BAB 13

Karena saat aku mulai terganggu, cara terampuh adalah menjauh.

-Maxim Strewatt-

*
*
*

Tandai tipo yang meresahkeun ygy☺

Emily sedang menarik tali gaun saat Evelyn menerobos masuk kamarnya. Wanita Prancis itu sudah siap dengan gaun ketat sepanjang mata kaki yang memamerkan punggung berbintiknya. Evelyn benar-benar terlihat elegan juga ... tampak liar.

"Sudah siap, Eme?!" Nada penuh semangat itu hanya dibalas senyum mantap oleh Emily. "Tunggu, kenapa kaupakai cardigan? Ayolah, Eme! Ini bukan bulan Desember."

Meringis mendengar tanggapan Evelyn, Emily melanjutkan memakai cardigan yang akan menutupi bahunya. Malam ini ia mengenakan gaun hitam sebatas lutut dengan belahan dada yang sedikit rendah. Emily tak terbiasa memakai pakaian semacam itu, jadi ia melengkapinya dengan cardigan corp hitam berbahan rajut.

"Tak apa, aku merasa lebih baik seperti ini."

"Sayang sekali. Kau tahu, Eme? Bahumu bagus dan terlihat imut saat memakai dress. Si Otak Kecil yang imut dan menggoda," kata Evelyn diakhiri dengan kedipan mata nakalnya.

"Berhentilah melakukan itu, Eve!"

Evelyn mengangkat sebelah alisnya. "Melakukan apa?"

"Mengedipkan matamu seperti itu. Aku bahkan curiga kau adik Darrel karena hal itu."

"Darrel?" Kening Evelyn mengkerut. "Oh, si Tampan Bermata Biru?"

Emily mengangguk sambil memakai heels setinggi 5cm.

"Aku memang suka pria tampan, tetapi tak suka pria yang sering tebar pesona, kecuali Axel." Evelyn terkikik geli, lalu kembali menatap Emily. "Oh, ya. Axel bilang Max tak bisa datang."

Gerakkan tangan Emily yang sedang merapikan lipbalm dengan jarinya, terhenti. Masih menatap cermin yang memantulkan riasan sederhana di wajah, Emily mengangguk samar meski ada perasaan sedikit kecewa. Ia pikir bisa bertemu pria itu lagi di acara ini.."Dia pasti sangat sibuk," kata Emily nyaris terdengar seperti berbisik.

Mereka keluar dari apartemen menuju lift. Sejam yang lalu Axel mengabari tak bisa menjemput karena ada pertemuan dengan beberapa petinggi Mall Starbigh yang mengadakan acara malam ini.

"Axel memesankan mobil untuk kita, Eme. Dia tak bisa menjemput." Dengan tubuh yang lebih tinggi, Evelyn merangkul Emily yang baru saja memasukkan ponsel dan kunci apartemen ke dalam slingbag.

"Sayang sekali, Steve juga tak bisa datang," keluh Emily.

Mereka sampai dan melihat mobil Audi Coupe berwarna hitam, sudah menunggu. Evelyn lebih dulu berjalan memasuki mobil setelah supir membuka pintu penumpang dengan sopan.

"Kenapa Steve tak datang? Ini acara yang banyak didatangi model dan desainer."

Mengangkat bahu setelah memakai sabuk pengaman, Emily hanya mendesah pelan. Kemarin ia begitu bersemangat untuk menghadiri acara ini, tetapi menjelang waktunya ia merasa tak bergairah. "Steve bilang ada sesuatu yang harus dikerjakan."

"Kau sudah bilang akan pergi ke acara ini?"

Emily menggeleng lemah. Ia tak sempat memberi tahu Steve karena pria itu lebih dulu menolak saat ia mengusulkan pergi bersama. Selalu saja seperti itu.

Evelyn hanya mengangguk samar. Ia memeriksa ponsel yang memberi kabar kalau Axel sudah selesai dengan pertemuannya dan sedang menunggu kedatangan mereka.

Selang 25 menit, mobil yang membawa dua wanita itu berhenti di sebuah gedung yang sudah ramai dengan para tamu. Lobbynya disulap seperti acara award para artis yang saat turun dari mobil disambut red carpet. Sayangnya, tak ada wartawan dan cahaya kamera.

Evelyn dan Emily turun dari kereta besi itu, berjalan di atas kain merah yang terbentang sekitar sepuluh meter menuju pintu masuk.

"Eve!"

Dua wanita itu menoleh ke arah pria yang melambai setelah berteriak. Di sana Axel yang begitu gagah dengan setelan jas silver, berjalan cepat menuju Evelyn.

"Sudah sampai?" sambut Axel setelah memeluk Emily dan Evelyn secara bergantian. Kemudian merengkuh pinggang kecil kekasihnya. "Ah, sayang sekali Max tak datang. Ia sulit diajak ke acara semacam ini."

Emily tersenyum tipis menanggapinya. Saat di perjalanan, ia sudah memutuskan akan menikmati malam ini meski tanpa Steve atau ... ah, tak mungkin Emily begitu mengharapkan kedatangan Max. Mereka hanya bertemu tiga kali dan Emily pikir itu tak bisa membuatnya menjadi seorang teman.

Emily menoleh saat Evelyn menarik tangannya dan mengajak masuk ke gedung yang nantinya akan menjadi pusat perbelanjaan.

Suasana di dalam sangat ramai. Musik disk jockey dengan lampu warna-warni menyapa mereka. Ini mirip diskotik bukan acara fashion, tetapi Axel terus menuntun dua wanita itu berjalan ke sebelah utara yang melewati lorong cukup panjang. Sepertinya itu toko-toko yang nanti akan diisi penyewa.

Sekitar dua menit berjalan barulah Emily melihat acara yang sebenarnya. Suasananya lebih tenang dengan pencahayaan yang lebih jelas.

"Wow. Ini keren, Eve!"

Evelyn menoleh dan tersenyum. Mereka memilih meja bundar di dekat catwalk yang sedang dipakai para model melenggang menampilkan busana terbaik.

"Ini namanya fashion strip. Beberapa brand menampilkan koleksi mereka untuk dijual di mall ini nanti." Evelyn menjelaskan, lalu menerima minuman dari Axel yang baru saja memanggil waiters. "Tema apa yang mereka usung, Sayang?"

"Gairah musim panas," jawab Axel, lalu memberi satu gelas pada Emily.

"Ah, maaf. Aku tak bisa minum alkohol." Emily menolak sungkan setelah melirik Evelyn yang hanya terkikik geli.

"Benarkah? Kalau begitu aku pesankan soda."

Emily mengangguk pendek. Ia mulai tak enak hati karena hadir di antara sepasang kekasih, juga merasa bersyukur melihat sahabatnya mendapat pria yang terlihat sangat baik. Bahkan Emily tak yakin kalau Steve bisa memperlakukannya semanis itu. Axel baru saja merapikan riasan mata Evelyn yang mungkin terlihat berlebihan.

"Wow, pantas saja mereka semua memakai baju pantai dan bikini," cetus Evelyn kagum.

Wanita itu sudah tergila-gila dengan dunia modeling sejak sekolah, tak heran Evelyn begitu mencintai pekerjaannya meski harus mengorbankan sarapan pagi dengan segelas jus sayur.

"Lihatlah, Eme!" Wanita Prancis yang malam ini mengikat rapi rambutnya kembali berseru. "Lihat model itu, tingginya mungkin sama sepertimu!" tunjuk Evelyn pada salah satu model.

Emily dan Axel mengangguk menyetujui. Di sana, model yang sepertinya memiliki wajah Asia berjalan penuh karisma dengan bikini kuning bermotif bunga-bunga.

"Aku tak memiliki minat menjadi model, Eve." Emily tersenyum saat Axel memberi segelas soda dari waiters yang kembali datang.

"Ah, sayang sekali! Padahal kulitmu begitu bagus! Tak ada freckles sepertiku."

"Hei, ada apa dengan kulitmu? Aku menyukainya, Sayang." Axel menimpali, menatap Evelyn dengan senyum menggoda. Membuat wanita yang baru saja mengeluh tersenyum malu.

Ck, apa-apaan ini, batin Emily menggerutu.

"Ya, aku tahu. Hanya saja sejak dulu aku begitu menyukai kulit Eme. Jika sedang mandi bersama, tubuhnya seperti porselen. Tak ada cacat sedikit pun. Bahkan waktu sekolah aku mengira dia vampir yang akan hangus jika terkena matahari."

"Eve, kau berlebihan!" tegur Emily.

"Ah, baiklah." Evelyn terkikik geli saat melihat Emily menggerutu sementara Axel hanya menggeleng heran mendengar ucapan kekasihnya.

"Eve?"

"Ya," sahut Evelyn.

"Apa itu Steve?"

Pandangan Evelyn tertuju pada arahan Emily. Di sana Steve sedang tertawa bersama model cantik. Tangannya merangkul mesra pinggang wanita itu dan sesekali terangkat untuk menyentuh rambut merah si wanita.

"Kurasa itu ... Eme, kau mau ke mana?" Baru saja ingin menjawab Emily, Evelyn sedikit terkejut melihat sahabatnya berjalan dengan wajah marah menuju pria yang baru saja dibicarakan.

"Siapa pria itu?" Axel yang penasaran akhirnya bertanya.

"Si Berengsek, Steve. Dia kekasih Eme." Evelyn tersenyum bangga melihat Emily berjalan begitu pongah. "Sepertinya akan ada pertunjukkan menarik selain melihat para model berjalan di catwalk."

Sekitar lima meter dari tempat Emily, Steve terlihat bahagia bersama seorang wanita tinggi. Jika Emily tak melihat bagaimana Steve begitu posesif merangkul wanita itu, mungkin ia tak semarah ini.

Ada sesuatu yang harus dikerjakan.

Ck, sial! Steve berbohong lagi padanya. Emily ingin menangis sekarang, perasaan kecewa saat keluar dari apartemen makin parah karena terkontaminasi dengan perasaan marah dan kesal.

"Steve!"

Byur!

Baru saja menoleh, Steve harus terkejut saat wanita di sampingnya mendapat serangan tiba-tiba dari ... oh, Tuhan! Ia makin terkejut sekarang, Emily ada di sini. Datang dengan pakaian seksi dan wajah yang sudah penuh air mata.

Tangan Emily gemetar setelah membuang minumannya. Sungguh! Awalnya ia ingin menyiram Steve bukan wanita itu, tetapi sasarannya justru terarah pada objek yang salah.

"Eme, apa yang kaulakukan?!"

"A-aku ... aku tak sengaja melakukannya, awalnya aku ingin ...." cicit Emily ketakutan.

"Oh, bitch! Ada apa denganmu?!" Wanita yang memiliki tubuh lebih tinggi dari Emily itu berteriak marah. "Steve, siapa wanita pendek ini?!"

Emily yang sempat ketakutan kembali pada kemarahannya saat mendengar wanita itu mengatainya pendek. Meski itu fakta, ia tak terima saat orang asing mengatakannya secara langsung.

"Apa katamu?!" Emily menantang, ia melirik Steve yang sibuk memegangi wanita itu. Berdecak kecewa karena merasa tak mendapat pembelaan dari kekasihnya sendiri. "Kau yang bitch!"

Di tempat yang tak jauh dari keributan, Evelyn bersorak bangga. Awalnya ia ingin membantu Emily yang terlihat diam, tetapi saat sahabatnya kembali mendongak dengan tatapan menantang Evelyn hanya melipat tangan ke bawah dada sambil tersenyum bangga.

"Eme, apa yang kaulakukan di sini?"

"Steve, tadi kau bilang ada pekerjaan lain!" Emily benci saat ia harus mengomel dengan air mata yang tak bisa ditahan. "Kau bohong padaku lagi, Steve. Kenapa?!"

"Eme, pulanglah. Aku akan jelaskan nanti," pinta Steve.

"Siapa sebenarnya dia, Steve? Jelaskan padaku?!" hardik wanita yang sibuk mengibas area basah pada gaunnya.

"Aku kekasihnya!" tukas Emily.

"Oh, sial! Emily pergilah!" Steve terdengar frustrasi.

"Kenapa aku harus pergi?!" Emily kembali berteriak dengan perasaan kecewa. Sangat kecewa.

Keributan itu menjadi tontonan geratis bagi para tamu. Mereka seperti semut yang mengerubungi gula. Dalam waktu singkat sudah melingkari tempat tersebut dengan tatapan menunggu agar keributan itu menjadi lebih menarik dengan aksi yang melibatkan fisik.

"Jadi wanita pendek ini kekasihmu, Steve?"

Rasanya Emily ingin kembali menyiram wanita tinggi itu dengan seember minuman. "Iya, aku kekasihnya dan kau yang bitch!" seru Emily lantang.

Ughh ... Evelyn ingin bertepuk tangan melihat itu. Ia tak pernah mendengar Emily mengumpat selama ini.

Emily yang harus mendongak saat menatap wajah wanita itu, mulai gentar. Tingginya begitu jomplang hingga lehernya mulai terasa sakit. Ck, ia menyesal tak memakai sepatu yang memiliki heels 15cm.

Melihat turun naik wanita itu, Emily berdeham samar. "Aku tahu kau tinggi, cantik ... juga ... em, mungkin pintar ...." Suaranya makin rendah di akhir kalimat. "Lalu apa masalahmu dengan wanita pendek?! Kau tak akan disebut tinggi jika tak ada wanita pendek!" lanjutnya membentak.

Dan sekarang Evelyn ingin membenturkan kepala Emily sebelum menggali kuburan untuk dirinya sendiri. Ia memijat keningnya pelan mendengar Axel terkekeh di sampingnya.

"Oh, Tuhan! Aku tahu Emily bodoh, tetapi tak pernah tahu kalau standar kebodohannya sudah sampai titik mempermalukan diri sendiri," gerutu Evelyn. Pinggangnya yang sedari tadi dirangkul, mulai bergeser. Ia ingin berjalan menuju Emily yang sepertinya butuh bantuan jika tak ingin lebih ditertawakan.

Namun, baru saja dua langkah tangan Evelyn sudah dicekal Axel. Ia menoleh garang pada kekasihnya yang sedang tersenyum sambil menggeleng, lalu menunjuk sesuatu dengan dagunya.

"Ada Max," kata Axel.

Evelyn terkejut, lalu menoleh dan makin terkejut saat Max berjalan dengan angkuh menuju Emily.

"Jadi, kau mengakui dirimu pendek dan harusnya kau tahu kalau kau juga jelek! Steve tak mencintaimu, kau hanya wanita bodoh?!"

"Stella hentikan!" cetus Steve, lalu menoleh pada Emily yang kembali menangis.

"Hei."

Emily yang sibuk menghapus air matanya, terkejut merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Ia kenal suara berat itu. Menoleh ke asal suara, mata Emily melebar melihat Max tersenyum dan memberi kecupan singkat di bibirnya.

"Maaf aku terlambat." Max berujar seolah tak melihat kejadian apa pun. "Siapa dia? Mantan kekasihmu?" tanya Max santai sambil menatap Steve dengan sebelah alis terangkat.

Emily masih mengerjap bodoh dengan kehadiran Max yang tiba-tiba, lalu kebodohannya makin bertambah ketika melihat senyum berlesung pria itu.

"Siapa kau?" tanya Steve terdengar marah.

"Aku?" Max menyeringai. Ia menatap Steve dan wanita bernama Stella itu secara bergantian. Memberi senyum mematikan pada wanita yang tampak terpesona dengan kedatangannya. "Aku teman Emily."

Max makin erat merengkuh tubuh kecil yang sepertinya mulai kehilangan kendali. Lalu ia masukkan tangan yang bebas ke dalam saku celana dengan mengangkat angkuh dagunya. Dua kancing teratas kemeja hitam yang ia kenakan sengaja dibuka, menambah kesan pongah yang begitu memesona.

"Teman tidur lebih tepatnya," tambah Max sambil menatap Steve turun naik dengan senyum meremehkan. "Anyway, Dude. Apa kau tak pernah olahraga?" Max terkekeh kecil melihat pria itu berdecak kesal.

Tinggi mereka hampir sama, tetapi semua orang di sana tahu kalau Max akan menang jika ada pertengkaran fisik. Itu sebabnya Max hanya perlu melayangkan tatapan intimidasi yang membuat tangan Steve terlihat gemetar saat berhadapan dengannya.

"Max," cicit Emily.

"Dan kau, Nona." Kali ini Max menatap wanita yang gaunya terlihat basah. "Apa kau puas?"

"Berengsek! Kau--"

"Ayo Eme! Kita harus pergi dari sini dan mencari hotel terdekat."

Tanpa mengindahkan umpatan Steve yang terdengar bergetar, Max dengan santai membawa Emily keluar dari suasana ramai akibat keributan itu.

Erlin Park
-LparkC-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top