13. Your choose.


Mulmed : Kenzie, Ellina dan Ernest Avram dalam bentuk harimau.

Happy reading

=========================

Kenzie menatap wajah Ellina yang tak kunjung sadar. Sedangkan Ernest dan Lykaios menunggu Aaric disebuah ruangan yang tak jauh dari ruang terlarang.

"Yang Mulia Lord, akan lebih baik jika Yang Mulia memberikan darah Yang Mulia kepada Ratu," Devian menghela napas sejenak. "... keadaan Yang Mulia Ratu tidaklah baik. Racun dari goresan tangan klan Transylvania tidak bisa dianggap remeh. Terlebih Ratu kehilangan banyak darah. Hamba sarankan agar Yang Mulia Lord Reegan mengambil keputusan secara bijak,"

Kenzie menoleh dan menatap Devian. Termenung sejenak untuk mempertimbangkan saran dari Devian. Lalu beralih lagi menatap dan menyentuh tangan Ellina. Wajah Ellina yang kian memucat membuat Kenzie frustrasi.

"Aku takut dia marah. Mengetahui bahwa ia tak lagi manusia murni saat darahku bersatu dengan darahnya," jawab Kenzie pelan.

"Tapi Yang Mulia, Ratu bisa meninggal jika kita terus seperti ini," Devian menimpali.

Kenzie lagi-lagi memikirkan saran Devian. Ini adalah sebuah keputusan yang sulit. Merubah Ratunya untuk menjadi setengah dari dirinya bukanlah suatu keputusan yang mudah. Sulit karena Kenzie tahu, bahwa Ellina tak menginginkan hal itu. Namun akan jadi lebih sulit jika Kenzie harus kehilangan Ellina untuk selamanya.

"Tinggalkan aku sendiri bersama Ratuku. Aku perlu memikirkan semuanya. Jika aku telah siap, aku akan memanggilmu," Kenzie menatap Devian sekilas lalu kembali beralih pada Ellina.

"Baiklah Yang Mulia. Hamba undur diri," Devian membungkukkan badannya sebentar lalu mundur dan keluar dari ruangan terlarang.

"Queen, apa yang harus kulakukan? Ini sedikit sulit, Queen. Tapi aku tak bisa jika harus kehilanganmu. Aku tak bisa, Queen...," ucap Kenzie pelan sambil mengelus tangan Ellina lembut.

"Apakah aku harus melakukannya? Tapi aku tak mempunyai pilihan lain. Aku ingin kau tetap berada disampingku, Queen. Selalu ... dan selama aku hidup," setetes air mata jatuh dari mata Kenzie.

Kenzie terisak pelan. Mengecup pipi Ellina dan mengelus pelan. Perlahan Kenzie menggigit bibirnya sendiri dan mengumpulkan darah yang mulai keluar. Setelah cukup banyak darah yang terkumpul, Kenzie mencium bibir Ellina dan memasukkan darahnya.

"Jika hanya dengan setetes darahku bisa membuat para klan iblis dan yang lainnya mendapatkan kekuatan, maka aku rela, jika harus memberikan sebagian darahku untukmu. Hanya padamu dan untukmu."

Kenzie turun ke leher Ellina dan mencium lembut. Bahkan sepasang taring Kenzie sudah mulai memanjang. Perlahan Kenzie menggigit leher Ellina dan meyedot darah Ellina. Saat dirasa cukup, Kenzie melepaskan gigitannya dan mengelus bekas luka di leher Ellina. Akhirnya luka itu menghilang dan tak berbekas.

"Aku tak tahu, darahku yang mana akan dominan di tubuhmu, Queen. Tapi karena kau manusia murni, ini akan sedikit lama. Hingga darahmu dan darahku menyatu."

Kenzie mencium kening Ellina dan beranjak keluar ruangan. Tersenyum kecil untuk mencoba meyakinkan pilihannya. Kenzie mendapati Devian yang masih duduk di depan ruangan terlarang dengan wajah yang terlihat khawatir. Kenzie tersenyum dan mendekati Devian.

"Apa aku membuatmu menunggu terlalu lama?"

Devian menoleh dan mendapati Kenzie yang telah berdiri tak jauh darinya. Devian tersenyum dan menundukkan kepalanya. "Tidak, Yang Mulia. Hamba hanya sedikit khawatir,"

"Aku akan melakukannya. Jadi bisa kau siapkan segalanya dengan cepat?"

Devian menatap Kenzie dengan pandangan yang sulit diartikan. Namun dengan cepat Devian mengangguk mantap dan undur diri untuk menyiapkan segalanya. Kenzie kembali masuk dalam ruangan dan duduk di dekat Ellina.

"Aku akan memberikan darahku sebanyak yang kau butuhkan, Queen. Karena aku telah memasukkan darahku terlebih dahulu, ini tak akan berpengaruh banyak. Kuharap tubuhmu, tak menolak darahku meski itu tak sesuai dengan darahmu," Kenzie tersenyum dan mencium bibir Ellina sekilas.

Tak lama Devian mengetuk pintu dan masuk dalam ruangan terlarang. Di tangan Devian telah siap segala peralatan medis untuk semua hal tentang transfusi darah. Kenzie mengangguk menandakan telah siap. Dan Devian pun melakukan hal yang harus ia lakukan.

Enam jam berlalu sejak Ellina menerima darah dari Kenzie. Luka yang perlahan sembuh dan wajah Ellina tak lagi pucat. Namun Ellina belum juga sadarkan diri. Sedangkan di tempat lain, Aaric telah sadar dan berangsur pulih. Luka di tubuhnya telah membaik dan telah bisa berjalan normal. Lykaios dan Ernest bernapas lega saat melihat Aaric telah kembali normal.

"Aku senang kau pulih dan jauh lebih baik. Maaf, aku membebankan tugasku padamu," Ernest menatap Aaric dengan penuh rasa bersalah.

Aaric tersenyum kecil dan berkata pelan. "Melindungi Ratu juga tugasku. Suatu kehormatan bisa melindungi Ratu dengan nyawaku."

"Dan maaf, aku tak kunjung datang saat kau membutuhkan pertolongan," kini Lykaios juga berujar pelan.

Lagi-lagi Aaric tersenyum kecil. Menatap Lykaios dan Ernest bergantian. "Ayolah, aku baik-baik saja. Itu bukan apa-apa. Tapi, apakah Yang Mulia Ratu baik-baik saja?"

Lykaios dan Ernest saling berpandangan. Aaric menjadi sedikit bingung dengan mereka.

"Ratu kehilangan banyak darah dan...," Lykaios tak melanjutkan kata-katanya.

"Dan racun dari klan Transylvania cukup berbahaya untuk nyawa Ratu. Kami hanya menunggu keputusan Yang Mulia Raja besar," ucap Ernest melanjutkan kata-kata Lykaios.

Aaric mendesah kasar. Mencoba turun dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Menatap langit dan bunga-bunga yang tengah bermekaran.

"Aku sudah berusaha untuk cepat sampai pada Yang Mulia Raja besar. Tapi ternyata aku tak cukup kuat untuk melindungi Ratu. Maaf, aku tak bisa melindungi Ratu dengan baik," Aaric membalikkan badannya dan menatap Ernest.

Lykaios dan Ernest menghela napas panjang. Lykaios menggaruk tengkuknya dan tersenyum kecil. "Aku bahkan tak melakukan apapun. Kau jauh lebih baik melindungi Ratu dibandingkan denganku,"

"Dan aku terlalu sibuk dengan pangeran bodoh yang merepotkan," Ernest ikut menimpali.

Aaric tersenyum dan mereka tertawa. Lykaios dan Ernest berdiri dan memeluk tubuh Aaric. Tanpa mereka sadari, Kenzie telah berdiri dan menatap mereka yang sedang berpelukan.

"Kalian terlihat bahagia," Kenzie bersuara pelan.

Spontan hal itu membuat mereka melepaskan pelukan dan menatap Kenzie bersamaan. Lykaios dan Ernest menunduk hormat dan Aaric pun melakukan hal yang sama.

"Aaric, kau sudah lebih baik?" Kenzie tersenyum pada Aaric dan berjalan mendekati Aaric.

Aaric mengangguk hormat dan balas tersenyum. "Berkat Yang Mulia Raja besar, hamba jadi jauh lebih baik," jawab Aaric pelan.

"Buatlah perjanjian denganku, Aaric sang pangeran dari Lycanthrope."

"Yang Mulia," Lykaios dan Ernest berkata bersamaan,

Kenzie mengangkat satu tangannya. Namun kembali menatap Aaric yang masih diam dan bingung.

"Aaric, apa keputusanmu?" Kenzie kembali bertanya pada Aaric.

"Ampun Yang Mulia, tapi hamba masih tak mengerti." Aaric menatap Lykaios dan Ernest yang masih menatapnya.

"Kau telah membuktikan padaku dengan kesetiaanmu. Musuh semakin banyak dan keselamatan Ratu menjadi taruhannya. Kurasa kau juga pantas untuk berdiri disampingku seperti Lykaios dan Ernest,"

Lykaios dan Ernest tersenyum. Menatap Aaric lalu kembali menatap Kenzie. Kini keluarga mereka akan bertambah. Tak ada yang diragukan jika itu soal kesetiaan dan pengorbanan Aaric. Dan mereka senang karena mendapatkan keluarga baru. Keluarga yang bisa mereka percayai untuk menjaga keselamatan Ratu dan Rajanya.

Aaric langsung menundukkan badannya dengan satu lutut ditekuk. "Suatu kehormatan bisa menjadi orang yang berada disamping Yang Mulia Raja besar,"

"Jadi kau setuju? Itu bagus, namun aku peringatkan padamu. Jika kau berkhianat, maka nyawamu akan lebur di tanganku. Karena perjanjian ini, aku bisa menghancurkan setiap sel dalam tubuhmu hanya dengan satu jentikkan tangan. Jika kau tetap setia seperti Avram dan Lykaios, kau akan mendapatkan kekuatan yang aku berikan. Dan itu tanpa batas, karena kau tak lagi menjadi serigala murni."

"Hamba siap dengan segala resiko, Yang Mulia," jawab Aaric mantap.

Kenzie tersenyum dan menyentuh kepala Aaric. Kenzie menutup matanya sesaat, dan saat membukanya mata Kenzie telah berubah menjadi abu-abu.

"Aaric Leighton Blade sang pangeran dari Lycanthrope, dengan ini kau telah terikat perjanjian darah denganku. Darahku, darahmu ... telah bersatu dan menjadi kekuatan untuk tubuhmu."

Tubuh Aaric dan Kenzie terselubung darah dan api biru secara bersamaan. Dan saat itu juga langit menjadi gelap dan petir bersahutan. Aaric berteriak keras saat api biru itu menusuk jantungnya. Mengalir disetiap aliran darahnya dan membawanya terangkat dari lantai. Beberapa menit berlalu, api biru perlahan mengecil. Seiring dengan langit yang kembali cerah dan darah yang hilang. Aaric kembali pada posisi semula dengan dua sayap indah yang berbeda. Hitam dan putih bersih, sesuai dengan warna serigala Aaric saat berubah.

"A-aku mempunyai sayap? Sepasang sayap dengan warna berbeda?" Aaric sedikit terkejut dengan punggungnya yang telah mempunyai sayap.

"Sayap yang indah," ucap Ernest dan Lykaios bersamaan.

"Sesuai dengan bentuk serigalamu dan sesuai perpaduan antara Avram dan Lykaios. Itu menandakan kau bagian dari Avram dan Lykaios," Kenzie menjelaskan dengan tersenyum.

"Yang Mulia, terima kasih atas segala, Yang Mulia berikan," ucap Aaric dengan menundukkan badannya.

"Bangunlah," Kenzie menyentuh ke dua pundak Aaric. "Kau pantas mendapatkannya."

Aaric bangun dan berdiri diantara Lykaios dan Ernest. Dengan pelan, Aaric menghilangkan ke dua sayapnya dan berdiri dengan tegap menanti perintah dari Kenzie.

"Bagaimana dengan keadaan Ratu Ellina, Yang Mulia?" Ernest bertanya dengan hati-hati.

Semua diam dan menunggu jawaban dari Kenzie. Kenzie diam sejenak dan memikirkan tentang kejadian beberapa jam yang lalu.

"Itu ... aku tak tahu harus mengatakan dan melakukan apa. Namun aku memutuskan untuk menyatukan darah kami. Queen Ellina," Kenzie diam sejenak. "... kemungkinan tak lagi menjadi manusia murni. Aku tak tahu butuh waktu berapa lama, tapi yang jelas ... dia telah menjadi bagian dari diriku,"

Ernest dan Lykaios saling bertatapan. Sedangkan Aaric bingung melihat Ernest dan Lykaios. Namun Aaric memutuskan untuk diam dan bertanya nanti.

"Ampun Yang Mulia, mungkinkah Ratu akan mengalami sakitnya antara kehidupan dan kematian?" Lykaios menatap khawatir pada jawaban Kenzie.

Kenzie balas menatap Lykaios dengan raut wajah yang sulit diartikan. "Aku tak tahu, jika memang akan seperti itu ... ini tak akan mudah. Mengingat semua klan yang memberontak menginginkan burung Phoenix. Dan jika Queen adalah orang yang dapat menguasai burung Phoenix, maka Queen akan benar-benar merasakan itu semua."

Aaric terhenyak mendengarkan penjelasan Kenzie. Aaric tak mengerti pembicaraan mereka, namun Aaric sedikit tahu tentang burung Phoenix yang tengah mereka bicarakan. Burung yang dinantikan oleh semua klan untuk dapat menguasainya. Namun sejauh ini, burung tersebut tak pernah menampakkan diri dan tak ada yang tahu dimana burung Phoenix itu berada.

Sedangkan Ernest dan Lykaios berpikir keras agar Ratunya tak merasakan itu semua. Membayangkan Ellina tengah merasakan sakit yang tiada tara, membuat hati mereka sakit karena tak dapat melakukan apa-apa. Lykaios dan Ernest sama-sama berpikir untuk mencari cara agar semua tak begitu menyakitkan untuk Ratu mereka.

"Aku harus pergi, mengingat Ratu akan sadar sebentar lagi. Kalian boleh ikut jika memang ingin tahu keadaan Ratu,"

Aaric langsung mengangkat kepalanya saat Kenzie mengatakan itu dan berlalu keluar dari ruangan. Ernest dan Lykaios pun tersenyum dan menangguk bersamaan saat mereka saling bertemu pandang.

"Ciihhaaa, Yang Mulia mengijinkan kita untuk melihat keadaan Ratu," Ernest berjingkrak senang dan disambut oleh tepuk tangan Lykaios.

"Ah, aku begitu mengkhawatirkan Ratu," ucap Lykaios sambil tersenyum senang dan menyambut uluran tangan Ernest untuk melompat senang bersama.

Aaric menaikkan satu alisnya melihat keadaan di depannya. Aaric tak menyangka jika Lykaios dan Ernest akan melakukan hal gila yang terlihat seperti anak kecil mendapatkan hal yang sangat ia sukai. Aaric benar-benar tak menyangka bahwa Lykaios dan Ernest bisa bersikap layaknya manusia biasa. Sejauh ini mereka terlihat begitu dingin dan tak pernah bercanda. Namun sepertinya Aaric harus memikirkan ulang tentang asumsinya kepada dua orang di depannya.

"Apa yang kau pikirkan? Kau tak ikut bersama kami?" Lykaios menatap Aaric yang masih diam ditempat.

"Kau tak ingin melihat Ratu?" Ernest ikut bertanya.

Aaric mengerjapkan matanya, mendapati Lykaios dan Ernest tengah menunggunya diluar pintu ruangan. Aaric menggaruk tengkuknya dan mengangguk. Berjalan cepat untuk menyusul Ernest dan Lykaios yang telah pergi lebih dulu.

Aaric melihat Ernest dan Lykaios yang begitu enggan untuk memasuki sebuah ruangan. Mereka terlihat saling mendorong untuk mengetuk pintu ruangan tersebut. Hal itu semakin membuat Aaric bingung.

"Kenapa? Apa ada yang salah? Bukankah kita harus ke ruangan Raja besar?" Aaric memutuskan untuk bertanya.

Ernest dan Lykaios menoleh bersamaan. Lykaios menghela napas panjang dan menghembuskan perlahan. "Apa maksudmu? Di ruang inilah Ratu dan Raja besar berada," ucap Lykaios namun tetap menatap pintu yang masih tertutup.

"Jadi siapa yang akan mengetuk pintunya?" Ernest menatap Lykaios yang juga menatapnya.

"Tinggal ketuk saja, apa susahnya?" Aaric mulai maju, berdiri diantara Lykaios dan Ernest yang masih saling berpandangan.

Tangan Aaric terulur untuk mengetuk pintu di depannya, namun dengan cepat Lykaios dan Ernest menahan tangan Aaric. Aaric menatap mereka bergantian dengan raut wajah tak mengerti.

"Kau tak bisa melakukan itu saat Raja besar tak menyuruhmu masuk dari dalam," ucap Lykaios.

Ernest mengangguk dan menatap Aaric yang menaikkan satu alisnya. "Benar. Ruangan ini adalah ruangan terlarang. Tak ada yang boleh masuk tanpa ijin dari Raja besar," Ernest ikut menimpali.

"Ruangan terlarang?" Aaric mengulang kata-kata Ernest.

Lykaios dan Ernest mengangguk.

"Ruangan terlarang yang bahkan tak siapapun boleh masuk. Itu dulu, tapi saat ini Raja besar mengijinkan kita masuk karena Ratu Ellina. Tapi tetap saja, itu bukan hak kita untuk bisa masuk sesuka hati." Ernest mulai menjelaskan.

"Jadi kita akan menunggu disini sampai Raja menyuruh kita masuk lalu kita akan mengetuk pintu," Lykaios membalikkan badannya dan duduk di tangga depan pintu.

Ernest melakukan hal yang sama. Sedangkan Aaric menatap Lykaios dan Ernest bergantian. Namun detik berikutnya Aaric melakukan hal yang sama. Menunggu Kenzie untuk menyuruh mereka masuk kedalam ruangan.

Sementara didalam ruangan, Kenzie memegang tangan Ellina yang mulai menggerakkan tubuhnya. Perlahan mata Ellina terbuka dan itu membuat Kenzie senang tak terkira.

"Queen, kau sudah sadar? Apa yang kau rasakan? Kau masih merasakan sakit? Dimana sakitnya? Apa kau bisa melihatku dengan jelas? Kau baik-baik saja? Queen, ak-akku...,"

Telunjuk Ellina terulur dan mendarat di bibir tipis Kenzie. Spontan Kenzie diam dan menatap wajah Ellina yang tengah tersenyum.

"Tuan, tanyakan satu-satu. Aku tak bisa menjawab semua pertanyaan itu sekaligus," ucap Ellina pelan.

Kenzie tersenyum dan meraih tangan Ellina. Menciumnya lalu Kenzie menundukkan tubuhnya untuk memeluk Ellina. "Kau tau ... aku takut kehilanganmu. Aku takut kau akan pergi meninggalkanku,"

Ellina membeku mendengarkan perkataan Kenzie. Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya. Kemudian diiringi dengan detak jantung yang berpacu lebih cepat. Dengan pasti tangan Ellina membalas pelukan Kenzie. Mendekap Kenzie yang tengah memeluk tubuhnya.

"Aku baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan." Ellina mencoba menenangkan hati Kenzie.

"Tetap saja, kau tak sadar hingga beberapa jam. Dan itu membuatku takut," balas Kenzie.

Ellina tersenyum dan melepaskan pelukan Kenzie. "Sekarang aku baik-baik saja, Tuan."

"Syukurlah, itu bagus untuk tubuhmu."

"Hanya saja," Ellina diam dan menatap sekelilingnya. Sedangkan Kenzie menunggu Ellina untuk melanjutkan kata-katanya. "... hanya saja, semua terlihat lebih jernih dan jelas. Bahkan aku bisa melihat semut kecil yang tengah berjalan di dekat pintu itu,"

Kenzie tersenyum dan memeluk tubuh Ellina lagi. "Tak apa, itu tandanya tubuhmu semakin sehat. Apa kau ingin makan?"

"Aneh, aku tak merasakan lapar," jawab Ellina sambil memegang perut ratanya.

Kenzie semakin terdiam dan tak tahu harus memulai dari mana. Untuk memberi tahu Ellina tentang semuanya.

"Tuan, aku bahkan bisa mendengar suara dibalik pintu. Apakah itu kak Lykaios dan kak Ernest?"

Kenzie tergagap dan mengangguk pelan.

"Kenapa tak menyuruh mereka masuk?" Ellina mencoba turun dari tempat tidur dan Kenzie membantunya.

"Aku lupa, Queen."

"Tuan, kurasa mereka menunggu Tuan membukakan pintu." Ellina mencoba berjalan dengan Kenzie yang masih menuntunnya.

"Kau ingin keluar, Queen?"

Ellina mengangguk dan tersenyum. "Aku baik-baik saja. Mereka pasti juga mengkhawatirkanku."

"Ya, mereka sangat mengkhawatirkan keadaanmu, Queen."

Ellina mengulurkan tangannya dan membuka pintu di depannya. Lykaios, Ernest dan Aaric langsung menoleh. Mendapati Ellina yang tengah tersenyum dengan Kenzie berada disampingnya dan memegang erat tangan Ellina. Lykaios, Ernest dan Aaric langsung bangun dan memberi hormat.

"Yang Mulia, maaf telah menggangu waktu istirahat, Yang Mulia." Lykaios mulai menyapa namun terlihat jelas ada rasa lega di wajahnya.

"Apakah Yang Mulia Ratu baik-baik saja?" Ernest pun sama.

Sedangkan Aaric hanya diam dan tersenyum tipis. Melihat Ellina yang terlihat baik-baik saja sudah cukup untuknya.

"Bangunlah, kakak tak perlu bersikap seperti itu. Kita keluarga, dan aku baik-baik saja," jawab Ellina memutuskan rasa khawatir Lykaios, Ernest dan Aaric.

Lykaios, Ernest dan Aaric bangun dan menundukkan pandangannya. Namun kata-kata Ellina yang menyebutkan mereka keluarga membuat Lykaios dan Ernest bahagia tak terkira. Meski itu hanyalah suatu hal yang kecil, namun bagi Lykaios dan Ernest adalah suatu yang penting. Suatu hal yang selalu mereka tunggu dari ratunya.

"Seperti biasa, pemandangan yang selalu aku rindukan saat berada di Hyroniemus." Ellina menatap ke depan, melihat bunga-bunga yang tengah mekar dan mulai berguguran.

Kenzie tersenyum dan mengikuti arah pandang Ellina. "Kau tak ingin jalan-jalan?"

Ellina menatap Kenzie. "Bolehkah?"

"Tentu," Kenzie menuntun Ellina untuk menuruni tangga dan berjalan di sisinya. "Dan kalian, kalian boleh ikut namun tetap berjaga."

Lykaios, Ernest dan Aaric tersenyum senang. Mengangguk hormat meski Kenzie tak melihatnya. Mereka mengikuti Kenzie dan Ellina meski dari jarak yang sedikit jauh. Lykaios merasakan sesuatu yang aneh. Dengan sigap Lykaios melompat pada sebuah batang yang tinggi dan melihat keadaan sekitar. Namun tak ada apa-apa disekitarnya. Lykaios turun dan tetap waspada. Hal yang sama dilakukan oleh Ernest dan Aaric.

"Gerbang utama, ada tamu tak diundang di gerbang utama." Ernest dengan cepat terbang meninggalkan Lykaios dan Aaric yang masih menatapnya.

Bang!
Ernest langsung menubruk seseorang dari belakang dan dari ketinggian maksimal. Membuat seseorang yang tengah mencoba masuk lewat gerbang utama itu terhempas dan terpental begitu jauh. Lykaios dan Aaric baru saja sampai dan langsung siap menghajar orang tersebut. Namun terhenti saat orang yang tengah berada di cengkeramannya.

"Kau...," Lykaios menatap tak percaya.

Aaric menggelengkan kepalanya. Kembali berjalan dan bersandar disebuah pohon yang rindang. Aaric memutuskan hanya akan menjadi penonton. Apapun yang terjadi, Aaric tak akan ikut campur.

"Apa yang kalian lakukan?" Alvian memegangi bokongnya yang terasa ngilu karena terpental jauh. "Lepaskan tanganmu dari leherku, brengsek! Aku tak percaya menerima semua ini,"

Lykaios melepaskan tangannya dan memutar bola matanya. Berjalan dengan malas dan ikut bergabung bersama Aaric.

"Kau pantas mendapatkan itu semua, Pangeran Transylvania yang merepotkan," ucap Ernest tegas.

"Tapi kau sangat keterlaluan. Kau menghempaskan tubuhku dari ketinggian yang tak normal. Kau pikir aku batu yang tak punya rasa sakit?" Alvian berjalan mendekati Ernest.

"Apa yang dilakukan Pangeran Transylvania di kerajaan Hyroniemus? Mengendap untuk masuk dan melumpuhkan beberapa penjaga gerbang. Apa kau berniat menjadi penjaga gerbang dan menggantikan mereka?"

Alvian membelalakkan matanya dan menatap kesal pada Ernest. "Hei ... mulutmu, aku ingin sekali menghajarmu!"

"Jadi kenapa kau mencoba menerobos masuk dan melukai mereka?" Ernest menatap beberapa penjaga gerbang yang terluka.

"Itu karena mereka tak mengijinkanku masuk," Alvian memegang bokong dan punggungnya bergantian. "Ahh, sial! Bokongku sakit. Punggungku juga sakit,"

Aaric dan Lykaios tersenyum tipis melihat Alvian yang tengah berjalan sambil kesakitan. Ernest ikut bergabung bersama Aaric dan Lykaios. Tak lama Alvian pun juga ikut duduk bersama mereka.

"Hei, ijinkan aku masuk ke Hyroniemus bersama kalian," Alvian tersenyum manis dan menaik turunkan kedua alisnya.

"Untuk apa?" Kini Lykaios menatap Alvian malas.

"Ya ... itu, tentu saja untuk bertamu." Jawab Alvian.

"Tapi Hyroniemus tak mengundangmu," Ernest ikut menyela dan merapikan jubah kebesarannya.

"Tamu tak diundang," Aaric ikut menimpali.

"Astaga, kalian ini ... Aku tak percaya kalian setega itu padaku," Alvian mengusap kepalanya kasar.

Lykaios mulai berdiri. "Kenapa tidak? Bahkan aku sangat ingin membunuhmu!" Lykaios mengeluarkan kedua sayapnya dan mulai terbang meninggalkan halaman gerbang utama.

"Aku juga harus pergi," Aaric mulai berlari dan mengejar Lykaios dari bawah.

"Kau lihat? Mereka tak ingin kau disini. Pergilah," Ernest berdiri dan hendak pergi.

"Bagaimana keadaan Ratu?"

Suatu pertanyaan dari mulut Alvian membuat Ernest menoleh. "Ratu baik-baik saja. Ratu sedang menikmati waktunya bersama Raja."

"Benarkah? Aku lega mendengarnya,"

Ernest kembali duduk dan menatap Alvian yang terlihat sangat serius. "Kau, jangan bilang kau diusir dari Transylvania,"

Alvian tertawa hambar. "Bahkan aku dilarang untuk menginjakkan kakiku di Transylvania. Aku dibuang," Alvian menatap langit yang cerah dan bunga-bunga yang berguguran di tubuhnya.

Ernest menghela napas panjang. "Jadi karena itu kau berada disini?"

Alvian menatap Ernest sekilas. "Aku tak tahu harus kemana lagi. Sekolah sepi tanpa kalian dan Ratu Ellina. Semua membosankan! Hingga akhirnya aku berada disini,"

"Tak bisa kupercaya,"

Alvian tersenyum tipis dan menunjuk wajah Ernest. "Benarkan? Kau saja tak percaya, apa lagi aku. Aku tak percaya, menanti dan menunggu kalian di sekolah."

Ernest menaikkan satu alisnya. "Lalu apa yang akan kau lakukan?"

Alvian menggeleng pelan. "Entahlah, aku juga tak tahu harus berbuat apa."

"Kau memang benar-benar merepotkan. Ikuti aku," Ernest mengeluarkan kedua sayapnya dan mulai terbang.

Alvian dengan cepat melompat ke sebuah pohon dan melompat ke pohon lain dengan cepat. Alvian mencoba mengejar Ernest dari bawah.

"Pelankan terbangmu, bodoh!" Alvian terus berlari sambil berteriak kencang.

"Kau saja yang lambat, idiot!" Ernest tetap terbang dan semakin cepat mengepakkan kedua sayapnya.

"Ah, sial!" Alvian terus berusaha mengimbangi Ernest.

Sedangkan di dunia manusia, Aldric menatap nanar pada sebuah amplop ditangannya. Vania dan Lexsi juga ikut menantikan Aldric membuka amplop tersebut.

"Dari siapa, Pa? Resmi banget?" Lexsi menatap amplop ditangan ayahnya.

Aldric diam dan tak menjawab pertanyaan dari anaknya. Namun tangannya dengan cepat membuka amplop tersebut. Aldric membacanya dan detik berikutnya ia langsung berdiri dan amplop itu jatuh dari tangannya.

Vania bingung melihat raut wajah suaminya. Lexsi pun ikut berdiri secara refleks dan ikut khawatir. Vania memungut amplop tersebut dan membacanya. Setelah benar-benar paham isi amplop tersebut, Vania langsung memegang kepalanya.

"Ma ... apa isinya?"

Vania hanya diam dan tak menjawab. Aldric kembali duduk dan termenung. Akhirnya Lexsi memutuskan untuk mengambil dan membaca isi amplop tersebut.

"Pengambil alih hak asuh atas Ellina Aracelia Azzuri dan pengambil alih atas semua perusahaan dan aset yang Ellina miliki?" Tangan Lexsi gemetar dan perlahan seluruh tulang Lexsi lemas.

"Tak mungkin, ini tak mungkin kan, Pa?" Vania mulai bertanya pada Aldric.

Aldric diam dan menghela napas kasar. Menatap istri dan anaknya bergantian. "Surat itu resmi dari kuasa hukum Ellina," Aldric berujar pelan.

Lexsi membulatkan kedua matanya. "Ba-bagaimana bisa? Bukankah semua asetnya telah resmi menjadi milik kita?" Lexsi bertanya bingung.

Aldric menggeleng. "Tidak sayang. Semua milik Ellina. Karena itu warisan dari kedua orangtuanya,"

"Harusnya kita juga membunuh Ellina seperti kedua orangtuanya! Oh, apa yang akan terjadi dengan hidup kita yang mewah?" Vania mulai terlihat kesal.

"Itu benar," sambut Lexsi membenarkan kata-kata ibunya.

"Tetap tidak bisa, karena jika Ellina tiada ... seluruh kekayaan dan asetnya disumbangkan di sebuah panti asuhan."

Lexsi menatap ayahnya. "Ja-jadi tak ada satupun yang bisa kita miliki?"

"Kenapa Ellina selalu saja merepotkan!" Vania berteriak keras.

"Apa yang akan terjadi pada hidup kita, jika Ellina menyetujui surat itu, Pa?" Lexsi menatap cemas pada jawaban ayahnya.

"Kita tak memiliki apapun, dan bahkan Papa hanya akan menjadi seorang pegawai biasa di perusahaannya,"

"Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Semua ini milik kita. Perusahaan, rumah, dan aset lainnya adalah milik kita," air mata Vania mulai turun seiring tubuhnya yang langsung ambruk tak sadarkan diri.

"Mama...," Lexsi dan Aldric berteriak bersamaan. Menangkap tubuh Vania dan langsung membawa Vania ke kamar.

Aldric dan Lexsi mencoba untuk membuat Vania tetap sadar. Vania terlihat begitu kalut dan terguncang. Tak jauh berbeda dengan Aldric. Aldric terlihat shock dengan semua pernyataan yang tiba-tiba. Sedangkan Lexsi masih tak percaya dengan semua yang telah terjadi.

"Kenapa selalu Ellina? Kenapa selalu dia yang memiliki segalanya? Kenapa selalu dia ? Kenapa bukan aku? Ellina Aracelia Azzuri, aku membencimu! Amat sangat membencimu!" Lexsi mengumpat dalam hati dan berkali-kali melontarkan sumpah serapah.

Semua hal yang Aldric takutkan terjadi. Ellina berusaha memberontak dan mengerti tentang semua. Lalu mengambil alih segalanya seakan-akan tak pernah ingin memberikannya kepada keluarga Aldric. Bahkan Aldric semakin takut jika akhirnya, dia harus kembali pada posisi semula. Hanya sebagai pegawai biasa dan bukan pemilik atas segalanya yang Ellina punya.

=========================

Huhhhffff...,
Sedikit khawatir karena berpikir tak dapat menyelesaikan part ini. Namun, akhirnya dapat terselesaikan.

Mohon tunggu part selanjutnya, aku akan berusaha untuk update lebih cepat.

Ok, jaga kesehatan kalian ya...

Salam hangat,

=Ellina Exsli=

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top