BAB 31
Setelah melewatkan makan malam istimewa, baik Max maupun Emily tak pernah menyangka akan terbawa suasana yang penuh kejutan. Segelas wine yang diminta Emily membuat mereka hilang kendali dalam suasana hangat bergairah. Keduanya merasa seisi dunia seolah lenyap dan yang tersisa hanya debar menggila dengan setiap desir darah dalam nadi yang begitu terasa.
Sekarang Max sedang berpuas diri menatap wajah mulus Emily yang tersiram cahaya matahari pagi. Kulitnya bersinar dengan bulu halus yang tumbuh di area wajah, membuat efek matahari seperti sinar sihir yang memukau. Bulu matanya begitu lentik dan menarik, rambut berwarna cokelat tuanya tampak berkilau indah dan halus.
Wanita itu terlihat damai dan tenang dalam tidur sedangkan saat sadar, otak kecilnya tak lelah memikirkan sesuatu antah-berantah. Emily begitu manis, lembut, cantik, juga rapuh. Sehingga Max merasa sedikit saja salah menyentuh, wanita itu akan lebur di tangannya.
Saat Rachel berusia tujuh tahun, Max begitu bosan mendengarkan cerita tentang peri hutan yang mungil dengan kecantikan luar biasa. Tak terhitung berapa kali ia menguap jenuh ketika Rachel membicarakan makhluk fantasi itu dengan deskripsi yang benar-benar di luar nalar.
Dan sekarang, Max mendapatkan bukti sempurna wujud peri hutan tercantik yang menjadi incaran pangeran kegelapan adalah sosok manusia ajaib seperti Emily.
Emily Theodor adalah definisi wanita ajaib, lincah, ceria, ceroboh, dan manis.
Melenguh pendek saat merasa seseorang menyentuh wajahnya, Emily mengerjap. Membuka mata secara perlahan sebelum terkejut saat melihat pria di sisinya. "Kau! Maksudku Max, apa yang ... Oh!" Lalu meringis dengan rona merah mengingat kejadian semalam.
Max terkekeh pelan. "Masih mengantuk?"
Emily menggeleng sambil menarik selimut yang hampir menutupi seluruh wajahnya. "Max ...," panggilnya nyaris tak terdengar.
Max tersenyum, lalu mengecup kening Emily sebelum bangun. Ia sudah berpakaian rapi dari sejam yang lalu. Setelah membuat sarapan dan membereskan alat makan bekas semalam, pria itu kembali ke kamar dan menyaksikan bagaimana peri hutan versi dirinya terlelap dalam tidur yang paling menarik.
Max menumpu badan dengan sebelah tangannya sambil menatap Emily. "Mandi, setelah itu sarapan! Aku menunggumu."
Emily hanya diam sambil menatap pria itu pergi, lalu hilang di balik daun pintu kamarnya. Sepersekian detik rona merah yang mungkin menyebar di seluruh kulit putihnya membuat ia merasa hangat dan malu luar biasa. Semalam ia memang minum segelas wine, tetapi masih sadar dan ingat setiap menit yang ia habiskan dengan pria itu.
Emily ingat bagaimana Max mengajarkannya minum alkohol dengan cara yang benar.
"Kau tak bisa meminumnya seperti itu, Eme." Begitu kata Max saat melihat Emily meneguk wine seperti meminum air putih. "Dengar! Sesap sedikit rasanya, biarkan indera perasamu menikmatinya, lalu telan perlahan seolah ini adalah minuman terakhirmu yang paling enak. Jika meminumnya seperti itu kau akan cepat mabuk dan dadamu akan terasa panas." Dengan kesabaran yang membuat Emily melayang-layang, Max mencontohkan bagaimana para ahli menikmati segelas wine dengan gerakan elegan dan memesona.
"Begitukah? Pantas aku merasa seperti terbakar setelah meminum wine. Ternyata caranya salah."
Setelah itu mereka mengobrol panjang lebar meski topik pembicaraan yang banyak tak bermanfaat itu selalu muncul dari mulut Emily. Max hanya menyimak, mendengarkan dengan tenang sambil tersenyum seolah Emily gadis berusia lima tahun yang sedang menceritakan penemuan harta karun di halaman belakang rumah.
Emily tak mau membayangkan lebih lanjut lagi jika tak ingin terlambat bekerja karena adegan selanjutnya menciptakan fantasi liarnya yang luar biasa. Selesai dengan rutinitas pagi yang sedikit berbeda--karena ternyata Emily kembali memikirkan bagaimana pria itu menyentuhnya semalam--ia keluar, melihat punggung lebar Max di balkon. Pria itu sedang menerima panggilan yang entah dari siapa.
"Hmmm, i love you to sweetheart," ujar Max sebelum memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Ia baru selesai berbicara pada Mackenzie. Setiap pagi hal itu menjadi kegiatan wajib baginya karena setelah pindah ke Los Angeles bersama Rachel, Max sudah tak bisa mengunjunginya dua kali dalam seminggu seperti saat tinggal bersama Sofie dan Tom.
"Kau menelepon adikmu lagi?"
Max terlonjak saat wanita dengan kemeja merah muda dan rok span hitam selutut yang dilengkapi blazer berbahan rajut, sudah berdiri di belakangnya. "Sejak kapan kau di sana, Eme?" tegurnya tak bisa menutupi rasa terkejut.
"Sejak kau menyebutkan kata sweetheart." Emily memicingkan mata dan melipat tangan ke bawah dada. Berpura-pura curiga. "Kau selingkuh, Max?"
Max mengernyit kemudian tersenyum dan berjalan menuju Emily. Ia memeluk wanita mungil itu erat sebelum mendaratkan kecupan manis di kening. "Itu adikku," ungkapnya setengah ragu. Ia masih takut menunjukkan status dirinya meskipun Max tahu rasanya ini tak benar. "Lagi pula aku tak suka orang ketiga, tetapi tak masalah untuk yang keempat, kelima, keenam--awh!" Lalu Max tertawa kecil.
Emily mencubit otot perut Max saat pria itu malah bergurau. Menengadah menatap wajah tampan yang begitu rupawan dengan porsi pas dalam setiap garis di wajahnya. Hidung tegas, tulang rahang yang maskulin, iris gelap itu terlalu menawan hingga Emily rasa seekor merpati akan menabrak batang pohon saat Max menatapnya lekat.
Uuuuh ... Emily tak bisa untuk tak berjinjit dan mencuri kecupan pada lekuk bibir sensual itu.
Max terkejut sebelum membalas ciuman paginya dengan lembut, lalu membiarkan Emily puas bermain di sana sebelum melepasnya dalam keadaan terengah.
"Sudah selesai, Nona Theodor?" goda Max dan tertawa saat Emily menumpu kening di dadanya. "Gadis manis."
"Aku bukan anak gadis!"
Max terbahak sambil memeluk tubuh Emily erat. Beberapa kali mengecup puncak kepala wanita itu karena gemas. "Baiklah mantan anak gadis, sekarang waktunya kita sarapan." Max mengusap lekuk bibir Emily yang sedikit basah. "Oh, ya. Semalam kaubilang sakit, apa pagi ini masih terasa?"
Emily kembali menunduk, menyembunyikan rona merah di wajahnya yang muncul di wajah. "Jangan membahas itu!" cicitnya sebelum berjalan meninggalkan Max yang membersit geli.
***
Setelah mengantarkan Emily bekerja, Max langsung menuju bar. Saat sampai dan berniat memasukkan mobil ke dalam garasi kecil yang ada di sisi kanan, ia lebih dulu melihat mobil Axel yang terparkir rapi di sana, membuatnya memilih tempat di depan bar.
Max masuk lewat sisi kiri yang langsung menuju kamarnya. Membuka kemeja dan berganti dengan kaus tanpa lengan sebelum berjalan menuju ruang gym.
Di sana sudah ada Albern yang berjalan santai di atas treadmill dan Axel yang memakai baju formal dengan kopi dalam paper cup.
"Wow!" Albern berseru setelah selesai dengan mesin jalan itu. Ia duduk di lantai dengan berselonjor setelah menyambar air minum kemasan botol. "Lihatlah, Ax. Bukankah dia terlihat seperti bocah ingusan yang baru jatuh cinta," sindirnya saat melihat wajah Max yang terlalu ceria.
Axel terkikik menanggapinya. Setelah acara liburan bersama Evelyn, ia baru sempat berkunjung ke sana dan saat datang langsung mendapat berita mengejutkan dari Albern yang mengabarkan kalau Max mengakhiri masa selibatnya.
Max tak acuh dan berjalan menuju treadmill, melewati dua pria yang menatapnya dengan kerlingan menggoda. Sebelum itu, ia memeriksa ponsel yang menunjukkan notifikasi, lalu tersenyum saat Emily mengirim pesan tentang manajernya yang hari ini memakai lipstik cokelat dan eyeshadow hitam bercampur ungu. Kemudian melihat pesan Rachel yang dikirim beberapa menit lalu, mungkin saat ia sedang dalam perjalanan.
Rachel
Max, Zie memintaku mengabarimu tentang teaternya. Ia bilang tak mau tampil.
Max mengernyit keheranan. Ia menunda pemanasan memulai olahraganya, lalu mengetik balasan cepat.
Max.
Kenapa? Apa ada masalah?
Rachel.
Ya. Masalahnya jika kau tak datang saat hari itu tiba, Zie tak mau naik ke panggung!
Max.
Baiklah. Sampaikan pada Zie aku akan datang.
Rachel.
Tentu, jika tak datang maka aku akan mengadopsi Zie dan menghapus hakmu bertemu dengannya!
Max meringis. Bisa ia bayangkan bagaimana bibir ketus dan mata hitam Rachel berkilat marah saat mengetik pesan itu. Tadi pagi saat menelepon, Zie memang menyinggung tentang pertunjukkan teater yang diadakan di sekolahnya. Gadis kecil itu memiliki minat besar dalam dunia akting dan berkat bakat alaminya, ia ditunjuk untuk mengisi acara teater tahunan oleh guru seninya.
Walapun hanya tampil beberapa menit sebagai seorang anak raja dalam kisah yang akan dibawakan, Mackenzie begitu antusias. Hingga Max harus mau mendengarkan cerita yang sama setiap kali menelepon.
"Ada masalah?" tanya Axel saat melihat Max berubah ekspresi.
"Tak ada. Hanya tentang Zie yang minggu besok tampil di teater pertamanya." Max melanjutkan niat yang tertunda setelah meletakkan ponsel di kursi besi tak jauh darinya.
Albern bangun tanpa banyak bicara, berjalan menuju kamar mandi yang ada di pojok ruangan sedangkan Axel menyambar jas yang tersampir di kursi dan memakainya.
"Oh, ya." Pria yang menjabat sebagai CEO itu menatap Max yang mulai berjalan santai di atas treadmill. "Kau sudah ceritakan tentang Zie pada Emily?"
Max mulai merasa resah saat mengingat itu. "Kami baru berhubungan, Ax. Kupikir itu terlalu cepat." Meski begitu, ia merasakan perasaan bersalah tiap kali memikirkannya. Max masih ragu apa Emily benar-benar tak akan meninggalkannya?
"Ya. Itu pilihanmu, Max. Kau yang tahu kapan waktu yang tepat untuk bercerita." Axel menyambar bekas kopi dan melemparnya ke tempat sampah yang ada di sudut ruangan. "Tetapi sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi akan terlihat seperti kebohongan. Aku yakin Emily tak akan masalah dengan statusmu yang sudah memiliki anak. Hanya saja, selugu apa pun dia hatinya akan kecewa jika kau tak percaya padanya."
"Aku bukan tak percaya, Ax." Max menekan tombol off yang membuat gerak kakinya berhenti perlahan. "Hanya belum siap," lirihnya mengabaikan tatapan penuh tanya dari pria tinggi yang sudah rapi dan siap pergi.
"Ya, aku tahu. Hubunganmu masih awal, jadi masih butuh banyak pertimbangan." Axel melirik arloji yang melilit pergelangan tangannya. "Aku harus pergi dan ya! Ada kabar bagus, harga saham di Starbigh sedang mengalami kenaikkan. Kau sudah bisa menikmati hasilnya bulan ini."
Setelah Axel pergi dengan kalimat yang harusnya membuat Max senang, pria itu justru duduk gusar di kursi. Menumpu dua siku pada lutut dengan tangan yang menangkup wajah. Pemahaman yang diberikan Axel mulai mengganggunya sekarang, tetapi dorongan yang menyuruh untuk berterus terang lebih kecil daripada ketakutannya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top