5
Suara percakapan hangat yang diiringi suara tawa ringan sesekali terdengar dari ruang makan di sebuah rumah yang bisa dibilang cukup mewah. Maxell mengunyah makanannya dengan santai sambil mendengarkan pembicaraan akrab antara orang tuanya dan sepupunya, Prasetyo.
"Gimana Tyo? Betah kamu di sekolahnya Max?" papa Maxell, untuk kesekian kalinya menanyakan pertanyaan yang sama. Sudah seperti kaset rusak saja. Setiap kali bertemu Tyo, pasti itu yang ditanyakan papanya.
Melihat Maxell bersiap-siap hendak menegur papanya lagi, Tyo langsung menjawab pertanyaan yang berulang kali diajukan oleh adik papanya ini : "Betah kok Om. Kan ada Max yang bantuin di sana."
"Bagus kalau betah. Om dengar, anak-anak SMA jaman sekarang suka membully guru, apalagi guru baru dan belum berpengalaman seperti kamu."
"Tenang saja Om, sepanjang kita bisa membawa diri, mereka juga tidak akan keterlaluan kok."
"Iya juga sih. Max, pastikan kamu menjaga Tyo baik-baik ya. Kalian tahu sendiri, Kak Adrian sangat menentang rencana Tyo untuk jadi guru, papa sampai harus meyakinkannya berulang kali baru dia setuju, jadi kalau sampai ada apa-apa dengan Tyo, kita semua juga bisa kena amukan Kak Adrian." Adrian adalah papanya Tyo. Temperamennya memang terkenal keras dan tegas, hanya papa Maxell saja yang bisa meluluhkannya karena papa Maxell ini adik kesayangannya.
Maxell menurunkan sendok yang sudah hampir masuk ke mulutnya dan menatap Papanya. "Papa. Om Adrian tidak menentang niat Tyo untuk jadi guru, yang ditentang Om Adrian itu usulan Papa supaya Tyo tinggal di rumah ini. Om Adrian tau banget kalo Papa punya kecenderungan memanjakan Tyo."
Mama Maxell terbatuk-batuk kecil menyembunyikan suara tawanya. Tyo berusaha keras menekan wajahnya agar tetap terlihat serius walaupun bibirnya terlihat jelas bergetar menahan tawa yang ingin menghambur keluar.
"Siapa bilang Papa suka memanjakan Tyo? Iya kan Ma, Papa tidak memanjakan Tyo kan Ma?" Andre, papa Maxell berusaha mencari dukungan dari sang istri.
"Maxell, Papa kamu tidak memanjakan Tyo. Papa kamu hanya terlalu menyayangi Tyo, soalnya sejak Tyo lahir, Papa kamu yang menjaga Tyo."
Maxell hanya memutar bola matanya sekilas dan melanjutkan kegiatan makannya.
Seperti kata mamanya, dan dari cerita yang didengar Maxell sejak dia kecil, Tyo memang diasuh oleh papanya Maxell sejak Tyo baru lahir. Mamanya Tyo meninggal sesaat setelah melahirkan Tyo. Setelah diselidiki, ternyata beliau sebenarnya memang sudah sakit-sakitan sejak kecil, namun hal ini disembunyikannya dari papanya Tyo. Papa Tyo yang merasa menjadi suami yang gagal karena tidak mengetahui kondisi istrinya dan malah membiarkannya hamil dengan taruhan nyawa, merasa tak mampu menjadi seorang ayah, dalam kondisi yang masih syok karena kematian istrinya, dia menolak kehadiran Tyo. Sebagian dirinya menyalahkan dirinya sendiri, sebagian dirinya menyalahkan si bayi yang baru lahir sebagai penyebab kematian istri yang sangat dicintainya.
Papa Maxell tak tega melihat si bayi tak berdosa ditelantarkan begitu saja, tanpa ragu dibawanya Tyo yang masih bayi pulang ke rumah, padahal saat itu dia juga baru menikah, tapi untunglah mama Maxell bukanlah wanita picik. Walau bukan anaknya sendiri, mama Maxell bersedia menerima Tyo yang masih bayi di rumah mereka.
Yang paling bersemangat merawat Tyo adalah papanya Maxell. Sampai-sampai beberapa kali sekretarisnya harus datang ke rumah mereka karena urusan kantor yang mendesak. ---Untung saja itu perusahaannya sendiri, kalau tidak, mungkin sudah ditendang keluar dari perusahaan akibat terlalu sering tak masuk kantor.
Sampai akhirnya papa Tyo menemukan pendamping hidup yang baru, barulah Tyo kembali ke rumahnya. Saat itu Tyo berumur lima tahun, sudah bisa memahami kenapa dia harus memanggil Andre dengan sebutan Om. Saat Tyo kembali ke papanya, yang menangis paling keras bukan Tyo yang berumur lima tahun, melainkan Andre yang sudah berumur hampir tiga puluh tahun. Mama Maxell sampai harus menahan malu saat menenangkan suaminya yang menangis sedih. ---Mama Maxell selalu tertawa setiap kali menceritakan kejadian saat Tyo harus pulang kembali ke rumah papanya.
Untunglah tak lama kemudian mama Maxell positif mengandung, jadinya papa Maxell tidak terlalu bersedih lagi. Tapi tetap saja, dalam hatinya yang paling disayangnya adalah Tyo. Bayangkan saja, jelas-jelas Maxell enam tahun lebih muda dari Tyo, tapi selalu Maxell yang disuruh menjaga Tyo. Bahkan sejak Maxell berumur tiga tahun, papanya sudah memasukkannya ke sekolah beladiri sedangkan Tyo tidak diizinkannya belajar beladiri dengan alasan bahaya.
Awalnya Maxell sangat terganggu dengan perlakuan yang sangat berbeda dari papanya sendiri ini, tapi mamanya dengan sabar mengulangi cerita kenapa Tyo lebih disayangi oleh papanya. Jadi, Maxell sudah hafal luar kepala dengan cerita mengenai Tyo dan papanya. Sekarang Maxell malah merasa kasihan dengan Tyo yang walaupun berusia 23 tahun namun tetap diperlakukan seperti anak kecil oleh papanya.
Tyo melirik ke arah Maxell yang juga melirik ke arahnya. Mereka menukar tawa dalam diam. Mereka sudah sangat maklum dengan kecenderungan papanya Maxell.
Sebenarnya yang bersikeras supaya Tyo menjadi guru di sekolah Maxell tak lain adalah papanya Maxell. Pak Andre yang selalu khawatir dengan keadaan Tyo tak ingin Tyo menjadi guru di tempat yang jauh, dan kebetulan dia mengenal baik kepala sekolah tempat Maxell belajar. Dengan memanfaatkan koneksinya, Tyo pun bisa menjadi guru magang menggantikan guru kimia yang sedang cuti melahirkan.
Tadi pagi di kelas, Tyo sengaja melihat ke arah Maxell sebelum menjawab pertanyaan dari Ge itu. Sesuai dugaannya, Maxell tak ingin teman sekelasnya tahu kalau mereka punya hubungan keluarga.
"Ah, kalian bisanya main keroyokan. Tiga lawan satu, tidak adil!"
"Bukan begitu Om. Mana berani kami mengeroyok Om, bisa-bisa nanti kami semua dibanting sama Om. Om kan mantan pemain basket."
"Tyo. Kata-katamu barusan membuat Om terharu. Tapi apa hubungannya membanting kalian sama basket?"
"Gak ada sih Om."
Kembali suara tawa ringan terdengar di ruang makan hangat itu. Maxell hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan papanya.
Suasana seperti ini sudah berlangsung sejak sebulan lalu, sejak Tyo mulai bekerja sebagai guru magang. Tyo yang dipaksa Andre untuk tinggal bersama mereka selama dia magang dengan alasan supaya lebih dekat dengan sekolah, akhirnya dengan pasrah menuruti permintaan orang yang sangat berjasa besar dalam hidupnya itu, apalagi Om Andre sampai memohon-mohon pada papanya segala.
Sesudah makan, Maxell langsung kembali ke kamarnya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakannya. Sementara Tyo masih duduk-duduk di ruang keluarga, menemani Andre dan istrinya mengobrol tentang berbagai hal.
"Tyo. Kamu sudah berumur 23 tahun, uda punya pacar?" tiba-tiba mama Maxell mengajukan pertanyaan yang membuat Tyo cukup terkejut.
Biasanya kedua orang yang sangat dihormati sekaligus disayanginya ini termasuk orang yang sangat tidak suka mencampuri kehidupan pribadi orang lain.
"Belum Tante."
"Loh? Cowok seganteng kamu kok belum punya pacar?"
Tante Juli memang tidak mengada-ada. Tyo memang termasuk cowok dengan wajah tampan di atas rata-rata. Wajahnya yang selalu tersenyum ramah, matanya yang teduh, hidungnya yang mancung, hingga tubuh tingginya yang berkulit putih menjadi nilai tambah yang membuat orang agak sulit untuk tidak menoleh ke arahnya.
"Tyo masih belum mapan Tante, jadi untuk sementara Tyo tidak ingin pacaran." Jawab Tyo sejujurnya. Di depan mereka berdua, Tyo tak ingin berpura-pura ataupun berbohong.
"Ma, mungkin maksud Tyo, dia masih dalam tahap meraih apa yang dicita-citakannya, jadi ingin fokus ke sana dulu."
"Lah? Papa dulu waktu menikah dengan mama juga waktu seumuran Tyo."
Melihat istrinya yang hari ini terlihat sedikit berbeda dari biasanya, Andre langsung tahu kalau istrinya ini pasti merencanakan sesuatu.
"Uda deh Ma, Mama bilang aja terus terang, kenapa Mama tumben-tumbennya nanyain pacar Tyo segala?"
"Hehehe... Gini lo Pa, Tyo. Tadi ada teman tante yang nunjukin foto anak perempuannya. Anaknya cantik sekali, benar-benar ayu. Entah kenapa tante merasa kalau dia akan cocok sama Tyo. Memang sih anaknya baru 17 tahun, seumuran sama Maxell, tapi dia bukan tipe Maxell. Maxell itu uda pendiam, kalo sama anak ini, habis deh, jadinya gak cocok."
"Terus?"
"Yah, mama maunya Tyo kenalan sama anak teman mama, Pa, siapa tau mereka bisa cocok. Lagi pula, Cindy itu teman mama sejak SMA, jadi mama uda kenal lama, bisa jadi besan sama teman mama, kan bagus tuh Pa."
Andre menatap istrinya dalam-dalam. "Dengan kata lain, Mama mau jodohin Tyo sama anak teman Mama, gitu?"
Tante Juli menaikkan alisnya sambil tersenyum jahil.
"Tidak bisa! Seenaknya aja Mama ini. Pokoknya Tyo hanya bole menikah dengan wanita pilihan papa. Titik!"
"Papa gak bisa egois gitu donk Pa. Tyo kan berhak memilih juga!"
"Apanya yang memilih? Jelas-jelas Mama sudah memilihkan pasangan buat Tyo."
"Bukan memilihkan Pa. Mama hanya mau memperkenalkan mereka satu sama lain. Siapa tau cocok."
"Nah, itu! Sama aja kan artinya?"
"Tidak sama, Papa. Setelah berkenalan, katakanlah Tyo suka sama anak itu, tapi kan belum tentu itu anak bisa suka sama Tyo kan?"
"Terus? Buat apa Mama mau ngenalin mereka?"
"Soalnya Mama suka sekali sama anak ini. Bener-bener tipe cewek baik-baik. Jarang keluar rumah, cantik, lembut, pintar, sudah punya cita-cita yang pasti lagi."
"Udah! Kalo Mama suka sama dia, Mama saja yang kenalan sama dia. Jangan bawa-bawa Tyo. Papa tidak setuju!"
"Kenapa Papa yang tidak setuju. Tyo aja tidak mengajukan keberatan. Iya kan Ty---" Mereka berdua terlalu sibuk berdebat hingga lupa dengan keberadaan Tyo, saat menoleh, barulah mereka menyadari bahwa Tyo sudah diculik oleh Maxell yang tidak tahan mendengar orang tuanya ribut dengan hal sepele seperti ini.
"Pa, Ma. Kalian terlalu berisik. Maxell gak bisa belajar!" seru Maxell sebelum mendorong Tyo untuk masuk ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan sedikit kesal.
Dengan membawa pergi manusia yang menjadi awal mula percekcokan tak penting mereka, rumah pun kembali aman dan tenteram.
"Mama sih, Maxell marah deh."
"Papa tuh. Harusnya Papa gak usah sok-sok menentang."
"Gak bisa gitu donk, Ma."
"Ya bisa aja kan, yang penting Tyo gak keberatan."
"Pasti Tyo keberatan."
"Gak usah sok tau, Pa."
Dengan berbisik, mereka melanjutkan perdebatan sengit mereka.
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top