03. Hukuman Pertama

"Kamu beneran Akira, 'kan? Akira Kirana?" Sekali lagi dia bertanya, memastikan, dia tak mau salah menduga, lantas berspekulasi yang tidak-tidak. Namun, seperti perkiraannya, gadis dengan gaun putri salju itu mengangguk, tersenyum lebar dengan mata bulat yang mengerjap polos. "Iya, ini Akira Kirana. Kakak siapa, ya?"

Akira dewasa (mari kita sebut begitu untuk membedakannya) terpaku, dia mengerjapkan mata beberapa kali, menggosoknya, lantas berjongkok memegangi bahu Akira kecil. "Ini benar-benar nyata," gumamnya. Jujur saja Akira dewasa masih skeptis jika dia kembali ke masa lalu, ini terlalu mustahil, di luar logika.

"Kakak siapa?" Akira tersentak dari lamunannya, kini mendesah panjang kembali berdiri. Mata dengan lensa birunya bergerak kecil, menelisik sekitar. Dia enggan menjawab jujur saja, bisa-bisa dia dikira gila. Walau begitu dia berkata jujur, menatap Akira kecil lamat-lamat. "Aku Akira. Dirimu dari masa depan."

Satu, dua, tiga. Tidak ada reaksi, Akira kecil hanya terdiam dengan kepala setengah dimiringkan. Akira dewasa sudah siap menerima cercaan, ejekan, atau tawa tidak percaya. Berbanding terbalik dengan asumsinya, Akira kecil tersenyum lebar dengan tatapan antusias. "Sungguh? Kakak beneran aku di masa depan?" katanya tak percaya.

Akira dewasa mengangguk. 

"Wow! Gimana aku dari masa depan bisa ke sini? Kakak punya kekuatan super?" Akira dewasa menggeleng, tersenyum tipis, ada-ada saja. Anak-anak memang memiliki imajinasi tinggi. Padahal jelas hal seperti itu mustahil. "Aku sendiri gak tahu," jawabnya. Mereka saling bertatapan cukup lama sebelum seruan kasar terdengar dari dalam rumah.

"Akira Kirana!" Keduanya tersentak, suara ini terasa familier, cepat-cepat Akira Dewasa menutup setengah wajah. Akira kecil melirik ke arah Akira dewasa sesaat sebelum berbalik, balas menyahut, "Iya, Abi. Ada apa?"

Seorang pria kurus tinggi berjalan ke halaman rumah, langkahnya lebar, matanya dingin menyorot tajam. Tanpa aba-aba tangan itu menarik lengan Akira kecil, menggeretnya masuk ke dalam rumah. "Kamu ngapain keluar rumah gak izin dulu, huh?! Capek Abi dari tadi manggil!"

Akira dewasa membeku, dia terdiam dengan perasaan kalut. Melihat Akira kecil digusur, dia sempat ingin menarik tangan Akira kecil, balas berseru, membela, meraihnya dan membawanya pergi, orang 'itu' menakutkan dia tak mau berurusan dengan orang 'itu', seandainya dia bisa menarik Akira kecil. Namun, tidak satu pun dia lakukan. 

Tubuhnya menegang saat bertatapan dengan pria yang dipanggil Abi oleh Akira kecil, yaitu ayahnya. Tanpa bisa menahan, rasa benci menghantui Akira dewasa, membuat giginya bergemeletuk dan tangannya mengepal. Mau dulu atau sekarang, pria 'itu' sama saja. Akira dewasa berbalik, tidak mau terlibat. Terdengar suara teriakan dari Akira kecil memanggilnya.

"Maaf, Abi. Akira gak sengaja! Akira cuman pengen main keluar, terus tadi Akira ketemu kakak-kakak dari-"

"Banyak alasan! Dari tadi Abi panggil kamu di rumah, kamu gak nyahut. Kamu emang harus dihukum!"

"Maaf, Abi. Akira salah, Akira salah. Jangan hukum Akira!" teriakan memilukan itu adalah hal yang terakhir Akira dewasa dengar, dia berlalu pergi. Meninggalkan keduanya yang berteriak, meraung, bahkan dari jauh suara mereka samar-samar terdengar. Akira meremas dadanya yang nyeri, matanya berkabut, entah bagaimana air matanya menetes, lembaran memori masa kecilnya mulai kembali terbuka, membuatnya ketakutan, bahkan jika dia tak mau mengakuinya. 

...

Dalam ingatan yang samar dia mengingat kali pertama mendapat hukuman.

Hari itu adalah sore yang cerah, Akira selesai ikut Umi untuk mengaji, memakai gaun putri salju, karena kelelahan dia pulang ke rumah dan langsung tertidur. Saat terbangun, dia bisa mendengar suara tawa anak kecil di luar rumah, tanpa pikir panjang dia berlarian keluar, bermain bersama temannya, tertawa ceria. Ketika teman-temannya diminta untuk pulang, Akira kembali ke rumah dan bermain di luar hingga lupa waktu. Ternyata itu membuat Abi marah, Akira lupa untuk meminta izin.

Seperti yang kalian tahu, Akira digeret masuk ke dalam rumah. Kesalahannya cukup sederhana. Dia tak meminta izin untuk bermain, Abi berang, meneriakinya, mengumpat bahkan mengurung Akira di dalam kamar. Akira kecil menggedor-gedor pintu kamar, berteriak histeris, air mata berlinang membasahi pipinya. "Maafin Akira, Abi. Maafin, Akira. Akira salah, Akira salah, keluarin Akira, Abi," rengeknya dengan tangisan yang menggema di seisi kamar.

"Kamu salah, kamu sendiri yang harus tanggung jawab, karena itu kamu dihukum!"

Akira ingat, umurnya saat itu masih lima tahun. Dia hanya terlalu senang bermain, kesalahannya teramat kecil, tapi dia tak akan pernah lupa. Ingatan itu melekat hingga dia dewasa, di mana dia dibanting di atas kasur, pintu dibanting, hingga dia berada di kamar gelap, Akira kecil bahkan tak dapat meraih saklar lampu untuk mendapatkan penerangan, di dalam kegelapan dia menangis, memohon-mohon pada Abi. Namun, sekali lagi seolah pria itu tuli, dia tak menyahut.

"Akira ...."

Akira terbangun dari tangisannya, dia menghapus jejak air mata di pipi, mendekati sumber suara yang berada tepat di depan pintu. "Umi?" Satu-satunya suara yang bisa dia dengar adalah bisikan setengah menangis. "Lihat ke bawah," bisik sang ibu. Akira bisa melihat jari-jari yang mengintip dari celah kecil di bawah pintu. Segera saja Akira menyentuh lengan Umi, kembali menangis. "Umi ... Akira takut. Akira pengen keluar, Abi di mana?" tanyanya. 

"Abi pergi, kuncinya dibawa. Akira yang sabar, ya? Umi di sini, nemenin Akira. Jangan nangis." Suara itu bahkan terdengar hampir menangis, Akira menegarkan diri. Jika diingat, bahkan kesalahan itu tak perlu mendapat hukuman, toh kesalahan kecil, amat sepele. Namun, saat itu si gadis kecil bahkan tak bisa membaca arah jarum jam. Dia tak tahu seberapa banyak waktu berlalu, di tengah kegelapan yang dia pikir saat itu malam dia menangis hingga tertidur.

Itu hukuman pertama yang diberikan Abi. Dikurung di kamar dari sore hingga pagi. Akira kelaparan, dehidrasi, bahkan menahan hajat untuk pergi ke kamar mandi. 

"Umi ... Akira mau salat. Akira mau wudhu ...." Di tengah kegelapan, si kecil bukan khawatir kelaparan, dehidrasi atau kebutuhan tubuh. Yakni, hanya satu. Yaitu salat, dia bahkan menangis jika tidak dibangunkan untuk salat subuh, apalagi dia melewati salat ashar, maghrib dan isya. Dia lebih takut tidak salat, dibanding Abi yang menakutkan. "Nanti Allah marah sama Akira, Umi. Akira gak mau Allah marah, jadi bantuin Akira keluar."

Akira bisa mendengar isak kecil dari seberang pintu. Lagi-lagi sang umi mengulurkan jari-jarinya di bawah celah pintu, Akira menyentuh jari-jari itu, sesaat kegelisahan itu pudar, Akira kembali memohon. "Umi ... keluarin Akira. Keluarin Akira, Umi." Umi hanya bisa menenangkan gadis kecil itu, mengatakan hal-hal baik, toh remeh tetapi hasilnya luar biasa. "Nanti Umi temenin Akira salat, kata Allah, kalau Akira gak salat karena ada kendala. Akira bisa qadha salatnya, nanti Akira bisa salat bareng Umi. Jadi Allah gak akan marah."

"Beneran, Umi?"

"Iya, Sayang."

Sepanjang malam, Akira hanya memegangi jari jemari Umi. Tertidur di sisi pintu, mendengar kata-kata baik. Satu-satunya penyembuh, sang umi yang menemaninya.

Bersambung ....

7 Agustus 2024



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top