BAB 19

Seperti biasa, tandai tipo atau kalimat rancu yang kalian temukan🙂
Makasih💙

*
*
*

Emily tak pernah menyangka kedekatannya dengan Max terjalin begitu cepat. Ia sudah tak banyak memikirkan Steve, meski terkadang perasaan bersalah pada ibunya masih ada perihal mobil tua yang hilang begitu saja.

Anehnya, Emily tak bisa memberi Steve  dendam menggebu. Mungkin karena ia sudah mengenalnya sejak kecil dan masih tak percaya, pria yang pernah ia anggap sebagai pahlawan karena pernah menolongnya dari pelaku perundungan saat pulang sekolah, bisa bertindak licik.

Emily selalu memaafkan mereka yang membuat kesalahan padanya. Jadi, jika Steve datang dan meminta maaf dengan tulus mungkin ia akan memaafkannya dan melupakan kejadian itu.

Dengan catatan ia ingin mobilnya kembali.

"Ke mana kita hari ini, Max?" Emily dengan kemeja lengan panjang berwarna merah muda yang dipadukan jin longgar warna hitam, membuka pintu mobil Max dengan senyum semringah.

"Kaubilang suka Prancis?"

Emily yang sudah selesai mengikat diri dengan sabuk pengaman, mengernyit keheranan. Ia menatap Max yang seperti biasa, hanya memakai kaus polos lengan pendek dengan celana biru pucat yang dilengkapi sepatu sport merk ternama. Pakaian itu memang cocok dengan cuaca gersang Las Vegas di bulan Juli.

"Kita akan melihat menara Effeil." Max menambahi.

Emily memicingkan mata."Eiffel Tower Viewing Deck?"

Max mengangguk. Menaikkan kacamata yang bertengger di hidung tegasnya dengan raut jemawa, lalu menoleh sekilas ke arah Emily sebelum kembali fokus pada setirnya. "Sudah siapkan paspormu, Nona Theodor?" guraunya.

Emily mengangguk riang, kemudian berdiri setelah membuka seatbelt. "Paris! I'm coming!"

Max tertawa melihat wanita itu. Emily terkadang bersikap layaknya anak kecil polos dan ceroboh.

Kemeja Emily yang sengaja tak di kancing menari di udara dengan kecepatan kendaraan yang dibawa. Tank top hitam model corp membungkus rapi badan mungilnya. Kulit Emily begitu kontras dengan warna pekat dan terlihat halus tanpa freckless seperti kebanyakan wanita Eropa.

"Max, ini menyenangkan! Ayo cepat, kita akan ketinggalan pesawat nanti!"

Lalu keduanya tergelak tawa. Emily masih berdiri dengan sesekali merasakan angin sore Las Vegas yang masih saja terasa terik meski waktu sudah menunjukkan pukul 17:00 PDT. Mungkin karena Las Vegas kota yang dikelilingi wilayah gersang dan kering. Selain dijuluki sebagai kota penuh dosa dengan resor kasino terbesar di dunia, Las Vegas juga mendapat gelar surga di tengah gurun tandus.

"Max, bagaimana jika musim semi nanti kita ke Valley of Fire! Aku pernah ke sana dengan Eve untuk kamping musim semi beberapa tahun lalu!" Emily setengah berteriak, lalu tersentak saat tangan Max meraih lengannya untuk kembali duduk di kursi penumpang.

"Bagaimana jika ke Dixie?" balas Max bangga.

Mata Emily berbinar seperti anak kecil yang mendapat mainan. Tempat yang baru saja disebutkan Max adalah salah satu surganya Las Vegas yang menyajikan pemandangan alam luar biasa serta menyediakan gubuk kamping di pinggir Danau Panguitch.

"Itu terdengar menarik! Kapan kita ke sana?"

"Secepatnya jika kau mau," kata Max dengan senyum termanis yang pernah Emily lihat.

Wanita itu memekik girang. Tangannya memaksa menangkup wajah Max agar menoleh, lalu mendaratkam satu kecupan singkat di bibir pria itu.

"Hei! Itu berbahaya! Kalau kecelakaan, kau tak akan bisa kamping ke mana pun!" Max menggerutu karena terkejut saat kulit bibir Emily yang halus mendarat cepat di atas bibirnya.

Emily menyengir tanpa rasa menyesal sedikit pun, lalu kembali berdiri menikmati angin di atas kendaraan Max. "Kita kamping di surga kalau kecelakaan, Max!"

"Gadis gila!"

Max tak habis pikir dengan pemikiran wanita itu meski pada akhirnya ia hanya tersenyum dengan debar aneh di balik dada. Perasaan ini sudah lama tak ia rasakan, seperti euforia melihat ledakan kembang api di malam natal bersama orang yang ia cintai.

Mendongak melihat Emily yang membuka kemeja dan mengikat di sekitar pinggangnya, Max sadar wanita itu membawa pengaruh pada dirinya. Meski ada perasaan takut dan khawatir dalam satu waktu, ia tak bisa mengabaikan rasa senang yang memuncak jika bersama Emily.

"Max, ayo cepat! Kita akan sampai Paris saat musim dingin jika kau berkendara seperti itu!"

Max mendengkus kasar meski hal itu tak menutupi kegembiraan yang terus dipamerkan sudut bibirnya.

***

Setelah puas mengelilingi pusat Las Vegas dengan mengagumi setiap bangunan tua dan beberapa ikon di Eiffel Tower Viewing Deck, Max duduk beralas paving block yang ada di sekitar miniatur menara Eiffel itu. Mengamati gambar tangkapannya pada kamera yang sengaja ia bawa untuk mengabadikan momen bersama wanita yang saat ini terlihat kelelahan setelah jalan-jalan.

Max tersenyum melihat foto Emily yang sedang berjalan di depannya. Memegang gelato dengan wajah cemberut saat isinya jatuh karena tertabrak seorang anak kecil, lalu berpose bak model di tiang depan restoran tempat mereka makan malam.

Max sempat curiga, apa Emily minum alkohol tanpa sepengetahuannya?

Kemudian Emily berdiri dengan genit di papan bertulis 'Walcome To Las Vegas'. Max merasa norak untuk hal itu karena tempat yang menjadi backgrond terakhir Emily berpose, mungkin lebih ditujukan untuk para turis asing yang datang ke sana.

Meski begitu, Max tak merasa keberatan dengan rentetan hal random yang dilakukan Emily. Ada kegembiraan yang meletup-letup di hatinya hingga bagaimana pun tingkah aneh dan ceroboh Emily, ia nikmati dengan senyum yang sulit diusir dari bibirnya.

Kaca mata Max sudah berpindah ke atas kepala wanita itu. Menahan poni tipisnya dengan apik. Kemeja merah muda Emily masih melilit pinggang rampingnya dengan tank top hitam yang terkena sedikit noda krim gelato yang tak sengaja jatuh.

"Ck! Mereka tak romantis!"

Max mengernyit heran. Mereka masih duduk di dekat bar yang memberi pemandangan duplikat menara Eiffel. Bangunan itu persis seperti yang ada di Prancis hanya saja ukurannya lebih kecil. Malam hari, bangunan itu bermandikan cahaya keemasan yang menambah kesan megah dan mewah di pusat kota metropolitan itu.

"Siapa?" Max menempelkan kaleng soda dingin yang ia beli pada pipi Emily, menatap ke arah pandang wanita itu yang ternyata sedang menangkap sepasang kekasih yang sibuk berperang lidah. "Menurutku romantis. Ciuman di bawah cahaya menara."

Emily tahu itu, hanya sedikit merasa iri atau mungkin ... malu. Steve menjadi pengalaman pertamanya menjalin hubungan asmara, tetapi jika diingat-ingat selama 6 bulan tak ada kenangan manis yang ia dapat.

"Ingin mencobanya, Eme?"

Mata Emily melebar. Rona merah muncul di pipi putihnya saat Max dengan santai berujar demikian setelah meminum soda.

"Ck! Kau pintar menggoda, Tuan Strewatt. Sudah berapa banyak wanita yang kaugoda seperti itu?"

Max terkekeh mendengar nada menggerutu itu. Menekuk dua kakinya dan menoleh pada Emily yang duduk dengan meluruskan kaki.

"Aku tak ingat." Max kembali tertegun saat melihat sorot lampu menara yang menyentuh kulit putih Emily dengan efek mengagumkan. Terlihat begitu bercahaya, halus, dan lembut. "Tetapi aku tak pernah menggoda wanita yang tak kusukai."

Detak jantung Emily makin terasa ribut mendengarnya. Ia menenggak minumannya dengan tergesa, lalu memalingkan wajah ke arah berlawanan dari pria yang saat ini terkekeh kecil.

"Bukankah itu terlihat menjijikan." Emily kembali melihat ke arah pasangan yang masih berciuman. Ia meringis, berpikir apa mereka tak merasa sesak napas?

Max berdecak pelan. "Di Las Vegas tak ada yang menjijikan jika menyangkut hal itu."

Emily mengangguk menyetujui. Ia memang sering melihat hal itu jika di tempat seperti ini, hanya saja karena tak pernah mengalami ia merasa risih.

"Bagaimana pria romantis menurutmu, Eme?" Max kembali menatap sepasang mata cokelat yang terlihat bening terkena sinar lampu. "Apa pria yang membacakan puisi Elizabeth Barret Browning abad pertengahan atau pria idiot yang menyembunyikan bunga di balik punggung?" tambahnya dengan nada meledek.

Emily berdecak kesal. "Kau terdengar seperti mengejekku?!"

"Aku memang sedang melakukannya." Lalu Max tertawa saat bisepsnya mendapat tinju kecil Emily.

Emily tampak berpikir sebelum meletakkan kaleng minuman di dekat kakinya. "Akhir-akhir ini aku menyukai buku tentang historical romance, menurutku membaca surat dari seorang duke atau earl tampan adalah hal romantis. Sayangnya, di jaman itu para pria hanya membahas sesuatu yang membosankan. Salah satunya bahasan tentang cuaca." Lalu Emily bergidik memikirkannya. "Aku tak bisa membayangkan jika hidup di Era itu Mungkin akan membuat banyak skandal karena ...."

Entah sadar atau tidak, Max masih menatap fokus wajah Emily yang sebenarnya tak ia dengarkan sedang bicara tentang apa. Matanya menyorot penuh minat pada gerak bibir lembut berwarna merah muda yang terlihat menggemaskan. Sampai fokusnya teralih karena Emily bertanya tentang sesuatu.

"Kenapa?" balas Max setelah menggelengkan kepalanya singkat.

"Menurutmu, bagaimana tipe pria romantis?" Emily memicingkan matanya melihat ekspresi Max.

Mengedikkan bahu pendek, Max tersenyum jail sebelum kembali menatap Emily. "Mau kutunjukkan bagaimana pria romantis?"

Tak diberi kesempatan menjawab, Emily harus dibuat terkejut saat Max menarik tengkuknya untuk mempertemukan bibir mereka. Merasakan napas hangat di wajahnya sebelum Max menyesap lembut dan penuh kehati-hatian. Ada seseutu yang menggelitik perutnya saat Max makin dalam mencium dan menarik pinggangnya dengan tangan lain.

Selama waktu keterkejutan itu berlangsung, Emily yang mulai menikmati gerak halus bibir Max mulai menutup mata dan membalas semampunya ciuman itu.

"Apa ini menjijikan?" tanya Max tepat di depan bibir Emily, lalu tersenyum dan kembali mempertemukan bibirnya saat Emily menggeleng pelan.

Bagaimana mungkin yang tadi terlihat menjijikan menjadi terasa manis dan romantis seperti ini? Oh, Tuhan! Ini benar-benar menyenangkan! pekik Emily dalam hati.

***

Max sedang bermandikan keringat karena berjalan santai di atas treadmil, ketika Axel yang sepertinya ingin ikut olahraga masuk ke dalam ruang gym.

Pria bermata biru itu mengenakan kaus tanpa lengan berwarna hijau terang. "Aku ingin mengadakan acara di barmu. Cuti Evelyn berakhir seminggu lagi, mungkin setelahnya ia akan sangat sibuk. Bagaimana menurutmu, Max?"

Max masih berjalan di atas benda olahraganya, lalu mengangkat bahu tak acuh. "Silakan, harga sewa naik saat hari libur."

"Sialan!" umpat Axel sembari melakukan warming up sebelum memulai olahraga beratnya. "Anyway, Max. Kau terlihat makin dekat dengan Emily?"

Max hanya diam, tetapi sudut bibir yang sedikit naik sudah menjawab tanya sahabatnya. Ia menekan tombol of setelah mengatur inklinasi pada touch screen di atas mesin.

Sementara itu, Axel duduk dan menyambar barbel seberat 1kg. "Aku senang melihatnya. Eme gadis riang dan ... mungkin sedikit ceroboh. Evelyn selalu menceritakan kebaikannya, tetapi dari cerita Eve kupikir Emily gadis yang polos."

Kali ini Max mengangguk dan duduk di sebalah Axel dengan botol minumnya. "Kurasa begitu."

"Lalu, apa kau sudah ceritakan tentang masa lalumu?"

Max terdiam dengan jeda yang cukup panjang.

"Sudah saatnya, Max. Lupakan dia dan hal yang membuatmu selalu takut. Rachel pasti membencimu jika seperti ini terus?" sambung Axel santai.

"Rachel?" Albern muncul di ambang pintu dengan wajah yang terlihat masih mengantuk.

Axel mendengkus melihat pria itu sementara Max mulai memikirkan sesuatu.

"Bagaimana kabar Rachel, Max? Aku merindukannya" Treadmil yang baru saja di matikan, kini mulai dikuasai Albern. Pria itu membuka kaus lengan pendeknya yang menyembunyikan otot keras berwarna cokelat eksotis.

"Ck, kau belum move on, Al?" Axel berdecak. "Kasihan ...," sambungnya mengejek, lalu melihat Max yang pergi ke kamar mandi begitu saja.

"Hmmm, Rachel terlalu sulit dilupakan." Albern terkikik geli. "Oh, ya. Sepertinya dia sudah mulai berkencan?"

Axel hanya menaikkan bahu samar menjawab pertanyaan Albern yang merujuk pada sahabatnya.

***

Steve.
Eme, bisa kita bertemu?

Emily berulang kali membaca pesan singkat Steve. Tak ada perasaan gembira seperti dulu, hanya ada rasa bingung dan sedikit kecewa karena Steve baru mengingatnya setelah kejadian dua minggu lalu.

"Bagaimana menurutmu, Marko?" Emily menatap kura-kura kecilnya yang sibuk memakan kril. "Aku bingung ...," katanya berdecak lirih. "Kau hanya diam saja! Dasar tak tahu terima kasih! Aku memberimu makan dan kau selalu diam saat kutanya!"

"Tanya apa?"

Emily menoleh, mendapati Evelyn yang baru selesai membersihkan diri. Ia meringis merasa takut dan malu. "Tak ada. Aku sedang membayangkan Marko bisa bicara, pasti seru!"

Evelyn bergidik ngeri sebelum tersenyum jenaka. "Kuharap jangan terjadi. Jika Marko bisa bicara kau akan kenyang dikatai wanita gila olehnya!" Lalu Evelyn tertawa saat Emily terdengar menggerutu sebelum melempar bantal sofa ke arahnya.








L-Note:

Kril sejenis makanan kura-kura dari ebi yang dikeringkan. Aku kurang tahu apa kril hanya makanan kura2 atau hewan lainnya.

Elizabeth Barret Browning seorang penyair di Era Victoria. Aku pernah baca puisi sama syair beliau kalau lagi baca cerita Hisrom. 😁

Eiffel Tower Viewing Deck adalah salah satu  tempat wisata di pusat kota Las Vegas. Di sana ada miniatur menara Eiffel yg di Paris juga beberapa bangunan bernuansa kuno.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top