BAB 27

Tandai tipo jika menemukan
Terima kasih💙

*
*
*

"Maafkan aku, Eme."

Emily hanya mencebik saat mobil Evelyn terus melaju sedang ke arah gedung penerbit tempatnya bekerja. Sekarang wanita yang masih memegang setir terdengar memelas padanya.

"Sudah kubilang, aku baik-baik saja, Eve." Tersenyum simpul, Emily memeriksa jam tangan yang sudah menunjukkan angka delapan. Hari ini ia terlambat bangun karena semalaman terlalu sibuk mengomel pada langit, angin, Marko, bahkan kaki kursi di balkon yang tak sengaja tersandung kakinya.

Alasannya masih sama.

Evelyn ikut tersenyum dan menaikkan kaca matanya. Ia baru saja memberi tahu kalau acara menghibur Emily tak sesuai rencana karena Axel memintanya pergi ke Maldives untuk menghabiskan masa cuti yang tersisa satu minggu lagi.

"Dan ... oh, ya. Aku dengar kau akan mengadakan pesta di Bar Starkouts?" Emily menoleh pada Evelyn saat bicara.

Wanita yang menggerai rambut panjangnya itu, menggeleng menyesal. "Axel menyarankan liburan ke Maldives dan aku langsung setuju." Lalu tersenyum sambil memicingkan mata ke arah Emily setelah berhasil menepikan mobil di depan tempat tujuan. "Dan kudengar, kau pergi bermalam bersama Max?"

Rona merah muda muncul di pipi putih Emily sebelum meringis mengingat sudah enam hari ia tak berani menghubungi pria itu dan Max sepertinya tak ada niat untuk memulai.

"Pikiran nakal yang ada di kepalamu tak terjadi, Eve. Justru mungkin ada sedikit kejadian tak terduga." Emily mendesah. Masih jengkel pada botol wine yang disediakan Sofie saat menceritakan masa kecil Max. Ia hanya ingin mencoba sedikit, tetapi saat rasanya enak Emily malah ketagihan.

"Banyak kejadian tak terduga saat melakukannya, Eme. Oh, Tuhan! Aku ingin mendengar ceritanya sekarang. Bisa kau katakan sedikit saja, apa kalian berbagi selimut yang sama dalam keadaan telanjang?" Wanita dengan mata hijau itu terlihat antusias. Ia menghadap Emily dengan desakkan rasa penasaran. "Astaga, itu yang pertama bagimu, bukan? Pasti rasanya sakit, tetapi--"

"Aku sedikit mabuk, Eve." Emily meringis melihat sahabatnya yang mencerna apa yang dikatakan. "Yang aku ingat hanya perpustakaan dan Max tak ada di sampingku saat aku terbangun. Lalu--"

"Oh, Tuhan!" Evelyn tersadar dari pengamatannya. "Aku harap kau tak melompat dan membuka bajumu, Eme. Standar sedikit mabukmu saja sudah sangat mengerikan."

"Kau membuatku takut, Eve!" Mendengkus mendapati tanggapan Evelyn, Emily membuka pintu penumpang dan tersenyum setelah berdiri di sisi mobil. "Selamat bersenang-senang, Eve! Aku pasti akan merindukanmu."

Evelyn balas tersenyum. Ini hari keberangkatannya ke Maldives dan setelah itu ia harus kembali ke Paris untuk memulai rutinitasnya sebagai model. Wanita dengan celana hitam yang dipadukan kaus corp putih itu turun, menghampiri Emily yang tersenyum menyambutnya. "Aku mencintaimu, Eme! Jaga dirimu baik-baik!" Memeluk erat Emily, Evelyn menepuk-nepuk bokong sahabatnya yang terasa sintal. "Uuuhh ... ini bantalan menggemaskan! Aku pasti akan rindu menepuk bokongmu saat tidur!" Lalu terkikik geli saat Emily mendengkus sambil melepas pelukannya.

Setelah mobil Evelyn melesat pergi membelah aspal hitam, Emily mulai berjalan masuk menuju elevator yang sudah ada Darrel di sana. Ia tersenyun saat pria dengan kemeja biru itu melambaikan tangan padanya.

"Kupikir kau sudah duduk manis di kursimu," kata Darrel saat Emily berdiri di sisinya.

Emily beruntung karena pintu lift terbuka setelah beberapa detik ia sampai. Mereka masuk ke dalam ruang sempit itu dengan beberapa karyawan lain yang ikut menunggu.

"Tidurku bermasalah semalam." Emily menjawab setengah hati. Ia benar-benar memikirkan kejadian hari itu.

Darrel mengangguk pendek. Berselang setengah menit, pintu besi itu terbuka mengantarkan mereka pada lorong menuju ruang kerja. Darrel dengan santai melatakkan tangan pada pundak kecil Emily yang mendapat respons tak acuh.

Mengernyit melihat tanggapan Emily yang biasanya akan menggerutu kesal saat ia berbuat hal menyebalkan--termasuk merangkul--Darrel mulai curiga. "Ada masalah selain tak bisa tidur?"

Berbelok masuk ruangan, Emily yang tampak muram mengangkat bahu samar. Kemudian menjawab, "Belum lama ini aku melakukan hal yang memalukan dan itu benar-benar menggangguku."

"Bukankah kau memang sering mempermalukan diri, Eme? Itu bakat besarmu yang--awh." Darrel memekik terkejut saat siku lancip Emily menusuk perutnya. Setelah itu ia meringis dan duduk di kursi kerjanya.

"Eme, bagaimana menurutmu?"

Emily menoleh setelah melepas cardigan-nya. Memberi fokus pada Adofo yang menunjukkan gambar di layar komputer. "Wah, itu bagus, Ado!"

Adofo tersenyum bangga. "Terima kasih."

"Tetapi menurutku, kurangi satu warna yang terang agar rangkaian gambar menjadi fokus saat seseorang melihatnya. Kecuali jika kau memilih tema color block." Emily menjelaskan santai dan ditanggapi serius oleh Adofo sementara Darrel yang ikut melihat ilustrasi gambar dalam komputer pria hitam itu, tersenyum mendengar pendapat Emily.

"Sepertinya ide bagus." Adofo kembali fokus pada layarnya.

"Eme."

Emily mendesis kesal sebelum menoleh pada Darrel yang sudah menempatkan kursi di belakangnya. "Apa?!" gerutunya.

Mata biru Darrel berbinar terhibur melihat wajah galak Emily, lalu meringis melihat wanita itu seperti ingin menangis. "Oh, baiklah. Aku minta maaf untuk yang tadi." Menjeda ucapannya, Darrel memutar kursi Emily agar berhadapan dengannya. "Akhir musim panas ini aku akan pulang ke Paris, kau mau ikut untuk berlibur?"

Manik karamel Emily berbinar diiringi raut terkejut sebelum tersenyum lebar. "Benarkah? Kauambil cuti, Darrel?"

Darrel menggeleng singkat. "Aku akan resign."

"Apa?!"

Darrel hampir terdorong ke belakang saat Adofo dan Emily bertanya bersamaan dengan suara lantang, hingga beberapa orang di sana menoleh pada mereka. "Sial! Apa kalian ingin aku sakit jantung?!"

Dua orang pelaku yang saling bertukar tatap, terkekeh dengan kelakuan masing-masing.

"Baiklah, sekarang katakan kenapa kau akan resign? Apa kau membuat Kyle hamil dan tak mau tanggung jawab?"

Darrel memutar matanya malas. Ia ingin sekali men-setting otak Emily yang begitu ajaib menyimpulkan sesuatu. Mengibas tangan, Darrel mengisyaratkan dua orang di depannya untuk mendekat. Lantas berdeham sebelum berucap, "karena--"

"Emily!"

Dan sekarang mereka bertiga yang hampir terjungkal ke belakang saat suara Kyle menggema dalam ruangan. Wanita itu berdiri di ambang pintu.

"Eme, bisa ikut aku?"

Meringis mendengar hal itu, perasaan Emily mulai tak enak mendapat panggilan Kyle di pagi hari.

"Pergilah, Eme!"

"Ado benar. Setidaknya jika Kyle mengaum ia tak menggetarkan jendela di sini," tandas Darrel dengan wajah prihatin yang palsu.

Emily menatap Adofo dan Darrel secara bergantian sebelum kembali meringis. Kemudian berdiri, meluruskan rok span hitam selututnya dan menjawab, "Ya, tentu Kyle," katanya pada wanita yang kembali pergi dari ambang pintu.

Berjalan menuju kantor Kyle yang berada tak jauh dari ruang kerjanya, Emily menghela napas pelan sebelum masuk menemui wanita yang sedang menunggu. Sebenarnya ia tak takut pada Kyle, hanya saja wanita penuh warna itu sulit ditebak. Terkadang terlalu baik, tetapi tak jarang penuh emosi yang sebabnya terkadang masih menjadi misteri. Emily tak tahu, hari ini wanita itu memerankan karakter yang mana?

"Duduklah, Eme!" seru Kyle.

Emily mengangguk patuh dan duduk di hadapan atasannya. Wanita itu membuka berkas dan menyodorkannya dengan senyum di bibir. Sepertinya Emily sedang beruntung hari ini.

Emily mengernyit. "Apa ini?"

"Kami mengadakan relokasi karyawan." Mata Kyle berbinar. Kelopak yang di poles warna hijau serupa dengan rambut itu terlihat melebar. "Kau tahu perusahaan induk kita di Paris? Mereka melirikmu, Eme. Dua hari lalu mereka memintaku mengirim karyawan bagian ilustrator, tetapi mereka menyinggung namamu dan aku merekomendasikan dirimu."

Emily tercengang. Terkejut sekaligus bahagia hingga matanya mulai berkaca-kaca dengan rasa haru. Ia tak menyangka Kyle akan merekomendasikannya padahal karyawan lain banyak yang lebih berpotensi darinya. "Kau serius, Kyle?" tanyanya masih setengah percaya.

Mengangguk antusias, Kyle mencabut beberapa tisu dan memberikannya pada Emily. "Aku tahu sejak dulu kau ingin bekerja di sana dan kebetulan kinerjamu di sini sangat baik dan memuaskan. Meskipun aku akan kehilangan satu karyawan teladan dan sedikit teledor, aku bangga bisa melihatmu bekerja di perusahaan induk kita. Kau jadi karyawan kedua setelah Key yang aku kirim ke sana. Key bilang memang ada banyak tuntutan pekerjaan, tetapi semua sebanding dengan gaji dan fasilitas yang ia dapat."

"Oh, Tuhan. Kau membuatku menangis, Kyle." Emily menyedot lendir di hidung dan menutupnya dengan tisu. "Terima kasih banyak," katanya tulus.

Wanita itu tersenyum dan mengangguk. "Baca dan tanda tangani surat itu. Mungkin ada poin minus yang kau dapat, tetapi ada beberapa keuntungan yang kupikir sepadan." Menjeda ucapannya, Kyle mengibas rambut hijaunya dengan gemulai ke belakang punggung. "Nanti akan kukirimkan salinan surat itu lewat email. Kau harus mengisinya segera agar aku bisa mengirim laporan pada mereka!"

Emily mengangguk dengan senyum terlalu lebar. "Apa aku boleh pergi sekarang?"

"Tentu." Kyle mengangguk dan tersenyum lembut tak seperti biasanya.

Setelah itu Emily pergi dengan perasaan girang. Berjalan, melompat, bahkan berputar menuju ruang kerjanya dengan berkas dalam pelukkan. Bahkan ia hampir saja membenturkan diri pada pintu ruangan jika saja Adofo yang saat itu ingin keluar, tak menarik tangannya.

"Apa Kyle menaikkan gajimu?" Darrel yang sedang memegang secangkir kopi, menatap Emily yang berbinar-binar.

"Bukan! Ini lebih menyenangkan, Darrel!" Emily duduk di kursinya, menahan kakinya agar tak melompat-lompat seperti kanguru. "Kyle merekomendasikanku dalam relokasi karyawan!"

"Benarkah? Ke mana?" timbrung Adofo dengan beberapa lembar kertas potocopy. Ia bertukar pandangan ke arah Darrel sebelum mengernyit, lalu melebarkan mata terkejut.

"Paris?!" kata dua pria itu bersamaan.

"Ya!" jawab Emily penuh semangat.

"Oh, Tuhan! Aku ikut senang mendengarnya." Meletakkan cangkir kopi, Darrel memeluk Emily singkat sembari mengucapkan selamat.

"Aku akan kehilanganmu Eme, tetapi aku senang melihatmu bisa bekerja di negara impianmu." Kali ini Adofo yang memeluk dengan durasi sama seperti Darrel.

Emily tersenyum penuh haru. Ia menatap pria tinggi itu secara bergantian dan merasa bersyukur karena ditempatkan di tengah-tengah orang yang begitu peduli padanya.

Setelah euforia itu selesai, Emily mengirim pesan singkat pada sahabatnya tentang kabar menggembirakan ini. Evelyn belum membalas mungkin wanita itu masih sibuk dan saat jarinya masih bermain pada layar ponsel, ia teringat Max. Entahlah, perasaan bahagianya membuat ia lupa dengan kejadian memalukan hari itu. Ia tersenyum dan memikirkan bagaimana raut wajah Max yang lembut dengan senyum manis, menanggapi kabar ini.

Emily ingin memberi tahunya.

***

Memutar jari pada ujung gelas bir di depannya, Max membuka berita tentang seorang model cantik yang pensiun dalam usia muda lewat ponselnya. Di sana banyak kekecewaan yang tertulis karena ketenaran benar-benar sedang mengelilingin model itu.

Ada apa denganmu? Max tak bisa menaruh dendam atau kebencian pada Elora. Ia tahu, perpisahan mereka berawal dari keegoisannya yang ingin menempatkan wanita itu selalu di sampingnya.

Namun, ia juga tak yakin masih menaruh perasaan yang sama dengan lima tahun lalu. Max hanya sedikit terkejut mungkin sama seperti orang-orang yang menulis artikel itu. Terlebih lagi, ia tahu bagaimana Elora menggilai profesinya sebagai wanita yang suka memamerkan bentuk tubuh di lensa kamera.

"Aku tak pernah melihat Emily datang lagi. Kalian ada masalah?" Suara Albern menarik atensi Max yang kembali tenggelam dalam kabar sang mantan.

Emily ... Max menyunggingkan senyum saat mengingat tingkah bodoh wanita itu. Bagaimana mungkin segelas sampanye bisa merubah seseorang menjadi liar dan lucu dalam waktu bersamaan. Lantas sebaris kalimat yang seperti mengejar tanpa lelah, kembali berkelebatan di pikirannya.

Perasaan takut dan ragu seolah mendorong Max untuk tetap diam dan tak mencoba mendekati Emily. Sebelumnya banyak wanita yang terang-terangan mengajak berkencan bahkan bercinta, tetapi Max selalu bisa menghindar dan menolak halus tawaran itu tanpa rasa bersalah.

Namun, kenapa ia seolah terganggu saat mengabaikan Emily? Padahal, mungkin saja wanita itu tak mengingat pernyataan yang membuatnya terus menyibukkan diri dengan olahraga berat.

"Oh, kau datang. Kami sedang membicarakanmu, Eme!"

Mata Max melebar. Kepalanya menoleh cepat ke belakang dan mendapati wanita mungil yang berjalan ringan ke arahnya. Di antara rasa ragu dan takut, Max tak bisa menghentikan euforia yang terjadi di balik dadanya hingga hal itu membuat hatinya terasa hangat.

Max sadar, ia merindukannya. Sangat.

-LparkC-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top