8

Begitu lonceng pelajaran berakhir, Maxell langsung menyusul Tyo yang keluar kelas dengan langkah ringan. Sepertinya Tyo senang sekali melihatnya ditertawakan oleh semua murid di kelas. Meskipun insiden tadi berhasil diselesaikan Tyo dengan damai, ---dengan gurauan kalau Maxell baru diseruduk banteng tak bertanduk, Maxell tetap saja merasa sebagai pihak yang paling dirugikan walau Tyo sama sekali tidak menghukum Maxell yang melakukan kekerasan dengan menghadiahkan tinju maut ke wajah tampan Ge.

"Tyo! Tunggu!"

Oops. Pasti Maxell benar-benar marah. Biasanya di lingkungan sekolah Maxell akan memanggilnya dengan sebutan Pak, tapi kali ini Maxell langsung menyebut namanya.

Tyo membeku di tempatnya. Otaknya berputar cepat mencari akal untuk lepas dari Maxell yang sedang marah. Bukan apa-apa, Maxell walaupun terkesan pemarah, tapi aslinya sangat jarang marah. Seingat Tyo, hanya sekali Tyo pernah melihat Maxell benar-benar marah, dan akibatnya pun cukup mengerikan, beberapa meja dan kursi hancur dibanting Maxell, padahal waktu itu Maxell masih berumur delapan tahun, Tyo tidak ingat apa alasan Maxell semarah itu, tapi efek dari kemarahan Maxell sangat membekas di otak Tyo. Secara bawah sadar, Tyo selalu berusaha menghindari membuat Maxell marah. Tidak disangkanya candaan yang menurutnya lucu ini malah membuat Maxell marah.

Setelah menarik napas panjang, Tyo pun berbalik menghadap Maxell yang memang terlihat sangat marah. "Ge Saja, ada yang mau ditanyakan?"

Refleks, Maxell langsung menoleh ke belakang. Biar bagaimanapun Maxell tak ingin hubungannya dengan Tyo diketahui oleh yang lain.

Tidak ada siapa-siapa ....

Saat berbalik kembali, Tyo sudah berlari kecil menuju kantor guru untuk bersembunyi dari amukan Maxell. Paling tidak pulang sekolah nanti kemarahan Maxell sudah sedikit mereda. Batinnya menenangkan dirinya sendiri.

Maxell meninju tembok dengan kesal. "Awas saja lu Tyo. Jangan pikir lu sudah aman!" desis Maxell dengan suara yang hanya bisa didengar olehnya sendiri.

Kembali ke kelas, Maxell menatap sebal ke arah Ge yang masih duduk di bangku di sebelahnya. Padahal begitu pelajaran kimia hari ini berakhir, semua murid langsung kembali ke bangku mereka masing-masing. Kenapa si Ge ini malah masih nangkring di sampingnya.

Pandangan Maxell tertuju ke bangku di sudut lain yang biasanya ditempati Ge, sekarang bangku itu diduduki oleh orang yang selama kelas 3 ini duduk di sampingnya. Menyadari tatapan Maxell, Johan berpura-pura sibuk membaca buku yang ada di hadapannya. Terlihat sekali kalau dia menghindar dari Maxell. Selama menjadi teman sebangku Maxell, mana pernah Maxell melihatnya membaca buku, yang ada malah selalu menggambar saja kerjanya.

Berbalik lagi, Maxell melihat Ge yang ternyata sudah membawa segala perlengkapan perangnya dan pindah ke bangku di sebelahnya. Pasti dia dan Johan sudah sepakat berpindah tempat duduk saat Maxell keluar mengejar Tyo tadi.

Belum pernah Maxell merasa sekesal ini dalam hidupnya.

Tapi dipikir-pikir lagi, buat apa Maxell merasa kesal? Maxell bisa mengacuhkan Ge seperti yang selama ini dia lakukan. Bedanya hanya kali ini Ge berada di jarak yang terbilang sangat dekat. Terlalu dekat malah, padahal Maxell sudah menggeser bangkunya hingga menempel ke dinding.

"Bisa geser gak lu?"

"Akhirnya lu mau ngomong juga." Ge malah tersenyum girang melihat Maxell akhirnya mau menegurnya. Dari tadi dia sengaja menggeser bangkunya dan terus mendesak hingga Maxell sama sekali tidak punya ruang gerak. Semua hanya demi membuat Maxell bereaksi terhadapnya.

Maxell menatap Ge dari ekor matanya, tatapannya dingin sedingin es di kutub selatan. Dari tempat duduknya, Ge hanya bisa melihat puncak hidung dan bibir Maxell yang terkunci rapat, menolak berbicara lebih banyak dengannya.

Tiba-tiba teringat dengan kejadian tadi, saat bibir yang lembut dan hangat itu menempel di bibirnya, perut Ge sedikit bergolak, jantungnya berpacu dengan kencang mengantarkan rasa panas ke wajahnya. Wajah Ge memerah hingga ke telinganya.

Segera dijauhkannya kursinya ke posisi semula, wajahnya dipalingkan ke arah lain, tak ingin Maxell mengetahui keadaan wajahnya yang mungkin memerah seperti anak perawan yang baru pertama kali ciuman.

Ciuman tadi pastinya bukan ciuman pertama Ge. Selama ini Ge sudah sering mencium dan berciuman dengan pacar-pacarnya. Mau kecupan malu-malu yang polos ataupun ciuman panas yang melibatkan lidah dan ludah, semua sudah pernah Ge lakukan. Meraba-raba dan meremas-remas juga bukan hal baru lagi bagi Ge. ---Ge tidak pernah melakukan hal yang melewati batas karena tidak mau direpotkan dengan urusan di belakangnya nanti. Ciuman tadi juga sebenarnya tidak bisa dianggap ciuman, hanya bibir yang saling menempel. Tapi entah kenapa, Ge masih bisa merasakan hangatnya bibir Maxell. Dan parahnya... Mata Ge terus menerus melihat ke arah bibir itu, penasaran bagaimana rasanya kalau Ge mengulum bibir berwarna merah muda itu. Penasaran ingin menjelajahi mulut yang sepertinya selalu terkunci rapat itu dengan lidahnya.

Gawat!

Hanya memikirkan mencium seorang pria membuat tubuh Ge bereaksi. Bagian tubuhnya yang paling liar menggeliat tak nyaman di balik celananya.

Ugh!

Padahal Ge tak pernah bereaksi seperti ini saat sedang berciuman maupun menyelipkan tangannya ke balik baju pacar-pacarnya yang rata-rata bertubuh seksi. Terus kenapa hanya dengan memikirkan rasa bibir seorang Maxell saja adik kecilnya bisa terbangun dan, ---Ge melirik ke arah selangkangannya yang sudah membentuk bukit kecil dan ujungnya sudah sedikit basah...

Gawat! Benar-benar gawat!

Tanpa sempat pamit kepada guru yang sedang mengajar, Ge berlari kencang menuju kamar mandi untuk melepaskan hasrat yang tiba-tiba memuncak.

------

"Mampus gue!" Ge memandang tangannya yang berlumuran cairan panas berwarna putih kental yang barusan ditembakkannya ke tangan setelah tangan kanannya bekerja keras menggosok kejantanannya yang mengeras akibat memikirkan Maxell.

Dan selama dia menggosok batangannya, yang dibayangkannya bukanlah wajah cantik Chelsea maupun dada seksi Marsha, atau bokong sempurna Intan, bukan mereka, melainkan Maxell.

Tadinya Ge sengaja pindah tempat duduk dengan Johan hanya karena ingin melihat wajah kesal Maxell. Selama ini kan wajah Maxell selalu terlihat datar-datar saja, malahan tanpa ekspresi. Tapi tadi saat meninju Ge, wajah Maxell terlihat berbeda. Matanya bersinar dan wajahnya terlihat luar biasa tampan? Atau cantik? Mungkin keduanya. Pokoknya wajah marah Maxell benar-benar membuat hati Ge berdebar-debar.

Ge membersihkan tangannya di depan wastafel sambil menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah tampan yang selalu dibanggakannya itu juga balas menatapnya.

"Ge, ada apa dengan lu Ge? Napa lu jadi kayak gini cuman gegara seorang cowok?" Ge hampir meninju cermin di depannya hingga pecah berantakan. Raut wajah Ge yang di cermin bukanlah wajah Ge yang biasa.

Ge yang biasa selalu tersenyum penuh percaya diri. Tidak ada barang seberkas pun sinar keraguan di mata Ge. Tapi bayangan Ge yang saat ini terpantul di cermin ....

Tak salah lagi, Ge sudah sering melihat ekspresi seperti itu di wajah dan mata gadis-gadis yang digombalinya, ---ekspresi orang yang jatuh cinta.

Ugh ... masa sih? Masa Ge beneran jatuh cinta sama Maxell? Bagaimana bisa?

Ge menarik napas dalam-dalam. Aroma tak sedap di area toilet tak dipedulikannya. Dipejamkannya matanya untuk menenangkan pikirannya. Oke ... tenang dulu, Ge. Mungkin ini hanya salah paham. Mungkin lu hanya shock karena untuk pertama kalinya dalam hidup lu, lu mencium seorang cowok.

Memangnya jatuh cinta itu segampang ini? Hanya sekali ciuman, koreksi, sekali menempelkan bibir saja sudah bisa bikin jatuh cinta?

Tidak. Tidak. Tidak.

Tidak bisa begitu. Harusnya Maxell yang jatuh cinta pada Ge, bukan sebaliknya.

Ge tidak boleh jatuh cinta! Tidak akan!

Seperti menemukan tekad yang baru, Ge kembali tersenyum penuh percaya diri.

Maxell, tunggu saja. Lu pasti gue bikin klepek-klepek!

Ge mengepalkan tangannya penuh tekad.

------

"Tyo! Lu sengaja kan tadi?"

Baru saja Tyo memasuki mobil, bahkan mesin pun belum sempat dinyalakan, Maxell yang sudah lebih dulu menunggu di mobil langsung menyerang Tyo dengan pertanyaan yang sudah mengganggunya sejak tadi.

"Sengaja bagaimana?" Meski tahu bersikap pura-pura bodoh hanya akan memancing emosi Maxell, tapi Tyo perlu tahu juga, sengaja yang bagaimana yang dimaksud oleh Maxell.

"Lu sengaja bikin si Ge sialan itu jadi pa---kelompok gue kan?" Maxell tak ingin mengucapkan kata pasangan, dengan segera dialihkannya dengan kata kelompok.

"Sumpah, itu murni dari undian! Dan karena kesalahan Chelsea menulis nama di buku absensi. Gue sama sekali gak tau siapa bakal jadi pasangan siapa."

"Lu bisa diam aja, napa lu sengaja ngasi tau kalo nama gue dan Marsha posisinya terbalik di absensi bulan ini?"

Di bagian ini, Tyo harus akui memang dia sengaja. Kalau saja saat itu orang lain yang mendapatkan nomor 27, bukan Ge, Tyo pasti tidak akan mengatakan perihal nama yang terbalik itu. Saat Ge dengan bangga mengacungkan kertas bertuliskan nomor 27 itu, secara kebetulan mata Tyo melihat ke arah nama Maxell yang sudah tertukar nomornya di buku absensi, sifat jahilnya langsung timbul seketika itu juga. Ditambah lagi semalam Maxell ngotot sekali mengatakan tidak suka pada Ge, siapa tahu mereka malah bisa jadi sahabat kalau didekatkan.

"Yah, gak bisa begitu. Kan tidak adil bagi siswa lain yang jujur dengan nomor yang mereka dapat."

Maxell memberi Tyo tatapan curiga. Tyo boleh saja terlihat sebagai anak baik dan patuh di depan orang tua mereka, tapi lebih dari siapa pun di dunia ini, Maxell yang paling tahu bagaimana nakalnya Tyo saat sedang kumat jahilnya. Waktu kecil, pernah Tyo menangkapi kecoa hanya untuk dipatahkan kakinya. Tyo menikmati kegiatan mencabut kaki kecoa. Hingga pada suatu hari, para kecoa memberontak, mereka melarikan diri dari kaleng yang digunakan Tyo untuk mengurung mereka. Salah satu dari kecoa itu memberi Tyo ciuman perpisahan di bibirnya, bibir Tyo bengkak selama beberapa hari, dan sejak itu Tyo trauma dan takut pada kecoa.

"Jujur sama gue!"

"Gue jujur. Semua ini bener-bener kebetulan. Tidak ada dari mereka yang bertukar nomor. Kebetulan bulan ini Chelsea sedikit ceroboh saat menulis absensi, jadinya lu yang berpasangan sama Ge."

"Sudahlah!" Maxell malas berdebat lebih panjang. Dikibaskannya tangannya untuk menghentikan Tyo yang sepertinya masih ingin membacakan delik pembelaan diri.

Tyo mengendikkan bahu.

Beberapa meter setelah mereka meninggalkan gerbang sekolah, Tyo tiba-tiba teringat sesuatu, "Oh ya, gimana tadi rasanya dicium?"

BUGH!

Sebuah tinju melayang ke perut Tyo dan membuatnya meringis kesakitan. Walau sambil meringis, bibir Tyo melengkung membentuk senyuman.

------ 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top