14. King Vampire.
Pagi ini Ellina sudah siap untuk berangkat kesekolah. Aaric, Lykaios dan Ernest juga telah menunggu di samping mobil. Tak lama kemudian, Alvian datang dari atas pohon dan merapikan semua baju dan rambutnya. Lykaios menatap jengah dan memilih untuk diam. Dengan senyum manisnya Alvian berjalan dan menghampiri mobil Ernest.
"Wah, pagi yang indah," ucap Alvian sambil tersenyum manis dan menatap Lykaios, Ernest, dan Aaric bergantian.
"Apa kau tidur di atas pohon?" Aaric menatap Alvian sekilas.
Alvian menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak. Aku hanya berlari dari rumahku untuk cepat sampai disini,"
Lykaios mengitari mobil dan menatap Alvian. "Kenapa pagi-pagi sudah disini?"
Alvian menoleh dan menaikkan kedua bahunya. "Aku juga tak tahu ... tapi, aku bosan jika harus menunggu kalian di sekolah. Makanya aku memutuskan untuk berangkat bersama kalian mulai hari ini."
Semua menoleh pada Alvian. Ernest memutar kedua bola matanya. "Jangan bilang jika kau merindukan kami? Dan apa tadi? Keputusanmu? Tak ada yang menyetujui keputusanmu, untuk berangkat bersama kami,"
Lykaios masuk kedalam mobil tanpa mendengarkan perdebatan Ernest dan Alvian. Aaric menyusul dan duduk di belakang stir mobil. Menatap Ernest dan Alvian yang tengah berdebat.
Alvian membuat mimik wajah sedih dan menatap Ernest. "Ayolah ... aku akan bersikap manis padamu dan yang lainnya. Aku juga akan menjaga ratu bersama kalian. Dan sebenarnya aku memang merindukan kalian. Terutama dirimu," Alvian memainkan kedua matanya dan memasang tampang terimutnya.
Ernest langsung mundur dan menjauh dari Alvian. "Ck, menjijikkan!"
Namun Alvian semakin menggoda Ernest. Terus mengikuti Ernest dan sesekali menoel pinggang Ernest. Membuat Ernest geram dan jijik namun Alvian terus memohon. Hingga akhirnya Ernest lelah dan mengijinkan Alvian untuk satu mobil dengannya.
Lykaios tertawa kecil saat memperhatikan tingkah Alvian yang berusaha menggoda Ernest. "Aku tak percaya pangeran Transylvania melakukan hal gila seperti itu. Apa dia benar-benar seorang bangsawan?"
Aaric tersenyum menanggapi komentar Lykaios. "Bukankah dia lucu? Cukup menghibur dan sedikit tak berkelas untuk seorang bangsawan vampire."
Lykaios mengangguk setuju dengan kata-kata Aaric. Tak lama mobil mereka melaju karena mobil yang Kenzie bawa juga telah mulai jalan. Hingga akhirnya mereka sampai di sekolah. Memarkirkan mobil dengan rapi dan langsung bersiap-siap untuk menyambut mobil Kenzie.
Lykaios dengan cepat membukakan pintu mobil Kenzie saat mobil Kenzie baru saja berhenti di sekolah. Semua mata lagi-lagi menatap terpana saat Kenzie turun dari mobil. Namun harapan mereka pupus saat melihat Kenzie mengulurkan tangan dan menggandeng Ellina untuk turun dari mobil.
Apalagi saat melihat Kenzie memperhatikan hal-hal kecil pada Ellina. Merapikan rambut Ellina, menyentuh pipi Ellina lembut dan mengelus puncak kepala Ellina sebelum akhirnya Kenzie kembali masuk dalam mobilnya untuk pergi. Semua itu membuat mereka iri dengan Ellina.
Ellina melangkahkan kakinya untuk mendekati Lykaios dan Ernest. Namun dengan cepat Alvian berdiri di samping Ellina dan menggandeng tangan Ellina untuk berjalan menuju kelas. Membuat Lykaios dan Ernest geram dan ingin memukul Alvian.
"Apa yang kau lakukan?" Ernest menahan tangan Alvian yang tengah menggandeng tangan Ellina.
Alvian menaikkan satu alisnya dan mengangkat tangannya yang masih Ernest pegang. "Apa? Kau terlihat seperti sedang cemburu saat aku menyentuh orang lain?"
Ellina yang hanya diam kini membulatkan kedua matanya. Menahan tawa dengan berusaha hanya tersenyum manis dan tak mengeluarkan suara.
Ernest dengan cepat melepaskan tangganya dari Alvian. "Ah, Ratu ... ini tidak seperti itu. Sungguh," Ernest mencoba menjelaskan pada Ellina yang tengah tersenyum penuh arti.
"Apa? Ayolah ... tadi kau menolak saat aku menawarkan untuk bersikap manis padamu," Alvian memainkan satu matanya.
Ernest langsung menarik kerah baju Alvian. "Kau ... menjauh dari Ratu, karena kau sangat gila dan menjijikkan! Jangan pernah menyentuh Ratu, apalagi mencoba menggoda Ratu dengan senyum pahit yang kau suguhkan,"
Ellina tak tahan lagi. Akhirnya Ellina tertawa keras dan disambut oleh tawa Lykaios dan Aaric yang menyaksikan itu semua. Namun berbeda dengan anak-anak lainnya. Menurut mereka itu semua terlihat seperti Ernest yang tengah bertengkar dengan Alvian karena merebutkan Ellina.
"Ayo kita masuk," Aaric menghampiri Ellina yang masih tertawa dan berbicara dengan lembut.
"Lewat sini, Ratu...," Lykaios mengarahkan satu tangannya dan menunjuk sebuah jalan yang tak jauh dari Alvian dan Ernest.
Ellina berhenti tertawa dan mengangguk. "Kak Lykaios, kak Ernest itu lucu ya?" Ellina mulai berjalan dan di apit oleh Aaric disebelah kanan sedangkan Lykaios disebelah kiri. Mereka mulai berjalan dan meninggalkan Alvian juga Ernest.
Alvian menoleh karena Ellina tak lagi bersamanya. Ellina telah pergi menuju kelas bersama Aaric dan Lykaios. "Ah, sial. Ratuku ... kau membuat ratu meninggalkan kita, brengsek!"
Ernest ikut menoleh. "Ini tak akan terjadi jika kau tak berbuat sesukamu, vampire gila." Ernest berlari menyusul Ellina yang telah sedikit jauh. Alvian pun akhirnya mengikuti Ernest, hingga akhirnya sampai dibelakang Ellina dan berjalan bersama.
Lexsi dan Valerie menatap Ellina dari jauh. Tersenyum penuh arti dan menunggu di dalam kelas. Begitupun dengan anak-anak lainnya, hanya diam dan tak berani berkata apa-apa.
"Sebentar lagi, cinderella akan tamat," ucap Lexsi di antara senyum sinisnya.
"Dalam hitungan ketiga, kejadian ini akan sangat membuatku senang," timpal Valerie.
"Satu ... dua...," Lexsi dan Valerie berhitung bersama sambil menatap Ellina yang telah sampai di depan kelas dan akan masuk.
Saat kaki Ellina baru melangkah memasuki kelas dan mencoba membuka pintu lebih lebar. Aaric langsung berpindah di depan tubuh Ellina. Duk! Suara tubuh Ellina menabrak tubuh Aaric terdengar pelan. Aaric mendekap Ellina sesaat dan langsung mendorong tubuh Ellina kebelakang. Ellina terhuyung dan Ernest langsung dengan cepat menangkap tubuh Ellina. Alvian membulatkan matanya, sedangkan Lykaios juga langsung ikut mundur mendekati Ellina dengan cepat.
"Ti-" Lexsi dan Valerie tak melanjutkan hitungannya. Seluruh siswa membulatkan matanya dan membuka mulutnya tak percaya. Semua begitu cepat hingga mereka sulit untuk melihat dengan jelas pergerakan Aaric, Ernest dan Lykaios.
Byurrrrr! Pakkk! Pukkk!
Satu ember air bekas pel jatuh dari atas pintu dan mengguyur tubuh Aaric. Diiringi dua buah tepung yang telah bercampur dengan telur busuk. Semua seisi kelas diam. Alvian semakin membulatkan kedua matanya. Ernest dan Lykaios pun juga tak menyangka ada yang berbuat senekat itu di kelasnya.
Sedangkan Lexsi dan Valerie menatap tak percaya. Dia salah sasaran dan ini jatuh diatas cowok tampan terdingin di sekolah. Hingga beberapa menit semua hanya diam. Suasana hening semakin mencekam saat Aaric menatap tajam pada seluruh siswa di kelas.
"Siapa yang melakukan ini semua?" Aaric bertanya dingin.
Alvian masuk kedalam kelas dengan hati-hati. "Sudah bosan hidup ya?" Alvian juga menatap seisi kelas dengan dingin.
"Katakan, siapa pelakunya?" Aaric masih menunggu jawaban dari seisi kelas.
"Aaric, maaf ... harusnya kau tak mengalami itu semua," Ellina menghampiri Aaric dan mencoba membersihkan wajah Aaric.
"Ratu," ucap Ernest dan Lykaios sangat pelan.
"Berhenti disitu Ell, lantainya licin. Kau akan terjatuh jika tak hati-hati," Aaric menaikkan satu tangannya agar Ellina tak mendekat.
"Ta-tapi," Ellina masih merasa bersalah.
"Aku baik-baik saja," jawab Aaric meyakinkan.
Hal itu membuat seisi kelas semakin iri pada Ellina. Aaric yang terkenal sangat dingin, rela mengorbankan dirinya untuk Ellina. Belum lagi semua cowok tampan di sekolah juga terlihat sangat dekat dengan Ellina. Hal yang bahkan tak akan bisa mereka lakukan dan Ellina dapatkan itu semua. Terlebih Lexsi dan Valerie, semakin membenci Ellina.
"Siapa pelakunya!!!" Aaric berteriak marah dan membuat seisi kelas terkejut.
"Tak ada yang menjawab? Kalian mau mati di tanganku? Atau ingin mengepel lantai dengan tubuh kalian?" Alvian menatap tajam pada Lexsi dan Valerie.
Lexsi dan Valerie menunduk dalam. Tak berani berbicara dan hanya diam. Begitupun dengan seluruh siswa lainnya.
"Oke, karena kalian ingin bermain ... maka aku akan membuat permainan ini semakin menarik." Ernest masuk dan mengambil handphone di tas Aaric.
"Hei ... apa itu? Aku juga mau. Wah ... ini model terbaru. Handphoneku hilang kemarin," Alvian merebut handphone ditangan Ernest.
Hal itu membuat seisi kelas bengong dan tak percaya. Alvian yang populer tak mempunyai handphone keluaran terbaru? Padahal semua tahu, bahwa semua hal yang melekat ditubuh Alvian adalah barang mahal yang bermerek. Mereka juga yakin dan percaya kalau Alvian mempunyai designer terkenal untuk keluarganya.
Ernest kembali merebut handphone ditangan Alvian. Mengacungkan dan menatap seluruh kelas.
"Kalian tahu, sekolah ini sekarang atas nama Hyroniemus group. Apa yang terjadi pada kalian jika pimpinan Hyroniemus group tahu, sekolahnya menjadi buruk karena mempunyai siswa yang buruk? Coba bayangkan ... sekolah ini adalah sekolah terbaik, dan sekarang menjadi buruk atas prilaku siswanya," Ernest diam sebentar dan menatap seisi kelas. "Ya ... sekolah akan mengeluarkan seluruh siswa di kelas ini dan memastikan kalian tak di terima di sekolah manapun! Meski itu di sekolah terburuk sekalipun!"
Seisi kelas membeku. Memikirkan semua perkataan Ernest. Dan dengan takut-takut, salah seorang siswa mengacungkan tangannya. "Lexsi dan Valerie yang melakukan itu semua," ucapnya pelan.
Aaric tersenyum tipis, menatap Lexsi dan Valerie. "Bagus. Jadi kalian yang melakukannya? Sekarang ... bersihkan kelasnya karena jam pelajaran akan dimulai. Atau kalian akan ditendang dari sekolah ini,"
Lexsi dan Valerie mengangguk mantap. Seisi kelas pun juga sama. Mulai bergerak membantu Lexsi dan Valerie membersihkan kelas. Aaric menatap Alvian penuh arti dan berucap pelan. "Kau tahu apa yang harus dilakukan kan? Lakukan hingga mereka berdua hidup dalam ketakutan,"
Alvian tersenyum dan mengangguk. "Berburu tikus di tengah ladang yang subur. Itu menyenangkan," ucap Alvian dingin.
Jam istirahat kedua dimulai. Di kantin ini, lagi-lagi Lexsi dan Valerie menatap kesal pada Ellina. Pasalnya hal yang selalu mereka lakukan selalu gagal. Tak ada yang berhasil. Mereka juga merasakan sedikit takut saat bertemu dan bertatapan dengan Ellina. Ada yang berubah dengan Ellina namun mereka tak mengerti cara untuk mengungkapkannya.
Alvian menatap Ellina yang menikmati makanannya. Berbeda dengan Aaric yang menatap tajam pada sekitar, Lykaios lebih fokus pada semua hal yang dilakukan Alvian. Sedangkan Ernest berkeliling sekolah dan memantau keadaan.
"Ell, makan ini juga ... agar kau tak terlihat kurus. Kau itu harus kuat agar bisa menjaga diri," Alvian menyodorkan semangkuk bakso penuh tanpa kuah dan mie.
Ellina menatap bakso yang baru saja Alvian sodorkan. Menggeleng pelan karena tiba-tiba ia merasa kenyang dan tak tertarik dengan makanan di depannya. Lykaios yang menyadari itu, menarik bakso di depan Ellina. Memakan dengan lahap tanpa memperhatikan pandangan kesal Alvian.
"Apa yang kau lakukan? Ini kuberikan untuk Ellina," Alvian menarik bakso yang tengah Lykaios makan. Mengambil alih sendok yang bahkan masih berada di mulut Lykaios.
"Ha-tu da-ah khe-yang ( Ratu sudah kenyang)," ucap Lykaios di sela-sela makannya.
"Ya ampun, aku ingin sekali melemparmu! Beraninya kau berbicara saat tengah mengunyah makanan. Sangat tidak berkelas!" Alvian memindah tempat duduknya tepat di samping Lykaios.
"Ava?" Lykaios bertanya tak mengerti karena Alvian menjauhkan Ellina darinya.
"Gunakan otakmu! Bagaimana mungkin kau menghadapi Ratu dengan keadaanmu yang seperti itu?"
"Alvian, kak Lykaios tengah makan. Jangan dimarahi, nanti ia tersedak," Ellina menyerahkan satu gelas es teh yang belum Ellina minum. "Minum kak, baru bicara,"
"Kau sudah kenyang?" Aaric bertanya karena terus memperhatikan perubahan Ellina, dan Aaric hanya dapat anggukan dari Ellina.
Alvian menatap tak percaya pada yang Ellina lakukan. Lykaios tersenyum dengan penuh kemenangan karena ternyata Ellina lebih membelanya. Sedangkan Alvian langsung melakukan hal yang Lykaios lakukan untuk mendapatkan perhatian Ellina. Namun yang terjadi Ellina hanya tertawa tanpa berkata apa-apa.
"Aku ke kamar kecil dulu ya kak, nanti tunggu saja di kelas." Ellina berdiri dan meninggalkan kantin.
Alvian, Aaric dan Lykaios berjalan meninggalkan kantin tepat sepuluh menit setelah kepergian Ellina. Namun mereka saling menatap saat merasakan aura yang tak beres. Dengan cepat Lykaios, Aaric dan Alvian berpencar untuk mencari keberadaan Ellina.
Ellina baru saja ke luar dari kamar mandi. Namun terhenti saat mendapati sosok yang begitu ia kenal. Sosok itu tersenyum lembut pada Ellina dan terus berjalan menjauh. Membuat Ellina mengikuti sosok tersebut tanpa mengingat semua pesan yang telah Kenzie ucapkan tadi pagi.
"Kenzie...," ucap Ellina pelan.
Ellina terus mengikuti sosok yang begitu mirip dengan Kenzie. Berjalan meninggalkan kamar kecil dan terus menjauh dari halaman belakang sekolah. Berkali-kali Ellina memanggil Kenzie agar berjalan lebih pelan. Namun sosok tersebut semakin cepat dan menghilang di balik pagar pembatas sekolah. Ellina terus mengikuti namun tak menemukan siapapun.
"Tuan, ayolah ... ini tak lucu. Tuan ingin bermain petak umpet? Ini tahun berapa Tuan? Dan Tuan sudah sangat tua untuk bermain itu," Ellina terkikik geli mengingat Kenzie yang sudah hidup lama dan seperti nenek moyangnya.
Hening. Hanya terdengar beberapa ranting yang berderit dan angin yang berhembus sedikit lebih kencang. Ellina mengingat saat bertemu dengan Alvian saat malam tengah hujan beberapa bulan yang lalu. Dan itu membuat Ellina menelan salivanya susah. Ellina menatap sekelilingnya dan mundur selangkah demi selangkah. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya seiring rasa takutnya yang semakin besar.
"Aku melupakan sesuatu. Aku lupa jika harus selalu bersama salah seorang dari yang Kenzie beritahukan untuk menjagaku. Harusnya aku mengerti karena semua tak semudah dulu. Mereka semua menginginkan kematianku. Bahkan Kenzie juga mengatakan aku harus selalu waspada pada sekitarku, tapi kenapa aku begitu ceroboh? Ya ampun, ini menakutkan...," ucap Ellina di dalam hati.
Dukkk! Kening Ellina membentur sesuatu saat Ellina membalikkan tubuh dan mencoba kembali masuk dalam sekolah. Ellina masih menunduk dan menatap sepasang sepatu dibawah sana yang begitu dekat dengan kakinya. Ellina mengangkat wajahnya dengan takut dan meremas rok sekolahnya dengan kuat.
"Selamat siang Ratu Besar Ellina dari Hyroniemus,"
Deg! Ellina membeku saat suara lembut tapi dingin itu menyapa begitu dekat dengan telinganya. Seiring dengan wajah yang begitu tampan namun terlihat begitu dingin juga tak jauh dari wajah Ellina. Pria itu tersenyum manis dan menampakkan taring yang sedikit panjang dari ukuran manusia biasa. Ellina membeku dan mencoba mundur untuk menjauh.
Namun pria itu dengan cepat meraih pinggang Ellina dan menarik tubuh Ellina untuk kian lebih dekat. Ellina menatap sepasang mata indah yang juga tengah menatapnya. Pria itu tersenyum dan masih menatap Ellina.
"Kau memang cantik seperti yang Alvian katakan. Tak heran jika dia begitu tertarik denganmu hingga memilih meninggalkan Transylvania," ucap pria itu sambil membelai wajah Ellina yang tengah ketakutan.
"Ka-kkau...,"
Pria itu melepaskan pegangan tangannya di pinggang Ellina dan berjalan mundur satu langkah. Membungkukkan badan dan memberi salam hormat pada Ellina.
"Livian Agler, Raja dari klan Transylvania. Senang bisa langsung bertemu dengan Yang Mulia Ratu Ellina," ucap Livian dengan sopan.
Ellina membeku. Mencoba mundur namun kedua kakinya tak dapat bergerak. Hingga Livian tersenyum dan mendekati Ellina.
"Kenapa mencoba menjauhiku? Apa kau takut? Mendekatlah...," Livian mengulurkan tangannya.
Ellina menggeleng dan mundur selangkah. Kata-kata Livian membuat Ellina mengingat saat pertama kali bertemu dengan Kenzie. Dulu, Kenzie juga mengatakan itu. Untuk mendekat tanpa rasa takut. Namun kini suasananya berbeda. Dia ... menginginkan kematian Ellina.
"Kalau begitu, aku akan membawamu dengan paksa," Livian bergerak cepat dan langsung mengangkat tubuh Ellina. Membawa terbang dan berlari secepat mungkin.
Teriakan kecil Ellina membuat Ernest yang berada jauh diatas atap sekolah menoleh. Dengan cepat Ernest memberi kabar pada Alvian, Lykaios dan Aaric. Ernest lebih dulu terbang dan mengejar Livian. Tak lama Lykaios dan Aaric menyusul. Sedangkan Alvian menatap tak percaya pada dua buah sayap indah di punggung Aaric.
"Dia ... dia mempunyai dua sayap indah? Itu berarti dia telah membuat perjanjian darah dengan Yang Mulia Raja Besar," ucap Alvian pelan dan terus berlari dengan cepat.
"Sial, kenapa hanya aku yang tak mempunyai sayap? Ini sama sekali merepotkan. Aku juga ingin mempunyai sayap seperti mereka," lagi-lagi Alvian mengeluh diantara kecepatan larinya.
Livian menatap keatas dan menyadari bahwa penjaga Ellina tengah mengejarnya. Livian dengan santai mengeluarkan benang merah dari sakunya dan merubah benang merah tersebut menjadi sebuah tongkat. Livian menggerakkan tongkat itu dan membuat sebuah ledakan besar.
Bummmm!
Kabut mulai menghiasi langit dan sekitarnya. Kesempatan ini Livian gunakan untuk berlari lebih cepat dan meninggalkan mereka. Sesekali Livian menatap wajah Ellina yang tengah ketakutan. Ada rasa puas tersendiri ketika melihat Ellina tengah ketakutan.
Ernest mengulurkan tangannya dan membuat langit hitam pekat. Saat Ernest menarik turun tangannya, hujan dan angin yang kencang datang. Meredakan semua kabut hingga membuat mereka dapat melihat dengan jelas.
Nihil. Tak ada jejak yang Livian tinggalkan. Mereka kehilangan Ellina dan Livian. Tak lama Alvian juga terlihat dan berhenti mencari jejak. Akhirnya mereka turun dan menghampiri Alvian.
"Kau menemukan sesuatu?" Lykaios bertanya cepat.
Alvian menggeleng dan terus mencari. Aaric mengandalkan indera penciumannya dan melolong keras. Diikuti oleh lolongan Lykaios yang ternyata lebih keras. Sahutan dari serigala lain terdengar jauh. Mereka saling bertatapan dan tanpa menunggu lagi, mereka langsung berlari dengan cepat.
Alvian yang mengerti arah lolongan serigala itu berlari lebih dulu. Aaric menyusul dengan berlari kencang dan diikuti oleh Lykaios dan Ernest. Mereka terus berlari hingga kecepatan maksimal.
Menerobos semua hutan hingga akhirnya mereka sadar sesuatu. Ada banyak pasukan klan vampire yang telah menunggu mereka. Dan itu ... tak terhitung jumlahnya.
Semua berhenti dan saling menatap. Saat Lykaios menganggukkan kepalanya, Ernest mengulurkan tangannya keatas dan membuat hujan yang lebat. Aaric mengeluarkan kedua sayapnya dan terbang tinggi. Menghampiri salah satu awan terhitam dan mengulurkan tangannya. Aaric membuat petir besar yang menggelegar dan menariknya turun kebawah.
Lykaios dan Ernest menyambut petir yang Aaric ciptakan. Lykaios mengulurkan tangannya dan mengeluarkan api biru ditangannya. Mengarahkan dan menyatukan dengan petir yang Aaric buat. Ernest terbang dan membuat angin yang kencang, Ernest membawa dan mengarahkan petir bercampur api biru itu kedalam pertempuran. Alvian berlari dengan mata yang sudah semerah darah. Mengubah tangan dan kukunya setajam dan sekuat baja.
Alvian berlari dan menerobos semua klannya. Mengayunkan tangannya dan membantai klannya sendiri. Aaric turun dan berubah menjadi seekor serigala. Membantu Alvian untuk menghabisi klan vampire. Lykaios pun juga sama, terus berlari dengan tangan memegang petir yang telah menyatu dengan api birunya. Sedangkan Ernest tetap terbang dan membakar klan vampire dari atas.
Di lain sisi Livian telah sampai di kerajaannya. Menurunkan Ellina dan menarik tangan Ellina dengan kasar. Menyuruh pelayan mengganti pakaian Ellina dan tetap berjaga diluar kamar. Setelah selesai, Livian menarik tangan Ellina dengan kasar dan melemparkan tubuh Ellina kedalam sebuah ruangan tanpa cahaya.
Livian merantai kedua tangan dan kaki Ellina. Ethan Cadissanova, orang kepercayaan Livian sedikit terkejut melihat perlakuan Livian terhadap Ellina. Tak biasanya Livian bersikap kasar pada perempuan, namun Ethan hanya diam dan menjalankan perintah untuk selalu menjaga Ellina.
Ethan selalu memperhatikan Ellina. Ethan mengerutkan keningnya saat rambut Ellina berubah menjadi hitam. Tak ada air mata disana, Ellina terlihat santai dan duduk dengan tenang. Ethan mencoba mendekat dan menyapa Ellina.
"Ratu Ellina," panggil Ethan pelan.
Ellina menoleh dan tersenyum hangat. "Apa kita pernah bertemu sebelumya?"
Ethan menggeleng juga mengangguk. Membuat Ellina menaikkan satu alisnya dan menatap heran. "Maksud hamba,"
"Jangan merendahkan dirimu dan menganggap aku lebih tinggi. Kita tetaplah di posisi yang sama," ucap Ellina cepat memotong kata-kata Ethan.
Ethan terhenyak mendengarkan perkataan Ellina. Ethan tak menyangka jika Ellina akan keberatan saat ia merendahkan dirinya dan menjelaskan posisinya. "Maaf, hanya saja kita pernah bertemu namun tak pernah saling bicara."
Ellina mengangguk tanda mengerti. "Ya ... aku mempunyai sederet orang GILA yang tak kukenal dan mereka mengejar serta menginginkan kematianku!" Ellina menekankan kata 'gila' dengan jelas hingga membuat Ethan menggeram marah.
"Kau...," Ethan menatap marah pada Ellina.
Ellina tersenyum dan menatap tajam Ethan. "Oho, lihatlah. Kau lancang hanya karena aku menyuruhmu tak bersikap formal. Aku ingatkan, aku adalah Ratu! Dan kau ... ada di bawah kekuasaan kerajaan suamiku!"
Ellina merutuki perkataan asalnya didalam hati. Suami? Dulu aku selalu marah saat pria gila (Kenzie) itu mengatakannya. Namun sekarang aku mengakuinya sebagai suamiku. Pasti otakku telah geser dan ikut menjadi gila.
Ethan lagi-lagi terhenyak dan menundukkan kepalanya. Sama sekali tak menyangka bahwa Ellina akan berkata dengan tegas dan terdengar tak menerima bantahan. Ini berbeda sekali dengan yang Ethan dengar selama ini. Ethan menyangka bahwa Ellina hanya seorang manusia lemah lembut dan penakut. Beberapa jam yang lalu Ethan berpikir seperti itu, namun kini semua asumsi Ethan berubah.
"Maaf," ucap Ethan pelan.
"Katakan dengan jelas!" Ellina semakin tegas dan gila akan hormat.
"Ampun Yang Mulia Ratu. Hamba tak bermaksud membuat Ratu marah," Ethan menundukkan badannya.
Ellina tersenyum dan mengangguk. "Katakan pada Rajamu, tak perlu merantai, mengurung dan memperlakukanku dengan buruk. Aku tak akan lari dan kabur darinya,"
Ethan mengangguk dan undur diri. Meninggalkan Ellina dan kembali mengunci kamar pengap tersebut. Ellina mengelus dadanya dan setitik air mata itu turun di pipinya.
"Aku takut, aku sangat takut, Tuan. Tapi aku ingat perkataanmu, bahwa aku tak boleh menunjukkan rasa takutku pada musuh di depanku. Aku mencoba tegas dengan menggunakan kekuasaan yang kau berikan, Tuan. Dan kurasa itu sedikit membantu," ucap Ellina pelan ditengah isakannya.
"Aku harus kuat jika ingin bersanding denganmu. Kau jadi memiliki banyak musuh karena melindungi dan memilihku sebagai Ratumu. Aku akan mencoba untuk tegar dan kuat." Ellina menghapus air matanya dan menetapkan hati untuk terus berada disamping Kenzie.
Tanpa ada yang menyadari, bahwa Ellina telah mampu mengendalikan pikiran seseorang hanya dengan tatapan matanya. Dan itu bertahan sangat lama, bahkan Kenzie tak mempunyai kekuatan itu. Jadi ... darah Kenzie manakah yang lebih dominan dalam tubuh Ellina? Darah Kenzie yang mulai menyesuaikan dan bersatu dengan tubuh Ellina.
=========================
Ellina dalam sekapan Livian Agler.
=========================
Update lebih cepat. Sesuai permintaan kalian penggemar dan fans Alvian, Ernest dan Aaric. Ah, tak lupa fans Kenzie dan Ellina. :D
Typo belum di perbaiki. Jadi harap maklum jika suatu saat pemberitahuan update ulang menganggu kenyamanan kalian.
Thanks for reading my story. :-)
Salam hangat,
=Ellina Exsli=
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top