1
Suara bernada kemarahan terdengar dari kamar sebelah yang merupakan kamar sang adik, terdengar adik satu-satunya itu tengah berdebat dengan sang ayah, lagi, untuk ke sekian kalinya. Dan permasalahannya pun masih sama, karena lagi-lagi calon yang di pilihkan orang tuanya menolak begitu mereka bertemu, yang lagi-lagi harus menunda rencana pernikahan adiknya itu.
Scarlett hanya mampu menghela napas, merasa tak berdaya. Ia tak bermaksud menghalangi kebahagiaan adik satu-satunya itu. Hanya saja, semua itu di luar kendalinya. Dengan wajah jeleknya, tak ada satu pun pria yang mendekatinya bahkan setelah sepuluh perjodohan yang di rencanakan orang tuanya termasuk tadi. Semua gagal total, para pria itu selalu sama, menolaknya tepat setelah keluar dari rumah ini, mereka akan melakukannya lewat sambungan telepon.
Sebenarnya ia tak merasa keberatan jika Charlotte, adiknya itu menikah lebih dulu darinya. Tak masalah jika ia di langkahi menikah, karena ia tau tunangan sang adik tak bisa lagi menunggu lama karena mendapat pekerjaan di luar negeri. Hanya saja, orang tuanya yang cukup kolot percaya 'jika anak perempuan di langkahi menikah, maka akan terjadi hal buruk di masa depan'. Entah hal buruk apa yang di maksud, karena menurut Scarlett bukan di langkahi menikah yang memicu terjadinya hal buruk atau mala petaka, tapi kepercayaan orang tua yang seakan doa itulah untuk anak-anaknya yang membuktikan hal itu.
Gadis berambut di kepang satu itu memilih memasang headsetnya dan mendengarkan lagu, kemudian mengambil sebuah novel berjudul 'My Angel' karangan penulis kesukaannya, ia membacanya dan mulai tenggelam, berandai-andai jika saja ia sekuat Angella yang ada di dalam novel itu, mungkin ia bisa membalas perbuatan orang-orang itu, orang-orang yang selalu menghinanya tak peduli mereka melakukannya di belakang atau pun di depannya.
Semua terasa sangat sulit bagi Scarlett, sebenarnya usianya tak setua itu, ia baru berusia dua puluh tujuh tahun, dan di zaman sekarang pada usia sepertinya di anggap tengah dalam masa produktif, ia masih memiliki waktu satu atau dua tahun lagi sebelum harus benar-benar menikah. Jika saja ia tak memiliki seorang adik yang telah lebih dulu bertunangan, maka orang tuanya takkan sibuk mencarikannya jodoh seperti ini.
Menikah, berada di urutan terakhir dalam daftar hidupnya. Ia penggila novel-novel roman karangan beberapa penulis, tapi hidup di dunia nyata berbeda dengan yang ada di buku. Buktinya sampai saat ini tak ada pangeran berkuda putih yang datang tertarik kepadanya dan menerima semua kekurangannya, semua itu tak lebih dari cerita. Jika bukan karena adiknya, ia pun enggan untuk mempermalukan diri di tolak berkali-kali oleh para pria itu.
Pagi tiba, seperti biasa Scarlett berangkat ke kantor tempatnya bekerja. Dan seperti biasanya pula sang adik menatapnya penuh permusuhan, matanya mengatakan 'semua yang terjadi padaku adalah ulahmu!', dan seperti biasanya pula ia tak terlalu mengindahkannya karena hanya itu yang bisa ia lakukan.
Setelah mencium pipi ayah, dan ibunya ia bergegas keluar dari rumah, dan terkejut melihat sejumlah orang yang tengah memindahkan barang-barang dari mobil boxs, tapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan mobil berserta orang-orang itu berada di samping rumahnya yang selama bertahun-tahun ini selalu kosong.
Akan ada penghuni baru untuk rumah di samping rumahnya itu, pikirnya. Tak terlalu memikirkannya ia memasuki mobilnya dan mengendarainya membelah jalanan padat kota New York.
Beberapa belas menit kemudian ia sampai dan memarkirkan mobilnya di tempat biasa, dan bergegas masuk ke lift untuk berdesakan dengan para karyawan lainnya. Sudut matanya menyadari beberapa tatapan sinis diarahkan padanya. Ia mengabaikannya karena itu bukanlah hal baru lagi baginya, selama dua tahun bekerja di sana ia terbiasa menerima perlakuan kurang menyenangkan terutama dari para karyawan wanita, mungkin itu terjadi karena status pekerjaannya.
"Ck, lihatlah! Apa dia tak memiliki baju bergaya lain? Dia membuatku seolah melihat sebuah film dokumenter di zaman perang dulu."
Kata-kata itu jelas di tunjukan untuknya. Scarlett hanya diam seolah tak menyadarinya, bukan ia tak berani pada sekumpulan wanita yang selalu bergerombol bersama kemana pun mereka pergi, yang mengingatkannya akan sekumpukan siswa sok cantik di sekolahnya dulu, ia hanya tak ingin membuang waktunya, ia membiarkan mereka mengatakan apapun dengan rasa kecemburuan mereka, ia berharap suatu saat nanti mereka mati karena rasa iri itu. Bukankah itu cukup menghibur?
Alasan kecemburuan para wanita itu tak lain karena ia bekerja sebagai seorang sekretaris. Menurut mereka, dengan penampilannya yang seperti alien ini, ia tak pantas dengan posisinya. Menurut mereka, merekalah yang pantas. Apa seorang sekretaris harus selalu berpenampilan sexy dan bermakeup tebal, tak bisakah mengandalkan kemampuan dan kinerjanya? Seperti ia contohnya, apakah penampilan sepenting itu? Scarlett tidak tau.
Perlahan semakin sedikit orang yang tersisa di lift dan mulai turun di lantai tujuan masing-masing, hingga akhirnya tersisa dirinya seorang diri. Lantai tempatnya bekerja tentu berada di lantai paling atas, bersama ruangan sang bos besar yang selama ia bekerja di sana selalu tertutup rapat.
Ia bekerja di perusahaan yang cukup besar di kota itu. Dan selama dua tahun ia bekerja di sana ia selalu seorang diri menempati ruangan itu. Sang bos tak pernah datang ke kantornya dan lebih suka mengontrol perusahaannya dari belakang layar. Tugasnya sehari-hari cukup simple, ia mengirimkan semua dokumen penting lewat email, begitulah cara mereka berkomunikasi hanya lewat sambungan telekomunikasi, yang membuatnya bernapas lega karena terhindar dari hal-hal kurang menyenangkan seperti dimarahi sang atasan saat suasana hati pria itu buruk.
Meski bergitu ia bertanya-tanya, seperti apakah jelmaan sosok di balik suara berat yang selalu menghubunginya setiap pagi itu. Seperti pagi ini contohnya, ia tengah berbicara dengan pria yang tak pernah terdengar kabarnya itu lewat telepon seperti biasanya, untuk melaporkan pekerjaannya. Ia bertanya-tanya berapakah usianya? Apakah ia masih muda, panas, dan tampan seperti yang selama ini ada dalam bayangan liarnya. Atau pria itu tua dengan lemak membuncit di perut seperti pemimpin perusahaan pada umumnya.
"Kau kirimkan saja seperti biasanya!" Suara berat sedikit serak itu membuat gadis itu tak dapat menahan diri untuk tak terus berfantasy liar, jika yang saat ini lawan bicaranya di sana adalah seorang pria pemilik tatapan setajam elang dan sedingin es, dengan jembatan hidung kokoh dan bibir tipis yang menyeringai sedikit sinis, kombinasi yang sangat cocok dengan suara maskukin di seberang.
"Yes, sir."
"Oke, selamat bekerja Mrs. Addison."
"Anda juga, sir."
Dan ia menarik nafas panjang setelah sambungan berakhir, seolah beberapa saat lalu pasokan udara di sekitarnya menipis. Ia terkekeh dengan khayalan konyolnya tentang atasannya itu. Yah, jangan salahkan dirinya. Salahkan saja pria itu yang bertindak sangat misterius, tak ada satu pun berita dan foto yang memuat tentang seseorang di balik suksesnya perusahaan tempatnya bekerja ini hingga memasuki sepuluh besar perusahaan terbaik di negaranya. Pastinya bukan ia saja yang bertanya-tanya dan berandai-andai tentang bagaimana sesuangguhnya sosok pria itu, bahkan ia pernah mendengar para karwayan wanita lain yang tengah bergosip dan berfantasy lebih parah darinya. Yah, mungkin inilah efek dari sikap misterius sang bos besar.
Pekerjaannya telah selesai dan ia bergegas pulang, seperti pagi tadi jalan sore pun tak kalah padat oleh para pengendara, setelah berpuluh menit harus bersabar antri dan mendengarkan pekakan bunyi klason akhirnya mobilnya terparkir manis di halaman rumah.
Scarlett keluar dengan membawa tas kerjanya, merasa di perhatikan ia berbalik menatap kearah rumah di seberang sana, tepat di depan rumah itu seorang pria tinggi tegap berbadan kekar menatapnya sedikit lekat, merasa tak nyaman ia bergegas masuk ke dalam rumah.
Scarlett berjalan cepat melewati adiknya yang tengah menonton sebuah acara gosip selebriti di ruang tengah. Ia tak tau mengapa ia selalu gugup dan tak nyaman setiap bertatapan dengan seorang pria, inilah kesalahannya, mungkin karena hal ini jugalah yang membuatnya tak pernah memiliki pengalaman dengan lawan jenis, apalagi memiliki seorang kekasih, itu adalah hal yang lebih mustahil lagi di tambah wajah jeleknya.
Pria itu pasti tetangga barunya, pikirnya. Tak ada yang salah dengan pria itu, pria itu memiliki wajah tampan yang sulit di lupakan dengan sorot tajam, alis tebal, jembatan hidung angkuh, bibir tipis dan rahang tegas. Persis seperti pria yang selalu di gambarkan dalam novel kesuakaannya. Oh, dan jangan lupakan tubuhnya yang tegap, atletis hingga membuat otot-otot perutnya membayang samar di balik kemeja hitam ketat di tubuhnya. Dan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan menambah kesan maskulin, memguarkan aroma berbahaya yang bisa menarik para wanita mana pun ke dalam dekapan kokohnya.
Scarlett memukul kepala untuk menghentikan bayangan konyolnya. Hari ini entah mengapa ia terus membayangkan tipe-tipe pria idamannya dari dalam novel, sepertinya ia harus berhenti membaca buku-buku itu mulai sekarang jika tidak ia pasti akan gila.
Tbc..
**
Yah, gimana ceritanya? Apa menarik atau malah ngebosenin?
Please komen di bawah ya guys, agar aku tau lanjut ini project apa enggak.
See you..
17 April 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top