BAB 6
Kembali berdiri bersama Adofo dalam lift, Emily tersenyum makin lebar setelah membaca pesan Steve yang ingin mengajaknya makan malam. Memasukkan ponsel ke dalam tas dengan senyum yang tak luntur sama sekali, ia menoleh pada pria lain di belakangnya. Oh ... astaga! Ia lupa ada pria Prancis yang suka mengintip pesan lewat punggung.
"Apa dia sudah jadi pengangguran, Eme? Sepertinya memiliki banyak waktu untukmu."
Emily mendelik tajam, mulai kesal dengan Darrel yang malah mengedipkan sebelah mata seperti biasa. "Tentu saja tidak! Dia sudah menjadi model terkenal."
"Kemarin aku melihatnya dengan mobil baru. Apa dia sudah membuang mobilmu?" timbrung Adofo. "Di mana benda rongsokanmu itu?"
Emily biasanya marah saat ada orang yang menyebut mobilnya sebagai benda rongsokan, tetapi mengingat Steve juga merasa kesulitan membawa roda empat itu, Emily hanya menghela napas pelan menanggapinya.
Ah, dia mulai merindukan mobil tuanya. "Sudah kujual," jawab Emily dan berjalan lebih dulu saat pintu besi di depannya terbuka lebar.
"Apa?! Kau menjualnya? Pada siapa? Bukankah aku sudah berkali-kali mengatakan kalau aku ingin mobil itu?" cecar Adofo di belakang Emily.
Mereka bertiga masuk ke ruang kerja. Emily terus mengabaikan Adofo dengan semua pertanyaannya.
"Eme, kau dengar aku?!"
"Tentu saja!" cetus Emily. "Kau selalu menyebut mobilku benda rongsokan, jadi aku menjualnya pada orang lain dengan harga tinggi."
"Oh, Tuhan! Eme, kau bahkan belum menawarinya padaku? Kita bisa bernego tentang harga." Adofo mulai merasa kesal. Dari dulu ia sudah menaruh minat pada mobil jenis mini cooper dengan warna kuning menyala itu, sangat mirip dengan mobil yang dikendarai oleh Mr. Bean. Adofo yang mencintai benda-benda kelasik langsung jatuh cinta pada kereta besi milik Emily. "Padahal aku sudah jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya, Eme. Kau benar-benar tega," keluh pria hitam itu.
Emily meringis melihat wajah Adofo. Ia sebenarnya tak berniat menjual benda itu, tetapi mau bagaimana lagi?
"Di mana kau menjualnya?" Sepertinya Adofo tak putus asa untuk memiliki mobil keluaran tahun 1959 itu.
Wanita itu makin meringis mendengarnya. "Aku tak tahu," lirih Emily.
Adofo mengernyit sembari mendekatkan tubuh ke arah Emily bersama kursi putar yang baru saja ia duduki. "Bagaimana bisa kau tak tahu, Eme?"
Sementara Darrel yang baru selesai menggoda wanita di kubikel pojok ruangan, memicingkan mata dengan bokong yang ia sandarkan pada meja kerja Emily. "Apa si Model itu yang menjualnya untuk membeli mobil baru?" tebak Darrel, lalu saat instingnya bekerja cepat ia hanya memutar mata hijaunya dengan malas. "Eme, Sayang. Aku benar-benar merasa kasihan padamu. Lebih baik kau kembali fokus menulis buku meski tak pernah laku." Kemudian berjalan menuju kubikelnya sembari melepas mantel marun di tubuhnya.
Emily mendelik kesal ke arah Darrel sebelum kembali menatap simpati pada Adofo. "Nanti akan aku tanyakan di mana Steve menjualnya, Ado. Aku--"
"Oh, Tuhan Eme! Jika kau adikku, aku benar-benar akan mencekik pria itu sekarang juga. Kau tak tahu kalau mobil rongsokanmu itu punya nilai yang ... oh, astaga! Sudahlah lupakan saja! Jika mobilmu jatuh ke para kolektor, impianku memiliki mobil itu sudah pupus, Eme! Oh, tidak ... aku benar-benar tak akan fokus bekerja hari ini!" Adofa berdecak kasar, lalu kembali pada kubikelnya dengan emosi yang menggebu-gebu.
Sementara Emily tak menyahuti lagi. Ia hanya diam sambil menyalakan layar komputernya dengan keadaan bingung. Ia tak tahu kalau Adofo begitu terobsesi dengan mobilnya.
***
Keringat yang muncul dari kepala, mulai membasahi rambut pirangnya. Menetes melewati pipi dan leher dengan jakun yang bergerak turun naik saat menenggak air putih dalam kemasan botol.
Selesai melakukan olahraga berjalan di atas treadmill selama satu jam lamanya, kini Max yang terduduk dengan celana short sport berwarna hitam sedang sibuk mengatur napas memburunya.
Tempat gym khusus yang terletak di atas bar miliknya, mempunyai beberapa alat olahraga. Treadmill, wheel roller, health gym, dan alat bantu sit up. Di pojok kiri dekat jendela kaca pengganti tembok yang menampilkan kegersangan kota Las Vegas, ada samsak tinju yang saat ini menjadi tujuan Max selanjutnya.
"Halo, dude."
Max yang sudah memakai sarung tangan tinju, menoleh ke arah pintu. "Kau? Ada apa?" tanyanya datar dan melakukan peregangan sebelum memberi pukulan keras pada samsak merah yang menggantung di sana.
Pria yang bersahabat dengan Max sejak lama, berjalan masuk menuju pria yang sudah sangat berkeringat. "Ck, kasihan sekali otot-ototmu yang tak lagi dimanjakan wanita, Max."
Max mengabaikan hal biasa yang keluar dari mulut pria keturunan Belanda itu. Menjatuhkan pukulan demi pukulan tanpa peduli pada tamu yang harusnya ia sambut hangat.
"Emily Theodor?"
Refleks menoleh, Max mengeryit saat pria yang ia kenal sebagai Axelard van Advonso, menyebutkan nama yang ia kenal. Kemudian sadar, kartu nama yang ia ambil dari tas seorang wanita beberapa waktu lalu, ternyata jatuh dalam ruang gym.
"Aku sepertinya mengenal nama ini, tapi ...." Axel mengernyit dengan tangan yang memutar-mutar kartu nama milik seorang wanita. "Tunggu, apa kau sudah kembali membuka hati dengan wanita lain, Max? Wow, dude itu sebuah kemajuan besar! Kupikir kau ... ah, baiklah-baiklah." Axel meringis melihat pria dengan sarung tinju itu menatap tajam ke arahnya.
"Siapa dia, Max?" tanya Axel penasaran.
Sayangnya, pria yang tubuhnya sudah bermandikan keringat itu hanya diam setelah mengedikan bahu. Jadi, Axel tak mau melanjutkannya lagi jika tak ingin menjadi samsak hidup.
Mengganti topik setelah melihat Max selesai dengan olahraga beratnya, Axel melempar botol minum yang tersisa setengah pada pria yang sudah melepas sebelah sarung tangan tinjunya.
"Ada masalah?" Meski terlihat tak peduli, Max selalu peka dengan keadaan orang-orang di sekitarnya.
"Bisa kau bantu aku menghubungi, Eve?"
Kening Max mengernyit dalam. Sambil membuka sarung tinju di tangan lainnya, ia berjalan menuju pria yang malah terbaring menatap langit-langit dalam ruangan itu.
"Dia kabur dari rumahku." Axel mengembuskan napas pasrah.
"Aku tak tertarik dengan masalahmu," balas Max, lalu menghabiskan air minumnya.
Mengumpat pelan, Axel bangun dan menatap Max yang duduk di sisinya. "Dia salah paham tentangku, Max. Aku tahu dia lebih mudah percaya padamu. Eve melihatku--"
"Menggoda wanita lain?" sela Max dengan dengkusan gelinya.
"Oh, Tuhan, Max! Aku tak menggoda wanita lain. Mereka yang datang sendiri dan ... oh, sial! Kenapa aku jadi menjelaskannya padamu."
Lantas dengkusan kasar keluar dari pria yang baru saja menyugar rambut lepeknya. "Kalau begitu jelaskan padanya."
"Aku tak bisa. Eve tak mau mengangkat teleponku dan sekarang aku tak tahu di mana dia." Axel kembali terbaring dengan keadaan frustrasi.
Berdiri meninggalkan Axel menuju kamar mandi, Max kembali berujar, "Sudah kubilang, aku tak tertarik dengan masalah orang lain." Karena ia juga punya masalah yang berusaha ia abaikan.
***
Pagi tadi Emily begitu berbunga-bunga mendapatkan pesan ajakan makan malam dari kekasihnya. Lalu sorenya dibuat cemberut saat Steve membatalkan acara itu dengan alasan pekerjaan mendesak.
Sekarang dengan sepatu sneaker putihnya, Emily berdiri di depan gedung perusahaan setelah melempar pesan balasan pada Evelyn yang mengatakan akan menjemputnya malam ini.
Tak lama mobil hitam yang kapnya terbuka, berhenti di depannya dengan seorang wanita berpakaian ala party duduk di balik kemudi.
"Eme Sayang, ayo naik!" seru Evelyn dengan baju berbahan satin yang hanya memiliki tali spageti di bahu sebagai penahannya.
Tersenyum lebar melihat Emily yang masuk dengan kening mengkerut, Evelyn melepar paper bag pada wanita itu.
"Apa ini?" tanya Emily sambil mengintip isi benda yang diberikan Evelyn. "Apa kau akan pergi ke pesta, Eve?" Lalu ia menelisik tampilan wanita yang kembali sibuk dengan kemudinya.
"Kita akan melewati malam ini dengan gairah menggebu, Eme! Kaubilang Steve membatalkan acaranya, bukan? Sekarang kita balas perbuatan pria yang sering mengumbar janji, tetapi lupa untuk menepati!" sahut Evelyn penuh emosi.
Masih tak mengerti dan hanya terdiam mendengar ucapan penuh semangat itu, Emily kembali melihat ke dalam paper bag.
"Sudahlah! Otak kecilmu sedikit lamban mencernanya. Aku akan berhenti di minimarket dan kau akan pakai toiletnya untuk mengganti pakaianmu dengan yang aku belikan tadi!"
Mata Emily melebar, bukan terkejut karena ucapan Evelyn yang mengajaknya clubing. Namun, pada kain tipis yang baru saja ia keluarkan dari dalam bungkusan merek ternama itu.
"Oh, Tuhan! Eve, kau tak serius menyuruhku memakai sapu tangan ini, bukan?" Emily tak percaya jika pakaian yang mungkin lebih kecil dari gulungan sapu tangan itu, akan menutupi bokongnya.
Tertawa sembari memutar setir menuju parkiran minimarket di sisi jalan, Evelyn mengedipkan sebelah mata dengan nakal. "Jadi gadis liar satu malam tak apa-apa, Eme. Kau harus menunjukkan tubuh mungil berisimu pada pria tampan lainnya. Jangan terus-terusan menyembunyikannya dalam mantel dan jin kusut itu."
Emily menggeleng cepat. "Tidak! Aku tak bisa memakai ini."
"Ayolah, Eme! Demi aku. Sahabatmu yang sedang patah hati. Temani aku melupakan pria berengsek itu," rengek Evelyn dan ia tahu wanita itu tak akan tega.
Setelah sekian detik, Evelyn tersenyum karena Emily turun dari mobil meski dengan wajah yang terlihat menggerutu.
"Setelah ini aku tak mau menjadi sahabatmu lagi!"
"Aku juga mencintaimu, Eme!" balas Evelyn bangga.
***
Sungguh!
Emily tak keberatan menemani wanita yang sedang patah hati itu, bahkan memakai dress yang hampir memamerkan semua belahan dadanya. Lalu memakai polesan lipstik merah milik Evelyn di bibirnya. Namun, tidak dengan hal satu ini.
Berdiri kaku di depan sebuah bar yang menjadi tempat kegilaannya setelah meminum segelas long island--seingatnya--Emily berdeham sebentar setelah bergerak tak nyaman karena pakaiannya. Ia harap orang-orang yang saat itu menjadi saksi mata, telah dibawa pergi oleh pesawat luar angkasa karena Emily sudah membatalkan rencananya untuk pindah.
"Eve, apa tak ada bar lain, selain ini?"
"Ada," sahut Evelyn membawa tubuh Emily masuk dengan langkah cepat. "Tapi aku mengenal pemilik bar ini."
Emily mendesah pelan. Sambil menghela napas dalam, ia berjalan mengikuti wanita pirang yang saat ini mengedarkan pandangan untuk mencari seseorang.
"Dapat!"
Emily yang sudah bisa menikmati musik jazz saat mulai memasuki bar, menoleh pada Evelyn yang terlihat antusias. Ia mengikuti arah pandang wanita itu yang tertuju pada meja bartender panjang dengan stool bar berjejer di depannya. Lalu, matanya menangkap sosok pria yang hanya menampilkan punggung saja.
"Ayo, Eme!" Mengabaikan protes Emily, Evelyn berjalan dengan menarik tangan wanita yang malam ini sedikit tinggi dengan heels berukuran 5cm.
Sepertinya Evelyn memang berencana mengubah Emily menjadi gadis nakal satu malam.
"Max!"
Tunggu dulu! Max? Siapa yang dipanggil Evelyn?
Oh, tidak ... Emily tak mau bertemu dengan pria yang pernah melihat kegilaannya saat mabuk. Ah, sial! Kenapa pria itu datang malam ini? Kebetulan yang sungguh sial jika benar. Apa pria itu ketinggalan pesawat luar angkasa?
Oh, astaga! Emily mulai melantur.
"Evelyn?"
Damn!
Pria itu benar dia.
"Hai, Max." Evelyn berseru girang sebelum memeluk singkat pria tinggi itu.
"Wow, kebetulan yang luar biasa. Tadi sore Axel datang dan malam ini kau."
Emily harap pria itu tak mengenalinya atau lebih baik lagi tak melihat keberadaannya. Namun, sepertinya itu tak mungkin karena Evelyn malah mempernalkannya dengan bangga.
"Max, ini Emily--"
"Theodor?" sambung Max, lalu tersenyum tipis hingga lubang kecil di pipi kirinya muncul dengan manis. "Masih mengingatku, Nona Theodor?" Max ingin tertawa melihat wajah Emily menjadi tegang saat ia menjulurkan tangan.
Emily mengembuskan napas pasrah. Ia harap saat pulang dari tempat itu ada pesawat luar angkasa yang akan membawanya menuju istana Kensington, lalu menukar tubuhnya dengan milik Kate Middleton dan dia akan jadi seorang istri dari pengeran Inggris.
Oh, Tuhan! Emily mulai gila padahal ia belum mabuk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top