Chap 28 Kematian
"Kau yakin wanita laweyan itu akan datang?" tanya gurunya yang tengah mengasah sebuah pisau di halaman padepokan.
"Entahlah, Guru," jawab pemuda itu.
Matanya masih menatap pintu masuk padepokan yang terbuat dari bambu. Gapura yang bertuliskan Padepokan Pandawa itu hampir saja pudar termakan usia.
Padepokan pandawa adalah padepokan ilmu putih. Padepokan pengobatan bagi mereka yang terserang ilmu hitam, mau itu santet, teluh, kerasukan bahkan hal lainnya. Padepokan ini juga mengajarkan berbagai ilmu kepada Aji. Seorang pemuda yang sangat terobsesi pada wanita laweyan.
Banyak yang bilang jika wanita laweyan hanyalah mitos, karena manusia dan makhluk halus tak akan bisa bersama. Jangankan memiliki keturunan, alam mereka pun berbeda. Namun, bagi Aji pemuda yang pernah sekali bertemu dengan Mayang di pasar dan tak sengaja mengikuti dan mencari tahu tentang dia. Akibat ulahnya itu ayahnya harus berhadapan dengan Mbah Tuah. Mbah Tuah yang sudah mewanti-wanti seluruh penduduk desa agar tak mendekati keluarganya. Mencari tahu bahkan penasaran sekalipun, maka yang tetap melanggar perkataannya itu, dia akan berhadapan langsung dengan mbah tuah.
Warga desa yang takut akan bersikap biasa dan pura-pura tak melihat jika Mayang dan ibunya tengah pergi ke pasar. Namun, karena tak tega melihat Aji dipukuli oleh pengikut Mbah Tuah, ayahnya yang termasuk pendiri padepokan akhirnya mati tersambar petir.
Sampai sekarang, Aji tak bisa melupakan wajah Mayang dan juga romonya yang telah menghabisi nyawa ayahnya. Saat mendengar jika Mayang kabur ke kota, saat itulah dia mencari keberadaan gadis itu. Hingga akhirnya dia menemukannya, alasan yang sama dia mencari gadis laweyan itu adalah untuk menghabisi Mbah Tuah yang semakin gila akan ilmu hitam, dan juga menyandarkan gadis yang malang itu.
"Menepik mata pedang berarti melawan orang yang berkuasa, Le. Ayahmu sudah tewas karena melawan Mbah Tuah dan kini kau ingin melawanya juga."
"Kunci kelemahan Mbah Tuah adalah Mayang putrinya. Hanya dia satu-satunya yang bisa membuat Mbah Tuah binasa. Guru tahu, kemarin Mbah tuah menculik para gadis-gadis kecil di desa untuk dijadikan tumbal. Apa aku harus diam saja? Sampai kapan?"
Mata Aji, membulat sempurna saat dia melihat seorang wanita yang amat sangat cantik melangkah keluar dari mobil. Beberapa warga desa yang tengah lewat terdiam seribu bahasa menatap wanita yang bak bidadari. Wanita itu melangkah perlahan melewati pintu gapura dan tersenyum ke arah Aji. Senyum yang sama, 15 tahun yang lalu. Senyum gadis cantik yang membuat hatinya berdebar kencang. Namun, takut untuk mendekatinya bahkan mengajaknya berkenalan sekalipun.
"Aku butuh keberanian yang luar biasa untuk datang kembali ke desa ini. Semoga romoku tak mengenaliku."
Apakah dia pikir romonya akan datang kemari? Gadis ini benar-benar malang. Sampai sekarang pun dia masih belum menyadarinya.
"Masuklah, jika terlalu lama maka romomu akan datang lebih cepat ke mari," ucap asal Aji. Setahu Aji Mbah Tuah tengah bersemadi selama satu bulan. Entah dia melakukan apa di tempat yang di sebut pemujaan itu.
Mayang mengikuti langkah Aji menuju pendopo padepokan yang terletak di belakang padepokan. Dengan kenekatannya ini, Mayang hanya berharap satu harapan agar dia terlepas dari ikatan yang membelenggunya selama ini. Ikatan yang membuatnya hidup bagai moster dan membuatnya selalu menderita. Kali ini, dia ingin bebas, bebas untuk yang kedua kalinya, bebas dari makhluk demit yang menjadi bayang-bayannya selama ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top