BAB 3
Awalnya Emily menolak saat Max menawarkannya tumpangan, tetapi wanita yang sudah tak lagi marah-marah itu kini duduk tenang di dalam mobil yang di kendarai Max.
Membersit geli, Max menoleh sekilas pada wanita yang sedang fokus melihat-lihat sisi jalan yang terdapat barisan bar dan tempat-tempat makan. Ia melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan waktu makan siang.
"Kauingin makan dulu?"
Pada dasarnya Max tipikal pria yang memang hangat dan perhatian. Hanya saja, baru kali ini ia merasa seperti itu pada seseorang yang baru beberapa jam lalu ia kenal lewat sedikit drama pagi.
Emily menoleh. Ia menatap Max yang masih menggunakan kaus putih polos dengan celana jin berwarna biru gelap. Kali ini pria itu memakai kaca mata hitam yang terlihat begitu pongah berada di antara batang hidungnya.
Tampan.
Nyaris saja Emily mengucapkan kata itu sebelum berdeham dan kembali membuang pandangan sambil berujar, "aku tak lapar."
Max mengangguk lalu menyeringai tipis. "Tapi aku beberapa kali mendengar bunyi aneh. Kukira itu dari perutmu."
Kembali menoleh dengan tangan yang refleks memegang perut, Emily meringis. Ia memang lapar dan haus. Rasa panas di tenggorokkan membuat ia ingin minum sesuatu yang menyegarkan. Namun, Emily tak mau terlihat seperti orang yang sedang lapar. Jadi, ia tetap mengangkat dagunya sombong dan menolak tawaran pria yang masih fokus dengan setir mobil.
Mobil Ferrari berwarna merah metalic itu berbelok ke arah restoran dengan cult branding di atas pintu kaca masuk bertulis Cucinato Con Amore. Atap ronda empat itu masih terbuka, menyuguhkan terik matahari di langit biru Las Vegas.
"Dan aku lapar. Semalam aku lelah membawa wanita mabuk yang meronta dan terus berteriak." Max melepas sabuk pengamannya sembari mengejek Emily lewat ekor mata yang tertutup lensa kacamata berwarna hitam.
Emily memelotot dengan mulut yang ingin mengeluarkan protes. Namun, Max sudah lebih dulu membuka pintu mobil. Pria itu keluar dan berjalan menuju pintu masuk restoran. Membuat Emily ingin memaki hanya diam saat bunyi perut yang terdengar memprihatinkan, membuat ia mau tak mau membuka pintu mobil dan berjalan mengikuti Max yang baru saja memilih meja di dekat jendela restoran.
"Kau yang bayar makanannya. Anggap saja sebagai rasa terima kasihmu padaku," kata Max saat melihat Emily duduk di seberang meja.
"Ck, baiklah Tuan Strewatt! Pesan apa pun yang kauinginkan."
Satu setengah jam kemudian Emily menyesal mengatakan hal itu. Sekarang ia sedang menelan ludahnya sendiri melihat tagihan yang diantarkan oleh pelayan restoran. Ia tak pernah mendatangi restoran itu dan tak pernah menyangka kalau tempat dengan nuansa Italia itu menyajikan makanan dengan harga selangit.
Setelah menguras isi dompetnya dengan hati yang menggerutu kesal, Emily kembali duduk di kursi mobil bersama pria yang ia perintah untuk segera mengantarkannya pulang. Hanya butuh waktu lima belas menit. Kini kereta besi Max sudah sampai ke tempat tinggal Emily.
"Emily."
Tangan yang sudah mendorong pintu mobil itu berhenti, Emily menoleh ke arah pria yang menggantung kaca mata di kerah baju. Ia mengernyit saat Max menyodorkan ponsel.
"Apa?"
"Aku akan membayar makananku nanti. Beritahu aku ke mana harus menghubungimu."
Emily memicingkan matanya. "Tidak perlu. Kauanggap saja itu rasa terima kasihku."
Berdecak kasar sembari menyambar tangan Emily dan meletakkan ponselnya, Max menatap wanita itu dengan serius. Ia pikir Emily tak akan mau membayar harga makanan yang memang sengaja ia buat tagihannya menjadi mahal dengan memesan menu yang banyak dengan harga fantastis. Namun, wanita itu membayarnya tanpa protes meski Max tahu raut wajah Emily terus memberengut.
"Cepat tulis nomormu!" desaknya.
Meski menggerutu, Emily tetap menuliskan nomor teleponnya dan memberikan ponsel pada pria itu dengan kasar. Kemudian, keluar dari mobil itu tanpa repot-repot berujar terima kasih. Lagi pula ia sudah menyuarakan rasa terima kasihnya lewat bon restoran yang tadi membawa hampir seluruh uang di dalam dompetnya.
Oh, sial!
***
Berjalan gontai menuju pintu apartemen karena lelah dan kesal, Emily dibuat terkejut melihat pria yang membuatnya gila semalam sedang berdiri lesu di depan pintu kamarnya.
Tentu saja Emily masih marah dan akan terus marah saat mengingat bagaimana pria itu terlihat bergairah saat mencumbu wanita yang ia ketahui masih rekan kerjanya. Sayangnya, ia bukan wanita pendendam yang bisa berbuat jahat dengan mengusir sambil memukul pria yang entah sejak kapan berdiri di sana.
"Eme, kau dari luar rupanya? Aku ingin menjelaskan sesuatu." Pria itu berujar sembari menatap Emily yang berjalan pelan.
Emily tak menggubrisnya dan memilih membuka kunci pintu apartemen. Untung saja ia tetap pada pendiriannya yang tak mau mengganti kunci manual dengan kunci digital yang hanya menggunakan sandi untuk membukanya. Alasannya sederhana, ia sering lupa dengan nomor-nomor yang selalu digunakan menjadi sandi.
Jika beberapa bulan lalu ia mengikuti anjuran kekasihnya dan mengganti kunci manual apartemen dengan smart lock, mungkin pria itu sekarang sedang menunggunya di dalam kamar.
"Pergilah, Steve! Aku muak melihatmu." Emily membuka pintunya dan Steve mengikuti.
"Aku ingin menjelaskan semuanya, Eme. Semalam hanya kesalahan."
Emily menoleh dengan tatapan tak percaya. Ia berdecih pelan saat merasa, apa dirinya benar-benar terlihat bodoh sampai Steve dengan mudah mengatakan hal semacam itu. Bahkan wanita mana yang percaya kalau ciuman dengan penuh gairah itu hanya kesalahan?
Jika ada, ya ... itu hanya wanita bodoh.
"Eme, aku dan Stella tak memiliki hubungan apa pun. Semalam aku dan dia sedikit mabuk hingga melakukan kesalahan itu. Kau percaya padaku, bukan?"
Mereka duduk di sofa. Steve meraih tangan Emily dengan sorot mata seperti anak anjing yang sedang dimarahi tuannya. Ia terus memohon agar dimaafkan oleh wanita yang saat ini mulai berkaca-kaca.
"Tapi kau tak mengejarku semalam. Kau berengsek Steve!" Emily menarik tangannya dengan kasar, menghapus cairan kristal yang mudah sekali muncul di pelupuk matanya.
"Aku mengejarmu, tapi kau sudah tak ada."
Menahan emosi yang kembali menyergap, Emily membuang wajahnya kesal. Ia bahkan menunggu di depan pintu lift yang menuju kamar Steve kurang lebih 15 menit. Menunggu sembari menangis seperti orang bodoh, berharap Steve muncul dan memberi penjelasan seperti saat ini. Sayangnya, pria itu tak kunjung muncul hingga Emily terpaksa menekan tombol elevator dan pergi dari sana.
Lalu, apa katanya tadi?
Mengejarnya?
Emily tak percaya, mungkin Steve memang mengejarnya setelah menuntaskan kegiatan panasnya di atas sofa dengan gadis berambut merah itu.
"Aku datang kemari dua jam lalu, aku mengira kau mungkin ada di dalamnya dan sedang tertidur. Jadi aku memutuskan menunggumu sampai keluar, tak peduli berapa lama aku harus berdiri seperti orang bodoh di sana. Eme, tolong maafkan aku."
Steve tertunduk, kembali meraih tangan Emily dengan menggenggamnya erat. Berharap permintaan maaf yang sudah tak terhitung itu kembali diterima oleh wanita berhati tulus dan lembut tersebut Sialnya, sifat terpuji Emily itu yang selalu ia manfaatkan dalam keadaan seperti ini.
"Kau selalu melakukan kesalahan! Aku selalu memaafkanmu. Aku bosan, Steve!" Menghapus air matanya cepat, Emily benci kenapa ia mudah sekali menangis.
Mata Steve membola saat wanita di hadapannya membentak dengan air mata yang terus terjun melewati pipi. Hal itu tak pernah ia lihat sebelumnya karena Emily tak pernah membentak meski ia melakukan kesalahan seperti telat menjemput hingga tiga jam lamanya.
Kesalahannya kali ini pasti sangat fatal. Tentu saja, wanita mana yang tak marah saat melihat kekasihnya mencium wanita lain. Ah, sial! Bodoh sekali ia tak mengganti sandi saat membawa wanita lain ke dalam apartemennya. Aneh, biasanya Emily selalu lupa sandi apartemennya.
"Aku tahu. Tapi maafkan aku, Eme. Kali ini aku benar-benar menyesal."
Raut wajah penuh sesal yang ditunjukkan Steve membuat hati Emily yang sedang dilingkupi emosi, mulai melunak. Ia benci karena merasa ikut sedih saat melihat orang lain memasang wajah memperihatinkan di depannya. Padahal kondisinya saat ini jauh lebih menyedihkan.
"Aku membencimu, Steve!"
"Ya, aku tahu. Jadi maafkan aku untuk kali ini," ujar Steve sembari membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Ia pikir Emily akan berontak, ternyata tidak. Lantas mengusap lembut kepala Emily yang terisak di pundaknya dan mengecup sekilas puncak kepala wanita yang ia klaim masih menjadi kekasihnya.
Ya, Emily akan tetap menjadi kekasihnya.
"Aku mencintaimu, Eme. Sangat!"
Sial! Kalimat yang terdengar tak tulus sama sekali itu saja sudah mampu membuat amarah Emily menguap entah ke mana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top