BAB 11

Kembali lagi bertemu MaEm
Makasih sudah mampir, semoga aku lancar update ini dan itu.🤩

Napas keduanya terengah, suasana begitu hening hingga Emily rasa detak jantungnya menggema mengisi ruangan. Sekali lagi ia lirik pria yang terduduk sambil memegangi punggung. Belum ada yang memulai pembicaraan sejak sepuluh menit berlalu. Keduanya kompak terdiam setelah insiden tak diduga terjadi beberapa waktu lalu.

"Maaf." Setelah jeda yang cukup panjang, akhirnya Emily membuka suara. Ia meringis melihat Steve masih setia memegangi punggung yang sedikit ... ah, mungkin sangat sakit setelah berbenturan keras dengan meja.

Emily tak berniat melakukannya. Sungguh! Namun, melihat mata berkilat Steve saat ingin melucuti bajunya membuat ketakutan menyelubungi hati kecilnya. Sekarang tangan Emily gemetar setelah berhasil mendorong Steve dari atasnya.

Rasanya Emily hanya mendorong Steve agar memberi jarak untuk ia bisa bernapas dan bicara, tetapi pria itu terdorong lumayan jauh hingga membentur meja dan menciptakan pekikan menyakitkan yang tak pernah Emily dengar sebelumnya.

Mungkin karena ketakutan kekuatannya jadi bertambah. Oh, Tuhan! Emily merasa bodoh sekarang.

"Kau tak apa-apa, Steve? Aku bisa memeriksa punggungmu--"

"Hentikan, Eme!" bentak Steve saat Emily mencoba memeriksa punggungnya yang sedang kesakitan.

Bagaimana mungkin wanita kecil itu mampu mendorongnya hingga membuat meja berbahan kayu bergeser beberapa puluh senti meter setelah berbenturan dengan punggungnya.

Steve rasanya ingin menangis merasakan sakit yang begitu ngilu. Ia khawatir apa mungkin ia mengalami patah tulang? Atau pembuluh darah di bagian punggungnya pecah?

Tunggu dulu, apa ada pembuluh darah di bagian punggung? Entahlah, Steve mulai merasa takut.

"Steve, aku tak bermaksud seperti itu. Hanya sedikit terkejut dengan ... maksudku, kau tahu bukan ... ini masalah wanita yang ... oh, Tuhan aku benar-benar minta maaf." Emily menatap Steve penuh sesal.

Dulu Emily bertanya-tanya kenapa Steve tak mau menyentuhnya. Ciuman di kening dan bibir yang singkat bukanlah gaya pacaran ala Kota Las Vegas. Ia ingat betul bagaimana Evelyn begitu menggebu-gebu menceritakan malam panasnya bersama Axel sementara dirinya hanya jadi pendengar setia sambil sesekali menelan liurnya sendiri.

Sekarang, saat Steve ingin menyentuhnya lebih dalam dan memberi tanda disetiap sudut tubuhnya--mungkin--kenapa Emily merasa takut dan panik luar biasa?

Sungguh! Emily hanya merasa takut saat melihat tatapan berbeda dari Steve yang seperti ingin menelannya hidup-hidup.

"Kau marah?" cicit Emily makin merasa bersalah saat mendengar Steve mendesah kasar.

"Kau tak mau tidur denganku, Eme?"

Emily menggeleng cepat, matanya yang bening menatap Steve penuh sesal. "Bukan itu maksudku, Steve. Aku hanya ... ini tentang--"

"Masalah bulanan wanita?" tanya Steve dengan kening mengernyit.

Emily tak mau berbohong, tetapi kali ini kepalanya mengangguk cepat sementara giginya menggigit pipi bagian dalam karena merasa bersalah harus membohongi Steve.

"Oh, Tuhan! Emily. Aku tak akan memaksamu jika itu alasannya. Kupikir kau tak mau tidur denganku?" Steve memeluk wanita itu erat kemudian meringis saat punggungnya terasa sakit.

"Kau tak marah?" Emily membalas pelukan itu tak kalah erat. "Maaf, punggungmu--"

"Ini sakit, Eme." Steve melepas pelukkannya sebelum menggerutu kesal.

Sial! Besok pagi Steve ada pemotretan untuk brand celana dalam. Jika ada memar di punggungnya pasti Joe--manajernya--mengomel sepanjang pemotretan berlangsung.

Emily yang sudah melihat wajah santai Steve kemudian menyengir. "Maaf sekali lagi."

Mereka masih berada di bawah sofa dengan meja yang bergeser sekitar 90 derajat dari posisi semula. Steve dan Emily sama-sama menatap benda segi empat itu sebelum tawa hambar terdengar dari satu-satunya wanita di sana.

"Aku tak menyangka bisa seperti itu," kata Emily dengan sisa-sisa tawa sumbangnya, lalu menarik kaki meja untuk kembali pada posisi sediakala.

"Aku juga tak menyangka, wanita kecil sepertimu bisa mendapat kekuatan super. Apa kau memiliki garis keturunan dari keluarga Superman? Atau mungkin kau bisa berubah menjadi Hulk berwarna merah muda saat marah, Eme?"

Steve hanya bercanda, sungguh! Nenek-nenek tuli pun akan mengatakan kalau ia sedang membual saat ini. Namun, wanita seperti Emily langsung memikirkannya.

"Benerkah?" Emily membeo dengan mengerjapkan manik karamelnya.

Hal itu membuat Steve terbahak-bahak. Oh, Tuhan! Ia benar-benar tak pernah bertemu wanita sebodoh Emily. "Eme aku hanya bergurau. Kenapa kau bisa percaya?"

Emily berdecak kasar, menutup layar laptopnya kesal setelah membuang pandangan. Kemudian beralih duduk di atas sofa sambil mendengarkan tawa menyebalkan Steve.

Emily tak mau memikirkannya, tetapi bagaimana jika ia memang memiliki kekuatan super yang ... sial, Emily benci saat otaknya mulai menyusun bayangan-bayangan random yang menggelikan.

"Eme, aku pulang!"

Suara seorang wanita membuat dua orang itu menoleh bersamaan. Di sana Evelyn yang tampil dengan kaus corp hitam dan celana hitam panjang sedikit terkejut dengan keberadaan Steve. Namun, hal itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum ia melanjutkan langkahnya menuju Emily.

"Kau kembali, Eve?" sambut Emily.

Evelyn sengaja menyenggol bahu Steve dengan lututnya sebelum duduk di sofa. Ia mencebik pada pria yang sejak sekolah terkenal dengan nama belakang sebagai palyboy.

"Hmmm." Evelyn mengangguk samar. "Kalian akan melakukan sex? Jika iya, maka terpaksa aku kacaukan karena aku tak mau bersikap rendah hati dengan kembali pergi dan meninggalkan kalian berdua!" tambah wanita berambut merah itu.

Steve meringis mendengarnya kemudian ikut bergabung bersama dua wanita yang duduk di sofa. "Hai, Eve. Bagaimana kontrakmu dengan Victoria Secret?"

"Lancar!" ketus Evelyn sambil menatap kuku barunya yang berwarna ungu muda. "Oh, Tuhan! Harusnya aku memilih motif monokrom tadi!" Evelyn membuat sepasang kekasih itu hanya meringis.

Lalu ponsel di ujung sofa berdiring. Tepat di bawah bokong Emily yang langsung meraih benda itu dan mengernyit saat nama Stella tertera di sana.

"Steve, siapa Stella?"

Steve menoleh dengan wajah terkejut, ia menyambar ponsel yang ada di genggaman Emily, membuat Evelyn yang memang duduk di tengah-tengah mereka harus memundurkan wajahnya 10cm karena gerakkan refleks yang dilakukan Steve.

"Ini teman yang bekerja sama denganku, Eme." Dengan cepat Steve mematikan ponselnya, menyimpan benda itu dengan aman ke dalam saku celana "Sepertinya aku harus pulang. Besok pagi ada pemotretan!" lanjutnya tergesa.

Emily bangun melihat Steve beranjak dari sofa. Masih dengan wajah kebingungan seperti biasa ia membenahi jaket Steve yang tertinggal.

"Stella de Clarroz?"

Steve yang sudah berjalan menuju pintu, menoleh saat Evelyn berseru. Wanita itu memicingkan matanya penuh kecurigaan sementara Emily yang berdiri di dekatnya masih menatap penuh tanda tanya.

"Bukan! Bukan dia. Kalau begitu aku pergi. Selamat malam," sahut Steve kembali memacu langkah cepat keluar dari apartemen.

"Steve!"

Steve kembali menoleh saat sudah memegang gagang pintu. Ia hampir saja mengumpat jika tak melihat wajah polos Emily dengan jaket yang disodorkan wanita itu.

"Ah, iya. Terima kasih banyak, Eme." Steve mengecup singkat pipi Emily sebelum benar-benar meninggalkan apartemen itu. Berusaha menghentikkan kegilaan Stella yang mengancam menyebarkan foto mereka saat tidur bersama.

Oh, sial! Steve sempat melihat pesan terakhir yang dikirim Stella tadi.

"Kukira kau tak akan datang lagi, Eve?" Emily kembali masuk dan melihat Evelyn yang masih sibuk memberi atensi pada kuku barunya.

Wanita Prancis itu mendongak, menyengir memperlihatkan deretan gigi terawatnya. "Sudah kubilang aku akan menghiburmu, Eme!"

Emily mencebik, kembali bergabung bersama Evelyn yang terlihat berbunga-bunga. Sebenarnya ia ingin bertanya tentang sesuatu, maksudnya ingin tahu tentang sifat aneh Max kemarin. Apa memang selalu seperti itu? Namun, Emily sungkan membahas pria lain sementara kekasihnya baru saja pergi setelah memberi bunga dan makanan cepat saji.

"Oh, ya. Menurutmu bagaiaman Max?"

Ughh ... Emily rasanya ingin bersorak karena diberikan sahabat seperti Evelyn. Tak perlu dipancing wanita itu sudah mengangkat topik yang menarik, setidaknya Emily tak begitu merasa bersalah pada Steve. Ia tak memulai membicarakan pria lain Evelyn yang memulainya jadi itu bukan salahnya.

Oh, baiklah. Lagi pula tak ada yang menyalahkannya, bukan?

Kemudian rasa antusias Emily surut mengingat situasi aneh dipertemuan terakhir ia dan Max. "Eve, apa Max memiliki kepribadian ganda?"

"Maksudmu?" Evelyn mengikat asal rambutnya dengan karet gelang yang selalu ada di saku celana. Menatap Emily dengan alis yang bertaut heran.

"Maksudku, apa Max suka berubah-ubah sikap? Atau ia ... ah, entahlah! Aku bingung menjelaskannya." Emily mendesah sambil melempar punggung pada sandaran sofa.

"Ada masalah saat kau pulang dengannya?" tanya Evelyn penasaran. Ia menopang kepalanya dengan sebelah tangan yang  disandarakan pada punggung sofa. "Tunggu, rasanya aku ingat sesuatu."

Emily yang sedang menatap langit-langit apartemen menoleh cepat. Ia kembali tertarik dengan tanggapan Evelyn.

"Dulu saat Axel mengenalkan aku sebagai kekasihnya, Max menyambutku dengan baik. Kami beberapa kali mengobrol karena meskipun Max tak begitu berisik seperti Axel, ia pria yang pintar membangun suasana dan memilih topik obrolan."

Emily mengangguk menyetujui. Max memang tak banyak bicara meski kadang sekalinya bicara terdengar menyebalkan, tetapi pria itu pandai menempatkan diri dalam obrolan menarik meski hanya menyimak.

"Setelah itu, aku dan Axel sering berkunjung ke barnya. Mengobrol seperti biasa, lalu tiba-tiba ia berubah dingin padaku setelah aku mengatakan kalau aku seorang model." Mata Evelyn setengah berputar mencoba mengingat-ingat sesuatu.

"Saat itu aku mendapat kontrak dari Victoria Secret hingga begitu bersemangat menceritakannya pada Axel dan Max. Aku sempat berpikir mungkin Max tak suka berteman dengan wanita yang menjadi model pakaian dalam," sambung Evelyn, lalu mengangkat bahunya setelah selesai bercerita.

"Benarkah seperti itu?" Emily menanggapinya dengan rasa bingung juga ... oh, sial! Otak Emily tak pandai menerka-nerka sifat seseorang. Ia lebih suka membantu Plankton menyusun rencana jahat mencuri resep rahasia krabby patty.

"Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan, Eme?"

"Aku tidak tahu, tetapi aku merasa Max sedikit berubah." Emily mulai mengingat obrolannya dengan pria itu saat di atap restoran. Ia yakin tak pernah berkata ingin menjadi model karena sudah sadar diri dengan tinggi tubuhnya.

Lalu apa alasan Max?

"Apa mungkin ia bosan, aku bicara tentang buku hingga malam."

Evelyn tampak berpikir. "Aku tidak tahu, Eme. Kau bisa tanyakan sendiri nanti," tukasnya dengan sebelah mata yang  dikedipkan.

"Besok ada acara Las Vegas Fashion Strip. Sebenarnya itu acara grand opening sebuah mall. Hanya saja mereka mengadakan fashion strip untuk beberapa brand ternama yang akan mengisi mall tersebut. Axel menanam saham di sana sekitar tiga lima puluh persen, tetapi hal yang mengejutkannya adalah Max ternyata yang merogoh kantong terdalam saat berinvestasi dengan Axel." Evelyn melanjutkan disertai rasa kagumnya.

"Aku yakin Max datang meskipun kata Axel, pria itu sangat jarang menghadiri acara fashion dan semacamnya. Kabar baiknya kau harus ikut denganku karena Axel mengajak kita untuk menikmati acara besar itu!" tambah Evelyn dengan menggebu-gebu.

Emily tak tahu harus merespons apa. Ia baru tahu kalau Max yang dikenal sebagai pemilik Bar Starkouts ternyata menyelundup menjadi pengusaha muda yang ... wow! Emily rasa itu cukup mampu membuatnya terkesan.

Malah sangat terkesan sampai rasanya Emily berdebar mendengar kemampuan pria itu.

"Oh, ya." Emily yakin sudah menampilkan rona merah di pipinya saat mendengar nama Max dengan segala kesuksesannya, jadi ia mencoba mengalihkan topik agar tak menjadi bahan godaan Evelyn. "Bagaimana Axel, apa dia baik-baik saja kau kembali ke sini?"

Sekarang giliran Evelyn yang merona. "Ya, aku rasa dia baik-baik saja. Lagi pula aku sedang menghukumnya!"

Emily memicingkan matanya. Kata hukuman tak pantas dibicarakan oleh orang yang saat ini sedang tersenyum malu. "Eve, kau tak sedang mengikat Axel di dalam rumahnya, bukan?" tanya Emily dengan wajah penasarannya.

Seketika saja bayangan malam panas dengan Axel setelah melewati perdebatan panjang, menguap entah ke mana. Evelyn memutar bola matanya malas menanggapi tanya wanita di depannya.

"Hukumannya bukan seperti itu, Eme!"

"Lalu seperti apa? Apa Axel memukulmu?"

Rasanya harus punya kesabaran setinggi gunung Everest jika ingin menjelaskan sesuatu pada Emily, sayangnya Evelyn hanya memiliki kesabaran setinggi ibu jari. Jadi ia akhirnya berdecih.

"Bukan memukulku!" Evelyn mulai kesal, tetapi membicarakan sex dengan Emily sepertinya akan menyenangkan. "Axel membuatku susah berjalan, Eme. Oh, Tuhan dia makin perkasa dengan otot-ototnya. Dan kau tahu, sejak aku tinggal dia makin pintar di atas ranjang--"

"Hentikan, Eve! Aku merasa mual mendengarnya!" Emily beranjak pergi buru-buru dengan pipi semerah tomat.

"Oh, Tuhan Emily! Kau belum melakukannya juga?!"

Blam.

Suara pintu tertutup terdengar menggema, membuat Evelyn melepas tawanya melihat Emily hilang di balik benda berbahan kayu itu.

"Jujur saja aku merasa kasihan dengan Steve, Eme! Kau sangat tak pengertian," teriak Evelyn dengan sisa-sisa tawa yang membuat Emily meringis di balik pintu kamar.

Apa ia wanita tak pengertian? Astaga Emily merasa jahat sekarang. Baiklah, ia akan mencobanya nanti tanpa berusaha mendorong Steve.

Satu lagi, sepertinya Emily harus melakukannya di tempat yang jauh dari meja jika tak ingin kejadian memalukan tadi terulang.

Itu ide bagus menurut Emily.

Erlin Park
-LaprkC-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top