02. Abdurahman bin Auf

Tahun 2010?

Tangan Akira yang masih kotor dengan makanan terhenti, pandangannya tak beralih barang sedetik, sedangkan tubuhnya mematung. Dia menoleh cepat, napasnya sempat terhenti beberapa saat hingga dia bertatap muka dengan pemilik warteg. "Ibu, ini beneran tahun 2010?" Wanita yang dipanggil tersenyum, mengangguk singkat sebagai jawaban.

Astaga! Akira segera bangkit, dia mendekati wastafel, meneguk teh tawar yang dihidangkan, dan meninggalkan sisa makanan. Dia sempat terhenti, melihat makanan yang tersisa, cukup lama terdiam dia mendesah. "Tolong bungkus makanannya ya, Bu." Dia tidak suka membuang-buang makanan, itu tindakan yang teramat salah bagi Akira. 

"Siap, Neng."

Akira mengetuk-ngetukan sepatu pada tanah, dia menunggu tanpa berhenti bergerak, menggerakkan kaki, tangan, mondar-mandir. Jelas sekali dia gelisah. Ada sesuatu yang harus dia pastikan, hal yang teramat penting baginya. Ibu yang membungkus makanan kini menyerahkan bungkusan kertas nasi. Akira merogoh uang ke tasnya dan membayar tunai. "Terima kasih, Bu."

Akira bergegas berlari, sebelum suara menginterupsi hingga langkahnya berhenti. "Neng kembaliannya!" Akira berbalik, melambaikan tangan. "Ambil saja kembaliannya." Dia tidak punya banyak waktu, langit sudah mulai menjingga dan dia harus memastikan secepatnya. 

"Berhenti!" Akira menyetop delman yang melewatinya, yakni kendaraan seperti kereta kuda terbuka dengan dua kuda yang menarik kereta dengan satu kusir. Seorang pria ceking menoleh, menyambut Akira yang sedari tadi terburu-buru. Keringat membasahi pakaian Akira, wanita itu terduduk di kereta dengan napas tersengal. "Ke Sukamaju, Pak. Sekarang."

Sang kusir mengangguk, Akira menghela napas. Di tengah jingganya langit, awan kelabu mulai memenuhi langit. Berbanding terbalik dengan masa depan di mana sedang masa kemarau, tampaknya di tahun ini sedang musim penghujan. Langitnya semakin gelap, sang kusir memecut kuda cepat, menerobos dinginnya udara sore di Lembang. Akira bergidik, memeluk diri sendiri, tubuhnya kedinginan. Bagaimana bisa dia kembali ke masa lalu? Dia bertanya-tanya, tubuhnya mengigil. Ada sesuatu yang tidak beres. Hal yang teramat salah. 

Dia bisa melihat tempat yang sangat familier, sebuah gapura bertuliskan 'Sukamaju' menyambutnya, tubuhnya menegang, mau tak mau memori-memori masa lalu berhamburan, setelah melewati gapura, perlu beberapa jalan lagi hingga sampai di gang. Di depan lapangan luas dengan gang kecil di samping, Akira berhenti, membayar kusir dan berjalan.

Lapangan luas dengan banyaknya anak kecil menyambutnya. Mungkin dia sudah terlalu tua untuk tahu bahwa dia tidak mengenali satu pun anak di sana. Jadi tanpa berpikir sembari memeluk diri sendiri untuk menghangatkan diri, dia melewati gang, masuk ke dalamnya. Walau selama ini dia bekerja di Lembang. Tak pernah sekali pun dia kembali ke tempat ini, awal mula memori kehidupan pertama terbesit di benaknya.

Samar-samar dia mengingat belokan dan jalan yang ditempuh, mulai dari selokan yang dalam, warung kecil di pinggir gang hingga turunan jalan yang menuju ingatan pertamanya berada. Napasnya terengah-engah, dia mengusap wajah, sepertinya dia terlalu tua untuk melakukan hal ini. Hingga sampai di depan halaman kecil, dengan enggan dia melangkah. 

Hatinya bergejolak, berbagai perasaan menghujaninya layaknya meteor yang menghantam bumi, bertubi-tubi membuat perasaannya tak nyaman. Sebuah rumah berwarna putih menyambut, terdapat teras luas dari semen, halaman kecil dengan tumbuhan lenca, bahkan semak-semak kecil. Napasnya tertahan, seorang anak kecil dengan gaun putri salju mengenakan kerudung hitam berjongkok di depan teras, anak itu merunduk mengorek-orek tanah dengan ranting, membelakanginya.

Mulutnya terbuka, suaranya tercekat, dengan tertahan akhirnya dia memanggil nama yang sangat akrab, bahkan dekat, begitu intim. "Akira ...," panggilnya dengan suara kecil. Tampak belum mendengar, gadis kecil itu masih bermain tanah, hingga dia kembali bersuara. "Akira Kirana." Kali ini suaranya lebih keras, sang empu menengok, tersenyum lebar dengan kedua bola mata imut yang melebar. "Halo, Kakak."

Astaga, ini sungguhan.

Dia kembali ke masa lalu, bahkan dirinya yang masih kecil hadir. Berdiri hanya beberapa langkah darinya. Akira kecil, gadis itu berdiri di sana, kini dia tak bisa berkutik. 

...

Akira tak akan pernah lupa, mungkin dia akan selalu ingat. Bagaimana dirinya saat masih kecil, seorang gadis polos pada umumnya, anak yang begitu ceria, bahagia, bahkan memiliki sikap periang yang luar biasa. Selalu menggunakan gaun-gaun mahal, pergi ke sekolah penuh dengan energi, begitu juga dengan keterampilan sosialisasinya yang baik. 

Walau begitu dari semua hal hanya satu yang mencolok. Yaitu dirinya senang bercerita, tampil di acara-acara besar, menjadi juara dalam kompetensi anak-anak.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Perkenalkan, saya Akira Kirana, saya berumur lima tahun. Di sini saya akan bercerita tentang Abdurahman bin Auf, begini ceritanya ...." Suaranya yang berenergi menggema melalui mikrofon, kesan kekanakan menempel jelas. Dia berdiri di sana percaya diri, begitu senang, gembira dan semangat. Menjadi bintang di atas panggung. 

"Abdurahman bin Auf, masuk Islam secara sembunyi-sembunyi. Lalu disusul oleh ibundanya." Itu adalah halaman pertama dari buku mewarnai para sahabat rasul. Akira sedari kecil sudah diberi pemahaman agama yang luas, membuat gadis itu mengidolakan salah satu sahabat; Abdurahman bin Auf.

"Sebagai seorang yang terpandang dan saudagar kaya yang telah masuk Islam saat itu, telah membuat para pemuka Quraisy tidak senang, lalu mereka mengadakan rapat untuk mengambil sikap dengan kejadian tersebut." Akira ingat, saat itu bahkan dia tak bisa mewarnai, dia selalu menggores krayon pada gambar putih kosong, mencorat-coret asal gambar-gambar ilustrasi para sahabat. Bahkan jika dia tak salah ingat, series dari buku menggambar itu memiliki DVD untuk menghiburnya di televisi.

"Sebagai reaksi yang tampak nyata waktu itu, orang-orang yang telah memeluk Islam lalu disiksa dan diusir dari tempat tinggalnya." Di halaman selanjutnya terdapat gambar orang yang ditimpa oleh batu, itu satu-satunya ingatan pada waktu itu, bentuk kekejaman orang kafir pada umat Islam. 

"Ketika ikut Hijrah, orang-orang semakin dapat merasakan kebaikan hati Abdurahman bin Auf. Ia mau melayani orang yang kesusahan dengan tulus, sehingga kaum Muhajirin dan Anshor sangat kagum padanya." Mungkin itu adalah salah satu dari sekian kelebihan yang dimiliki sahabat rasul tersebut, membuat Akira kecil menggemari Abdurahman bin Auf, bahkan ingin menjadi sepertinya.

"Selain itu ia pun seorang yang dermawan. Dengan hartanya yang berlimpah telah didermakannya di jalan Allah SWT."  Itu akhir dari cerita, Akira kecil tersenyum pada para hadirin, melambaikan tangan pada orang tuanya.

"Aku suka berbagi seperti Abdurahman bin Auf. Karena aku ingin masuk surga bertemu para nabi dan para sahabat. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Penutup yang begitu manis, Akira mengakhiri penampilannya dengan spektakuler, membuat para hadirin berseru, memuji-muji, bertepuk tangan hebat.

Tak terhitung sudah berapa kali dia menceritakan kisah tersebut. Dari PAUD, TK, hingga SD. Bahkan dia mendapat piala besar atas keberhasilannya membawakan cerita Abdurahman bin Auf.

Karena itu, kini ketika Akira dewasa bertemu Akira kecil. Satu persatu memori mulai berdatangan, membuat nostalgia, membawa ingatan yang sudah lama tenggelam dan tak pernah muncul ke permukaan. Seolah ingatan itu terkubur, tak pernah dicari atau ditemukan, dan kini semua memori berhamburan, berdatangan, membuatnya kewalahan. 

Bersambung ....

3 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top