BAB 2

Keluar dari dalam kamar mandi, Emily masih berupaya menenangkan hati meski tak begitu mendapatkan hasil yang baik. Ia kembali menghela napas panjang sebelum memulai pagi paling memalukan dalam hidupnya.

Matanya mengedar ke sudut kamar, tapi tak melihat pria yang tadi pagi membuatnya panik dan ketakutan. Apa mungkin ia begitu berlebihan karena melayangkan banyak tuduhan? Memangnya gadis mana yang tak merasa panik sekaligus terkejut saat ada pria asing yang menyambut bagi butanya. Apa lagi saat mendapati kondisi tubuh yang setengah telanjang meski Emily yakin tak terjadi sesuatu mengerikan yang terus berbisik vulgar di otak kecilnya.

Emily yakin karena ia tak merasakan hal aneh di tubuh bagian bawah. Seperti cerita sahabatnya yang baru pertama kali berhubungan intim dan bercak kemerahan yang menempel di kulit yang biasa disebut kissmark. Namun, apa ada orang yang tak meninggalkan jejak setelah melakukan seks? Ah, entahlah! Hanya saja Emily merasakan sedikit perih pada bagian ujung payudaranya. Ia tak mau berpikir lebih jauh karena memang sering merasa seperti itu jika akan menstruasi. Biasanya.

"Ya, tentu saja."

Emily mendengar suara dari arah balkon. Ternyata pria itu masih ada di sini dan sedang berbicara lewat sambungan telepon dengan raut wajah yang begitu riang. Terlihat dari cara menjawab obrolan lawan bicaranya.

"Hmmm, I love you more, sweety."

Emily yang tak sadar sedang menguping pembicaraan pria itu, sedikit terkejut saat Max menoleh sembari memasukkan ponsel pada saku celananya.

Pria itu hanya menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Seolah berkata;

Sedang apa kau di sana?

Sejak kapan kau di sana dan mencuri obrolanku?

Atau yang lebih memalukan, ada apa melihatku seperti itu, apa aku terlalu tampan?

Ah, lupakan saja! Emily mulai melantur.

Ia berdeham dan berjalan ke arah Max yang kembali menumpu lengan di pembatas balkon. Saat itu juga Emily sadar kalau dirinya sedang ada di lantai atas. Matanya mulai menangkap pemandangan Kota Las Vegas yang dipadati beberapa bangunan megah terhampar jelas di depannya. Kebanyakan bangunan itu adalah bar dan kasino yang bahkan tempat perjudian dan semacamnya sudah lebih terkenal di seluruh penjuru dunia.


Tempat itu bahkan diberi julukan kota penuh dosa karena sistem perjudian yang kian pesat berkembang. Mungkin dalam waktu berikutnya ikon kota Las Vegas bukan lagi Bellagio Fountains yang kerap kali menjadi tempat wisata para turis asing, melainkan kasino, bar, dan tempat hiburan malam lainnya yang akan menjadi ikon negara di bagian Nevada itu.

Meski begitu Emily sangat mencintai kota Las Vegas dengan segala julukan buruknya, karena di sanalah ia menghabiskan sebagian masa kecil dan dibesarkan ibunya dengan penuh kasih sayang. Hah! Hatinya selalu melankolis saat mengingat-ingat masa kecil yang begitu banyak menciptakan warna menarik. Berbeda jauh saat ia mulai beranjak dewasa. Selain tak lagi menadapat warna pelangi, ia juga harus menghadapi dunia tanpa seorang pun yang bisa disebut keluarga.

"Jika ada masalah dan kauingin melampiaskannya lewat alkohol, pastikan untuk meminta temanmu mengawasinya."

Sedikit terkesiap dari lamunannya yang memandangi kota tercinta, Emily menoleh pada pria dengan kaus putih polos dan celana jin belel berwarna biru tua. Jika ia tak salah menebak mungkin pria itu baru berusia sekitar pertengahan 30 atau 40 tahunan.

Ah, entahlah. Tebakannya selalu meleset.

"Hmmm, ya ... aku sedikit mengalami hari buruk kemarin dan ... ya, begitulah. Aku sedikit payah jika berurusan dengan alkohol."

"Ya, kau sangat payah." Max membersit senyum geli mengingat betapa bodohnya wanita itu saat mabuk.

"Oh, ayolah!" Emily mengerang kesal. "Bukankah orang mabuk memang terlihat bodoh."

"Tetapi kau seperti orang gila bodoh saat mabuk," timpal Max dan dapat ia dengar wanita yang saat ini memakai baju model corptop, menggerutu setelah berdecih kesal.

"Memangnya di mana ada orang gila yang pintar?!"

"Jadi kau mengakui dirimu seperti orang gila?" Max menoleh dan hampir menyemburkan tawa jika saja tak melihat wajah memberengut dengan manik yang berkilat-kilat.

Lalu Max benar-benar tak bisa menahan tawanya saat Emily ikut menoleh, menatapnya dengan mata yang siap membunuh. Ya ... mungkin seekor anak kucing akan takut melihatnya.

Sayangnya Max bukan anak kucing.

Berdecak kesal, Emily terus melayangkan tatapan mematikan pada pria yang kembali terkekeh dengan sikapnya. Kemudian, menarik napas berat untuk menenangkan suasana hati yang tak karuan saat mulai membuka mata. Ia kembali menatap hamparan kota yang padat di bawahnya. Beberapa orang yang berjalan di pinggir toko terlihat sangat sibuk meski hari ini memasuki weekend.

Lalu saat menatap sekeliling bangunan, Emily kembali tersadar kalau ia sedang berada di sebuah hotel yang tak jauh dari bar yang semalam ia datangi. Startkous Bar, tempat yang semalam Emily datangi terlihat dari tempatnya berdiri.


"Jadi ini hotel?" Emily mudah sekali berubah ekspresi. Ia meringis melihat bangunan dengan cult branding di atas atap itu.

"Ya. Aku tak akan mengajak wanita asing pulang ke tempatku," jawab Max. Kali ini ia menumpu tubuh dengan sebelah tangan ke atas pembatas balkon, lalu menghadap wanita yang hanya mengangguk tipis. "Kau tak ingin berterima kasih padaku? Jika aku tak membawamu ke sini, mungkin semalam kau sudah ditiduri beberapa pria yang akan meninggalkanmu dalam keadaan telanjang di emperan toko."

"Oh, sial!" umpat Emily spontan.

Ia tahu kalau tubuhnya begitu payah menerima minuman beralkohol, tetapi apa ia benar-benar begitu memalukan saat mabuk? Bahkan mendengar kalimat vulgar dari pria itu saja membuatnya kembali memikirkan bagaimana cara pindah ke planet di luar angkasa yang masih bisa ditempati manusia.

Oh, gadis malang yang menyedihkan.

"Baiklah, terima kasih karena membawaku ke sini. Meski rasanya, aku tak merasa lebih baik dengan keadaan ini. Aku ... hah! Entahlah, aku benar-benar ingin melupakan kejadian semalam dan tak ingin mengingat apa pun yang aku lakukan saat mabuk."

"Kau mencium beberapa pria di bar, lalu bicara dengan penuh emosi. Aku juga bisa melakukannya! Kira-kira seperti itulah."

Emily tercengang mendengarnya, baru beberapa detik lalu ia berkata tak mau mengingat hal memalukan saat mabuk. Namun, pria itu dengan santai membeberkan berita buruk itu padanya. Bahkan terdengar lebih buruk saat mengetahui bukunya kembali ditolak untuk ke sekian kalinya oleh produser film.

Menggertakkan gigi menahan emosi, Emily menatap tajam pria yang hanya mengulas senyum tipis. "Bukankah sudah kubilang, aku tak mau mengingatnya!"

"Aku hanya takut kau penasaran," balas Max. Ia tertawa kecil sambil kembali menghadap hamparan Kota Las Vegas dari tempatnya berdiri.

Emily tahu ia memang sangat payah dan ... ya, mungkin sedikit gila saat mabuk. Fakta itu ia ketahui dari sahabatnya yang selalu melarangnya minum alkohol karena saat mabuk, ia selalu melakukan hal gila yang memalukan. Seperti; mengadakan fashion show dadakan di jalanan kota saat pulang dari pesta perpisahan sekolah. Mengetuk pintu toko atau rumah orang dan berlari begitu saja. Kemudian, yang lebih parah ia mendengar dirinya bernyanyi di pinggir jalan seolah ia solois terkenal sekelas Cellin Dion yang sedang mengadakan konser untuk para penggemarnya.

Ya, cukup sampai di sana cerita memalukan itu karena Emily menutup mulut sahabatnya yang masih ingin membeberkan fakta saat ia menjadi gila karena alkohol.

"Aku menduga mungkin kau sedang dikhianati kekasihmu dan mencoba merayu pria lain di bawah kendali alkohol untuk membalasnya."

Emily membuang wajahnya dengan perasaan malu dan kesal. Sebelum datang ke bar ia begitu ingat dengan apa yang terjadi pada dirinya hingga berakhir menjadi gila.

Berjalan lesu setelah mendapat kabar bukunya yang tak diterima oleh rumah produksi film dengan alasan kalau ceritanya membosankan, wanita malang itu pergi ke rumah kekasihnya yang sudah enam bulan ini menyemangati. Sayangnya, harapan ingin berkeluh kesah dan dihibur oleh pria yang ia cintai harus kandas. Emily justru mendapat pemandangan mengejutkan. Saat membuka pintu apartemen, sang kekasih sedang asyik mencumbu mesra wanita di atas sofa.

Oh, jangan ditanya bagaimana perasaan Emily saat itu. Alih-alih berteriak memaki sambil melempari kekasihnya dengan tas, vas bunga, bingkai foto, atau apa pun barang yang bisa ia jangkau. Emily justru menangis keras sambil merengek di depan pintu apartemen. Membuat dua manusia yang sedang beradu lidah itu terkejut saat menoleh ke tempatnya berdiri dalam kondisi menyedihkan.

"Tidak juga," kilah Emily. "Aku hanya mengalami hari buruk dan mencoba mencari ketenangan lewat wine atau long island."

Max mengangguk dan kembali menoleh pada wanita yang hanya memiliki tubuh setinggi dadanya. "Ya, baiklah. Aku percaya meski kau terdengar seperti berbohong."

Mendesah pelan, Emily tersenyum miris. "Aku juga payah dalam hal berbohong," gumamnya.

Lalu Max melihat tangan Emily memegang erat pembatas balkon hingga buku tangannya memutih. Seolah menyalurkan rasa malu, kecewa, dan kesedihan yang sedang dirasa.

"Aku Maxim Strewatt, senang mengenal dirimu Nona Theodor." Max mengulurkan tangannya dengan seulas senyum tipis, membuat wanita itu mengernyit sebelum menyambut jabatannya dengan ragu.

"Aku Emily Theodor. Aku tak begitu merasa senang mengenalmu, tetapi terima kasih atas bantuannya." Emily berujar setengah hati.

Kali ini Max benar-benar tertawa setelah menarik tangan dalam jabatan singkatnya. Wanita itu aneh dengan segala celotahan dan tingkah lakunya. "Aku akan membuatmu senang mengenalku," guraunya.

"Tidak. Karena kuharap kita tak pernah bertemu lagi, Tuan Strewatt."

"Oh, benarkah Nona Theodor?" Max melempar seringai tipisnya ke arah wanita yang kembali menikmati keindahan Kota Las Vegas. "Dan ya, aku akan memanggilmu Emily. Jadi kau boleh memanggilku--"

"Tidak! Aku tetap akan memanggil dengan nama belakangmu. Tuan Strewatt." Emily menyahut cepat dan mencebik samar.

Sementara Max hanya tersenyum tipis.

Ah, gadis ini aneh. Pikirnya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top