6
"Elu sih! Selalu aja nurutin kemauan mereka. Sadar diri donk. Lu itu uda gede, uda gak zaman diatur-atur!" setelah menutup pintu, Maxell langsung memarahi Tyo.
Tyo hanya bisa tersenyum kecut. Teguran keras dari Maxell ini bukan yang pertama. Memang harus Tyo akui, Tyo sangat lemah saat berhadapan dengan kedua orang yang dianggapnya paling berjasa besar dalam hidupnya itu. Tanpa disadarinya, dia selalu menuruti apa pun kemauan Om Andre dan Tante Juli. Ujung-ujungnya, yah, dimarahi oleh Maxell.
"Bukan gitu Max, bukannya gue suka diatur-atur---"
"Kalo gak suka, ngomong langsung! Mereka selalu menggunakan kata 'Tyo aja gak keberatan' sebagai senjata mereka. Harusnya lu bisa lebih tegas!"
Maxell berdiri tegak dengan tangan dilipat di depan dada. Matanya yang cemerlang tanpa kacamata menatap lurus ke arah Tyo yang duduk di atas tempat tidur Maxell. Ditatap seperti itu, Tyo merasa tubuhnya menciut dan jadi jauh lebih kecil dibanding Maxell. Padahal tinggi badan mereka hampir sama, Maxell hanya lima sentimeter lebih pendek dari Tyo yang bertinggi badan 185 cm. ---Dan Maxell masih dalam masa pertumbuhan, bukan tak mungkin, tahun depan Maxell sudah lebih tinggi darinya.
"Gue juga pengen bisa protes langsung ... tapi ...."
"Tapi apa?"
"Yah, gak tega aja bikin mereka sakit hati."
Selalu saja alasan yang sama. Mau Tyo, mau orang tuanya, sama saja. Selalu menggunakan alasan yang sama!
"Terserah! Pokoknya jangan biarin mereka terlalu ngatur hidup lu!" Sambil mendengkus kesal, Maxell menuju meja belajarnya dan melanjutkan belajarnya.
Tyo memandangi punggung tegak sepupu yang enam tahun lebih muda darinya itu. Walaupun rentang jarak umur mereka terbilang cukup jauh, tapi Maxell yang lebih muda selalu terlihat lebih matang dalam bertindak. Mungkin juga karena sejak kecil Maxell sudah diserahi tugas dan tanggung jawab melindungi Tyo, Maxell sama sekali tak pernah menganggap Tyo itu sebagai sepupu yang jauh lebih tua darinya. Malahan selalu Maxell yang memarahi Tyo.
Ucapan dan tindakan Maxell mungkin terlihat seperti kurang ajar, tapi hanya Tyo dan kedua orang tua Maxell yang tahu, Maxell bukannya kasar, Maxell hanya tidak tahu caranya mempermanis ucapannya. Semua yang dia pikirkan pasti diucapkannya apa adanya. Dan bukannya Tyo tak pernah mengajari Maxell cara berbicara yang lebih sopan, tapi Maxell yang memang sangat jujur dalam berucap itu malah memilih diam daripada harus mengucapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dpikirkannya. Lambat laun, Maxell jadi makin malas berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Sikap Maxell yang memilih menjauh dari kehidupan sosial mungkin dimulai sejak dia masih kecil, namun orang tuanya yang masih terlalu sibuk mengurus Tyo luput memperhatikan perkembangan Maxell. Mereka menyadarinya saat acara perpisahan di sekolah dasar Maxell. ---Maxell sama sekali tidak punya teman.
Menurut keterangan gurunya, Maxell tidak pernah menimbulkan masalah, berprestasi luar biasa, tidak pernah terlihat aneh walaupun sering menyendiri. Maxell lebih sering memperhatikan teman-temannya dari belakang dan selalu bisa memberi keterangan yang memuaskan setiap kali ada masalah di dalam kelas. Singkat kata, walau pendiam, Maxell termasuk dalam jajaran murid kesayangan guru dan selalu diperhatikan oleh guru. Malahan gurunya senang dengan sikap Maxell yang terlihat tenang dan dewasa walau masih duduk di bangku sekolah dasar.
Entah harus sedih atau gembira, orang tuanya akhirnya memindahkan Maxell ke sekolah lain, berharap dengan lingkungan baru, Maxell juga bisa berubah. Dan lagi-lagi mereka harus kecewa, Maxell tetap menolak bersosialisasi dengan anak-anak seusianya. Menurut pengakuannya pada Tyo, mereka terlalu mudah tersinggung. Padahal Maxell hanya dengan jujur menyebut kata jelek pada orang yang memang menurutnya jelek.
Sayang sekali. Kalau saja Maxell tidak punya sifat sejujur itu, dengan wajahnya yang sangat luar biasa ... tampan sekaligus cantik, Maxell bisa menjadi idola kaum pria maupun wanita.
Mengenai wajahnya, terus terang saja, bahkan Tyo kesulitan mengkategorikan jenis wajah Maxell. Garis-garis wajah Maxell yang tegas dan alisnya yang tebal namun rapi membuatnya terlihat sangat tampan, namun matanya yang sangat bagus, tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil dan ujung-ujung matanya meruncing ke atas dengan bulu mata yang cukup panjang untuk ukuran seorang pria, ditambah hidung mancung dan bibir seksi berwarna merah segar tanpa perlu dipoles dengan pemerah bibir juga didukung kulit putih bersih tanpa noda setitik pun, kalau Maxell memanjangkan rambut lurus hitamnya, dijamin, semua orang akan keliru mengira dia sebagai seorang wanita cantik berbadan tinggi.
Merasa dipandangi dengan tatapan tajam, Maxell pun menoleh ke belakang. "Napa?"
"Gak sih, gue heran aja, napa lu mulai manjangin rambut lu? Seingat gue, waktu kecil Tante Juli suka banget manjangin rambut lu dan lu benci banget."
"Gimana gak benci, kemana-mana dikatain, anak perempuannya manis sekali ...."
Sontak tawa Tyo pecah. Tyo teringat bagaimana Maxell memotong sendiri rambutnya saat masih berumur empat tahun. Walau akhirnya seluruh rambut di kepala Maxell harus dicukur habis karena model rambutnya yang sudah terlalu aneh, Maxell malah terlihat puas walau berkepala gundul.
"Oh? Rupanya begitu ... terus, napa sekarang malah mau dipanjangin?"
"Sembunyi. Akhir-akhir ini ada yang selalu ngeliat ke arah gue."
Seingat Tyo, alasan Maxell mulai memakai kacamata berbingkai besar juga karena banyak cewek yang penasaran dengan wajahnya. Maxell tidak suka dipandangi walaupun sepertinya dia suka memandangi orang.
"Bukannya selalu gitu?"
"Gak. Sejak gue pakai kacamata, mereka uda jarang ngeliatin gue. Tapi sejak naik kelas tiga ini, gue sering ngedapetin tuh orang ngeliatin ke arah gue mulu."
"Yakin bukan lu yang ke ge-er an?"
"Mudah-mudahan gue yang gede rasa deh."
Tyo mengerutkan dahinya, seperti berpikir keras. "Apa yang lu maksud si Ge?"
Anggukan kepala Maxell membuat kerutan di dahi Tyo semakin jelas. Tadi pagi Ge bereaksi cukup keras terhadap ucapan Maxell dan Maxell sepertinya juga menanggapinya, sampai-sampai Tyo bisa merasakan percikan api di antara mereka. Kalau Tyo tidak segera mengalihkannya ke orang lain, kemungkinan besar mereka akan mulai berdebat.
"Anak itu bukan tergolong anak nakal walaupun suka jahil. Kayaknya bukan tipe yang suka mencari musuh." Apa mungkin Ge merasa popularitasnya terancam oleh Maxell? Atau mungkin ada ucapan Maxell yang menyinggungnya?
"Gue gak suka sama dia."
Mata Tyo langsung membelalak. Seumur hidupnya, baru kali ini dia mendengar Maxell berkata tidak suka pada seseorang. Biasanya Maxell hanya akan berkata: tidak penting.
Jiwa penasaran Tyo langsung menggelora. Dengan bersemangat, dia pun mulai mencecar Maxell dengan berbagai pertanyaan yang dia tahu akan dijawab dengan jujur oleh Maxell.
"Kenapa? Dia kan gak jelek."
"Bukan masalah jelek. Masalahnya gue gak suka sama dia."
"Dia pernah ganggu lu?"
"Gak secara langsung. Dia mengganggu gue lewat tatapan matanya. Gue gak suka!"
"Tatapan mata yang bagaimana?" Mendengar Maxell menutup setiap kalimatnya dengan kata 'gak suka', Tyo hampir-hampir tertawa keras. Tapi dia masih ingin mendengar lebih banyak, oleh karena itu, ditahannya tawa yang mendesak ingin keluar itu sekuat tenaga.
"Tatapan mata yang kayak mata polisi liatin penjahat. Gue gak suka!"
Kali ini Tyo tak lagi sanggup menahan tawanya. Perutnya sampai sakit karena tertawa cukup lama.
"Mungkin itu karena dia ingin lebih mengenal lu."
Tyo bisa melihat Maxell yang memutar bola matanya dengan sebal.
"Pokoknya gue gak suka." Hampir saja Maxell membeberkan segala kejelekan Ge, tapi setelah dipikir-pikir lagi, itu kan urusan pribadi Ge. Mau pacarnya banyak, mau dia manfaatin teman buat duit, sepanjang dia tidak merugikan Maxell, semua itu bukan urusan Maxell.
"Gak ada salahnya kan punya teman? Lagian Ge baik kok. Bisa diajak seru-seruan." Tyo menghentikan niatnya menggoda Maxell saat dilihatnya mata Maxell yang menatapnya dengan dingin. "Oke ...lu gak suka. Oke ...."
Tyo mengangkat tangannya, sepertinya menyerah, tapi dalam hatinya Tyo merasa senang. Walau berupa ketidak sukaan, tapi setidaknya Maxell sudah mulai membuka dirinya.
"Gue balik kamar gue dulu. Mau nyiapin bahan ngajar besok."
Tanpa menunggu jawaban Maxell, Tyo yang teringat dengan niatnya menyusun pasangan untuk kelompok belajar di kelas kimianya segera kembali ke kamarnya.
------
Sepulang dari acara kencannya dengan Marsha, Ge masih cukup terganggu dengan ucapan Marsha yang terasa seperti menuduhnya. Perut yang kekenyangan membuatnya berbaring dengan malas di atas tempat tidur sambil memikirkan pembicaraannya dengan Marsha tadi.
Reaksi berlebihan? Berlebihan bagaimana?
Ge sendiri sudah cukup terganggu saat menyadari matanya selalu mencari sosok Maxell. Ditambah dengan tuduhan Marsha yang seolah mengatakan Ge sangat peduli terhadap Maxell.
Sialan! Memangnya Ge punya waktu untuk peduli sama orang lain? Ge sudah cukup sibuk dengan keluarganya. Prioritasnya bukanlah orang lain, tapi ibu dan adiknya.
Saat ini Ge mungkin masih belum mampu berbuat banyak. Ge masih seorang pelajar SMA. Tapi Ge sudah bersumpah, suatu saat nanti, Ge akan jadi orang kaya. Ge akan mampu membahagiakan ibunya, Ge akan mampu melindungi adik perempuan satu-satunya. Tragedi tahun lalu tidak akan pernah terjadi kalau saja mereka punya uang. Tragedi yang membuat keluarga mereka diguncang prahara.
Ge memejamkan mata, mengingat kembali kesedihan yang membuatnya berubah, bukan di luar, melainkan pola pikirnya. Teman-temannya tetap mengenal sosok Ge sebagai Ge yang ceria, urakan, jahil, dan lain-lain, namun tak satu pun di antara mereka yang menyadari sorot matanya yang berubah menjadi dingin, sedingin hatinya.
Ge juga mulai mengoleksi pacar sejak tahun lalu, padahal sebelumnya Ge tidak begitu tertarik dengan urusan pacaran. Semua pacarnya harus punya nilai guna untuknya. Saat mereka mulai menuntut lebih dan mulai merepotkan, tanpa segan-segan Ge akan membuang mereka dan mencari target baru.
Mungkin terdengar kejam, tapi Ge punya alasannya sendiri.
Kejadian tahun lalu mengajarkan Ge, tanpa uang, manusia hanya dianggap tak lebih dari binatang yang bisa berbicara oleh orang-orang kaya berduit. Jadi, apa salahnya Ge mengambil untung dari manusia-manusia tak berhati nurani itu. Toh mereka juga tidak mendapatkannya dengan keringat mereka sendiri. Uang yang mereka hasilkan juga hasil dari memanfaatkan tenaga, menguras darah dan keringat orang-orang miskin.
Ge tidak akan tahu ini semua kalau tragedi tahun lalu tidak terjadi.
Uang.
Ya. Ge hanya peduli terhadap uang.
Peduli setan dengan yang lainnya!
Ge membalik badannya kasar, mencoba mengenyahkan sesosok wajah yang menatapnya dari sudut kelas.
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top