BAB 34

*
*
*

Restoran western yang berada tepat di sisi kiri gedung perusahaan, menjadi tempat favorit Emily dan teman-temannya saat jam makan siang datang. Hari ini, Emily yang masih memikirkan siapa pemilik nomor telepon sweetheart dalam ponsel Max, sedang mengaduk-aduk seporsi makaroni schotel yang hanya sedikit ia cicipi.

Emily benci saat otaknya terlalu memikirkan hal-hal yang membuat hatinya gelisah. Ia sudah mencoba mengalihkannya dengan khayalan kucing bersayap, istana mermaid di puncak gunung Everest, atau bulan dengan tanduk unicorn. Namun, semuanya tak mampu menghilangkan rasa curiga dan perasaan resahnya.

Perubahan sikap Emily sejak pagi pun tak luput dari perhatian dua pria yang salah satunya begitu serius menatapnya.

"Makananmu tak enak, Eme?" Adofo menyelasaikan makan siangnya, ia melirik Darrel yang terus memperhatikan Emily tanpa bicara apa pun.

Emily mendesah lirih. "Ini enak, hanya saja aku sedang tak begitu lapar hari ini."

"Kau sedang memikirkan sesuatu, Eme?" Darrel menyambar minumannya sebelum menumpu dagu dengan sebelah tangan dan memberi atensi penuh pada wanita berambut sebahu itu.

"Banyak sekali yang aku pikirkan dan sekarang otakku rasanya lelah." Menarik napas dalam, Emily memejamkan mata dengan tangan yang memijit pelan pelipisnya. Sejak sore itu, Max tak mengirim pesan apa pun dan sudah terhitung dua hari otaknya dipaksa memikirkan hal-hal memusingkan tentang Max yang tak kunjung memberi kabar dan tentang seseorang yang diberi nama sweetheart.

"Oh, ya!" Emily mulai bicara dengan nada seperti biasa. "Kau tahu, Ado? Aku sudah mendapatkan Marrhie kembali."

"Siapa Marrhie?" Adofo mengernyit bingung meskipun rasanya sudah biasa mendengar Emily bicara dengan penuh kejutan.

"Mobilku!" sahut Emily riang.

"Oh, ya?!" Adofo berbinar saat mendengarnya. "Bukankah saat itu kau menamainya Maghie?"

Emily terdiam, lalu meringis mendengarnya. "Benarkah?" Kemudian memasang wajah tak peduli. "Sudahlah! Yang penting mobilku kembali. Steve memberikannya padaku saat meminta maaf, dia menyesal membohongiku."

"Dan kau pasti langsung percaya," timbrung Darrel setelah menghabiskan minumannya.

"Aku rasa dia benar-benar menyesal," lirih Emily.

"Lalu, apa kau akan menjual mobil itu padaku, Eme? Bukankah kau akan pergi ke Paris?"

Emily kembali murung. Ia sangat ingin pergi karena hal itu yang dinantikan sejak lama, tetapi ia tak bisa meninggalkan Max yang jelas-jelas menginginkannya tetap tinggal. Keadaan itu membuatnya merasa dilema. "Aku ingin mempertimbangkannya lagi. Kyle bilang renovasi di sana mengalami kendala, kupikir--"

"Haa!" Darrel berdecak kasar. "Kali ini entah siapa yang mempengaruhimu, Eme."

Merengut mendengar tebakkan Darrel yang tak pernah meleset, Emily menatap pria Prancis itu dengan tatapan menyelidik. "Lalu kenapa kau memilih pulang saat Kyle menawarimu naik jabatan?" Kemarin ia mendengar Kyle bicara dengan salah satu direktur perusahaan dan merekomendasikan Darrel sebagai kandidat terbaik untuk memegang posisi manajer marketing.

"Hanya rindu rumah," sahut Darrel setengah hati.

Emily masih menyipitkan mata sambil mencondongkan tubuh pada pria yang hari ini memakai kemeja putih dan celana bahan berwarna cokelat susu. Ia berbicara dengan suara pelan, bahkan berharap udara di sekitarnya pun tak boleh mendengar. "Apa kau menggelapkan dana perusahaan dan ingin kabur?"

Memutar mata malas, Darrel menggunakan jari telunjuknya untuk mendorong kening Emily yang masih menatap curiga. "Gunakan otak kecilmu nanti saat jam bekerja. Saat ini biarkan dia istirahat." Lalu tanpa peduli wajah kesal Emily, Darrel pergi diiringi gerutuan wanita itu.

"Apa aku tak memiliki kesempatan mendapatkan mobilmu, Eme?"

Emily kembali menoleh ke arah Adofo dan meringis saat pria hitam itu masih ingin membahas tentang mobilnya.

***

Jam kerjanya usai. Berjalan malas ke arah parkiran, Emily menyambar ponsel di dalam tas kecilnya. Tersenyum saat benda itu mengeluarkan notifikasi, ia berharap itu Max meski pada akhirnya Emily harus puas dengan perasaan kecewa karena yang menelepon bukan orang yang didamba.

Meskipun begitu, ia masih bisa tersenyum mengangkat panggilan dari sahabatnya. "Ya, Eve."

"Oh, Tuhan! Emily, aku ingin memelukmu."

Emily sudah duduk di balik kemudi. Ia letakkan tas dan beberapa contoh ilustrasi dalam zipper bag transparan ke kursi penumpang. "Kenapa? Ada masalah?"

"Tak ada." Evelyn berseru girang. "Axel melamarku hari ini, Eme! Demi Tuhan, aku tak percaya hari ini akan datang!"

"Wow! Aku bahagia mendengarnya, Eve! Selamat. Axel pria yang sangat memujamu, aku tak heran dia melakukan hal itu."

"Ya," sahut Evelyn dengan nada bangga dan terharu. "Aku benar-benar ingin memelukmu, Eme! Aku ingin menceritakannya padamu secara langsung. Astaga! Aku benar-benar merasa senang. Aku pikir, aku akan terbang jika mencoba melompat sekali saja."

Emily terkekeh. Kabar itu sedikit mengalihkan perasaan resahnya yang mengganggu sejak dua hari lalu.

"Oh, ya! Bagaimana hubunganmu dengan Max?"

Lantas bahasan itu kembali membuatnya merana. "Kami baik-baik saja," sahutnya setengah hati.

"Tunggu! Kenapa terdengar tak bersemangat?"

Mendesah pelan, Emily memijat kening sambil bersandar pada jok mobil. Ia tak menyangka jika berteman terlalu lama bisa menciptakan kontak batin semacam ini. Evelyn bahkan tahu kalau ada yang berubah darinya hanya lewat suara. Atau mungkin dirinya yang sangat mudah ditebak.

"Sebenarnya aku baru saja pulang kerja, Eve. Aku masih di parkiran."

"Ah, begitu rupanya. Baiklah, hati-hati di jalan dan kabari aku jika kau sudah bersantai di apartemen. Aku masih ingin menceritakan kejadian hari ini."

"Aku akan segera pulang dan kita akan melakukan panggilan video. Bagaimana?" balas Emily mencoba antusias.

"Tentu! Oh, ya. Apa Max sudah mengenalkanmu pada Mackenzie?"

"Mackenzie? Siapa dia?"

Terjadi jeda setelahnya sebelum Evelyn menjawab dengan jengkel. "Oh, sial! Aku benci mulutku!"

Evelyn mengumpat dalam bahasa Prancis dan Inggris saat dengan bodohnya menyebutkan nama Mackenzie. Namun, ia juga tak bisa menghindar dari pertanyaan Emily yang yang begitu menuntut penjelasan. Akhirnya, Evelyn menceritkan hal yang ternyata masih ditutupi Max. Memberi pengertian sebaik mungkin dan alasan masuk akal kenapa Max mencoba menutupi statusnya sebagai seorang ayah.

Sepertinya, itu berhasil. Emily yang awalnya terkejut bukan main dan merasa kecewa karena Max menyembunyikan fakta sebesar itu, mulai mengerti dengan penjelasan yang dilontarkan sahabatnya karena ia juga  sempat mendengar bagaimana kisah masa kecil Max.

Kini setelah sambungan yang hampir memakan waktu satu jam itu berakhir, Emily melajukan mobilnya menuju bar pria itu. Dalam perjalanan ia bertanya-tanya kenapa Max menyembunyikannya, kenapa pria itu tak berterus terang. Apa Max takut ia tak bisa menerima statusnya?

Astaga, Emily yang sudah dua hari ini risau memikirkan hal sepele kini tersenyum tipis. Apa itu sebabnya Max selalu menyempatkan menelepon seseorang setiap pagi dan juga pemilik misterius sweetheart itu, apa mungkin anaknya?

Baiklah. Hubungannya masih baru ia tak bisa menuntut banyak dari pria itu, tetapi kenapa Max begitu menyembunyikan hal ini padanya?

Dalam perjalanan yang terus memunculkan kesimpulan membingungkan, Emily sampai. Ia gegas menuju pintu bar yang sudah cukup ramai oleh para pengujung. Pandangannya mengedar, menyapu ruangan yang sudah akrab dengannya.

Ia melihat Albern sedang sibuk membuat minuman, tetapi tak melihat keberadaan Max. Dengan perasaan rindu yang mulai mengganggu, Emily menaiki tangga menuju kamar Max. Jika pria itu tak ada di sana maka ruang gym yang kemungkinan besar menyimpan sosok yang dirindukan.

Mengetuk tiga kali pintu bercat hitam dengan kombinasi abu, Emily tersenyum saat gerakan knop perlahan membuka benda berbahan kayu itu. Senyumnya yang sudah sangat melebar mulai luntur saat seorang wanita cantik berdiri menyambutnya dalam keadaan bingung.

Rambut wanita itu berwarna tembaga, tubuhnya tinggi dengan wajah khas Eropa. Matanya biru cerah dengan campuran abu yang mengelilingi lensa. Dan yang membuat hati Emily mulai ketakutan, wanita yang berdiri di depannya sedang memakai kemeja seorang pria yang kemungkinan besar milik Max.

"Ada yang bisa kubantu, Nona?"

Suara itu lembut, tetapi membuat ketakutan dan perasaan lain yang tak menyenangkan makin menekan dada Emily. Ia merasa mual dan pening hingga tanpa sadar langkahnya mundur dengan gerakan gugup.

"Aku ...." Napas Emily mulai gemetar karena rasa curiga yang mulai menyerang. "Siapa kau?"

Wanita tinggi di depannya tentu saja mengernyit. "Kau mencari Max? Dia sedang di dalam kamar mandi, kau bisa menunggunya di bar jika--"

"Siapa kau?" Emily berharap suaranya tak terdengar menyedihkan. "Kau ... apa kau--"

"Aku kekasih Max."

***

Melajukan mobil dalam keadaan kecewa, bingung, dan takut. Emily tak henti menghapus air matanya sejak dalam perjalanan hingga sampai apartemen. Ia berjalan menuju kulkas, menyambar minuman dingin dengan harapan bisa menenangkan hati yang makin gelisah tak karuan.

Masih berkeras diri tak ingin mempercayai apa yang dilihat, Emily tetap tak bisa mengabaikan rasa curiga yang terus berdenging keras di telinganya.

"Oh, Tuhan! Apa lagi sekarang? Masalah apa lagi yang menungguku?" Dalam tangis yang begitu menyesakkan, Emily mencoba meyakinkan diri. Berharap apa yang ia pikirkan bukan yang sebenarnya terjadi.

Namun, bagaimana dengan ucapan wanita itu yang seperti tusukan jarum panas di atas permukaan kulitnya. Terus menggores dan menusuk tanpa ampun hingga sakitnya terasa begitu nyata.

Apa kau temannya? Mulai sekarang Max mungkin tak bisa menghubungimu lagi karena aku sudah kembali. Kami juga akan pergi beberapa hari lagi untuk menghadiri teater pertama anak kami. Jadi kuharap kau tak mengganggunya lagi.

Ucapan itu bahkan lebih menyakitkan daripada lontaran komentar pedas saat salah satu produser film menolak bukunya, lebih menyeramkan saat ia melihat perselingkuhan Steve, dan lebih mengecewakan dari apa pun yang pernah Emily rasakan. Kalimat penuh percaya diri itu mampu melemaskan semua otot di dalam tubuhnya.

Rasanya perputaran bumi bisa ia rasakan saat kepalanya terasa pusing mendadak karena ucapan wanita yang tak ia ketahui namanya.

Jadi, inikah alasan Max terlihat menutupi segalanya? Ia hanya dijadikan pelampiasan selama kekasih pria itu pergi. Inikah jawaban sikap Max yang terkadang berubah tanpa alasan?

Lantas, jawaban dari semua tanyanya hanya raung tangis yang tak bisa ditahan. Emily luruh ke lantai dengan hati yang begitu hancur.

***

"Berengsek!"

Max terkejut saat melihat Albern yang tampak mengatur napas, muncul dari pintu bar. Ia mengernyit saat pria itu menghampirinya dengan tatapan tak bersahabat. "Ada masalah, Al?"

"Kau!" Albern tak bisa menutupi kekesalannya saat melihat Emily menuruni tangga dengan tangis yang tak bisa ditutup-tutupi. Ia tak tahu kapan wanita itu datang. "Kau yang bermasalah, Max!"

Max makin bingung, ia menoleh pada Elora yang berdiri di belakangnya. Wanita itu juga sama bingungnya. "Apa yang kau bicarakan?" Karena ia baru saja turun dari kamarnya dan menadapati Albern yang terlihat mengendalikan umpatannya.

"Emily datang dan aku tak tahu. Yang aku tahu ia turun dari kamarmu dalam keadaan menangis. Oh, gadis yang malang!" Lalu Albern berdecak setelah melirik Elora sinis.

"Oh, maaf. Tadi aku yang membukakan pintu saat kau di kamar mandi, Max."

"Sialan!" umpat Max, mendorong Albern dan berlari keluar bar tanpa memedulikan teriakkan Elora yang memanggilnya.

Sementara itu, Albern berdecih dan kembali ke meja bartender tanpa berniat menjelaskan apa pun pada wanita yang mulai ia benci keberadaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top