BAB 5


Emily sudah duduk manis di kursi penumpang. Tangannya terulur menyalakan musik pada tape yang ada dalam mobil baru Steve. Meski awalnya terkejut bukan main, tetapi Emily tak ambil pusing dan menikmati kebersamaannya dengan sang kekasih.

"Eme, apa kau marah?"

"Aku?" tanya Emily kebingungan. "Kenapa harus marah?"

Steve tersenyum tipis mendengarnya. Ia menjemput Emily sekaligus mengajak dinner di salah satu restoran Jepang kesukaan wanita itu.

"Jika uangku sudah terkumpul, aku akan mengganti mobilmu nanti." Berujar lembut, Steve kembali fokus pada jalan menuju apartemen Emily.

Mobil yang digunakannya dibeli dengan cara menukar tambah mobil Emily yang memang sudah ia kuasai sejak mereka mulai menjalin hubungan. Steve pikir Emily akan marah karena mobilnya dijual tanpa izin, tetapi Steve lupa kalau Emily memang tipekal wanita yang mudah marah dan juga cepat lupa.

Awalnya Emily memang terkejut, lalu terlihat kesal karena mobil peninggalan ibunya ditukar tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Namun, saat mendengar bagaimana Steve menjelaskan kesulitan mengurus benda roda empatnya yang sering mogok di jalan. Emily akhirnya mengerti dan percaya kalau Steve akan mengganti mobil tua yang sebenarnya diincar Adofo sejak lama.

"Aku percaya, Steve. Maaf, pasti mobil itu merepotkanmu."

Ughh, Steve tak pernah bertemu wanita selembut dan sebodoh Emily. Lihatlah, bahkan wanita itu yang meminta maaf. Ah, ia merasa kejam sekarang karena berbohong tentang mobil Emily yang sebenarnya masih sangat bagus meski terbilang keluaran lama.

"Tidak apa-apa." Steve memutar setir menuju area gedung apartemen Emily. Berhenti tepat di pintu masuk dan keluar mengitari cup mobil ferrari berwarna hitam metalic itu, Steve membuka pintu penumpangnya.

Tersipu malu, Emily menyambut uluran tangan Steve dengan anggun. "Jangan terlalu keras, Steve. Kau juga harus istirahat." Ia memeluk pria tinggi dengan rambut yang kini berubah menjadi warna silver, di hadapannya.

Melepas pelukan perpisahan itu, Steve mengecup kilat pipi kanan Emily. "Aku mencintaimu, Eme. Nanti aku kabari jika sudah selesai bertemu asisten CEO dari majalah itu."

"Ini sudah malam, Steve. Kau pasti lelah karena masih harus terus bekerja." Raut wajah Emily terlihat begitu simpati.

"Tidak apa. Ini demi masa depan kita, bukan?" Mengusap lembut puncak kepala berambut sebahu itu, Steve tersenyum manis. "Baiklah, kalau begitu aku pergi. Sampai jumpa Emily Sayang!" Lalu ia pergi setelah melambaikan tangan yang hanya dibalas senyum termanis oleh wanita itu.

Dalam mobil Steve tersenyum puas. Sebenarnya ia tak tega menjadikan Emily wanita bodoh yang mau saja ia bohongi perihal pertemuannya malam ini. Ponsel yang ia mode silent terus mengeluarkan notifikasi pesan dan panggilan dari Jane yang sudah menunggunya di apartemen. Lalu, saat ia berkata harus pergi untuk bertemu asisten CEO dari perusahaan majalah yang merekrutnya sebagai model kontrak, Emily dengan mudah mengangguk dan percaya begitu saja.

Sial! Berengsek sekali dirinya. Namun, mau bagaimana lagi? Ia menyayangi Emily, teman masa kecilnya yang sudah terlihat begitu menyukainya sejak lama dan tepat enam bulan yang lalu, Steve memutuskan meresmikan hubungannya yang langsung disambut antusias oleh Emily.

Steve pikir, nanti ia pasti akan mencintai Emily seperti wanita itu mencintai ia dengan kebodohnya. Sayangnya, sampai saat ini bahkan ia tak bisa melihat Emily sebagai wanita, karena Steve hanya menganggap Emily sebagai seorang adik perempuan yang lucu.

Dia akui, dia memang berengsek.

***

Keluar dari pintu lift apartemen yang mengantarkannya ke lantai 21, Emily mengernyit saat mendapati seorang wanita terduduk di depan pintu kamarnya.

"Evelyn!" jerit Emily mengejutkan.

Wanita yang terduduk sambil memeluk mantel itu mendongak. Berdiri menyambut pelukan Emily yang berlari ke arahnya.

"Oh, Eme! Aku merindukanmu!" Wanita bernama Evelyn Walcoth itu, melepas pelukan pada wanita yang lebih pendek darinya. "Dan aku benci! Kau masih memakai kunci manual, Eme! Astaga, ini jaman modern. Awalnya aku ingin menghubungimu untuk meminta sandi apartemen ini, tapi ... ah, sudahlah!"

Menyengir sebelum merogoh anak kunci dalam tasnya, Emily membuka pintu membiarkan Evelyn masuk dan menyambar koper yang bersandar di tempat wanita itu terduduk menunggunya. Ia sedikit heran, kenapa sahabatnya membawa satu buah koper yang cukup besar saat berkunjung ke tempatnya?

"Hai, Mako?" sapa Evelyn pada penghuni lain dalam apartemen itu. "Apa kau sudah menyaksikan percintaan erotis pemilikmu di atas sofa ini?" Evelyn terkikik geli saat mendengar decak kesal dari Emily yang berjalan menyeret kopernya.

Seekor kura-kura Brazil berwarna hijau itu sedang tenang berkeliaran di rumahnya dalam kotak kaca berukuran 60×30cm.

Evelyn kemudian duduk pada satu-satunya sofa panjang yang menghadap layar televisi dalam apartemen. Ia menelisik tempat itu yang sudah beberapa bulan ini tak ia kunjungi. Tak ada yang berubah menurutnya, kecuali kotak kaca tempat Mako hidup saat ini makin besar.

"Kau membawa koper besar sekali." Emily membuka blazer, menyisakan tanktop hitam yang begitu kontras melekat di kulit putih pucatnya, lalu berjalan menuju pantri. "Kau akan pindah?"

"Ya." Evelyn menatap Emily yang sibuk meminum sesuatu dalam kulkas. "Aku akan pindah ke sini," sambungnya santai.

"Apa?!" Emily nyaris saja menyemburkan jus jeruknya. "Kenapa? Kau bertengkar dengan Axel?"

"Kami putus." Wanita yang pernah menjadi model kontrak dari majalah Victoria Secret itu, menelisik kukunya yang bermotif monokrom.

"Kenapa?" Emily yang terkejut, memilih duduk bersama Evelyn dengan segelas jus yang belum habis ia minum. "Bukankah kau bilang akan menikah dengannya?"

Emily masih ingat, bagaimana Evelyn begitu menggebu-gebu saat menceritakan tentang rencana pernikahan yang akan digelar di Maldives. Saat itu, ia bahkan sangat iri pada Evelyn yang selalu beruntung dalam segala hal.

Memiliki karir yang bagus, keluarga yang menyayanginya, bentuk tubuh profesional, wajah cantik khas wanita Perancis yang memiliki mata hijau seperti chrysoprase dengan tulang hidung yang kecil, tetapi terlihat tegas dan sedikit freckles di sekitarnya, serta kekasih yang tampan seperti Axel.

Meski untuk opsi terakhir Emily sudah bisa menyombongkan hal itu, tetap saja ia sedikit iri dan merasa tak puas dengan dirinya sendiri.

Lantas, saat Evelyn berkata dengan santai telah mengakhiri hubungan yang sudah bertahun-tahun dijalin, Emily tentu saja terkejut bukan main.

"Apa Axel membuatmu hamil?" Emily tahu kalau Evelyn tak mau hamil meski nanti sudah meresmikan hubungannya dengan sebuah pernikahan.

"Tidak." Mendesah kasar setelah selesai menelisik tampilan kuku barunya, Evelyn menatap Emily nanar. "Dia selingkuh, Eme! Oh, Tuhan aku tidak bisa mentolerir kesalahannya yang satu itu. Aku benar-benar membencinya sekarang!"

Emily mengerjap cepat. Ia tak percaya kalau pria yang begitu memuja sahabatnya ini bisa melakukan hal serupa dengan yang kekasihnya lakukan beberapa waktu lalu. Oh, tidak. Jika Emily berbicara tentang kelakuan Steve pada Evelyn, wanita berambut pirang itu pasti akan memukul hidung Steve jika bertemu nanti.

"Apa kau sudah mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu, Eve?" Entah kenapa Emliy merasa gugup saat membahas hal itu, seolah ia adalah selingkuhan Axel. "Mungkin ia tak sadar saat melakukannya," tambahnya dengan ringisan kecil.

"Tidak mungkin, Eme! Selingkuh adalah perbuatan yang dilakukan secara sadar!" Evelyn kembali pada emosinya yang meluap-luap. "Dia berkata kalau itu hanya salah paham. Ck, dia pikir aku percaya! Bahkan beberapa temanku sudah lebih dulu tahu tentang kebusukkan yang dilakukan Axel di belakangku. Tapi aku tak percaya semua itu dan saat melihatnya langsung, aku ... oh, sial Eme! Dia membuatku menangis seperti wanita bodoh!" gerutu Evelyn dengan tangan yang memijat keningnya pelan.

Emily mengusap bahu Evelyn dengan lembut. Meski terlihat tegar dan kuat, ia bisa menangkap nada getar dalam setiap kata yang keluar dari bibir berwarna merah menyala itu.

Menepis tangan Emily, Evelyn mendelik menatap sahabatnya yang kembali meringis. "Jangan menepuk bahuku, Eme!" Karena itu akan mengundang tangis yang tak mau Evelyn tunjukkan.

"Baiklah, maaf." Lalu Emily menyodorkan gelas jusnya pada Evelyn yang langsung diminum tanpa sisa. "Sekarang kau akan tinggal di sini?"

Evelyn mengangguk lemah setelah memberikan gelas jus itu pada Emily. "Selama aku belum mendapat apartemen yang cocok," ungkapnya pasrah. Kemudian ia menatap sepenuhnya pada Emily.

"Tidak apa-apa jika kau ingin tinggal di sini, Eve." Emily berkata tulus.

Mengangguk pendek, Evelyn mengembuskan napas pelan sebelum menatap wanita berwajah kecil di sampingnya. "Bagaimana hubunganmu dengan Steve setelah menjadi sepasang kekasih?"

Emily tersenyum melihat perubahan raut wajah Evelyn yang kembali seperti semula. "Kami baik-baik saja. Ia mengatakan sedang melakukan hal yang baik untuk masa depan kami. Oh, Eve! Bukankah Steve-ku sangat manis," serunya dengan mata yang berbinar seperti seekor anak rusa.

Sementara itu, Evelyn memutar bola mata malas. Ia bukan iri hanya merasa geli dengan sifat Emily yang begitu memuja Steve sejak dulu. Entah apa yang membuat Emily sangat mencintai pria itu, karena Evelyn merasa kalau Steve tak menunjukkan sikap yang sama.

"Beberapa waktu lalu aku bertemu dirinya di Paris bersama model wanita seksi," sambung Evelyn dalam hati. Ia belum bisa memastikan apa mereka berdua hanya rekan kerja atau lebih dari sekedar itu. "Kurasa dia sudah mulai terkenal dalam dunia modeling, beberapa orang di sekitarku sering membicarakannya."

"Benarkah, Eve?! Aku benar-benar merasa bangga mendengarnya."

Evelyn hanya mengangguk acuh.

"Ia baru saja membeli mobil baru, Eve! Steve-ku benar-benar keren bukan?!"

Bukan terkejut, Evelyn justru memicingkan mata menatap sahabatnya yang masih memamerkan senyum menggelikan.

"Bukankah dia memakai mobil tuamu? Aku tadi tak melihat benda rongsokan itu di parkiran apartemen, kukira dia masih ... oh, tidak! Jangan katakan--"

"Dia akan menggantinya nanti. Ia menjual mobilku untuk membeli mobil baru itu. Lagi pula, mobilku memang sudah ketinggalan jaman dan mesinnya sudah sering rusak. Jadi ...." Emily meringis saat melihat Evelyn menampilkan mimik wajah yang siap menghakiminya.

"Dan kau percaya?!" pekik Evelyn.

Pertanyaan itu membuat Emily sedikit terkejut. Ia memilih bangun dan berjalan menuju binatang peliharannya. "Tentu saja," jawabnya pelan.

"Bahkan jika Steve mengatakan ada istana mermaid di puncak gunung Everest, kau pasti akan percaya, Eme!" cetus Evelyn sembari menggeleng heran dengan kebodohan wanita yang sudah 10 tahun lebih bersahabat dengannya.

Emily menoleh dan menatap Evelyn dengan kening mengernyit. "Memangnya ada?"

"Oh, lihatlah! Kau bahkan mulai percaya saat aku mengatakannya?" Evelyn benar-benar tak habis pikir.

Mendengkus kasar, Emily kembali memberi atensinya pada kura-kura kecil itu. Mengambil makanannya dalam stoples di samping kotak kaca, ia taburi sejenis krill yang dikeringkan pada Mako. "Aku hanya bertanya, bukan mempercayai itu?!" kilahnya.

"Tapi jika aku berkata iya, kau akan bertanya. Benarkah? Aku tak pernah mendengar kisahnya? Kau tahu dari mana, Eve?" ejek Evelyn di akhiri dengan decihan kasar.

"Sudahlah!" Emily mulai kesal dan berjalan menuju kamar sembari berujar, "aku ingin mandi." Sebelum itu, ia menyambar ponsel dalam tas, memeriksa benda yang tak menampilkan pesan apa pun. Entah dari Steve yang mengatakan sesuatu tentang pertemuannya malam ini atau dari ... oh, tidak! Emily tidak sedang menunggu balasan pesan dari pria itu.

Tidak mungkin ia melakukannya, tetapi dengan bodohnya Emily membuka kembali pesannya bersama Max.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top