BAB 26
Selamat bertegur sapa sama MaEm
Tandai tipo yess!
*
*
*
Membuka mata setelah mengerjap beberapa kali, Max mulai fokus menatap langit-langit berwarna pastel yang lembut. Kulitnya merasakan udara sejuk yang terasa menusuk dan aroma citrus bercampur bau obat-obatan yang menyengat mulai menggelitik hidung. Keadaan itu dilengkapi dengan percakapan samar beberapa orang di dalam ruangan.
Bersusah payah menoleh, Max mendapati Rachel yang sepertinya belum sadar dengan keadaannya. Ia tersenyum meski yakin itu tidak tampak di wajah, lalu mengamati sang adik yang sibuk menata buah dalam mangkuk besar. Max selalu bersyukur, Rachel tumbuh dalam lingkungan baik dan berkecukupan.
Kembali mengedarkan pandangan pada langit-langit kamar, pria itu meringis saat merasa semua sendi dan tulangnya terasa lunak hingga sulit untuk digerakan.
"Wow! Kau sudah sadar, Dude?!" Suara Albern yang baru selesai bicara disambungan telepon, menjadi pusat atensi orang-orang di dalam sana.
"Max, kau sadar? Oh, Tuhan ... kau bisa mendengarku? Max, tolong katakan sesuatu?" Rachel bergerak cepat ke arah brankar, memegang wajah sang kakak yang terlihat begitu pucat. Matanya berkaca-kaca saat membubuhi kecupan ringan di kening pria itu. "Astaga! Aku benar-benar merasa bersyukur, Max. Kau akhirnya sadar." Lalu terisak melihat kakaknya memaksakan senyum tipis.
"Aku pikir kau sudah bertemu Dewa Thanatos, Max." Axel bergabung dengan tatapan antara syukur dan jengkel. "Atau mungkin Dewa Ker."
Terkikik geli mendengar ucapan Axel, Albern membebankan setengah bobot tubuhnya pada kusen pintu rumah sakit. "Aku curiga Max jelmaan kucing Cleopatra. Dia selalu lolos dari maut bahkan saat dokter mengatakan hal yang paling menyedihkan."
"Mungkin Tuhan tak mau menerimanya." Axel makin mendekat, memeriksa keadaan Max yang terlihat tak berdaya.
Sebenarnya Max ingin bersandar, meminta tolong sahabatnya untuk membantu daripada mengejeknya yang kembali berhasil membuka mata. Namun, ia merasa jarinya sangat sulit digerakan. Tubuhnya benar-benar mati rasa. "Berapa hari aku tertidur?" Dan mulutnya terasa kering.
"Lima hari!" Suara Rachel bercampur rasa marah dan khawatir. "Apa setelah ini kau akan mengulanginya lagi?! Lalu berapa lama kau akan ada di atas tempat tidur dengan alat-alat itu?!"
Max nyaris terkekeh, tetapi saraf di wajah dan seluruh tubuhnya terasa tertarik saat ia mencoba. "Maaf, aku menyesal membuatmu takut," lirihnya penuh sesal.
"Kau juga mengatakan itu saat pertama kali masuk ICU!" sembur Rachel.
"Setelah ini, mungkin Max tak akan lolos dari Dewa Thanatos." Albern berjalan menuju sofa. Duduk di sana dan menyambar buah apel yang baru diletakkan Rachel dalam wadah. "Tak adil, dewa itu terlalu baik padanya."
"Kau ingin sesuatu, Max?" Rachel tak peduli pada ocehan tak beradab yang dilontarkan sahabat kakaknya. Ia menatap lekat wajah Max dengan tangan yang tak lepas menggenggam jemari kurus sang kakak. "Oh, Tuhan. Kenapa kau bisa semenyedihkan ini? Aku benar-benar tak mengenalimu, Max. Kenapa selalu membuatku takut?!" Isak Rachel lolos dan hal itu mengundang Albern mendekat untuk menepuk punggungnya yang bergetar.
"Al, kau bilang ini ketiga kali--"
"Empat kali, Ax. Bajingan ini lolos dari mautnya empat kali. Mengejutkan, bukan?" Albern memeluk Rachel yang makin terisak sedih.
Menatap Max dengan tatapan menusuk mencermati, Axel mendesah kasar sebelum bertanya, "Sejak kapan kau pakai obat-obatan?" karena saat ia pulang ke Belanda untuk urusan pekerjaan, Max tak sampai pada batas gilanya.
Pria itu hanya tersenyum kaku. "Itu tak penting." Max mengedarkan tatapan ke seluruh ruangan. "Aku ingin melihat Zie. Di mana putriku?" lirihnya dengan suara bergetar.
"Wow, setelah tidur panjang apa kau mendapatkan ingatanmu kalau sudah menjadi seorang ayah idiot?" sindir Axel tanpa rasa simpati sedikit pun.
"Tak apa, kakakmu akan cepat pulih." Albern mencoba menenangkan Rachel yang terguguk dalam tangis, lalu tersenyum mengusap kepala wanita itu.
"Zie dan Sofie sedang di rumah. Tom baru saja pulang setelah berjaga semalaman. Aku berharap saat Zie melihatmu, ia tak menangis ketakutan karena ayahnya lebih mirip zombie," tandas Axel.
Tawa lemah Max yang membuat dadanya sakit, mengudara. Disusul dengkusan lirih Rachel dan senyum mengejek Axel dan Albern yang pada akhirnya, mereka bertiga menyerukan doa paling tulus di dalam hati masing-masing.
Butuh waktu lama untuk Max berada dalam panti rehabilitasi. Berjuang melawan candu yang begitu menyiksa setiap menit. Membulatkan tekad dan semangat untuk sembuh demi menebus waktu yang terbuang bersama malaikat kecilnya.
Banyak hal yang benar-benar Max sesali. Di antaranya; ia tak pernah ada di momen mendebarkan saat Mackenzi mencoba berjalan, tersenyum saat bayi itu lelap dalam pelukan, serta kebingungan saat gadis kecilnya menangis tanpa alasan. Penyesalan itu menyeruak seperti lelehan timah panas yang menyetuh kulitnya.
Max melewatkan itu demi masa pemulihan. Hingga saat dirinya pulang, seorang balita dengan lumuran cokelat di mulutnya berlari melompat kepelukan sambil meluncurkan panggilan Papa. Meskipun Max sempat melihat kebingungan di mata hijau Mackenzie yang saat itu mengenalinya hanya dari layar ponsel saja.
***
Setelah hari di mana Emily merasa kalau dirinya lebih baik di kubur hidup-hidup, ia bertekad membenci setiap botol-botol beralkohol dari segala jenis. Meskipun biasanya, dendam itu hanya bertahan seperti hari Minggu yang menjemput Senin.
"Arghhh!" Menarik kasar rambutnya, Emily merutuk pada diri sendiri. Ia menatap langit malam yang tampak mengejek karena menampilkan rasi bintang paling terang di dekat bulan.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?! Aku bahkan tak mengingat apa pun selain perpustakaan! Oh, Tuhan! Bagaimana bisa Kau begitu tak adil padaku?!" Emily berteriak pada langit dengan emosi berapi-api. "Jika tak mau menciptakanku dalam keadaan tinggi, cantik, dan pintar. Setidaknya Kaubuat tubuhku menoleransi alkohol! Itu permintaan kecil dan Kau tak mengabulkannya!"
"Oh, Mom! Kuharap aku tak melompat-lompat seperti yang dikatakan Eve saat mabuk beberapa hari lalu," rintihnya setengah jengkel pada diri sendiri.
Emily masih ingat bagaimana ia terbangun dalam kondisi yang memalukan. Sendirian di tempat asing sebelum Sofie masuk membawa sarapan, atau mungkin lebih cocok disebut makan siang sambil berkata,"Tak ada hal memalukan yang terjadi. Kau hanya mabuk dan pingsan."
Emily tentu saja tak percaya. Saat itu ia melihat jelas bagaimana Sofie menyembunyikan senyum geli sebelum keluar. Ia bahkan tak sempat bertanya di mana baju dan bra-nya sampai Max masuk ke kamar dan memberi tahu kalau ada baju adiknya yang bisa ia pakai.
Setelahnya, pria itu pergi tanpa penjelasan apa pun. Bahkan Max terlihat berbeda seolah menjaga jarak di antara mereka. Emily berpikir mungkin kelakuan gilanya membuat pria itu malu karena selama perjalanan pulang Max tak mengucapkan sepatah kata pun.
Emily lebih memilih, Max mengejeknya tanpa perasaan daripada harus diam dengan raut wajah dingin menyeramkan.
***
Ketangkasan tinju dan kecepatan beritme teratur terus diberikan Max pada samsak merah di pojok ruang gym. Keringat membasahi otot, membuat kulitnya yang sedikit kecokelatan tampak berkilau mengagumkan.
Rambut pirangnya yang sudah memanjang, terlihat basah dan bergoyang dipandangan. Rahangnya mengeras saat kekuatan tangan begitu fokus memberi pukulan yang mungkin bisa meremukkan rusuk manusia dalam sekali gerakan.
Berhenti sejenak untuk memberi jeda napas dan mengenyahkan pikiran yang mengganggu, Max kembali mengambil kuda-kuda untuk memberi pukulan tepat, keras, dan memiliki risiko cedera tinggi.
"Ada masalah?" Axel muncul dari arah pintu, masuk bersama Albern yang membuka kausnya. "Atau hanya ingin membelah samsak menjadi potongan dadu?" lanjutnya dengan nada mengejek.
Max tak acuh, ia tetap melancarkan aksinya. Tubuhnya sudah benar-benar basah dengan keringat yang mengembun lewat pori-pori di kulitnya.
Berjalan setelah menatap ngeri pada otot Max yang sepertinya bisa mematahkan leher seseorang, Albern berdiri di atas treadmil. Melakukan peregangan kecil sebelum memulai jalan di tempat.
Napas memburu dengan detak jantung yang hampir meledak, membuat Max mengakhiri olahraganya. Ia memilih duduk bersandar pada dinding ruangan setelah menyambar sebotol air.
"Ada apa?" Axel bergabung, menatap Max dengan sebelah alis terangkat.
"Tak ada," sahut Max singkat.
Mencebik mendengar jawaban Max, Axel ikut bersandar. Matanya kini menatap Albern yang sibuk berjalan di atas treadmill sambil mendengarkan lagu dalam earphone.
"Aku dengar dari Eve kalau Elora memutuskan kontraknya."
Max menoleh dengan kernyitan di kening, sudah lama sekali ia tak mendengar nama itu meluncur dari mulut Axel. "Eve tahu tentangnya?" Suaranya terdengar menyelidik.
"Kami tak pernah membahas kau jika sedang berdua." Axel memutar malas matanya. "Eve hanya sedang bercerita kalau model yang menjadi idolanya memilih berhenti. Dan ya ... dunia sempit sekali bukan? Ternyata model itu Elora."
"Dia juga sudah kembali ke Inggris setelah putus dari kekasihnya." Max tak menyangka dirinya menanggapi ucapan Axel tanpa emosi berlebih.
"Oh, sial!" Axel berdecak kasar. "Harusnya aku tak terkejut saat mendengar ini darimu."
Max menyandarkan kepalanya pada dinding sebelum memejamkan mata, kembali memikirkan sesuatu yang benar-benar mengganggu.
"Kau masih mengikuti kabarnya, Max?" Ada rasa tak suka saat Axel mengucapkannya.
Terjadi jeda cukup panjang setelah itu. Max mengernyit dan mulai mengingat-ingat. Kapan terakhir kali ia tak mencari kabar tentang Elora lewat sosial media?
Emily.
Lantas nama itu terlintas seperti embusan angin musim gugur yang menjatuhkan daun kering di ranting pohon. Terasa menusuk tulang, tetapi memberi kesejukan.
"Jika dia kembali, apa kau akan menerimanya?" Axel bertanya nyaris seperti memperingatkan.
Pertanyaan itu menarik atensi Max. Ia menoleh dengan kepala yang masih bersandar di tembok. "Aku tak tahu. Bagaimana menurutmu?" Sungguh, ucapan itu seringan kapas. Ia seperti sedang menggoda sesuatu yang lucu, bahkan tak ada debar aneh yang dulu ia rasa saat membahas Elora.
Dengkusan kasar keluar dari pria Belanda itu. Axel menyambar pembalut tipis berbahan katun dan menggulung tangannya sebelum memakai sarung tinju. "Kau tahu aku selalu mendukungmu, bukan?" Kemudian sudut bibirnya terangkat meremehkan.
Max tersenyum nyaris terkekeh saat Axel terdengar menggerutu.
"Anehnya, saat mengucapkan itu aku ingin memukul sesuatu!" Axel berdiri, berjalan menuju samsak yang tergantung di pojok ruangan.
Sementara itu, Max kembali terdiam. Kenangan dengan Elora kembali berputar dengan rasa hangat dan sakit yang masih membekas, lalu di tengah kekacauan delusi itu satu kalimat terdengar begitu nyata.
Kurasa aku mencintai, Max.
Suara Emily seperti heroin yang setiap terlintas ada rasa hangat, nikmat, dan perasaan bahagia. Sayangnya, ada efek mematikan dibalik semua itu. Seperti kegelisahan dan rasa was-was yang muncul secara bersamaan.
Dan hal itu membuat Max ketakutan.
Say hi to Papa Max!🔥
Akhirnya nongol juga Eme setelah lenyap dua chapter. Wkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top