BAB 35
*
*
*
Suara ribut di luar apartemen membuat Emily makin tersedu sedan. Max terus berteriak memanggil tanpa henti dengan mengetuk pintu yang mungkin akan merobohkan benda berbahan engineering wood itu.
Ia duduk di sofa dengan wajah yang bersembunyi di atas lutut. Tangis yang tak bisa Emily hentikan membuat seluruh tubuhnya gemetar. Ia takut untuk membuka pintu dan menghadapi pria itu, takut saat hatinya luluh dan kembali percaya pada ucapan yang tak pernah ia ketahui kebenarannya.
Emily takut. Ia tak pernah merasa setakut dan sekecewa ini.
"Hai, Dude! Kau mengganggu kami. Pergilah! Nona Theodor mungkin tak mau diganggu!" Pria berkaca mata dengan kaus putih polos, menyembul dari pintu yang terletak di sebelah kiri unit apartemen Emily.
Max tak mengindahkan omelan beberapa tetangga Emily yang mulai keluar. Ia hanya ingin wanita di dalam sana membukakan pintu untuknya agar ia bisa menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi.
"Eme, tolong buka pintunya! Aku ingin menjelaskan semuanya." Max kembali berteriak.
Kepalan tangan pria itu kembali memukul benda yang terkunci rapat. Setengah megumpat dan memohon dalam hati yang mulai merasa takut. Ia yakin asumsi apa pun yang sedang dipikirkan Emily saat ini tentang dirinya, sangatlah buruk.
"Eme, aku mohon. Dengarkan aku!" Max membenturkan pelan keningnya di daun pintu, tangannya masih mengetuk dengan gerak kasar dan mulai pasrah. "Eme, aku ingin bicara," sesalnya.
"Jika kau tak pergi, aku terpaksa memanggil pihak keamanan untuk menyeretmu keluar dari sini!" Ancaman itu keluar dari pria yang sama dengan yang tadi memperingatkan.
Dan Max tetap bergeming di sana dengan sebelah tangan yang berusaha membuka knop pintu. "Eme, kaudengar aku? Keluarlah!"
"Hei, kau tuli?!" Beberapa tetangga Emily ikut mengomel dan pria yang sama kembali memperingatkan dengan kasar.
Max ingin sekali memukul pria itu, ia menoleh dengan tatapan tajam dan membunuh ke arah tetangga Emily sebelum knop pintu di depannya bergerak, disusul mata wanita yang sudah sangat sembap, mengintip di balik celah kecil di sana.
"Eme." Max mendorong tak sabar benda penghubung itu, ia melihat Emily mundur dengan bahu yang gemetar dan tangan yang bertaut di depan dada. "Aku ingin menjelaskan--"
"Jangan!" Emily menggeleng cepat, sebelah tangannya mengusap cepat air mata yang membuat suaranya bergetar. "Jangan katakan apa pun. Aku mohon!" Lalu terisak sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Kau harus mendengarkanku, Eme. Aku ...." Berjalan selangkah, Max berhenti saat wanita itu mundur ketakutan. "Eme ...."
"Jangan katakan apa pun!" Emily mencoba menatap pria itu dengan pendar kekecewaan luar biasa. "Kumohon, pergilah!"
"Tak akan sebelum kau mendengarkanku. Apa pun yang kaulihat dan apa pun yang sedang kau pikirkan, aku perlu menjelaskannya, Eme." Max kembali melangkah, mencoba meraih tangan Emily yang kembali menutup wajah.
"Lalu bagaimana denganku, Max?" Wanita itu bersuara tepat saat Max hendak memeluknya.
"Emily, apa yang—"
"LALU BAGAIMANA DENGANKU!" teriak Emily dengan tangis histeris. "Kau akan duduk di sana!" Ia menunjuk sofa sambil menatap penuh kecewa pria yang tampak terkejut karena bentakannya. "kau akan bicara, menjelaskan, meminta maaf, lalu aku akan memaafkanmu karena kau tahu aku tak bisa mengabaikanmu! Setelah itu bagaimana denganku?!"
"Emily, aku—"
"BAGAIMANA CARAKU MEMERCAYAIMU LAGI! BAGAIMANA CARA MENCINTAI SESEORANG YANG SUDAH MEMBOHONGIKU!" Emily makin terisak dalam tangisnya. "Sungguh! Kau membuatku takut, Max."
"Eme ...," panggil Max mencoba menenangkan.
"Aku takut." Emily menggeleng cepat dengan tungkai yang mundur perlahan. Hatinya terasa sakit saat mencoba mengeluarkan kata demi kata kekecewaan yang menggerogoti. "Aku benci karena tak bisa menilai kebohongan seseorang! Aku payah dalam hal itu, jadi kumohon berhentilah membohongiku. Jangan katakan apa pun yang membuatku terlihat makin bodoh di matamu."
"Eme, aku tak pernah menganggapmu seperti itu. Kesimpulan buruk apa pun yang sedang kau pikirkan itu tak benar. Tak ada yang terjadi antara aku dan wanita yang kaulihat."
Emily berdecih lirih. "Lalu, apa benar kau memiliki anak dari wanita itu?"
Mata Max melebar. Ia terkejut saat fakta yang ia sembunyikan sudah dilontarkan dengan lancar oleh mulut kecil Emily. Menyisir rambut dengan jarinya, Max mencoba menepis perasaan gusar dan menyesal.
"Eme, aku tak bermaksud menyembunyikan itu selamanya. Aku hanya menunggu waktu yang tepat."
"Kapan?" Suara Emily dingin. Wanita itu sudah tak lagi menangis dengan bahu gemetar, tetapi tatapan dan nada bicaranya membuat siapa pun tahu, ia menahan kesakitan dan rasa kecewa. "Sampai kapan, Max?"
"Eme, aku butuh kau yang tak seperti ini saat membicarakan hal itu." Max mengusap wajahnya kasar.
"Kenapa? Bicaralah! Apa pun yang kau ucapkan aku pasti percaya, Max. Apa pun itu, sekali pun kau berbohong!" Emily menunduk saat air mata kembali menetes. Tersenyum miris pada diri sendiri. "Kau hanya menganggapku lelucon, bukan? Kau tak pernah percaya padaku, Max."
Menghela napas dalam, Max menatap Emily yang begitu kecewa padanya. "Ya, itu memang benar. Awalnya aku tak percaya padamu, Eme. Aku ragu kau akan tetap tinggal di sisiku, aku ragu dengan hubungan kita. Maaf, aku benar-benar sempat meragukanmu. Sekarang aku—"
"Tak akan ada yang percaya dengan gadis bodoh sepertiku." Emily kembali menatap iris gelap itu dengan matanya yang basah. Rasanya seperti ada sesuatu yang menekan dadanya saat tatapan segelap obsidian itu terlihat kacau dan gusar. "Harusnya aku sadar, di antara kita hanya aku yang terus bercerita. Aku memberi tahumu segalanya! Tentang keluargaku, hobiku, pekerjaanku, semua kehidupan yang kualami.
Tanpa pernah sadar kalau kau tak pernah mengajakku bercerita, kau tak pernah membuka dirimu, kau membatasiku. Kau memberi dinding kaca di antara kita, membuatku merasa seolah-olah memilikimu, tetapi nyatanya aku hanya sebuah lelucon. Aku tak pernah tahu tentangmu, Max. Aku hanya gadis bodoh yang—"
"Emily!" Max mendekat, menyambar tangan wanita itu dengan cepat sebelum menatap dengan pendar permohonan. "Maaf, aku tak bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku tak pernah berpikir menjadikanmu bahan lelucon. Sungguh, aku menyesal menyembunyikan hal itu."
"Lalu kapan rencanamu memberi tahu tentang dirimu. Jika aku tak melihat wanita itu di kamarmu, kapan kau memberi tahukannya?" Emily menarik tangannya. Menatap Max yang kembali diam tanpa jawaban, hal yang membuatnya tersenyum getir. "Pergilah, Max. Kita tak bisa berada dalam hubungan seperti ini," lirihnya sedih.
"Emily, aku akan ceritakan semuanya dan tak ada yang terjadi antara aku dan wanita itu. Kau harus percaya—"
"ITU YANG AKU TAKUTKAN!" jeritnya pilu. Emily terduduk dengan tangis yang terdengar makin menyesakkan. Ia menekan dadanya saat perasaan takut dan sakit makin mengganggu. "Aku takut percaya padamu, aku takut diriku yang mudah luluh, aku mulai takut percaya pada orang lain. Aku harus bagaiaman, Max? Aku harus bagaimana setelah ini. Kau membuatku takut untuk percaya pada seseorang!"
Max bergeming dengan tatapan terkejut dan penuh sesal.
"Aku merasa diriku hanya lelucon bagi orang lain."
"Emily." Max berlutut, memeluk wanita yang kembali gemetar bersama tangisan. "Maaf, maaf, maaf," sesalnya.
"Pergilah! Kumohon, aku ingin sendiri."
Perlahan dan penuh keengganan, Max melepas pelukan itu. Mendaratkan satu kecupan di atas puncak kepala Emily dengan hati yang ikut merasa sakit saat mendengar isak tertahan dari wanitanya. Ia tak akan pernah lupa bagaimana suara tangis yang merintih ini karena ulahnya.
"Aku akan kembali, Eme. Kumohon, tunggu aku untuk menjelaskan semuanya." Max berdiri, menatap Emily yang menutup wajah dengan kedua tangan. "Aku mencintaimu, sungguh." Lalu pergi dengan kegelisahan dan rasa sesal yang ia ciptakan sendiri.
***
Emily tak pernah merasakan patah hati sehebat ini. Bahkan rasa sakitnya masih terus ia terima saat matanya mulai terpejam. Udara yang ia hirup pun membuat dadanya terasa nyeri luar biasa, belum lagi pening dan mual yang diakibatkan karena tak adanya pasokan makanan sejak kemarin malam.
Bayangan gelas di atas nakas yang bergeser perlahan mengikuti posisi matahari, menjadi tontonan kosongnya siang itu. Lututnya tertekuk dengan sebelah pipi yang menumpu di atasnya.
Emily sudah tak lagi menangis, tetapi keadaan ini lebih parah daripada semalam. Otaknya yang biasa memikirkan sesuatu random dan hal tak berguna lainnya, kini terasa hampa. Ia memejamkan mata saat kebisingan dari dering ponselnya kembali terdengar.
Entah sudah berapa puluh panggilan yang tak mau repot-repot ia lihat siapa pelakunya. Mungkin itu dari Darrel atau Adofo yang kebingungan dengan ketidakhadirannya hari ini. Menghela napas dalam, Emily mulai turun dari ranjang. Berjalan menuju kamar mandi dengan kepala yang terasa berayun-ayun
Baru saja selesai dengan segelas susu dan selembar roti yang tersisa banyak, suara ketukan pelan dan jelas di pintu apartemen membuat Emily sedikit terkejut.
Dalam hati ia harap itu Max yang ingin kembali menjelaskan masalah mereka, meski keinginan itu melukai sedikit harga dirinya yang muncul. Semalam ia yang mengusir pria itu dan mungkin saja Max tak akan datang lagi. Dengan rasa penasaran dan perasaan ragu, Emily membuka pintunya. Ia sedikit terkejut saat wanita dengan dress hitam tanpa lengan berdiri anggun di depan apartemennya.
"Kau ...."
Wanita itu tersenyum manis, menatapnya lembut tanpa keangkuhan sama sekali.
Emily duduk di kursi kayu yang ia ambil dari meja makan sementara tamu tak diundangnya duduk dengan gaya elegan di sofa. Wanita itu yang semalam ada di dalam kamar Max, entah apa yang membuatnya datang ke sini.
Gerak-geriknya begitu anggun dan gemulai, cara ia duduk, menatap, tersenyum, bahkan bergerak meletakkan tangan di atas paha. Jelas siapa pun yang melihat akan terpesona bagaimana wanita itu menyimpan perilaku berkelas dan cerdas.
"Apa aku mengganggmu, Nona?" Elora tersenyum tipis saat menatap wajah sembap Emily.
Semalam ia tak sengaja menemukan kartu nama di atas nakas dalam kamar Max. Awalnya Elora pikir itu hanya kartu nama tamu dan tak memiliki arti, lalu saat semalam Albern menyebutkan nama Emily ia merasa beruntung karena menyimpan benda itu ke dalam tasnya.
"Kurasa begitu," jawab Emily lirih.
Hal yang mendorong Elora pergi menemui wanita itu adalah bagaimana sikap Max yang begitu jelas peduli padanya. Lalu, saat pria itu kembali ke bar dalam keadaan kacau, ia bisa menangkap jelas kemarahan yang sama persis saat ia meninggalkan Max ke Paris.
Ora, kau tahu aku tak bisa marah padamu. Aku juga tak bisa mencegahmu menemui Mackenzie dan aku sudah memaafkanmu karena kau meninggalkan kami begitu saja, tetapi hanya itu, tak lebih. Kita sudah lama berakhir.
Kalimat itu mengandung banyak peringatan dan rasa kecewa. Elora tak pernah merasa begitu terpukul dengan ucapan Max selama mereka menjalin hubungan penuh romansa dulu. Pria itu dulu sangat memujanya dan begitu mencintainya hingga apa pun hal yang berefek menyakiti hatinya, tak akan dilakukan Max.
"Maaf, Nona. Aku tak bermaksud mengganggu pagimu."
"Sebenarnya apa yang membuatmu datang ke sini?" Emily menatap wanita itu. Meski rasa sakitnya makin bertambah saat perasaan membandingkan diri sendiri dengan kecantikan yang wanita itu miliki, mulai muncul.
"Kami sudah lama berakhir," mula Elora. Ia masih tersenyum lembut. "Aku dan Max. Kami pernah menjalin hubungan cukup lama. Lalu harus berakhir karena keegoisan masing-masing."
Emily tak mengerti kenapa wanita itu menceritakan masa lalunya. "Apa yang ingin kau katakan?"
"Aku tahu kau memiliki hubungan dengannya." Elora menunduk memainkan jarinya gugup. "Emily, banyak waktu yang kusia-siakan dengan putriku. Banyak hal yang ingin aku lakukan bersama Mackenzie dan Max."
Emily mengernyit. Detak jantung yang berdentum ribut membuat perasaan gelisahnya kembali datang.
"Aku tahu aku egois, tetapi bisakah bantu aku untuk memperbaiki hubunganku dengan Max. Aku ingin kembali padanya."
Emily bangun dengan gerak cepat dan tanpa sadar mundur hingga nyaris membuat kursi yang ada di belakangnya terjatuh. "Aku tak mengenalmu, Nona. Jadi untuk apa aku membantumu, tetapi jika maksudmu adalah menjauhkan aku dengan Max, maka kau tak perlu khawatir. Kami sudah berakhir."
Napas Emily memburu dengan mata yang mulai memanas. Ia berbalik menyembunyikan tangis yang muncul dengan cara menyebalkan. "Pergilah! Semalam aku dan Max sudah berakhir, kuharap itu bisa membantumu."
Tak lama setelah itu, ia mendengar pintu yang terbuka dan tertutup kembali. Emily terduduk lemas di lantai dengan tangis yang tak bisa ia tahan. Menekan-nekan kembali dadanya yang terasa sesak dan sakit. "Kenapa terasa sangat sakit? Oh, Tuhan! Kenapa rasanya seperti ini?" lirihnya di tengah isak yang begitu menyesakkan.
❣
❣
❣
-LparkC-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top