Chap 2 Wingit
"Mayang mau dibawa ke mana, Romo?" Langkah kecil gadis mungil itu terhenti. Dia terlihat sangat lelah menelusuri jauh ke dalam hutan. Napasnya terengah-engah, di tengah malam ini romonya kembali membangunkannya dan membawanya ke dalam hutan.
Ibunya yang tengah membawa sesajen berjongkok bermaksud untuk menggendong Mayang yang sudah kelelahan. Namun dengan isyarat mata, suaminya melarangnya. Suasana hutan sangatlah mencekam, bisa saja ada harimau atau makhluk buas lainnya memergoki mereka saat ini. Namun, seakan sudah terbiasa para hewan hutan ini pun, tak ada yang muncul. Suara burung gagak mengiringi perjalanan mereka. Sesekali raungan anjing hutan pun terdengar, membuat Mayang Sari bergidik ngeri.
Baju serba hitam, dan berbagai jenis tengkorak kepala yang mengalungi leher. Mata yang dikelilingi lingkaran hitam serta kumis tebal itu menatap tajam Mayang. Ayam berkokok, hari siang. Segala keinginan dan impiannya akan tercapai sebentar lagi. Ya, setelah anaknya menjadi seorang pengantin demit hutan Lawu ini. Semua itu akan tercapai kelak jika Mayang sari sudah beranjak remaja.
"Kita sudah sampai."
Lagi-lagi, romonya membawanya ke tempat menakutkan ini. Sebuah pohon beringin besar yang dikelilingi sajen dan obor untuk menerangi tempat itu. Tempat ini adalah tempat bersemedi dan tempat pemujaan demit hutan Lawu.
"Mayang takut, Romo." Wajah Mayang Sari terlihat pucat pasi.
Entah apa yang akan diperintahkan romo kali ini. Tiap malam satu suro, romonya akan mengajaknya pergi ke hutan tengah malam untuk mengikuti sebuah ritual aneh. Jika dulu, dia diperintahkan untuk membawa sesajen dan mengelilingi pohon itu, kali ini romonya meminta ibunya untuk melucuti seluruh pakaiannya dan memikul nampan berisi sajen, berjalan mengelilingi tempat pemujaan.
Dingin menusuk setiap senti tulangnya. Tanpa sehelai kain pun yang melindungi kulitnya, dia berjalan tertatih-tatih sembari menggigil, menahan dingin yang hampir mengebaskan jari jemarinya.
Wajahnya semakin pucat, kulitnya pun sudah hampir berganti warna akibat dingin yang semakin menusuk. Mayang Sari menghentikan langkahnya saat sebuah cairan merah keluar dari hidungnya, dia pun terjatuh dan tak sadarkan diri.
Ketika Mayang sari membuka matanya dia sudah berada di kamarnya. Aroma kemenyan terasa lebih menyengat dari biasanya. Dia menengok ke bawah ranjangnya. Tepat sekali, ibunya pasti membakar kemenyan lebih banyak dari biasanya.
Suara decitan pintu terdengar, seorang wanita masuk membawa nampan berisi makanan. Sepiring kue serabi serta semangkuk kembang melati serta air teh hangat dan ... kemenyan.
Mayang sari memang sejak kecil senang memakan kembang melati namun, sangat tidak suka dengan aroma kemenyan. Walau sudah terbiasa namun, entah mengapa tetap saja dia tak suka dengan aroma benda itu.
Sudah berkali-kali dia protes pada ibunya untuk mengurangi sedikit agar aromanya tak begitu menyengat. Namun, ibunya hanya terdiam dan tak menjawab permintaannya itu. Ibunya adalah teman satu-satunya bagi Mayang. Tempat meluap kan keluh kesahnya. Walau ibunya tak pernah menjawab segala pertanyaannya dan tak pernah tersenyum padanya, namun dia sangat menyayangi ibunya.
Ibunya sangat patuh pada perintah romo. Dia sama sekali tak pernah membantah atau bahkan memotong ucapan romo. Tiap romo marah dengan kelakuan Mayang, ibunya hanya bersujud dan bersimpuh meminta ampun di kaki romo. Dulu pernah sekali romo memergoki ibunya membawa dia keluar rumah. Saat itulah ibunya dicambuk sampai seratus kali dengan rotan. Mayang Sari hanya dapat menangis melihat ibunya disiksa sedemikian sadisnya.
Berkali-kali romonya mengatakan jika kelak Mayang Sari melakukan seperti ibunya makan dia juga akan dihukum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top