Chap 30 Kematian. End
Saat Aji melihat sebuah tubuh pria tua yang terbaring kaku di sebuah hutan tepatnya tempat pemujaan. Tubuh pria itu hanya tinggal tulang belulang yang dilapisi kulit keriputnya. Mbah Tuah ditemukan mati terpatuk ular berbisa. Kini dia benar-benar menjadi budak demit itu, bahkan sampai ajal menjemputnya.
Beberapa warga enggan memakamkan tubuh manusia iblis itu. Dendam, amarah dan segala kekesalan mereka luapkan dengan cara membiarkan tubuh itu kaku di tempat pemujaan. Hanya Aji dan gurunya yang menguburkan tubuh Mbah Tuah itu.
Kini Aji menatap matahari senja yang sama. Memegang erat kain sutra hitam sembari menyalahkan dirinya. Andai saja dia menghalangi Mayang untuk pergi saat itu atau andai saja dia tak datang terlambat mungkin gadis dengan manik hitam itu dapat dia selamatkan. Penyesalan semakin menumpuk saat dia mengatakan pilihan ke tiga. Jika saja dia tidak mengatakan itu, mungkin Mayang tak akan berbuat senekat ini.
Setelah dia selesai memakamkan Mbah Tuah, dia segera mencari Mayang ke danau, kata penduduk desa mereka melihat sebuah mobil melaju menuju danau dekat desa. Namun dia tak menemukan Mayang yang dia temukan hanya selendang hitam sutra. Dia tak tahu Mayang akan melakukan hal nekat ini.
"Didengar ada, dipakai tidak. Kamu sudah menasihat gadis itu walau gadis itu tak pernah mendengarkannya. Sia-sia saja bukan? Tak usah menyalahkan dirimu," ucap gurunya yang mencoba menghibur Aji agar tidak menyalahkan dirinya atas kematian wanita itu.
***
Sebelumnya, seorang wanita tersenyum samar, ombak danau bergerak silih berganti, menerpa kaki mulus Mayang yang kini berada di sebuah danau. Gemuruh angin senja menerbangkan helai demi helai rambut hitam panjangnya. Bahkan dinginnya menembus kulit mulus yang hanya berlapis kain jarik dan kembennya. Manik hitam itu tak henti-hentinya menatap sang matahari yang mulai hilang itu.
Toh hitam di bahu dan lekukan seperti lesung pipit terlihat jelas saat dia menarik kain sutra hitam yang menutupi bahunya. Sengaja Mayang mengenakan pakaian yang sama saat dia kecil. Sebuah kain jarik dan kemben seperti ibunya dulu, memujinya. Dulu, ibunya memujinya sangat cantik, bahkan bidadari pun iri jika Mayang mengenakan pakaian seperti itu.
Lagi-lagi angin menerpa wajah cantik nan mempesona itu. Alami, tanpa olesan make up dan bahan kimia. Kedamaian ini akan Mayang kenang selama hidupnya. Mungkin kini dia akan memilih pilihan ke tiga yang diberitahu Aji. Setidaknya dia tak akan menjadi iblis atau moster yang selalu haus kematian.
Sejenak dia mengingat saat masa kecilnya. Saat ibunya pertama kali mengajaknya pergi ke danau ini, untuk pertama kalinya dia merasa akan kebahagiaan saat bersama ibunya. Kabar dia dengar dari salah satu warga desa, jika ibunya sudah meninggal dunia karena sakit semenjak Mayang pergi.
Apa kematian ibunya juga salah dia? Sesaat dia berpikir, siapa dia sebenarnya? Dirinya ini hina, kotor, dan sial. Apa yang diharapkan dari wanita seperti ini. Bagi dia toh dan gelar wanita bahu laweyan akan melekat dalam dirinya sampai dia mati.
Harusnya sejak dulu dia sadar, jika dia seharusnya tak hidup dan membawa bencana pada orang lain. Mengapa setelah dia melakukan banyak dosa barulah dia sadar.
Setelah diam cukup lama, Mayang melangkahkan kakinya perlahan. Menuju ombak yang seakan memanggilnya. Semakin jauh Mayang melangkah semakin dalam air menelanya. Mayang menoleh sembari tersenyum, berharap pengorbanannya dan kejadian yang dia alami tak terjadi pada orang lain. Bersama hilangnya matahari, tubuh ramping itu pun ikut hilang ditelan ombak yang terlihat tenang itu.
Bahu laweyan adalah sebuah mitos yang sering didengar orang. Ada atau tidak, percaya atau tidak itu adalah hak masing-masing orang. Alangkah baiknya jika kita bisa bersikap bijak.
Tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top