BAB 12

Tandai tipo yang meresahkeun ygy☺

Dia hanya diam menatap, tersenyum memamerkan lesung pipi. Mengangguk saat merasa ada sesuatu yang perlu direspons, kemudian mengeluarkan beberapa kata dalam obrolan kami hingga suasana terasa hangat.

Aku masih ingat bagaimana gestur tubuhnya saat mendengarkan ceritaku. Ia terlihat sempurna meski hanya memakai kemeja polos yang lengannya tergulung sampai siku. Mata segelap obsidian itu terpaku menatap wajahku yang mungkin terlihat bodoh dengan ekspresi menggebu.

Namun, aku tak peduli. Yang aku rasa ia seperti binder yang menyimpan lembaran kertas kosong di dalamnya, membuatku tergoda menuang segala tulisan dalam imajinasiku tanpa ragu.

"Ini benar-benar menarik!"

Layar komputer yang menyala dengan tampilan sebuah desain bertema earth yang belum rampung, menjadi saksi bagaimana Emily begitu energik menuangkan kerangka cerita barunya. Tangannya dengan lincah bergerak di atas keyboard laptop sementara bibirnya merekah menuangkan segala imajinasi yang berputar di otak dan mendesak ingin di keluarkan lewat tulisan.

"Dia seorang pria." Senyum Emily makin merekah saat berhasil memutuskan jika tokoh utama dalam novel barunya adalah seorang pria.

"EMILY!"

Sontak saja tangan yang masih menari di atas keyboard, refleks berhenti dengan gerakan tubuh yang berdiri cepat.

"Ado, sudah berapa lama Kyle tak mengaum?" Darrel yang duduk di belakang Emily bersuara.

"Entah," sahut Adofo tak acuh.

Darrel terkikik geli sebelum kembali berseru, "Kurasa sekitar satu minggu lalu."

Sementara itu, Emily mendesis kesal pada pria keturunan Prancis dan Afrika yang masih berbisik di dekatnya. Ia tahu dua pria itu sedang menyangkutpautkan kejadian seminggu lalu.

"Eme."

Emily yang sebenarnya ingin memelotot tajam pada dua pria itu, berdeham ragu saat wanita yang saat ini memoles bibirnya dengan warna biru atau mungkin hijau, berjalan cepat menujunya.

"Ya, Kyle. Ada masalah?"

"Bukan masalah, Eme!" Wanita itu tampak bersemangat, lalu mengibaskan rambut tembaganya dengan sombong. "Kau tahu, Eme? Desainmu pada buku paket sekolah yang dipesan Mr. Pick menjadi desain terunik tahun ini!" Kyle yang sudah berdiri di depan kubikel Emily berseru girang dengan wajah penuh warnanya.

Mata biru, eyeshadow berwarna kuning dan bibir yang masih Emily tebak warna hijau atau biru. Entahlah, ia merasa melihat pelangi di wajah wanita berusia 40 tahunan itu.

Emily mengernyit bingung. "Benarkah? Apa ada penghargaan untuk itu?"

Kyle menaikkan bahunya samar, lalu kembali mengibas rambut panjangnya dengan tersenyum malu. Emily yakin Darrel yang ada di belakangnya sedang menggoda dengan mengedipkan sebelah mata.

"Mr. Pick yang mengatakannya. Di menyukai desainmu, Eme!"

Syukurlah! Emily merasa senang mendengarnya. Dari awal desain buku itu menuruti kemauan Mr. Pick yang ingin bertema alam dalam buku pelajaran Astronomi. Namun, saat Emily mendesainnya ada saja hal yang ingin direvisi hingga Emily mengusulkan tema planet dan membuat sesuai keinginannya.

"Aku senang mendengarnya, Kyle." Emily tersenyum simpul. Dan lebih senang karena kau tidak mengaum, tambahnya dalam hati diiringi ringisan kecil.

"Baiklah. Aku hanya ingin mengatakan itu. Mr. Pick ingin kau tahu kalau dia menyukai desainmu untuk buku-buku sekolahnya."

Emily mengangguk mantap dan berterima kasih dengan tulus. Setelah itu, Kyle memutar tubuh dengan kembali mengibaskan rambut setelah menoleh ke arah Darrel dengan senyum nakal.

Menghela napas pelan, Emily kembali duduk dan menatap note dalam laptop yang ia tinggal begitu saja saat mendengar teriakkan Kyle. Imajinasinya sudah berlari entah ke mana. Sekarang Emily menoleh ke arah Adofo yang begitu fokus dengan layar komputernya.

Sudah lima hari Adofo tak mengajaknya bicara. Jika ditanya pun hanya menjawab seadanya. Emily merasa aneh dengan sikap pria satu anak itu, meski ia tahu ketidakacuhan Adofo berawal dari mobil tuanya yang dijual.

"Ado," panggil Emily sambil mendekatan diri dengan kursi putarnya.

Pria hitam itu menggumam samar dengan posisi tubuh tak bergerak sedikit pun kecuali jemari yang masih sibuk di atas keyboard.

"Kau masih marah?" Emily kembali bersuara. Rasanya sangat aneh saat teman kerja yang biasanya berisik tiba-tiba mendiami. "Aku juga merindukan Meghi sama sepertimu," lanjutnya dengan nada sedih.

Adofo menoleh kebingungan. "Meghi? Siapa dia?" tanyanya heran, lalu menoleh pada wanita berkacamata itu.

Emily tersenyum saat mendapat atensi Adofo. "Aku baru ingat, mobilku bernama Meghi. Aku menemukan namanya di buku harianku dan saat aku mengingat-ingat ternyata dulu aku memberi namanya Meghi," terangnya sambil menyengir melihat Adofo mendengkus kasar.

"Mobilmu sudah diganti, Eme?" Darrel yang hari ini menggunakan kaus polo warna biru gelap, bertanya dengan cangkir kopi di tangannya.

Emily menggeleng, menoleh pada Darrel yang terlihat mencebik.

"Ck, jika kaujual padakku. Mungkin kau sudah punya mobil baru, Eme." Adofo kembali berseru sebelum melanjutkan pekerjaannya.

"Kau tahu di mana dia menjualnya?" imbuh Darrel lagi sebelum duduk di kursinya.

Emily lagi-lagi hanya menggeleng. Ia lupa bertanya saat bertemu dengan Steve beberapa hari lalu.

***

"Bagaimana? Kau akan datang?"

Pria yang baru selesai melakukan push up selama 15 menit, menoleh. Kaus tanpa lengan berwarna hitam itu terlihat lepek dengan keringat. Max berjalan menghampiri Axel yang berdiri di ambang pintu dengan setelan kantoran.

"Kau saja yang datang. Aku tak berniat datang ke acara seperti itu," jawab Max tak acuh.

"Emily datang bersama Eve," timpal Axel masih dengan tangan yang ia masukkan pada saku celana. Sudut bibirnya terangkat melihat gerakkan Max yang hendak menenggak air dari botol, terhenti. Meski itu hanya terjadi beberapa detik.

"Lalu?" balas Max masih terlihat tak peduli setelah menenggak habis minumannya.

"Oh, ayolah Max! Sebenarnya ada apa?" Axel mulai geram dan berjalan menghampiri Max yang duduk dengan kaki berselonjor. "Beberapa waktu lalu Eve bertanya, apa kau dan Eme--"

"Kami tak memiliki masalah apa pun. Aku memang tak begitu akrab dengannya, bukan?" sela Max cepat.

Axel mencebik. "Setelah lima tahun, aku baru mendapati dirimu mengajak seorang wanita makan siang. Ya ... aku tahu itu hanya hal kecil, tetapi sebuah kemajuan setelah kukira kau tak tertarik lagi dengan wanita."

Max mendengkus samar. "Kau sangat perhatian, Ax."

Axel tahu itu sindirin. "Ada apa, Max? Aku tahu kau melihat Eme berbeda dari wanita lain. Ayolah! Kita bukan remaja yang harus menuliskan perasaan dalam buku sekolah. Eme bukan seorang model seperti Eve."

"Aku tak suka wanita ambisius," sahut Max singkat. Matanya menatap ke luar kaca besar dalam ruang gymnya. "Mereka egois. Tak ada yang bisa diharapkan dari mereka." Terpejam sesaat, Max menghembuskan karbondioksidanya dengan kasar.

"Ini jaman modern, Dude. Kau tahu, sebagian besar perkantoran diisi oleh wanita. Kau tak bisa mengekang mereka."

Bukan itu maksudnya, batin Max frustrasi. Ia mendesah kasar dengan pandangan menerawang. Bagian-bagian kisah yang menjadi awal keraguan dalam dirinya, kembali berkelebatan. Max pernah mencintai wanita yang pada akhirnya pergi menorehkan luka.

"Lalu kau ingin wanita seperti apa?" Axel melirik jam tangannya sambil berujar, "Apa kau ingin wanita yang akan mengangkat sedikit gaunnya saat bertemu, lalu menyilangkan kaki dengan kepala yang menunduk sopan?"

Max tak berniat menimpali ucapan Axel yang ia rasa tak penting.

"Atau kau ingin seorang wanita yang tak akan melawanmu saat bicara dan tersenyum meski kau hanya membicarakan seputar cuaca seharian?" Axel kemudian berdecak. "Harusnya kau lahir di Era Victoria dengan catatan menjadi Duke atau Lord karena wajah tampan di jaman itu tak berarti jika tak memiliki jabatan!" tandas Axel, lalu berdiri.

"Jadi, kau masih tak mau datang?" tambahnya mulai kesal. Sudah seminggu ini Axel melihat Max yang kembali gila olahraga jika ada sesuatu yang menggangu.

Max mengangkat bahunya tak acuh dengan tatapan yang masih mengarah ke depan.

"Baiklah, terserah kau saja! Ini bukan tentang Eme, tetapi juga investasi besar yang kautanam melalui aku. Apa kau tak mau melihat potensi Mall Starbigh?"

"Aku percaya padamu, Ax."

Axel berdecih sebelum melenggang pergi meninggalkan Max yang menghela napas kasar. Sementara Max beranjak menuju lemari kecil tempat menyimpan sarung tinju, menyambar ponsel yang tergeletak di sana dan mengamatinya penuh pertimbangan.

Max tahu, sikapnya sedikit ... mungkin kekanakan karena berubah tanpa memberi penjelasan. Namun, rasanya ia tak perlu memberi penjelasan. Hubungannya dengan Emily terjadi tanpa sengaja, jadi ia pikir tak ada yang perlu dijelasakan dalam hubungan yang sebenarnya begitu risih jika itu disebut sebuah hubungan.

Gerakkan memutar ponsel dengan jari panjangnya terhenti. Max membuka kontak panggilan masuk, melihat nama Emily yang tiga kali melakukan panggilan tak terjawab seminggu lalu.

Berdecak kesal, Max mulai benci saat ada hal yang mengganggu dan tak bisa diabaikan.

-LparkC-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top