[M] - Was Gone

Setelah merapikan kunciran rambutnya, Jiyeon segera keluar dari kamar dan turun ke lantai dasar. Sesampainya di dapur, dia segera memakai apron dan bergabung dengan yang lain.

"Selamat pagi, Bibi," sapa Jiyeon ke salah satu wanita berusia 40 tahun yang sedang menaruh lauk di tempat persegi.

"Ah, Jiyeon-ah," sahut wanita itu, kemudian dia memberikan tempat yang berisikan lauk ke Jiyeon, "bawa ini ke depan. Sebentar lagi waktunya sarapan."

"Nee."

Jiyeon pun mengangkat tempat tersebut dan menuju ke pantry prasmanan yang berada di balik dapur. Dari celah bilik, gadis itu melihat Bibi Aerum—pemilik panti asuhan—sedang mengelap meja pantry.

"Biar saya saja, Bibi," ucap Jiyeon setelah menaruh tempat lauk.

"Tidak usah," Bibi Aerum tersenyum simpul, "bangunkan adik-adikmu. Ini sudah hampir jam setengah sembilan."

"Baiklah."


Jiyeon pun berjalan menuju kamar anak-anak yang lain. Langkah kakinya sedikit melambat dengan sengaja karena gadis itu mengamati dinding sepanjang koridor yang berhiaskan foto-foto kenangan dari panti ini.

Sesampainya di depan pintu, Jiyeon langsung memutar kenop pintu itu. "Yereobun, ireona!"



Setelah sarapan bersama, Jiyeon dan para pengasuh lainnya membersihkan ruang makan. Untuk piring sendiri sudah dalam keadaan tertumpuk dan siap di angkat. Sebenarnya ini adalah salah satu kebiasaan yang ditanamkan ke anak-anak, untuk merapikan meja makan sebelum pergi meninggalkan ruang makan. Kata Bibi Aerum, ini sebagai tanda terima kasih kepada para pengasuh yang sudah memasakkan makanan untuk mereka.

Terlihat Jiyeon sudah selesai mencuci tumpukan piring terakhir. Gadis itu tak lupa membilas tangan lalu mengelapnya di serbet yang tergantung di dinding dekat wastafel cuci piring. Kemudian gadis itu melepas sampul tali apron dan menggantungnya di depan pintu masuk dapur.

"Bibi, piringnya sudah dicuci. Saya kembali ke kamar dulu."

"Geure, gumawo Jiyeon-ah,"

"Nee,"


Begitu masuk ke kamar, Jiyeon menutup pintu. Arah mata gadis itu menatap koper berukuran cukup besar dan beberapa box yang sebagian telah diberikan isolasi penutup.

Dia pun lanjut menyimpunin tumpukan buku yang ada di meja belajarnya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.

"Nee, Deuro Osipsiyo," kata Jiyeon yang menoleh ke arah pintu masuk.

Pintu itu terbuka, lalu setelahnya muncul Bibi Aerum dari balik pintu. Wanita itu masuk sambil melihat-lihat kamar Jiyeon.

"Ada apa, Bi? Ada yang bisa saya bantu?"

Bibi Aerum menggeleng pelan, kemudian dia duduk di tepi kasur sambil menatap Jiyeon.

"Apa tidak bisa jika kau tinggal di sini saja?" tanya wanita itu dengan lirih, "Bibi tidak mau kau pindah, Jiyeon-ah."


Jiyeon pun mendekat dan duduk di hadapan Bibi Aerum.

"Bibi, sa..."

Ucapan gadis itu menggantung manakala dia melihat bendungan air mata Bibi Aerum telah runtuh. Kepala wanita itu menunduk dalam dengan tangan yang saling bertaut gelisah, dan juga bibir yang dia katup rapat.

Seketika Jiyeong langsung memeluk pengasuhnya itu dengan erat.

"Bibi sangat menyayangimu, Jiyeon-ah," ucap Bibi Aerum dengan lirih, "tinggalah di sini."


Waktu itu, cuaca di Korea sangatlah dingin. Aerum baru saja kembali dari gudang di halaman belakang dan hendak kembali masuk ke dalam panti. Seketika dia mempercepat langkah kakinya manakala wanita itu mendengar suara tangis seorang bayi. Mata Aerum perlahan menyipit saat menyadari dari kejauhan ada keranjang berukuran besar terletak di depan pintu panti.

Aerum pun berlari kecil menghampirinya. Sesampai di depan pintu, wanita itu refleks berjongkok saat melihat isi dari keranjang tersebut.

"Aigoo-ya. Siapa yang tega meninggalkannya di sini?" monolognya sambil mengangkat seorang bayi yang tertidur tenang di dalam keranjang dengan selimut rajut yang membungkusnya.



Tangisan wanita itu terus terdengar, Jiyeon terus mengusap pelan punggung Bibi Aerum. Sebelum pada akhirnya berkata, "Saya juga sangat menyayangi Bibi dan orang-orang yang ada di panti asuhan ini. Saya janji akan sering berkunjung jika punya waktu senggang senggang... terima kasih untuk semuanya, Bibi."


Mobil jasa pindahan telah berangkat membawa barang-barang milik Jiyeon. Untuk kesekian kalinya, gadis itu kembali berbalik dan menatap para penghuni panti asuhan yang juga melihat ke arahnya, sebagian besar dari mereka tidak kuasa menahan tangisnya. Dengan mata yang berkaca-kaca Jiyeon melambaikan tangan ke arah mereka sambil tersenyum.

Siang ini, Han Jiyeon resmi meninggalkan panti, tempat yang menjadi saksi bagaimana dia dibesarkan, tempat yang menyimpan banyak kenangan berharga, dan tempat yang akan selalu dia anggap sebagai rumahnya untuk pulang suatu saat nanti.

Ini sudah saatnya.


Selepas meninggalkan tempat itu, Jiyeon tidak langsung pergi ke hunian barunya, melainkan gadis itu mengunjungi sebuah toko bunga dan membawa setangkai bunga berwarna kuning, kemudian dia kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke bangunan putih dengan sisi yang memiliki banyak jendela kaca.

Untuk sesaat terlihat Jiyeon terdiam di ambang pintu, sebelum pada akhirnya dia masuk. Hal pertama yang menyambut kedatangan gadis itu adalah aroma wisteria beserta rak-rak kaca yang tersusun sejajar saling menghadap. Dari luar bisa dilihat masing-masing rak memiliki sebuah guci berukuran kecil serta beberapa foto yang mengisi bagian sisanya. Langkah kaki Jiyeon berhenti, gadis itu mengubah arah tubuhnya ke samping kiri, menghadap ke salah satu rak kaca yang ada di sana.

Terlihat mata coklatnya menatap sendu isi di balik rak kaca itu.

"Kau tau, hari ini aku sudah berpamitan dengan orang panti," ucap Jiyeon, tangan gadis itu mengambil selembar tisu lalu membersihkan dan membersihkan bagian rak kaca itu. "aku sengaja mampir ke sini terlebih dahulu, karena beberapa hari ke depan sepertinya akan menjadi hari yang sibuk."

Jiyeon kembali melanjutkan monolognya, "Aku diterima di agensi itu... dan aku juga sudah bertemu dengannya."

Perlahan pancaran mata gadis itu meredup, "seharusnya bulan ini kita pergi ke Jeju."

Kemudian Jiyeon menempelkan bunga matahari yang tadi dia beli di pintu kaca dari rak tersebut.

"Tto bwayo."


Jiyeon pun melangkah pergi dari rak kaca tersebut. Di saat dia hendak keluar, seketika tubuhnya menegang. Gadis itu berbalik melihat orang yang baru saja berselisih dengannya.

Untuk apa dia kemari? Tanya Jiyeon dalam hati. Tanpa sadar tangannya terkepal kuat, namun selang beberapa detik kemudian gadis itu berbalik dan pergi meninggalkan tempat dan orang itu.

Teruslah merasa bersalah, kau pantas mendapatkannya.



Ketika sampai di tempat itu, matanya langsung tertuju pada bunga berwarna kuning yang menempel di rak kaca tersebut. Kemudian, dia pun ikut menempelkan bunga yang dia bawa di sebelah bunga matahari itu.

Bunga Lily berwarna putih seperti hari-hari biasanya.

Kim Jungwoo—orang yang saat ini berdiri di depan rak kaca itu—merapalkan tangannya dan tertunduk sejenak. Kemudian, matanya menatap ke isi di dalam rak kaca tersebut.

"Hai, aku datang lagi... hari ini aku bangun terlalu pagi karena Mark tiba-tiba datang ke kamar dan mengangguku, akhir-akhir ini dia sering menempel padaku." sejenak Jungwoo terkekeh lemah,

Kemudian pria itu kembali menunduk, "Hari ini masih sama seperti yang kemarin-kemarin, aku masih tidak berani untuk mencoba melupakanmu... aku merindukanmu."




Baru saja Jungwoo menutup pintu dorm, dirinya langsung disambut dengan seseorang yang—sepertinya sengaja menunggunya—berdiri di samping nakas tempat penyimpanan sepatu.

Orang itu sambil menatap Jungwoo, lalu bertanya, "Kau habis dari mana?"

"Aku habis mendatanginya, Hyung," jawab Jungwoo sekenanya.

"Hari ini ada fans yang mempostingmu di Twitter, kau tidak sadar kalau kau diikuti? Entah ini sudah yang ke berapa kalinya," Taeyong menghela nafasnya dengan berat, "Kau ingat kan? Sebentar lagi kita comeback repackage... bukankah sebaiknya kau tidak usah ke sa—"

"Aku tidak bisa, Hyung."

"Jungwoo-ya."

"Untuk hal itu, aku tidak bisa, aku ti—"

"Relakan,"

Seketika Jungwoo menatap sengit ke arah Taeyong, namun sang leader itu tetap melanjutkan perkataannya. "Berlajarlah menerima kenyata—"

Tangan Jungwoo refleks mencengkram pundak Taeyong, "Hentikan, Hyung."

"Dia tidak bisa kembali lagi... Nam Heeyoung sudah tidak ada, Jungwoo-ya."


Kemudian terdengar suara tangis Jungwoo memecah keheningan dorm.




[n.s]

Ya, itu benar. Tapi dia tidak akan pernah terlupakan.


Ternyata aku sudah tersesat terlalu jauh. 

Kini tidak ada pilihan lain karena aku pun tidak bisa kembali.

Maafkan aku, Kim Jungwoo.


Nam Heeyoung



Mau Next cepat? Yuk ramein, biar nolan semangat nulisnya hehe..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top