BAB 9
"Sejak kapan kau mengenal Max, Eve?"
"Sejak aku mulai berkencan dengan Axel. Menurutku Max pria yang baik, tetapi dipertemuan pertama kami ia begitu dingin dan terlihat tak suka saat Axel berhubungan denganku." Evelyn menjelaskan dengan santai sembari mengikuti alunan musik yang sedang diputar dalam mobilnya. "Sekarang kami merasa akrab."
Dua wanita itu sedang berada dalam sebuah mobil menuju Winchester, kota yang memiliki sejarah pada setiap bangunan kunonya. Emily sebenarnya ragu menerima tawaran makan siang itu, ia takut kalau Evelyn hanya mengada-ada untuk menghiburnya.
Namun, wanita yang saat ini menggunakan blouse biru dengan celana jin hitam yang dipadukan boots warna senada, menunjukkan pesan Axel yang menyuruhnya ikut serta atas permintaan Max.
Emily langsung merona membacanya. Entah hanya perasaan senang karena ada pria yang mengajaknya makan siang atau perasaan lain yang membingungkan.
Entahlah, Emily tak mau pusing memikirkannya. Apalagi mobil yang membawanya pergi sudah memasuki area parkir sebuah restoran bernuansa Eropa kuno. Mereka sampai pada bangunan bergaya khas Itali yang memiliki tiga lantai.
"Axel sudah menunggu di atap, Eme. Ayo!" seru Evelyn setelah memeriksa ponselnya.
Restoran itu tak menyediakan lift, mereka harus menaiki anak tangga untuk sampai pada tempat yang sudah direservasi oleh Axel.
Saat sampai, pria yang memakai kemeja hitam dengan kacamata berwarna senada itu melambaikan tangan dari ujung meja dekat pembatas bangunan.
Tak banyak meja makan di sana. Sepertinya tempat yang dikelilingi tanaman merambat di atas tembok pembatas setinggi dada itu, sengaja dibuat agar suasananya tak begitu ramai.
Evelyn meraih tangan Emily dan berjalan santai menuju Axel, sementara Emily yang tak mendapati sosok lain di dekat pria keturunan Belanda itu, melunturkan senyumnya.
Minuman yang tersedia pun hanya satu, menandakan kalau Axel memang sendiri. Lalu ... kenapa Emily merasa kecewa sekarang?
"Kalian sudah datang?"
Sebuah tangan merengkuh pinggang Emily dari belakang, membuat wanita itu kontan berhenti dan melihat pria dengan kacamata berwarna cokelat yang masih bisa memperlihatkan iris gelapnya, tersenyum memamerkan lesung pipi.
"Max!" Evelyn yang juga terkejut, berseru girang.
"Hai, Eve." Max memeluk singkat wanita tinggi itu setelah melepas rengkuhanya dengan meninggalkan remasan kecil pada pinggang Emily.
Emily yang menonton keakraban dua orang itu, kembali terkejut saat tangan Max kembali merengkuh pinggangnya dan mengajaknya berjalan. Sementara Evelyn sudah lebih dulu menghampiri Axel.
"Apa kau selalu begitu?" Max bertanya, tersenyum menatap manik karamel Emily yang mengerjap pelan. "Apa kau tahu Eme? Itu menggemaskan," sambungnya dan menarik kursi untuk Emily yang sepertinya masih terkejut dengan keberadaannya.
Bukan hanya terkejut, Emily juga sedang menormalkan detak jantung yang kembali ribut saat Max dengan berani menyentuhnya.
"Hai, Eme?"
Atensi Emily tertuju pada pria berkacamata hitam yang memanggilnya. Ia memeluk singkat Axel sebelum duduk di kursi yang disediakan Max.
"Aku tak tahu jika Emily Theodor yang dikenal Max, adalah Eme sahabat Evelyn." Axel mengenal Emily sebagai Eme, ia tak tahu nama lengkap wanita itu karena mengikuti Evelyn yang memanggilnya begitu. Jadi, ia sedikit terkejut saat Max bercerita tentang Emily Theodor adalah Eme sahabat kekasihnya.
"Ya ... itu aku." Emily melirik Max yang duduk di sebelahnya. Pria itu melepas kacamata, meletakkannya di atas meja dan membetulkan gulungan lengan kemejanya yang sedikit turun.
Oh, Tuhan. Bahkan tindakkan kecil itu saja menambah standar ketampanan Max. Emily rasanya mulai tak waras.
Obrolan dari Axel dan Evelyn tak begitu masuk ke dalam otak Emily, ia hanya mengangguk dan tersenyum. Sesekali melirik Max yang terlihat beberapa kali mengecek ponsel sebelum seorang pelayan membawa satu gueridon berisi penuh makanan yang sudah dipesan Axel lewat tab di atas meja restoran.
Setiap meja difasilitasi payung besar yang memberi efek teduh, meski cuaca Las Vegas di bulan Juli cukup terik.
Mereka hanyut dalam obrolan yang lebih didominasi oleh sindiran Evelyn pada Axel, sementara Max yang lagi-lagi membuat Emily menikmati detak jantung bertalunya, melakukan hal tak terduga dengan memotong daging steak di atas piringnya.
"Kenapa melakukan itu?" bisik Emily, membuat Max yang baru saja meletakkan piring di depannya, menoleh.
"Entah, mungkin hanya tak ingin kau melakukan hal ceroboh seperti memotong daging sampai potongannya terlempar mengenai pelanggan di ujung sana." Max tersenyum seperti biasa setelah melempar penuturan yang membuat Emily mendengkus kecil.
Perasaan kagum Emily mulai lenyap ketika mengingat pria yang sejak pertama kali bertemu dengannya ini, memang selalu mengeluarkan kalimat menyebalkan.
Mereka selesai dengan acara makan siang dan dilanjutkan oleh obrolan ringan yang membuat Emily tahu keakraban antara kekasih Evelyn dan pria di sampingnya. Sampai acara itu diakhiri dengan sebuah pernyataan yang membuat Emily sedikit bingung.
"Maaf, Eme. Tak apa-apa bukan kalau kau pulang bersama Max?"
Rasanya Emily ingin menggeleng saat Evelyn memilih pulang dengan Axel dan menyuruhnya ikut bersama pria yang entah kenapa selalu mengundang suasana berbeda di hatinya. Namun, Emily hanya diam dan pada akhirnya mengangguk pendek.
"Tak apa, Eve. Temanmu aman denganku." Max menjawab saat melihat tubuh Emily bergerak tak nyaman.
"Aku percaya," kata Evelyn dengan mengedipkan sebelah matanya.
Emily mulai curiga kalau Darrel dan Evelyn bersaudara karena selalu mengedipkan mata seperti itu.
Setelah pasangan itu pergi Emily mulai merasa ada yang aneh. Oh, ayolah! Pengalamannya bersama pria hanya dengan Steve. Darrel dan Adofo tak masuk hitungan karena mereka hanya teman yang terkadang menyebalkan.
"Aku datang bersama Axel, dia sengaja tak membawa mobilnya karena berencana pulang dengan Evelyn."
Suara Max mengambil alih atensi Emily yang mulai merasa gugup karena hanya ada mereka berdua di atap gedung. Jam sudah menunjukkan pukul 17:20 PDT dengan suasana berangin dan refleksi warna jingga yang menyentuh setiap sisi bangunan.
Mata Emily mencari sumber cahaya, lalu senyum kecil terbit di bibir berwarna nude miliknya saat melihat sunset mulai menampakkan diri.
"Kopi atau teh?"
"Ya?" tanggap Emily spontan. "Boleh aku pesan gelato rasa vanila?" lanjutnya saat melihat pria yang tadi menawarinya minuman sedang memesan menu lewat tab di atas meja yang memang disediakan pihak restoran sebagai sarana mempermudah pengunjung untuk memesan atau menembah pesanan.
Max menoleh, lalu tersenyum tipis sebelum mengangguk kecil."Tentu saja boleh. Jadi kau seorang Graphic Designer, Eme?"
Di sela-sela percakapan tadi, Max baru tahu kalau Emily bekerja sebagai pembuat desain grafis pada buku-buku bacaan sekolah atau novel. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Emily bekerja di salah satu rumah penerbit.
"Hmmm." Emily mengangguk riang. "Aku suka menulis, membuat gambar pada layar tab-ku juga suka dengan warna-warna cerah yang unik pada sampul buku. Mungkin itu alasannya kenapa aku diterima di sana," terang Emily dan kembali menatap matahari yang terlihat manis di ujung langit Las Vegas. "Wah, itu terlihat indah. Aku ingin menuliskan sesuatu!"
Wajah yang tenang beberapa detik lalu seketika berganti menjadi raut girang. Max yang sedikit terkejut mengikuti arah pandang Emily yang ternyata sedang terkagum dengan matahari sore.
Tanpa sadar, Max tersenyum melihat bagaimana wanita itu mengeluarkan ponsel dan mengetik sesuatu yang entah apa. Mata itu bergerak indah dengan senyum kecil yang membuat pipi Emily tampak naik ke atas sementara tangannya dengan lincah mengetik sesuatu dalam ponsel.
"Kau sedang menulis apa?" Max menangkap semangat yang meluap dari tatapan seperti seekor anak rusa. Begitu menggemaskan untuk wanita dewasa seperti Emily.
"Darrel benar!"
"Darrel?" Alis Max bertaut kebingungan. Ah, ia lupa kalau gadis itu sedikit aneh. "Dia kekasihmu?"
Menggeleng cepat, Emily lantas meringis. "Dia teman kerjaku. Dia bilang aku lebih baik kembali fokus menulis buku walau tak begitu laku," ujarnya, lalu makin meringis malu.
"Tapi aku yakin, ia berkata seperti itu karena tahu kalau menulis membuatku bersemangat. Adofo juga mengatakan kalau aku terlihat seperti menyerap semua energi baik ketika mulai menuliskan sesuatu di note-ku. Eve juga berkata seperti itu, meskipun ia tak suka membaca, tetapi ia mendukungku." Emily melanjutkan dengan menggebu-gebu.
Max tak mengenal Darrel atau Adofo yang sedang dibicarakan wanita itu. Hanya nama Evelyn yang ia tahu, tetapi senyumnya ikut mengembang melihat bagaimana Emily begitu antusias menceritakan hobinya.
"Berapa banyak buku yang sudah kau tulis?"
"Hmmm ... satu. Aku belum mulai menulis lagi." Lebih tepatnya saat Emily mulai berkencan dengan Steve.
Kyle bilang. Pergilah berkencan, Eme! Agar tulisanmu memiliki nyawa.
Jadi Emily mencobanya dan ingin menulis lagi sekarang. "Kau suka membaca, Max?"
Max menggeleng. Seorang pelayan menjeda percakapan mereka membawa segelas kopi dan gelato rasa vanila, lalu meletakkannya di atas meja sebelum kembali pergi.
"Aku lebih suka mendengarkan orang bercerita daripada membaca cerita." Entah itu sadar atau tidak, tangan Max terulur menyelipkan rambut sebahu Emily yang tersapu angin, sebelum menyambar cangkir kopi untuk diminum.
Sementara itu, Emily baru saja membuang napasnya setelah mendapat perlakuan kecil Max. Rasanya tangan itu memiliki volt bertegangan rendah hingga saat bersentuhan dengan kulitnya ada sengatan kecil yang membuat Emily sedikit terkejut.
"Sekarang ceritakan tentang hobimu. Aku ingn mendengarnya, Eme."
Ternyata bukan hanya tindakkan Max yang mengantarkan daya listrik, tetapi ucapan pria itu juga membuat Emily merasakan sengatan kecil di hatinya. Apalagi senyum dengan lesung pipi yang begitu manis selalu Max tampilkan.
Steve tak pernah mengajak bicara tentang hobinya. Pria itu lebih banyak menceritakan keluhan dalam dunia modeling yang hanya ditanggapi Emily oleh anggukkan tak mengerti.
Saat melihat Emily terdiam, Max justru menikmati bagaimana mata, alis, hidung, dan bibir kecil Emily begitu manis tersorot bias kemerahan dari matahari.
"Sejak kecil, ibuku selalu membelikan buku bacaan!" Emily mulai bicara dengan penuh semangat.
Terkesiap menatap bibir Emily yang bergerak dan kembali bersuara, Max berdeham samar. Lalu tersenyum sambil bersandar pada punggung kursi.
"Buku bacaan dengan gambar menarik. Aku lebih suka dengan proyeksi gambarnya daripada tulisannya." Emily semakin berapi-api mengingat awal mulai ia mencintai dunia literasi.
"Mungkin saat mulai bersekolah aku mulai menyukai membaca. Lebih tepatnya membaca novel bukan buku bacaan sekolah. Belajar membuatku mengantuk," sambungnya dengan ringisan malu yang membuat Max terkekeh kecil.
"Lalu?" tanggap Max dengan tangan yang terlipat ke bawah dada, kemudian mendengarkan cerita Emily yang sebenarnya tak terlalu ia cerna.
Max hanya merekam bagaimana raut wajah itu berubah-ubah menggemaskan ketika menyerukan detail kalimat yang terkadang membuat Emily terlihat bodoh dan ceroboh.
"Aku juga bermimpi menjadi seorang penulis yang ceritanya difilmkan, lalu orang-orang akan mengenalku sebagai penulis EmT. Aku juga ingin pergi ke Paris. Ibuku menyukai kota itu dan ...." Emily terus bercerita tanpa jeda dengan mata yang penuh berbinar.
Namun, sorot mata berambisi itu mengingatkan Max pada sesuatu yang membuat senyum di bibirnya mulai pudar tanpa ragu.
Erlin Park
-LparkC-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top