BAB 10
Kira-kira kenapa Max berubah jadi ironman, eh?
Selamat bertegur sapa dengan MaEm🤩
Emily sedikit bingung dengan perubahaan raut wajah Max yang begitu kentara. Senyum dengan lesung yang selalu terpajang di wajah itu, tiba-tiba saja lenyap setelah ia selesai bercerita.
Emily mulai bertanya-tanya, apa ia membosankan? Atau mungkin Max pusing karena ia bicara tanpa henti tentang hobi yang mungkin tak pria itu mengerti. Namun, bukankah awalnya Max yang menyurunya bercerita?
Ah, sekarang Emily merasa menyesal karena terlalu bersemangat dan tak bisa melihat situasi, lalu tiba-tiba lepas kendali.
Mobil Max sampai di depan gedung apartemen Emily. Selama perjalanan dari Winchester menuju arah pulang, suasana begitu hening dan canggung. Tak ada percakapan lain setelah Emily bertanya apa yang Max sukai?
Maksud Emily, apa hobi pria itu? Karena setelah ia bicara bak Sungai Aare yang tak memiliki ujung. Emily juga ingin tahu apa yang membuat pria itu berdebar saat membicarakannya. Namun, jawaban yang Emily dapat di luar dugaan.
"Kau tak perlu tahu tentang aku," kata Max saat itu. Dilengkapi ekspresi datarnya.
Emily menghela napas pelan sebelum membuka sabuk pengaman dan kembali menoleh pada raut wajah yang belum pernah ia lihat sejak mereka bertemu.
"Max."
Pria itu tampak terusik. Genggaman pada setir mobil mengerat sebelum menoleh pada wanita yang terlihat kebingungan dengan sikapnya. "Ada apa?"
"Apa aku mengatakan hal yang salah? Maksudku ... apa aku terlalu berisik? Maaf jika--"
"Tak ada yang salah, Nona Theodor." Max kembali menatap ke depan. "Sekarang turunlah dan selamat malam."
Lalu Emily benar-benar merasa kecewa saat mendengarnya. Bahkan lebih kecewa ketika ia berpikir Max tak datang diacara makan siang itu. Tak bertanya kembali, Emily turun dari mobil dan menatap laju roda empat milik Max begitu cepat meninggalkannya.
"Ck, ada apa? Kenapa ia terlihat marah?" gumam Emily pelan. Tangannya menyambar ponsel dalam tas, melihat panggilan dari Steve yang tak ia sadari.
Sambil berjalan menuju lift, Emily menghubungi Steve yang tak biasanya menelepon sampai tiga kali berturut-turut.
"Halo?"
"Emily?"
"Ya. Ada apa, Steve? Apa ada sesuatu yang terjadi?" Emily berjalan keluar saat sangkar besi itu mulai terbuka lebar. Melangkah lesu menuju unit apartemennya dengan tangan yang meraba-raba ke dalam tas untuk mencari kunci.
"Eme, kau ke mana saja?! Aku tadi datang ke apartemenmu."
Sambil membuka kunci pintu, Emily menyelipkan ponsel di antara bahu dan telinga sebelum masuk ke apartemen.
"Aku pergi bersama Eve, Steve." Melempar tas pada sofa, Emily berjalan menuju pantri. "Ada apa?" lanjutnya dengan setengah hati. Ia merasa tak bersemangat mungkin karena lelah pikirnya.
"Aku merindukanmu, Eme. Sekarang aku sedang ada di bar. Mau kujemput?"
Emily menggeleng lemah, padahal Steve tak tahu dengan isyarat tubuhnya. "Aku lelah, Steve," sahutnya malas.
"Ah, baiklah." Steve mengernyit heran, ia tak pernah mendengar Emily tak bersemangat saat menerima panggilannya. "Hmmm ... Eme, apa Evelyn masih tinggal di sana?"
"Ya. Eve ingin menghabiskan masa cutinya denganku." Emily baru melepas flat shoes yang lupa ia buka saat masuk.
Sementara itu, Steve terdengar mendesah kasar. Ia dan Evelyn selalu menciptakan atmosfer awkward jika berhadapan. Steve tak tahu alasan Evelyn terlihat sangat membencinya, padahal mereka pernah ada di sekolah yang sama.
"Baiklah, kalau begitu aku tutup teleponnya. Selamat malam, Eme. I love you."
"Hmmm, i love you too."
Sambungan terputus. Menyisakan Emily yang terduduk di sofa sambil kembali menerka-nerka, kenapa Max tiba-tiba berubah?
Lesung pipi yang selalu ditampilkan Max, seketika hilang. Berganti dengan raut wajah dingin tak tersentuh bahkan membuat Emily takut untuk kembali berseru.
***
Paginya, Emily terbangun sendirian. Itu artinya Evelyn yang kemarin sempat meminta kunci cadangan apartemen tak pulang. Ia mencebik sebelum menyibak selimut, mengingat sahabatnya yang saat datang seperti tak mau lagi berurusan dengan pria bernama Axel. Namun akhirnya ... ah, Emily pusing memikirkannya.
"Aku tak mengerti dengan hubungan mereka. Ck, kenapa juga aku harus memikirkannya?!" gerutu Emily sendiri.
Selesai membersihkan diri, wanita itu mengawali paginya dengan sarapan sepotong roti bakar dan susu hangat. Meski suka memasak Emily sangat jarang menggunakan alat masaknya. Apalagi saat bekerja, hanya akan ada makanan cepat saji yang tersedia. Sambil menggigit roti yang tampak gosong di bagian pinggir, Emily menatap ponselnya dengan penuh pertimbangan.
"Apa aku hubungi saja?" Emily mulai bermonolog lagi. "Max terlihat marah. Apa mungkin ia pusing karena mendengarkanku bicara?" lanjutnya dengan susah payah menelan potongan roti yang hanya sebentar ia kunyah.
Emily terus bertanya-tanya dengan perubahan raut wajah Max yang begitu konteras dari sebelumnya. Entah kenapa ia mulai menyalahkan diri sendiri karena begitu menggebu-gebu saat bercerita tentang sesuatu.
"Argh! Aku mulai kesal!" Emily mengerang frustrasi dan menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja. Menghubungi nomor yang ia beri nama Mr. Strewatt dan semoga saja Max mau mengangkatnya.
***
Sementara itu, Max yang sedang duduk di kursi bar hanya memperhatikan ponselnya yang terus bergetar. Sama sekali tak berniat menanggapinya dan memilih meminum bir yang tersisa setengah lagi.
Barnya masih tutup. Saat ini hanya ada Max dan seorang bartender yang sibuk membersihkan gelas dan menyusun botol minuman pada rak di balik meja bar.
"Itu berisik, Max. Kau mengganggu konsentrasiku!" Pria yang memakai topi baseball, berdecak kesal dengan botol dalam genggaman.
Max mengalihkan atensinya pada benda pipih yang sudah tiga kali berdering, lalu menatap Albern yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Kau tahu cara menonaktifkan ponsel, bukan?" Albern kembali berseru setelah meletakkan gelas terakhir yang ia gantung pada besi-besi berdesain khsusus di atasnya.
Max tak menjawab, ia kembali menatap layar ponsel yang kali ini tak menampilkan panggilan apa pun. Layar benda itu gelap membuat ia hanya menghela napas pelan.
"Oh, ya. Wanita yang beberapa waktu lalu bersamamu. Bukankah dia yang waktu itu--"
"Benar, itu dia," jawab Max sambil menyalakan ponsel yang menampilkan tiga panggilan tak terjawab dari orang yang sama.
Emily. Nama itu ada dalam daftar teratas panggilan masuk.
"Apa kau sudah mulai berkencan lagi, Dude?" Pria dengan kulit eksotis itu, kembali melempar tanya. Kali ini Albern membawa satu gelas besar berisi bir.
Max menggeleng acuh sambil memperhatikan layar ponselnya yang kembali terlihat gelap.
"Pergilah berkencan, Max! Apa kau akan seperti ini terus?"
"Aku belum menginginkan hal itu, Al." Max mengetuk dua kali layar ponselnya, hingga benda itu menampilkan wallpaper bergambar tangan seseorang.
Mendesah kasar, Max menekan tengkuknya pelan. Semalam ia merasa tidurnya kurang berkualitas, lalu terbangun di jam tiga dini hari. Setelah itu melanjutkannya dengan olahraga berjalan di atas treadmil hingga berjam-jam. Sekarang ia lelah dan mulai mengantuk.
"Kau belum mencobanya, Max. Beberapa orang memang mengatakan salah jika kita melupakan seseorang dengan cara mencari wanita lain, tetapi patut dicoba bukan? Kita tak pernah tahu hasilnya." Albern yang ada di seberang meja memberi masukkan yang sebenarnya tak akan Max tanggapi. "Lagi pula, wanita pencium itu terlihat cantik."
Max berdecak sebelum turun dari kursi. Ia menyambar ponsel yang tak lagi menampilkan panggilan. Ah, ada rasa bersalah karena mengabaikan panggilan Emily. Wanita itu pasti kebingungan dengan sikapnya.
"Dia menicumku dengan buru-buru sampai aku merasa gigiku beradu dengan giginya." Albern terkikik mengingat kegilaan wanita yang beberapa waktu lalu kembali ia temui. "Bagaimana dengamu? Ia terlihat menikmati saat menciummu dan kau juga sepertinya--"
"Tutup mulutmu, Albern!" Mata besar Max menatap tak santai pada pria yang malah tertawa menyebalkan.
Meresa meladeni Albern bukanlah hal yang tepat saat suasana hatinya tak bersahabat, Max memilih berjalan menuju kamarnya di lantai tiga. Ia harus tidur dan melupakan sesuatu yang dari semalam begitu mengganggu.
***
Seharian ini, Emily hanya berdiam diri di dalam apartemen dengan sesekali mengajak Marko bicara tentang perubahan sikap Max. Bahkan pria itu tak mengangkat panggilannya, ia merasa kesal juga ... mungkin kecewa. Evelyn masih dengan Axel, wanita itu bilang akan datang nanti malam dan melanjutkan acara menghibur Emily sampai masa cutinya habis.
Sekarang Emily sedang menulis di layar laptopnya ketika mendengar ketukan pintu apartemen. Beranjak untuk mengetahui siapa yang datang, Emily tersenyum saat melihat Steve membawa satu buket bunga dan makanan cepat saji untuknya.
"Wah! Apa ini untukku?"
"Tentu saja!" Steve menyahut bangga.
"Terima kasih, Steve! Kau sangat romantis." Emily yang baru kali ini mendapat hadiah, begitu antusias menyambut dua benda di tangan Steve.
"Sama-sama Eme! Aku sangat merindukanmu," kata Steve sambil memeluk wanita pendek di hadapannya.
Emily menyambut pelukan itu. Tersenyum saat Steve mendaratkan kecupan pada puncak kepalanya. "Aku juga, Steve. Bagaimana pekerjaanmu?"
"Masih sangat sibuk."
Mereka berjalan menuju ruang tengah. Tangan Emily meletakkan bunga dan satu box makanan di atas meja, lalu menoleh pada Steve yang membuka jaket dan duduk santai pada sofa panjangnya.
"Kau mulai menulis lagi, Eme?" Max melihat layar laptop Emily yang menampilkan tulisan memusingkan dalam note.
Emily ikut bergabung. Mengangguk riang dengan senyum polosnya. "Aku menemukan inspirasi kemarin sore dan memikirkan sebuah judul baru."
Steve mengangguk tipis, lalu mengeluarkan ponselnya. Melihat panggilan dari Stella yang semalam berdebat hebat dengannya. Ia berdecak kasar sebelum melempar benda itu ke ujung sofa.
"Aku lapar. Tak apa-apa bukan kalau kau menunda pekerjaanmu?"
Senyum cerah Emily meredup, menyisakan garis tipis di bibir dan anggukan patuh. Ia beranjak menuju pantri untuk mengambil beberapa alat makan dan menyediakannya di meja sofa.
***
"Kali ini kau ingin menulis tentang apa?" Steve bergabung bersama Emily, duduk di bawah sofa dengan laptop di hadapan wanita itu.
Mereka baru saja menyelesaikan makan malam. Kini keduanya menikmati waktu bersama dengan Emily yang sedang memeriksa outline untuk cerita barunya.
"Hmmm ... aku ingin menulis tentang seseorang yang tak banyak bicara, tetapi pandai mendengarkan cerita. Tentang seseorang yang terlihat tak peduli, tetapi sebenarnya adalah orang yang paling pemerhati."
Ughh ... Emily merasa jadi wanita cerdas, berkelas, dan puitis jika sudah membicarakan tentang ide menulis.
"Itu terdengar bagus. Apa orang itu pria?"
Emily tampak berpikir sebelum mengangkat bahunya samar. "Entah, aku belum memikirkannya. Apa tokoh utamaku pria atau wanita?" Sekarang Emily merasa aneh dengan dirinya.
Steve tak lagi bertanya, selain ia tak begitu menyukai hobi Emily. Ia juga tak mengerti bahasan apa yang harus ia angkat. Jadi, Steve hanya kembali menatap wanita yang saat ini mengenakan kaus putih pendek dengan celana short hitam. Rambut Emily terikat asal, meninggalkan beberapa helai yang menjuntai di sisi wajah mungilnya.
Bagaimana bisa Steve baru sadar? Kalau selama ini wajah Emily lumayan cantik meskipun dengan kacamata minus dan tanpa riasan wajah.
"Eme," panggil Steve pelan.
Wanita itu menoleh setelah menaikkan kacamata di batang hidungnya. Belum sempat Emily menjawab, Steve sudah lebih dulu memangkas jarak di antara mereka. Hingga detik selanjutnya yang Emily rasa hanya napas segar Steve dengan bibir yang menempel di bibirnya.
Emily terkejut. Ini bukan ciuman singkat yang biasa Steve berikan saat berpisah. Ciuman ini berbeda, bibir Steve bergerak lambut, menyesap bibirnya penuh ke hati-hatian hingga tangan Emily yang masih terdiam di atas keyboard laptop, terkepal erat.
Emily merasa gugup dan ... sedikit takut. Bibirnya terasa kelu bahkan begitu ragu hanya untuk bergerak. Perasaan ini berbeda dari ... oh Tuhan! Emily tak mau membandingkannya.
Kekasihnya adalah Steve! Ya, Steve Zherfough.
"Emily," panggil Steve lembut.
Emily mengerjap pelan saat Steve melepas ciuman itu. Kacamatanya mengembun dan sedikit turun karena aksi tiba-tiba pria di depannya.
"Aku menginginkanmu." Suara Steve terdengar berat dengan mata yang menatap lekat wajah Emily.
Detik selanjutnya, Steve kembali mencium dengan ritme yang cepat dan mulai tergesa-gesa. Membuat tubuh Emily yang masih tak merespon sejak tadi, terdorong ke belakang dengan gerakkan tak sabar.
Emily hampir memekik saat punggungnya berbentur pada karpet berbulu yang ia duduki. Oh, Tuhan! Sekarang Emily benar-benar merasa takut dan panik.
Erlin Park
-LparkC-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top