9
Rabu malam, malam di mana Ge tidak mempunyai jadwal kencan karena belum dapat menemukan cewek yang cocok dengan kriteria yang diinginkannya. Sebenarnya selain Rabu, Minggu juga hari di mana Ge tidak punya jadwal ditraktir dengan alasan yang sama, tapi tak apa, hari Minggu bisa dimanfaatkan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga yang sudah sangat jarang bisa dia lakukan karena kesibukannya di luar rumah.
Tapi Rabu malam ini, di saat ibu dan adiknya punya kesibukan masing-masing, sejak sore tadi Ge hanya bisa terkapar sendirian di atas tempat tidurnya. Pikirannya melayang tak menentu, tapi selalu hinggap di tempat yang sama, siapa lagi kalau bukan Maxell.
Sejak kejadian ciuman itu, sepertinya seluruh isi otak Ge hanya diisi oleh manusia bernama Maxell itu. Apalagi ketika teringat kembali kejadian memalukan tadi, saat dia harus berlari ke kamar mandi dan membuang bibit calon konglomerat ke atas telapak tangannya. Sungguh memalukan!
Ge juga kembali teringat dengan tekad yang diteguhkannya di kamar mandi. Tapi ....
Tekad sih boleh-boleh saja, tapi bagaimana pelaksanaannya yang jadi masalah.
Meski sudah bertekad untuk membuat Maxell tergila-gila padanya, setiap kali berhadapan dengan Maxell, jantung Ge malah berdebar tidak karuan. Kata-kata yang sudah dipersiapkannya bagaikan membeku di tenggorokan dan membuatnya tercekat. Setiap kali Maxell memberinya tatapan sebal, Ge malah mematung dan lupa bernapas. Saat angin bertiup cukup kencang dan menyibak rambut yang menutupi wajah Maxell, Ge selalu terkesiap. Tidak bisa dipungkiri, selama duduk di samping Maxell, Ge semakin menyadari ketampanan wajah Maxell yang memang luar biasa.
Alih-alih membuat Maxell melihat ke arahnya, yang ada malah Ge yang sekarang menghindari bertatapan langsung dengan Maxell. Setiap kali merasakan tatapan mata Maxell ke arahnya, wajahnya pasti terasa panas seperti terbakar. Jangankan ditatap, duduk sebangku dengan jarak kurang dari setengah meter, Ge seperti bisa merasakan hembusan napas Maxell di kulitnya, membuat tubuhnya terasa panas dan jantungnya terus berpacu seakan hendak melarikan diri dari kurungan tulang rusuk.
Sepanjang hari, Ge hanya bisa duduk tak nyaman di bangkunya, menenangkan detak jantung. Sesekali mencuri pandang ke arah Maxell yang selalu menatap lurus ke depan kelas.
Mungkin ini yang disebut senjata makan tuan?
Tujuan Ge pindah tempat duduk adalah membuat Maxell salah tingkah, kini hal itu malah berbalik mengenai dirinya.
Ge kembali menghela napas panjang, untuk kesekian kalinya.
Memangnya apa sih yang salah dalam perhitungannya? Kenapa semua malah jadi kacau begini hanya dalam hitungan menit? Iya, menit. Ciuman tadi tak mungkin lebih dari lima menit. Bisa jadi hanya hitungan detik. Tapi kenapa bayangan si Maxell yang, kalau Ge mau jujur, sudah mengganggunya sejak mereka sekelas itu makin menguat di benak Ge?
Dulu, itu wajah masih samar-samar, dan hanya muncul sesekali saat Ge memejamkan matanya. Sekarang, tanpa perlu memejamkan matanya, bayangan wajah Maxell dan seluruh detailnya bisa terlihat dengan jelas, bukan hanya bayangan wajahnya, bahkan Ge bisa mengingat harum napasnya yang menyapu wajah Ge, bibir kenyalnya yang lembut ....
ARGH!!!
Apaan sih! Kok dia lagi dia lagi!
Ge bangkit berdiri dengan kesal. Jam baru menunjukkan pukul tujuh malam. Tentu saja dia belum mengantuk, apalagi tadi sepulang sekolah dia langsung tertidur dengan baju seragam lengkap dengan tas dan sepatu, baru pukul enam tadi terbangun. Bangun, makan, mandi, berguling-guling di kasur, rasanya sudah seabad, rupanya baru sejam. Ditambah lagi pikiran berkelana ke rimba persilatan. Ge tiba-tiba merasakan kejenuhan yang luar biasa.
Mungkin menelepon Marsha dengan bonus telepon yang diberi oleh operator selulernya bisa sedikit menghilangkan suntuknya. Dengan sedikit harapan menghilangkan pikiran sumpeknya yang terus menerus diisi Maxell, Ge mencari nomor Marsha di antara deretan nama-nama di layar HP-nya.
Berengsek!
Yang jawab malah si penjawab otomatis. Marsha sedang menelepon atau sedang menerima telepon dari orang lain.
Chelsea?
Gak ah. Bosan ngobrol sama Chelsea. Capek karena harus terus menggombal.
Irish?
Besok malam sudah jadwal ketemuan sama Irish. Kalau hari ini sudah ngobrol, besok bisa jadi kencan yang garing. Lupain Irish.
Delima?
Ugh ... masih labil. Bahan pembicaraan tak jauh dari teman-temannya yang juga masih sama-sama labil, teman-teman yang sama sekali tak dikenal oleh Ge dan Ge sama sekali tak berkeinginan mengenal mereka. Bisa tambah sumpek pikiran Ge kalau ngobrol sama Delima. Coret!
Honey ....
Pasti lagi sibuk belajar. Si bintang sekolah ini kerjanya belajar dan belajar. Hanya di hari Jumat saja dia bisa luang. Lagi pula setiap kali kencan, topik pembicaraan selalu saja mengenai pelajaran. Ge jadi merasa kencan dengan pembawa acara pendidikan.
Haaaaaa ... Ge menghela napas panjang lagi. Tak ada satu pun dari pacarnya yang cocok untuk dijadikan pengalih perhatian.
Teman-temannya?
Ge paling tak suka menghubungi teman-temannya di luar sekolah. Bukan apa-apa, mereka kan rata-rata anak orang kaya, tempat nongkrong selalu di kafe-kafe, dan sebagai sesama cowok, Ge agak gengsi jika harus selalu ditraktir sama mereka. Kalau sama ceweknya, beda dong. Pacar Ge tak akan pernah mengungkit soal membayari kencan di hadapan teman mereka. Ge selalu menekankan dengan halus, kalau ada yang tahu mereka pacaran, maka putus adalah harga mutlak. Tak heran jika tak pernah ada yang tahu mengenai pacar Ge, kecuali Maxell dan Marsha tentunya.
Aduhhh ... Maxell lagi Maxell lagi! Sudah berputar sampai ke ujung dunia, eh ... baliknya ke Maxell lagi.
Sudahlah! Daripada makin stress, mungkin cara terbaik mengalihkan pikirannya adalah olahraga.
Setelah membanting HP-nya ke atas kasur yang empuk, ---kan Ge takut tuh HP mahal yang dibeliin sama Marsha rusak, Ge berbalik dan membongkar lemari pakaiannya. Satu set baju dan celana training berwarna hijau dikeluarkannya dari lapisan terdalam lemarinya. Maklum, selain tak sempat, Ge juga sangat malas berolahraga.
Memastikan pintu rumah terkunci rapi, Ge pun mulai berlari kecil di sepanjang gang sempit.
Biarin deh dikatain gila lari-lari jam segini, dari pada gila sungguhan hanya gara-gara memikirkan seorang cowok.
------
Tak heran jika nomor telepon Marsha bernada sibuk terus, Marsha sedang menerima telepon dari Chelsea.
Marsha berguling-guling di atas kasur empuknya sambil memandangi foto Ge yang tersimpan di album foto di handphonenya. Teleponnya dibuat dalam mode handsfree.
"Uda deh, itu kan cuman masalah sepele. Gak ada yang marah sama lu kan?" ucapnya tak tulus sambil tetap menatap layar telepon genggam di tangannya itu.
"Tapi Sha, gue gak enak banget ...." Suara Chelsea yang berasal dari loudspeaker handponenya terdengar serak karena dia menangis hampir sejak sore hingga sekarang.
Marsha memutar bola matanya saat suara isakan Chelsea lagi-lagi terdengar. 'Plis deh! Yang harusnya nangis itu gue! Gara-gara kesalahan lu, gue gak jadi berpasangan dengan Ge di kelas kimia. Harusnya lu minta maaf sama gue sebelum merasa gak enak sama anak-anak yang lain!' Rutuk Marsha dalam hati.
Tentu saja gerak-gerik Marsha yang merasa sebal dengan Chelsea tak akan terlihat oleh Chelsea, mereka sedang berbicara melalui telepon genggam mereka dan Marsha sebenarnya ogah-ogahan mendengar curahan hati Chelsea. Kalau bisa, Marsha lebih memilih berbicara dengan Ge daripada dengan Chelsea.
Mereka memang berteman sudah lama, tapi hubungan mereka mulai merenggang sejak Marsha mengetahui kalau Chelsea ternyata juga salah satu pacar Ge. Sejak itu, Marsha selalu menganggap Chelsea sebagai teman yang munafik, berpura-pura polos padahal menebas teman dari belakang. Hilang sudah rasa sayang Marsha sebagai teman, di hatinya, Chelsea tak lebih dari seorang saingan yang suatu saat nanti pasti akan disingkirkannya. Ge juga pernah mengaku pada Marsha, Chelsea bagi Ge hanyalah alat untuk mengerjakan PR.
"Terus lu maunya gimana? Dari tadi nangis juga percuma."
"Sha ...." Suara Chelsea terdengar seperti ragu-ragu. Isakannya sama sekali tidak mereda. "Sebenarnya, bukan cuma ini yang bikin gue sedih ...."
Mata Marsha terbuka lebar. Posisinya badannya yang dari tadi tiduran segera berubah menjadi posisi duduk mendengarkan dengan penuh perhatian. Sepertinya Chelsea ingin curhat masalah yang serius. Mungkin ini bisa dijadikan sebagai senjata rahasia untuk menyingkirkan Chelsea dari Ge. ---Sangat mustahil Chelsea curhat masalah Ge kepada Marsha karena Ge berulang kali mengancam secara halus akan putus dari Chelsea kalau hubungan mereka diketahui Marsha.
"Memangnya lu kenapa? Cerita deh sama gue. Kali aja kan gue bisa bantu." Tombol record yang ada di layar handphonenya pun disentuh oleh Marsha.
Suara tarikan napas yang cukup panjang terdengar di seberang sana. Chelsea tidak langsung bercerita. Sepertinya dia masih mempertimbangkan haruskah dia menceritakan kegundahannya atau tidak.
"Lu bisa percaya sama gue," Marsha kembali meyakinkan Chelsea untuk menceritakan masalah pribadinya.
"Gue ... gue ragu Sha ... ini menyangkut keluarga gue ...."
"Kalo lu ngerasa gak bisa mempercayai gue, ya uda, gak usah cerita." Chelsea paling mudah didesak dengan kata-kata seperti ini. Marsha paham betul mengenai kelemahan Chelsea yang satu ini.
Benar saja, Chelsea langsung mengatakan keluh-kesahnya.
"Sha, keluarga gue lagi kena masalah. Tahun lalu, ada kecelakaan kerja di salah satu lokasi proyek perusahaan papa, banyak pekerja proyek yang meninggal. Tadinya papa kira semua sudah selesai. Papa sudah memberikan santunan dalam jumlah yang sangat besar kepada keluarga pekerja yang mengalami kecelakaan, tapi rupanya semua uang santunan itu tidak diberikan kepada keluarga pekerja, malah dikorupsi sama manager proyek. Sekarang banyak dari keluarga korban yang menuntut papa ...."
Marsha menutup mulutnya dengan telapak tangannya, terkesiap, tak menyangka Chelsea akan menceritakan hal sebesar ini. Masalah ini bukan hanya menyangkut keluarganya, tapi juga perusahaan papanya. Tanpa Chelsea sadari, Chelsea sedang membocorkan rahasia perusahaan papanya.
"Bukan cuma itu, manager proyek yang juga adalah asisten kepercayaan papa, ternyata juga meminjam uang ke rekan bisnis papa atas nama papa dalam jumlah yang sangat besar ...."
"Terus?"
"Dua bulan belakangan ini papa selalu terlihat lesu ... papa mencoba menyelesaikan semuanya tanpa memberitahu kami, tapi ... tadi ...."
Suara tangisan Chelsea pecah. Kemungkinan besar sudah sejak tadi dia berusaha menahan diri agar tidak menangis.
Bagaimanapun tak sukanya Marsha pada Chelsea, tapi tetap saja, hatinya luluh mendengar suara tangisan Chelsea. Yah, lagi pula mereka juga berteman sudah lama kan. Untuk sementara disingkirkannya rasa tak sukanya pada Chelsea.
"Papa lu baik-baik aja kan? Gak kenapa-napa kan?" tanyanya dengan nada khawatir, kali ini tulus.
Chelsea masih terus menangis sesenggukan. Belum sanggup menjawab pertanyaan Marsha. Dengan sabar Marsha menunggu hingga Chelsea selesai menangis dan melanjutkan ceritanya. Selain sedikit kasihan, dia juga sangat penasaran dengan cerita Chelsea. Bukan apa-apa, papanya Marsha kan rekan bisnis papanya Chelsea, tapi Marsha merahasiakan ini dari Chelsea. Kalau saja Chelsea tahu, tak mungkin seringan ini dia membicarakan perihal usaha papanya kepada Marsha.
"Tadi papa mengatakan pada kami ...."
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top