan dua taringnya yang telah memanjang. Mata merah yang menyala seiring aungan Lykaios yang terdengar nyaring.

"Aku bahkan membenci aroma tubuhmu, Valerie!"

Valerie menelan susah salivanya. Mundur selangkah demi selangkah menyadari perubahan Alvian. "Ka-kau ... bukan manusia," ucap Valerie takut.

"Hahaha ... ya, aku bukan manusia. Aku seorang vampire. Apa kau percaya?" Alvian menatap sinis Valerie.

"Ta-tak mungkin. Kau tak mungkin-?" ucapan Valerie terhenti saat mata Alvian berkilat merah dan menatapnya penuh minat.

Alvian tersenyum menampakkan dua taring runcing yang begitu tajam. "Ah, aku haus. Aku butuh darahmu...,"

Valerie terus mundur hingga terjatuh. Menatap takut Alvian yang terus maju dan mendekatinya. Alvian dengan cepat meraih tangan Valerie dan menariknya. Tangan Alvian yang satunya beralih mencengkeram leher Valerie. Membuat Valerie kesakitan dan terbatuk pelan.

"Apa yang harus kulakukan? Aku tak dapat meminum darahmu yang tak kuinginkan. Apa aku harus membunuhmu sekarang?" Alvian tertawa pelan.

Valerie memegang tangan Alvian dengan kedua tangannya. Mencoba melepaskan tangan Alvian dari lehernya. Alvian menurut, melepaskan tangannya begitu saja. Tubuh Valerie terjatuh ke tanah dengan keras. Membuat Valerie lagi-lagi merasakan sakit.

"A-apa maumu?" tanya Valerie takut.

"Tak banyak. Bersikap baiklah pada Ratuku, lalu aku akan melepaskanmu. Ah, jika kau berani melawanku ... aku akan membunuhmu!" Alvian maju dan mendekati tubuh Valerie. "... jadi, bersikap baiklah saat disekolah ... gadis pembuat onar!"

Valerie menelan salivanya susah dan mengangguk. "Ma-maksudmu pada Ellina?"

Alvian terkekeh. "Gadis pintar. Jadi ... menjauhlah atau aku akan membunuhmu!"

Alvian  tertawa keras. Berlari cepat dan meninggalkan  Valerie dalam ketakutan. Lykaios menyusul Alvian dan terbang tepat diatas Alvian. Tersenyum mengingat cara mengancam Alvian yang sedikit drama.

Malam berlalu dan pagi menyapa. Ellina tersenyum menikmati sarapannya sambil menatap orang disekelilingnya. Kenzie yang mencoba menikmati makanannya meski itu hanya sebagai syarat. Aaric dengan tampang dinginnya yang hanya menikmati segelas susu. Lykaios dan Ernest yang menikmati roti panggang sambil berebut selai. Atau Alvian yang dengan santainya memakan roti Ernest yang baru saja hendak Ernest makan.

Semua seperti biasa. Selalu ada keributan kecil diantara mereka. Hanya Aaric yang bersikap dingin dan tampak sibuk dengan earphone di telinganya. Aaric siap di belakang setir, menunggu Lykaios yang masih sibuk dengan rambutnya. Alvian berusaha mati-matian merayu Ernest agar diijinkan untuk menyetir. Dan Kenzie, yang selalu memperhatikan Ellina dengan baik.

Mobil Aaric memasuki halaman sekolah. Diikuti oleh mobil Ernest yang parkir tepat disamping mobil Aaric. Aaric keluar bersama Lykaios.  Merapikan bajunya dan siap menyambut kedatangan mobil Kenzie. Ernest berdiri tak jauh dari Lykaios, sedangkan Alvian lebih dulu memasuki kelas untuk memeriksa semua keadaan.

Ellina baru saja turun dari mobil. Menatap kesal saat Kenzie lagi-lagi berusaha memeluk tubuhnya. Kenzie tertawa kecil, mengecup kening Ellina dan kembali masuk kedalam mobil. Ellina mendengus kesal melihat seluruh siswa menatapnya tanpa berkedip. Terlebih tatapan Lexsi yang terlihat ingin memakannya hidup-hidup.

"Yang Mulia...," ucap Lykaios dan Ernest sangat pelan.

"Kakak...," Ellina menjawab kesal. Membuat Aaric tertawa kecil.

"Ah, baiklah. Kami akan mencoba bersikap tak formal," Lykaios menyerah melihat raut wajah Ellina.

Ellina tersenyum dan berjalan disamping Aaric. Bercerita panjang tentang rindunya akan sekolah. Tak lama Alvian datang dan tersenyum. Mengedipkan satu matanya dan menggoda Ellina. Membuat Ernest dan Lykaios menatap murka.

Waktu berlalu begitu cepat.  Jam istirahat kedua di mulai. Dan disinilah mereka. Disebuah perpustakaan dan duduk dengan menikmati semua makanan yang Alvian beli. Mereka semua menemani Ellina yang tengah belajar karena tertinggal pelajaran.

Keadaan perpustakaan yang tiba-tiba menjadi ramai karena para pria tampan tengah berkumpul. Valerie menatap kesal pada Ellina. Lexsi baru saja berjalan dan dengan tiba-tiba sengaja menumpahkan air minum ditangannya ke kepala Ellina. membuat Ellina kaget dan menjerit kecil.

"Ahhhkk, apa yang-" ucapan Ellina tertahan karena nendapati Lexsi yang tersenyum sinis menatapnya.

"Dua bulan tak bertemu, kau semakin membuatku kesal! Aku bahkan berharap agar kau tak pernah kembali, gadis pembawa sial!" Lexsi menatap tajam Ellina.

"Si, apa yang kau lakukan? Bajuku, rambutku," Ellina melihat baju dan rambutnya yang basah.

"Harusnya, aku menyirammu dengan air keras! Agar kau cepat mati menyusul kedua orangtuamu!" Lexsi menatap benci Ellina.

"Dan aku akan membunuhmu!" Ernest  telah berdiri tepat dibelakang Lexsi dan mencengkeram kedua bahu Lexsi kuat.  Membuat Lexsi kesakitan dan menoleh.

"Air keras? Ide yang bagus," tambah Alvian yang baru saja datang dan berdiri disamping Ellina.

Lykaios  memberikan sebuah handuk kecil pada Ellina. Menutupi tubuh Ellina dengan jaket yang ia punya. Menarik mundur Ellina dan membawa Ellina pergi dari perpustakaan.

Aaric tersenyum dingin dan menepuk bahu Alvian. "Ya ... ide bagus yang sangat brilian." Lalu Aaric pergi menyusul Lykaios.

"Kau sangat bernyali menyakitinya di depan kami," ucap Ernest menatap Lexsi.

Lexsi tersenyum kecut. "Kenapa aku harus takut pada kalian? Aku hanya ingin memberi sapaan kecil pada pembantuku!"

"Hahahahaha," Alvian tertawa keras mendengar perkataan Lexsi. "... pembantu? Siapa? Ellina? Lexsi ... kau hidup dan menumpang dari seseorang yang kau sebut pembantu!"

Lexsi terkejut mendengar perkataan Alvian. Valerie membuka mulutnya tak percaya  dengan semua yang Alvian ucapkan. Ernest ikut menyambut tawa Alvian. Membuat Lexsi diam dan menahan amarahnya.

"Hahahaha,  seorang juragan yang menumpang hidup pada pembantunya...," Ernest pun tertawa mendengar perkataan Lexsi.

"Alvian, apa agenda kita selain berburu tikus?" Ernest  bertanya pada Alvian sambil menatap tajam Lexsi.

"Ah, berburu tikus ya," Alvian  menatap Valerie yang telah pucat dan berdiri dalam ketakutan. "... agenda kita selanjutnya adalah membuat juragan kaya menjadi gembel di jalanan, Ernest...,"

"Ah, itu ide bagus. Bukankah begitu Lexsi?" Ernest  bertanya dan tersenyum sinis pada Lexsi.

"Hahaha,  kita harus menyiapkan  segalanya. Ayo ... Ratu menunggu kita," Alvian  menepuk pundak Ernest  dan berjalan meninggalkan perpustakaan.

"Lexsi ... hiduplah dengan nyaman sebelum hari itu terjadi," Ernest  meninggalkan  Lexsi yang diam memucat.

================================

Typo belum di perbaiki. Part ini di perpendek karena keadaanku  yang belum sembuh total. Aku akan berusaha lebih baik lagi di part selanjutnya. Jaga kesehatan kalian semua.  :)

Salam hangat.

=Ellina  Exsli=

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top