BAB 28
Bagaimana bisa aku memulai saat keraguan itu masih ada.
-Maxim Strewatt-
*
*
*
Melewati masa kecil yang begitu menyakitkan membuat Max haus akan cinta dan kasih sayang. Lantas, saat bertemu Elora semua rasa yang tak pernah ada ditawarkan gadis itu dengan sebuah senyuman.
Max terbuai dalam romansa manis penuh harapan cerah tak terukur. Ia begitu jatuh cinta pada pesona gadis cantik yang menjadi model sejak mulai bersekolah. Perasaan menggebu yang belum pernah Max rasakan selalu datang saat bersamanya.
Makin jatuh dan terus jatuh pada wanita dengan watak keras berpadu perhatian yang lembut. Hingga Max menggantungkan semua rasa percaya dan harapan padanya. Satu hal yang tak ia sadari, risiko patah hati saat terlalu mencintai ternyata mampu mengantarkannya ke gerbang maut berkali-kali.
Sekarang, saat ada seorang wanita menginginkan masuk ke ruang yang sudah lama Max kunci, ia memilih tuli dan tak peduli. Meski begitu, euforia yang diciptakan oleh sebaris kalimat Emily ternyata mampu memercikkan api yang membuat hatinya terasa hangat.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik," sahut Max tanpa mengalihkan pandangan pada hamparan lampu kelap-kelip yang menyebar di setiap sudut kota lewat jendela kaca. Ia membawa Emily ke ruang gym ditemani beberapa kaleng soda dingin yang masing-masing mereka genggam.
Dua puluh menit berlalu, lebih dari lima kali terjadi jeda canggung. Emily masih merasakan perubahan dalam diri pria itu. Ia mulai tak bersemangat untuk menceritakan kabar gembiranya sekarang. "Max, apa aku berbuat kesalahan? Atau mungkin saat mabuk hari itu aku ... oh, maaf tentang hal itu. Kau pasti malu pada keluargamu karena membawa gadis sepertiku."
Hanya helaan napas kasar Max yang terdengar setelah kalimat panjang Emily. Lalu beberapa detik kemudian pria itu menyahut, "Tak apa, Eme. Lupakan saja hari itu."
Emily merasa senang saat Max menoleh padanya dan menunjukkan wajah tenang seperti biasa, bahkan tersenyum tipis. Ia kembali bersemangat ingin memberi tahu kabar yang membuat hatinya berbunga-bunga, tetapi hal itu teralihkan oleh lesung pipi yang muncul saat pria itu tersenyum.
Astaga! Emily benar-benar merindukan itu. Matanya terus menatap pria yang kembali fokus pada pemandangan luar sambil menenggak minumannya. Melihat bagaimana jakun memesona Max turun naik saat air berbusa itu meluncur ke dalam tenggorokan. Seketika saja kabar gembira yang sudah ada di ujung lidah, kembali tertelan dan digantikan dengan kalimat spontan.
"Max, kupikir aku menyukaimu."
Mereka berdua sama-sama terkejut. Terutama Max yang refleks menoleh pada Emily. Wanita itu terlihat salah tingkah dengan kalimat yang membuatnya was-was. Ia pikir ucapan dalam keadaan mabuk tak akan terlontar saat wanita itu sadar.
"Maksudku ...." Emily bingung dan malu, mencoba mencari alasan untuk menutupi kalimat kurang ajarnya. Namun, otak kecilnya sulit diajak bekerja sama untuk berbohong atau mengelak. Pada akhirnya ia mendesah pasrah. "Ya ... seperti yang kau dengar." Memberanikan diri menatap Max, Emily merasa begitu kecil saat pria di sampingnya berdiri tanpa ekspresi. "Aku rasa, aku mulai menyukaimu, Max. Apa kau mau berkencan denganku?"
Dari semua perasaan malu dan ragu, Emily punya secuil keyakinan mungkin saja Max memiliki rasa yang sama. Mengingat serangkaian kebersamaan mereka, pria itu pasti memiliki sesuatu yang patut dibicarakan, bukan?
Ya. Emily pikir seperti itu.
Ruangan menjadi sunyi senyap. Jeda kembali terjadi kali ini dalam durasi yang cukup panjang dan mendebarkan.
"Aku tak bisa." Suara Max mengiris udara seperti katana yang membelah barisan bambu hijau.
Ucapan itu membuat tangan Emily yang masih menggengam kaleng soda, terasa lemas. Detak jantungnya berpacu cepat. Bukan karena pernyataan spontannya, tetapi pada penolakan yang terdengar halus dan menyakitkan dari mulut pria itu.
"K-kau menolakku, Max?"
Mengeraskan rahang dengan tatapan kembali fokus pada langit malam di depannya, Max menjawab setengah hati. "Kurasa, ya."
"O-oh," kata Emily nyaris tanpa suara.
Saat ini pikiran Max seperti Arus paralel. Di satu arus ia seperti berada dalam ruang sempit yang setiap sisi perlahan bergerak untuk menjepit tubuhnya. Lantas, di arus lain ia seperti berada dalam ruang hangat yang menyenangkan. "Maaf," ucapnya terpaksa.
"Oh, jangan minta maaf!" sahut Emily mencoba ceria. "Aku orang yang mudah berubah pikiran. Aku gampang menyukai seseorang begitu pula melupakannya." Ia membenarkan letak tali tas di bahunya. "Terkadang aku juga berpikir ingin memanjangkan rambut, tetapi setelah rambutku mencapai punggung aku selalu memangkasnya hingga pendek dan aku kadang lupa memberi beberapa bendaku nama, kadang aku bicara pada kura-kura peliharaanku, lalu ... Oh, Tuhan! Apa yang sedang kubicarakan?" Tangan Emily terangkat, mengusap ujung mata saat gumpalan air menumpuk di sana.
"Aku minta maaf, Eme. Sungguh." Suara Max lirih, seperti tersangkut di tenggorokan.
"Jangan! Jangan minta maaf!" Dan Emily kesal karena suaranya mulai bergetar. "Itu akan membuatku merasa sedih. Kau tak perlu ... sebaiknya aku pergi dari sini." Memutar tubuh cepat, Emily berjalan menuju pintu ruangan dan berhenti saat Max memanggilnya. Ia tak menolah karena tak bisa lagi menahan tangis.
"Eme, kuharap kau tak berniat minum di bar manapun."
Sialnya Emily mengangguk patuh, lalu keluar begitu saja. Meninggalkan Max yang melempar kaleng pada jendela kaca dengan perasaan merana.
***
Melenggang pergi setelah memberi beberapa kalimat membingungkan pada Albern, Max tiba pada bangunan bergaya Eropa kuno. Ia sampai di rumah orang tua angkatnya saat dini hari dan langsung masuk ke garasi setelah bertemu Sofie dan Tom yang terkejut dengan kedatangannya.
Sudah berjam-jam lamanya Max membenahi barang-barang di dalam sana. Membuang benda tak berguna dan mengubah tata letak peralatan berkali-kali hanya untuk mengenyahkan wajah kecewa Emily yang begitu menggangggunya.
Sofie menemaninya setengah jam lalu sambil mengantarkan sarapan dan Tom baru saja pergi ke pusat kota untuk membeli beberapa alat pertukangan. Hari sudah sangat siang, tetapi Max baru selesai dengan sarapannya sebelum kembali memeriksa mesin traktor yang Tom bilang sedikit bermasalah.
"Max!"
Pria itu menoleh. Terkejut sebelum tersenyum melihat adiknya berlari dari rumah induk. Ia tak menyangka, balita kurus yang pernah jatuh di kamar mandi bersamanya tumbuh jadi wanita tinggi, cantik, dan pintar.
"Kau datang?" sambut Max lembut.
"Ya." Rachel berhenti di dekat mobil. "Aku ingin memelukmu," gerutunya dengan tangan terlipat ke dada.
"Kalau begitu, kemarilah!"
"Tak akan! Sebelum kau membersihkan dirimu dari oli-oli itu!"
Tertawa hambar, Max menghampiri Rachel yang duduk di atas kap mobil. "Di mana Zie?"
"Zie tidur 20 menit sebelum sampai." Rachel menatap kakaknya yang mulai membersihkan tangan di pancuran air. "Ada masalah?"
"Tak ada," sahut Max, melirik waspada dari balik punggung.
"Lalu kenapa kau mau repot mengacak-acak garasi sejak pagi buta!" Rachel menepuk tempat kosong di sisinya. Menyuruh Max duduk.
"Ini lebih baik daripada kebiasaan burukku di masa lalu." Tersenyum masam, Max menyambar kaus yang teronggok di atas sofa usang. "Aku ingin bertemu Zie."
"Lalu membangunkannya karena kau pasti akan menciumnya dengan tubuh penuh oli."
Max meringis, menyerah beradu argumen dengan adiknya. "Baiklah." Lalu ikut duduk di atas kap mobil dengan botol bir yang tersisa setengah. "Kau tak bersama Aleshtor?"
"Tentu saja dengannya. Alesh menemani Zie tidur, kepalanya pusing saat kami sampai."
Menatap spekulatif, Rachel membuat kakaknya berdeham ragu. Saat sampai, Sofie langsung mengatakan kalau pria itu sedang gila olahraga dan terlalu menyibukkan diri dengan berbagai hal, termasuk membenahi garasi yang memang seperti kapal pecah karena ulah penasaran Tom. Sofie menambahi kalimat janggal itu dengan fakta bahwa Max membawa seorang wanita beberapa hari lalu. Fakta itu lebih mengejutkan dari yang ingin ia bicarakan prihal kedatangan Elora tempo hari.
"Aku dengar kau membawa seorang wanita, Max?"
"Aku tahu kau pasti akan menanyakan ini." Max menoleh pada Rachel yang menyipitkan mata. Seolah jawaban dari pertanyaan itu tertulis kecil di dahinya. "Hanya teman." Dan mulutnya terasa kering hingga Max kembali menenggak api cair berwarna kuning pucat dalam botolnya.
"Justru ungkapan 'hanya teman' yang membuatku penasaran." Rachel tersenyum licik pada kakaknya.
Mendengkus mendapati sikap Rachel yang selalu penasaran, Max mengalihkan topik. "Bagaimana sekolah Zie?"
"Lancar."
"Beberapa hari lalu aku membeli miniatur taman bermain. Lusa, setelah kembali ke bar aku--"
"Elora menemuiku," sela Rachel tanpa ragu.
"Lalu?" Max sedikit terkejut mendapati dirinya menanggapi hal itu seolah sedang menanggapi gurauan Albern. Tak ada desir aneh seperti dulu saat topik yang benar-benar sensitif itu diangkat. "Zie sudah bertemu dengannya?" Kali ini ia menatap Rachel yang mengangguk samar.
"Seperti katamu. Jika suatu hari nanti wanita itu ingin bertemu Zie, jangan dihalangi. Aku mulai benci karena Zie anak kecil yang mudah akrab."
Tersenyum mendengar nada menggerutu adikanya, Max menepuk bahu Rachel singkat. "Terima kasih sudah menjaga Zie. Dia tak akan jadi gadis cantik dan pintar jika tak ada kalian."
Enam bulan lalu setelah Rachel dan Aleshtor pulang berbulan madu, wanita dengan wajah yang hampir sama seperti milik ibunya itu memutuskan merawat Mackenzie. Melihat Sofie dan Tom yang sudah cukup tua untuk mengurus seorang anak, Max tak punya alasan untuk menolak.
Aleshtor yang mengusulkannya. Pria itu jarang ada di rumah karena alasan pekerjaan dan menjadikan Mackenzie sebagai teman Rachel yang memang sedikit sulit bergaul dengan orang baru.
Max tak bisa mengurus atau membawa Mackenzie ke bar. Selain tak bisa sepenuhnya memperhatikan karena harus sibuk dengan pekerjaan, ia juga terus mengingat bagaimana sikap egoisnya di masa lalu jika berlama-lama dengan putrinya.
Rachel tersenyum, meletakkan pelan kepala di bahu telanjang kakaknya. "Seperti yang kaulakukan dulu padaku, Max." Ada jeda sebelum Rachel kembali memulai. "Siapa wanita itu? Tak mungkin hanya teman."
Max mendesah pelan. Ia kembali mengingat bagaimana tangis yang disembunyikan Emily malam itu dengan campuran momen kebersamaan mereka yang singkat. "Aku tak tahu. Hanya saja dia sedikit mengganggu."
Jawaban itu membuat Rachel menegakkan tubuh spontan. Ia menatap Max yang sedang tersenyum tipis. "Astaga, kau jatuh cinta?"
"Atas dasar apa kau katakan itu?"
"Aku melihatnya." Rachel tersenyum kemudian mengernyit. "Apa kau ragu?"
"Aku tak berniat menjalin hubungan dengan wanita manapun." Max turun saat Rachel menatapnya mafhum, mencoba melarikan diri dari berondongan tanya yang siap dilontarkan adiknya.
"Oh, Tuhan! Jangan katakan kau ingin jadi biksu, Max!"
Gelak tawa Max menggema di ruang yang di atapi material asbes. "Aku akan pergi mandi," katanya buru-buru.
"Max, aku tahu kau sedang jatuh cinta!" Wanita dengan rambut panjang itu mengikuti Max yang berjalan cepat. "Apa kau takut? Jika tak mencoba kau pasti akan menyesal! Kau tak bisa hidup selibat seperti itu, Max! Apa kau berencana jadi biarawan?! Astaga, aku kasihan ... oh, ayolah! Jawab aku! Kau jatuh cinta lagi, bukan?" Dan Rachel harus berhenti memberondong pertanyaan untuk kakaknya saat sampai di depan pintu kamar mandi.
***
Setelah melewati hari-hari yang begitu panjang dan menyedihkan, Emily mengubur wajah pada bantal sofa. Tengkurap dengan tangis yang tak henti sejak setengah jam lalu. Tadi pagi Kyle mengabarkan kalau relokasi karyawan yang sempat membuat hatinya berbunga-bunga, harus mengalami penundaan akibat renovasi gedung yang dikerjakan tepat pada bagian Desainer Grafis.
Lengkap sudah kemurungannya. Setelah ditolak tanpa sebuah alasan, Emily harus dihadapkan pada sesuatu yang terasa mempermainkan. Meskipun begitu, Kyle bilang penundaan ini tak akan lama, paling lambat membutuhkan waktu dua bulan.
Namun, mengingat hatinya sedang retak. Emily pikir pergi ke Paris adalah cara terbaik. Sekarang ia bertekad tak akan mau menemui Max atau datang ke tempat pria itu lagi.
Menyedot ingus sambil mengganti posisi menjadi telentang, Emily masih terisak saat suara ponselnya terdengar. "Siapa pun jangan ganggu aku," katanya merengek. Namun, tangannya justru menyambar benda pipih yang tak sengaja ia tindih.
Steve.
Nama itu tertera jelas. Emily mengabaikanya sampai ponsel itu mati dan kembali berdering. Tiga panggilan tak terjawab dan disusul beberapa notifikasi pesan yang membuat Emily ingin mengintip isinya.
Steve.
Eme, bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan.
Steve.
Kudengar Evelyn berlibur dengan kekasihnya. Apa kau sendiri sekarang?
Boleh aku ke sana?
Steve.
Eme, tolong balas pesanku.
Emily mendengkus kesal. Ia bangun, menyambar tisu untuk membuang lendir dari hidungnya, lalu berjalan menuju kotak kaca Marko sambil menumpahkan segala keluh kesah pada kura-kura yang tertidur pulas.
"Apa aku terlalu buru-buru, Marko? Dia pasti terkejut." Emily menaburkan krill ke dalam kotak kaca itu. "Harusnya aku tak mengatakan hal itu, bukan? Ck, wanita macam apa yang mengajak kencan lebih dulu."
Suara dari arah pintu membuat Emily terkejut. Ketukan itu berulang kali dan tak sabaran, membuatnya takut dan penasaran. "Marko, apa itu pencuri?" Ia mengikat rambut asal setelah mengusap wajahnya. "Apa pencuri mengetuk pintu sebelum mencuri?"
Menyambar bantal sofa untuk dijadikan senjata, Emily berjalan ragu menuju pintu. "Apa itu Steve? Oh, Tuhan bagaimana jika itu pencuri?!" Membuat tanda salib sebelum berdoa, Emily menoleh pada Marko. "Marko, bisakah kaulapor polisi jika terjadi pembunuhan?!" Tentu saja tak ada jawaban.
"Baiklah, aku anggap jawabannya iya."
Dugh dugh dugh!
"Oh, Tuhan. Lindungi aku dari apa pun yang ada di balik pintu itu!" Dan saat Emily memutar anak kunci untuk mengintip siapa yang mengetuk pintu seperti orang gila, matanya melebar sempurna.
Di sana Max berdiri gelisah. Mendorong pintu tak sabar, menerobos masuk dan kembali menutupnya di belakang punggung.
"Max, ada apa--" bantal dalam pelukannya terlepas saat pria itu mencium hingga membuat punggungnya berbentur dinding.
Pria itu tampak frustrasi. Rambutnya acak-acakan, kancing teratas kemejanya terbuka dan tangan besar itu terasa hangat saat menangkup pipi Emily.
"Eme," panggilnya setelah memutus ciuman tergesa-gesa itu. "Apa tawaranmu masih berlaku?"
Emily tak bisa berpikir. Bahkan ia merasa ini seperti mimpi, tetapi saat Max menciumnya lagi ia yakin ini bukan mimpi.
"Baiklah." Max tersenyum melihat tatapan kebingungan Emily. "Mau kencan denganku, Eme?" Lalu makin tersenyum saat wanita itu mengangguk yakin dan kembali memulai ciuman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top