BAB 36

Nothing really has a happy ending because this is life.

-Maxim & Emily-

*
*
*

"Ada masalah, Max?" Rachel duduk bersama Max di atas hamparan rumput hijau yang terawat rapi di belakang rumahnya. Kemudian, menatap pria yang terlihat muram sejak datang beberapa hari lalu.

Max menoleh, tersenyum paksa sebelum menggeleng pelan. Ia kembali memberi atensi pada Mackenzie, Sofie, Tom, dan Elora yang bermain di tenda buatan tak jauh darinya. Mackenzie anak kecil yang mudah akrab, jadi tak heran jika melihat interaksinya dengan Elora begitu dekat hanya dalam waktu singkat.

Tom awalnya terkejut dengan kedatangan wanita itu, tetapi setelahnya memilih tak acuh sementara Sofie sepertinya sulit menjaga sikap ramah saat menghadapi Elora.

"Jangan berbohong padaku, Max!" Rachel bersandar pada lengan kakaknya. Ia takut saat Max mulai berubah. "Apa ini tentang wanita itu?" tanyanya menunjuk Elora dengan dagu. Wanita itu tampak cekatan menata rambut panjang Mackenzie.

"Kau tak menyukainya?" Max meraih tangan Rachel, kemudian menggenggamnya erat.

"Ya, aku tak menyukainya sejak dia meninggalkanmu." Rachel tak bisa menutupi ketidaksukaannya. "Kupikir dia tak akan hadir karena kau datang sendirian, Max."

Malam itu setelah pulang dari apartemen Emily, harusnya Max dan Elora terbang ke Los Angeles seperti yang sudah direncanakan. Namun, wanita itu beralasan memiliki pekerjaan lain di Las Vegas hingga Max hanya pergi bersama Sofie dan Tom. Sehari setalahnya, Elora datang menemui mereka.

"Aku sudah baik-baik saja, Liche," kata Max dengan menyelipakan nama panggilan kecil Rachel. Ini sudah satu minggu ia berada di Los Angeles. Selain menghadiri teater pertama Mackenzie, Max juga tak bisa melewatkan hari perpisahan play group anaknya yang digelar besok pagi.

"Lalu kenapa kau terlihat tak semangat?" Rachel mendongak, ia menatap penasaran kenapa pria itu tampak gusar sejak datang. "Harusnya aku yang marah, kau membelikan Zie tab dengan alibi memudahkanmu berkomunikasi. Apa kau tahu, Max? Putrimu bahkan sangat sulit diajak makan dan bicara. Ia terus bermain game!"

Max meringis mendengar keluhan itu. Ia memang sengaja membelikan Mackenzie sebuah tab untuk memudahkan komunikasi, tetapi tak pernah memikirkan bagaimana dampak negatifnya.

"Papa!"

Max tersenyum saat gadis kecil dengan gaun putih selutut berlari ke arahnya. Tangannya menangkap Mackenzie yang menerjang sambil tertawa. Gadis kecil itu berhasil merobohkan tubuhnya di atas rumput.

"Astaga!" Max meringis sebelum terkikik saat putrinya memilih duduk di atas perut sementara ia masih setia berbaring dengan kedua tangan yang terlipat ke belakang kepala.

"Bagaimana rambutku?" Gadis itu memamerkan rambut yang di kepang dua. "Miss. Ora mengepang rambutku dengan cantik! Bukankah ini seperti peri hutan, Papa?!"

Max mengangguk dan tersenyum dengan sebelah tangan yang terulur menyentuh rambut Mackenzie. Lalu ia melirik Rachel yang terkikik geli, setengah mendengkus dengan topik peri hutan yang sepertinya akan jadi dongeng turun temurun.

"Kau tahu, Max? Zie tak mau memanggil Elora Mama, Zie bilang sejak kecil ia tak punya ibu jadi tak ada yang bisa ia sebut Mama." Rachel menjelaskan saat Max menatapnya curiga. "Padahal Elora begitu berupaya membuat Zie memanggil dia Mama," bisiknya terkikik sambil berbaring di sebelah Max.

Max hanya menghela napas pelan. Ia kembali menatap putri kecilnya yang duduk santai di atas perut sementara keadaan yang biasanya membuat Max lupa segalanya, kini tak bisa menghilangkan bagaimana raut kecewa Emily malam itu.

Takut dan ragu, Max memilih tak menghubungi wanita itu. Ia takut jika semuanya malah berujung menjadi masalah baru saat dibicarakan lewat telepon dan kini  sudah satu minggu ia terjebak dalam perasaan gelisah dan resah.

"Zie ...," panggil Rachel. Sebelah tangannya menumpu kepala sementara tangan lainnya ikut memainkan rambut gadis kecil itu. "Papamu memiliki pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Apa kau tak apa jika dia pergi hari ini?"

Max menoleh dengan mulut yang ingin memprotes meski jauh di dalam hati ia memang ingin segera menyelesaikan masalahnya. Jadi, ia diam dan kembali menatap putrinya yang tampak berpikir.

"Papa akan pergi lagi?" Mata biru gadis kecil itu menyipit. Tak lama kemudian berbinar dengan senyum lebar. "Baiklah, tak apa! Libur musim panas ini aku dan Rachel akan pergi ke rumah grandma!" serunya riang.

Max kesulitan menjawab karena sebagian hatinya merasa enggan meninggalkan Mackenzie. Ia bangun dengan memeluk putrinya sebelum gadis itu melompat dari pangkuan. "Maaf, papa tak bisa hadir besok pagi." Ia menatap penuh sesal.

"Ya, tak apa! Lagi pula, Miss. Poppy menyukai para ayah muda yang datang. Aku tak mau ditanyai olehnya," kata Mackenzie sebelum mengecup pipi Max dan kembali berlari ke arah tiga orang yang masih setia duduk di dekat tenda.

"Pergilah! Aku tak tahu masalah apa yang sedang kau pikirkan, tetapi seminggu ini sudah cukup menemani Zie. Lagi pula acara teaternya sudah berlalu, kau tak perlu khawatir. Kuharap masalahmu masih bisa diselesaikan." Kemudian Rachel tersenyum saat pria itu memeluknya seraya mengucapkan terima kasih.

"Tetapi Max ...." Rachel melepas pelukan itu. "Apa aku boleh tahu siapa yang membuatmu seperti ini?"

Max menatap Rachel dan menghela napas dalam sebelum menceritakan semuanya. Dari mulai hubungannya dengan Emily, rasa percaya dan perasaan takut yang membelenggu, hingga kedatangan Elora yang memang menyita waktunya beberapa hari lalu dengan berbagai alasan.

Sampai pada malam itu, saat Elora mendapat tumpahan segelas bir oleh seorang wanita. Dress-nya basah hingga harus berganti dengan kemejanya. Max masih ingat, wanita itu sempat menggodanya dengan hampir bertelanjang setelah ia mengambil kemeja di dalam lemari. Akibat terkejut dengan tindakan itu, Max refleks pergi ke dalam kamar mandi untuk menghindari Elora dan sampai saat ini ia menyesal karena tak berlari keluar kamar.

***

Berjalan cepat setelah sampai di depan lobby apartemen Emily, Max yang baru tiba di bandara sejam lalu langsung meluncur menuju tempat wanita yang berhasil membuatnya resah selama seminggu.

Pria itu keluar saat sangkar besi yang membawanya ke lantai atas terbuka. Berlari menuju pintu apartemen yang begitu ia rindukan pemiliknya. Max tak peduli jika harus membuat keributan serupa asal wanita itu keluar menemuinya.

"Emily!" Max melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukan pukul 17:39 PDT, ia yakin wanita itu sudah berada di dalam. Seharusnya.

"Eme, kaudengar aku?!"

"Emily!"

"Eme, tolong buka pintunya?!"

Terus memanggil sambil mengetuk tak sabar pintu apartemen Emily, Max menoleh saat pria yang sama dengan yang waktu itu memarahinya keluar dari pintu sebelah kiri.

"Oh, kau yang waktu itu, bukan?" katanya santai.

Max terdiam saat pria yang tak ia ketahui namanya, menghampiri. Tak lagi ada kemarahan di wajah itu hanya raut tenang yang membuatnya tak terlalu tegang. "Ya, apa kau ...."

"Aku Park Chan Hyol."

Lalu Max mengangguk mengingat nama depan pria itu. "Oh, kau Mr. Park?"

"Ya," sahut pria itu tenang. "Nona Theodor pergi dua hari yang lalu. Ia berpamitan padaku dan tetangga lain, lalu menitipkan pesan jika pria yang sama datang lagi, katakan untuk tak pernah mencarinya karena--"

"Tunggu dulu! Emily pergi?" Max menyela cepat. Ia belum bisa mencerna rentetan kata yang keluar dari mulut pria keturunan Korea itu. Hanya satu kata yang ia tangkap, yakni; pergi, dua suku kata yang membuat detak jantungnya bekerja tak biasa. "Ke mana?" tanyanya tak sabar.

"Nona Theodor bilang, ia pergi ke Paris."

Detik itu juga tubuh Max yang kehilangan sebagian keseimbangannya, bersandar pada pintu apartemen dengan napas memburu dan tatapan tak beraturan. Ia tak peduli pada pria yang bertanya sebelum pergi meninggalkannya.

Meninggalkanya ... lagi ... ini terjadi lagi. Semua seperti dejavu, kata itu bagai benda tajam yang menancap kuat di dadanya.

Tangan Max mulai gemetar saat merogoh ponsel dalam saku celana. Ia mencari nomor Emily dengan lutut yang terasa lemas, lalu menggeram saat panggilan pertama dijawab oleh suara formal seorang operator.

Lagi, Max tak patah semangat untuk terus menghubungi Emily seperti orang yang hilang akal hingga tak sadar tubuhnya sudah terduduk di depan pintu apartemen dengan melakukan panggilan terus menerus meski jawabannya tetap sama.

***

Dua minggu kemudian.

Paris, Prancis.
Pukul 20:37 GMT (+2)

Emily duduk dengan jari yang bergerak lincah di atas keyboard laptop. Manik karamelnya menatap serius dari balik kaca mata minus, membaca kata demi kata yang tertulis rapi dalam note.

Suasana baru, tempat baru, dan perasaan baru. Emily tersenyum melihat cerita yang ia tulis sebelum dering ponsel yang ada di sisi kiri berbunyi mengganggunya. Tak pikir panjang, ia menjawab panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelepon.

"Halo?"

"Ya Eme, aku hanya ingin memberi tahu. Sisa uangmu sudah kukirim pagi ini." Pria dalam sambungan telepon itu terdengar bersemangat.

"Oh, benarkah? Aku akan memeriksanya nanti. Terima kasih, Ado." Wanita itu bangun dari kursinya, lalu berjalan ke arah balkon kamar.

"Aku yang harusnya berterima kasih karena kau menjual mobil itu padaku dan juga bonus kura-kura kecil itu menjadi peliharaan favorit putriku. Terima kasih, Emily."

Emily tersenyum. Ia merindukan Marko yang terpaksa ia berikan pada Adofo saat hendak pergi ke Paris. "Bagaimana kabar Marko?"

"Apa kau percaya jika aku bilang dia sudah bisa bicara?"

Mendengkus mendengar hal itu, Emily lalu mencibir. "Tentu saja tidak!"

Suara tawa Adofa memenuhi rungu Emily, membuatnya ikut tertawa sambil menatap hamparan kota Paris yang begitu cantik saat malam hari. Dari tempatnya berdiri, jauh di ujung sana menara Eiffel yang bermandikan cahaya lampu keemasan terlihat seperti mercusuar.

"Oh, ya, Eme! Hari ini pria itu datang lagi. Ia masih sama, menanyakanmu pada setiap karyawan yang lewat. Tadi pagi aku merasa kasihan, pihak keamanan mengusirnya karena ia berteriak di depan gedung. Dia mabuk dan untung saja temannya datang."

Senyum Emily memudar dengan detak jantung cepat dan gemuruh napas tercekat. Beberapa hari lalu Adofo bicara hal yang sama, membuatnya merasa sakit dan sedih. "Ado, maaf. Aku akan pergi makan malam sebentar lagi."

"Ya, tentu. Aku juga akan mengajak Cheir berjalan-jalan dengan mobil baruku. Jaga dirimu baik-baik, aku menyayangimu, Eme! Sampaikan salamku pada Darrel! Selamat siang ... oh, bukan! Di sana malam. Jadi, selamat malam!"

Emily menyahut dengan nada ceria yang terdengar dipaksa. Ia menatap ponsel yang mulai menampilkan layar gelap, lalu mengembuskan napas sambil memejamkan mata. Beberapa hari lalu, Evelyn yang sudah tahu ia di Paris, mendatanginya dan berbicara tentang Max yang terus mengganggu agar bisa bertemu dengannya.

Emily menolak. Ia menyuruh Evelyn tak memberi tahu keberadannya dan wanita yang sebentar lagi menjadi seorang istri itu tentu saja menurut dan bisa dipercaya.

"Melamun lagi?"

Emily menoleh ke arah pintu. Tersenyum pada pria yang berjalan menghampirinya. Tak lama kemudian mereka berdiri bersisian, menatap langit malam yang begitu cerah dengan pertunjukkan bintang dengan berbagai ukuran. Emily bersandar pada bahu kekar pria itu.

"Kenapa? Kau terlihat sering melamun bahkan ketika bekerja. Apa kau tak nyaman di sini, Eme?"

Emily menggeleng. Ia mendongak menatap pria tinggi itu sebelum tersenyum simpul. "Darrel, apa kau yakin aku adikmu?"

Darrel membersit geli. "Kenapa? Kau masih tak percaya bahkan setelah melihat foto di ruang tamu dan lembaran album yang menunjukkan masa kecil kita?"

Emily kembali menatap ke depan. Menggeleng lemah setelah menghela napas berat. Saat datang, ia sudah diberikan fakta yang mengejutkan. Darrel membawanya ke sebuah rumah mewah dan memperlihatkan foto besar ibunya dengan seorang anak laki-laki dan pria tua tergantung di ruang tamu.

Masih dengan keterkejutan luar biasa, Darrel begitu lugas menjelaskan jika Emily adalah adik yang selama ini ia cari dan alasan kenapa ia menyembunyikan hal itu setelah tiga tahun mengenalnya.

Meski membuat Emily marah dan kesal karena kembali merasa dibohongi, ia tetap merasa senang dapat bertemu keluarganya tanpa susah payah meski Darrel mengatakan kalau ayah mereka sudah lama meninggal..Pantas saja, pria itu sangat memperhatikan dan peduli padanya selama ini.

"Kita bisa tes DNA jika kau masih tak percaya, Eme." Darrel kembali bersuara, tangannya merangkul bahu sempit Emily.

"Bukan, hanya saja sekarang aku sedikit paranoid dengan apa pun. Aku mudah curiga pada siapa pun," lirih Emily.

"Tak apa, itu wajar. Awalnya aku juga tak percaya kalau adikku yang dulu sangat lucu dan menggemaskan ternyata menjadi wanita ceroboh dan pikun di usia yang masih muda. Maaf, karena tak memberi tahumu lebih awal. Lagi pula kau harus bersyukur karena memiliki seorang kakak tampan yang---hei ... Emily, kau menangis?" Darrel seketika panik saat mendengar isak tertahan lolos dari bibir Emily.

Wanita itu menggeleng, ucapan Darrel tak sepenuhnya ia dengarkan karena saat ini perkataan Adofo mulai berputar-putar. Mengingat pria yang ia rindukan ternyata dalam kondisi tak baik-baik saja.

"Astaga, Eme kau menangis?"

Astaga, kau menangis, Eme?

Lalu suara Max berdenging nyaring di telinga. Emily merindukan senyum dengan lesung pipi itu, tangan yang menyentuhnya lembut, dan setiap kata yang menenangkan saat ia mengeluh.

Namun, setiap kali mengingat semua itu ada perasaan kecewa luar biasa yang menekan dadanya hingga sesak. Kemudian, hanya tangis yang akhirnya terjadi. Darrel memeluknya erat, mengusap lembut punggungnya yang gemetar.

"Kita tak mirip, Darrel! Aku tak percaya kalau kau kakakku!" ketus Emily mengalihkan perasaan rindunya pada pria yang ia tinggalkan begitu saja.

Darrel tertawa meski ia tahu ada yang tak beres dengan adiknya. Apalagi saat memutuskan pergi ke Paris lebih awal dari yang dijadwalkan Kyle. "Sudah kubilang, kau mirip ibumu dan aku mirip ibuku. Ayah kita payah dalam mewarisi gennya." Lalu tersenyum saat Emily makin terisak dengan pelukan yang makin erat. "Tak apa, semua akan baik-baik saja, Eme."

Ya ... Emily harap seperti itu. Semua akan baik-baik saja setelah ia melewati banyak waktu. Semua, rasa kecewanya, perasaannya, dan keadaannya saat ini. Ia yang memilih meninggalkan Max, jadi inilah konsekuensi yang diambil.

Emily harap, suatu hari nanti ada pria aneh yang akan berbagi kisah hidup bersamanya, menikmati secangkir teh di musim semi sambil menceritakan bagaimana seekor anak ikan belajar berenang, bagaimana para ibu semut mengenali anak mereka di dalam koloni, atau kenapa ayam tak bisa terbang meski memiliki sayap?

Emily tak ingin membicarakan hal rumit dan sulit, karena ia tahu kemampuan berpikirnya tak begitu memadai untuk memecahkan teka-teki. Jadi, Emily yakin pria aneh seperti itu pasti ada.

Dan akhirnya ia akan membuat kisah dengan orang yang ia percaya dan mempercayainya.

Because no relationship lasts without trust.

-Emily Theodor-

•T A M A T•

Wait?

What?

Is this really the end of their story?

Yash! I'm sorry, karena kupikir tak ada yang dapat bertahan dalam hubungan yang didasari keraguan.

Sebelum kalian mencak2 karena endingnya, aku mau ucapin TERIMA KASIH BANYAK sudah menemani perjalanan Maxim & Emily di sela-sela pagi kalian yang sibuk.

Terima kasih para reader budiman yang aku harap memiliki kisah cinta semanis gelato.

Terima kasih atas waktu yang kalian luangkan untuk mampir dan memberikan dukungan yang sangat berarti.

And don't forget for me, thanks myself. I really feel touched.

Akhirnya bisa kelarin naskah ini jugaa😭.
Makasih manteman udah temenin aku~~😭

Sekarang waktu dan tempat saya persilakan untuk klean mengeluarkan unek-unek. Tapi seengganya ada yang happy ending yagasih? Salah satunya Adofo yang akhirnya bisa bersama sama mobil Emily. Wkwkw

See you di ceritaku yang lain.
Paipai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top