4
"Napa Sha? Kok lu liatin gue ampe segitunya?" Ge agak jengah juga dipandangi sekian lama oleh Marsha.
Malam ini adalah gilirannya kencan dengan Marsha. Tempat makan favorit Marsha adalah kafe-kafe yang lebih bergaya barat. Harganya, kalau Ge yang harus bayar, pasti Ge tidak akan makan selahap ini. Bayangkan saja, sepiring nasi goreng yang berjudul Indonesian Fried Rice, pakai telur mata sapi lengkap dengan sepotong paha ayam, harganya ... seratus lima puluh ribu rupiah. Teh manis dingin yang diberi judul Iced Tea with Sugar, harganya bisa buat beli gula sekilo dan teh celup sekotak, tiga puluh ribu rupiah.
Ge sempat menggeleng-gelengkan kepalanya dengan harga yang sangat tidak sesuai untuk kantongnya itu. Tapi untunglah Ge tak pernah perlu membayar tagihan makan di kafe mahal ini. ---Ge memesan makanan yang paling mahal dan minuman yang paling mahal juga pastinya.
Bisa dibilang, Ge sama sekali tak pernah mengeluarkan modal untuk kencan dengan pacar-pacarnya. Biasanya pacarnya yang menjemput Ge di tempat yang sudah dijanjikan, lalu makan di tempat mewah, terkadang di pinggir jalan, sesuai dengan situasi dan kepribadian para pacarnya.
Marsha meletakkan garpu di tangannya ke atas piring. Ge melirik steak yang baru dicolek sedikit oleh Marsha, lalu menatap Marsha dengan heran.
"Gue masih kepikiran sama sikap lu akhir-akhir ini."
"Sikap gue yang mana?" sambil bertanya, Ge tetap mengisi mulutnya dengan makanan yang walaupun harganya sangat mahal, namun porsinya sangat sedikit itu.
Marsha terdiam. Matanya menatap Ge dalam-dalam.
Marsha bukan cewek bodoh seperti pacar-pacar Ge yang lain. Di depan Marsha, Ge tak bisa menyimpan kebohongan. Ge juga selalu jujur terhadap Marsha. Marsha tahu kalau Ge juga memacari Chelsea dan tiga cewek lain yang tidak sekelas dengan mereka dan Ge sendirilah yang mengakui dengan terus terang perihal pacar-pacarnya yang lain kepada Marsha, juga mengenai alasan Ge memacari mereka.
Tentu saja Marsha merasa istimewa. Tapi yang paling penting, Marsha sangat menghargai kejujuran Ge.
"Reaksi lu tadi berlebihan."
"Reaksi yang mana?"
Sinar mata Ge menunjukkan bahwa dia benar-benar tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Marsha.
"Maxell."
Dan Marsha benar. Hanya dengan menyebutkan nama ini, Ge langsung mengerutkan alisnya dengan tidak suka. Gerakan tangannya yang dari tadi sibuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya juga ikut terhenti, tidak terlihat terlalu berselera untuk tetap makan.
"Kenapa memangnya dengan Maxell?" Ge mencoba membuat suaranya terdengar biasa saja dan kembali ke kegiatan makannya seolah nama itu sama sekali tidak mempengaruhinya. Tak urung nama yang disebutkan Marsha barusan membuat riak-riak kecil di hatinya kembali bergolak.
Tadi pagi, saat tak sengaja melihat interaksi kecil antara Pak Prasetyo dengan Maxell, entah kenapa Ge jadi uring-uringan seharian. Apalagi saat pulang sekolah, Ge dengan jelas melihat Maxell masuk ke mobil Pak Prasetyo. Dengan susah payah akhirnya dia bisa menyingkirkan bayangan tak menyenangkan itu dari otaknya, sekarang Marsha malah menyebutkan kembali nama itu.
Ge sendiri juga harus mengakui, memang sosok dan nama Maxell akhir-akhir ini cukup, sangat, mengganggunya.
"Gimana ya ... emanknya dia ada salah apa sama lu? Kok lu sinis banget sama dia?"
Ge kembali mengangkat wajahnya untuk menatap Marsha. "Sinis? Gue?"
"Iya. Lu sinis banget sama dia. Padahal lu biasanya gak mau ambil pusing sama tipe kek Maxell itu."
"Perasaan lu aja kali Sha, gue mah biasa aja."
"Tadi lu sinis banget sama jawaban dia soal alasan dia milih kelas sains. Pake ketawa mengejek segala."
"Gak ah. Gue lucu aja ama jawaban dia," elak Ge. "Steak lu kalo gak mau, buat gue aja ya?" Ge mencoba mengalihkan Marsha dari topik Maxell, tapi Marsha yang keras kepala mana mungkin bisa dialihkan dengan mudah.
"Ge, kita memang baru pacaran, tapi gue uda lama perhatiin lu. Gue tau lu gak pernah peduli dengan orang yang gak bisa lu manfaatin buat kepentingan lu. Semua temen lu juga, lu pilih mereka yang bisa mendatangkan duit buat lu, jadi kenapa sekarang lu peduli dengan Maxell?"
Seberkas sinar kemarahan melintas di mata tajam Ge. Marsha sedikit takut juga melihat wajah serius Ge.
"Kalo lu masih mau ngomongin Maxell, silakan lanjutkan sendiri. Gue pulang."
"Ge!"
"Lu kencan dengan gue, tapi mikirin cowok lain. Sebagai pacar lu, harga diri gue seperti diinjak-injak!"
"Fine! Gue gak akan ngomongin masalah itu lagi." Akhirnya daripada membuat Ge marah, Marsha memilih mengalah saja. Biar bagaimanapun, Marsha benar-benar cinta sama Ge. Walau kelakuannya banyak minusnya, tapi Ge sebenarnya orang yang baik hati. Marsha tahu benar tentang itu. Terlebih lagi, Marsha sudah naksir Ge sejak mereka masih murid baru.
Mungkin Ge sudah lupa, tapi di hari pertama masuk sekolah, Marsha hampir saja mempermalukan dirinya sendiri. Marsha hampir jatuh terjungkal karena tali sepatunya yang tidak terikat dengan rapi di upacara penerimaan murid baru. Saat itu Ge dengan sigap menangkapnya dan mengikatkan kembali tali sepatunya, sekaligus menyelamatkan Marsha dari malapetaka yang pastinya akan terus menghantui selamanya.
Sejak hari itu, Marsha selalu berusaha mencari tahu segala sesuatu tentang Ge. Ge ternyata cukup terkenal sekaligus sangat misterius. Selain sikap urakannya, hampir tidak ada yang tahu mengenai sisi lain Ge di luar sekolah.
Marsha yang berusaha menarik perhatian Ge dengan cara aktif di berbagai kegiatan sekolah hingga namanya dikenal oleh murid-murid di seluruh sekolah, tetap saja gagal mendapat perhatian Ge. Jangankan perhatian, saat Marsha dengan sengaja lewat di hadapannya, sekadar lirikan saja tak didapat Marsha, padahal teman-temannya semua sibuk menggoda Marsha, tapi Marsha seolah tak terlihat di mata Ge.
Selama dua tahun Marsha terus berusaha mendapatkan perhatian Ge, terus menerus, namun hasilnya nihil. Hingga akhirnya di tahun terakhir mereka di SMA ini, keberuntungan akhirnya berpihak padanya. Akhirnya Marsha bisa sekelas dengan Ge. Dan tanpa diduga-duga, malah Ge yang lebih dulu mendekatinya.
Diam-diam mengejar Ge selama dua tahun lebih, setelah akhirnya berhasil menjadi pacarnya, mana mungkin Marsha mau melepas Ge begitu saja. Tidak masalah walau Ge punya banyak pacar, paling tidak, dia mengakuinya dengan jantan. Tidak masalah walu Ge mata duitan dan sama sekali tidak mau keluar uang untuk kencan mereka, yang penting Ge mau menyediakan waktu untuk bersamanya meski cuma satu malam dalam seminggu. Bahkan menyembunyikan hubungan mereka dari semua orang juga bukan masalah bagi Marsha, asalkan Ge tidak meninggalkannya.
"Pesan lagi kalo masi laper Ge." Menyingkirkan masalah Maxell yang sebenarnya masih mengganggunya, Marsha tersenyum manis pada Ge. Buku menu yang ada di atas meja disodorkannya ke hadapan Ge.
"Bukan laper sih Sha, doyan aja, enak sih."
Tanpa malu-malu lagi Ge langsung melihat-lihat beberapa makanan yang memang sangat ingin dimakannya. "Beneran gak pa-pa kan?" Marsha menjawabnya dengan anggukan kepala.
Lambaian tangan Ge memanggil pelayan berpakaian rapi yang berdiri di dekat kasir. Pelayan yang memang asli orang barat itu mencatat pesanan Ge yang lumayan banyak sambil tersenyum ramah.
"Oh ya, gimana kegiatan cheerleadersnya? Uda kompak?" tiba-tiba teringat alasan Marsha tiap pagi datang lebih awal ke sekolah, Ge pun bertanya.
Sebenarnya Ge sudah tahu alasan Marsha tidak bersama Chelsea akhir-akhir ini, Marsha sudah memberitahunya sebelumnya. Ge hanya pura-pura bertanya saja pada Chelsea agar Chelsea tidak menaruh kecurigaan.
"Ya gitu deh. Kita lagi melatih gerakan baru, jadinya sedikit ribet."
"Napa gak pake yang biasa aja?"
"Gak bisa donk Ge. Kalo tiap kali tampil team kita gerakannya itu-itu aja, yah, apa kata senior yang uda tamat? Kesannya gue gak niat banget."
Ge hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
Sejujurnya, Ge pernah menonton latihan mereka. Di mata Ge, mereka hanya sekelompok cewek-cewek yang lompat-lompat dan teriak-teriak tidak jelas. Entah apa yang berbeda. Tentu saja Ge tak mungkin mengatakannya. Marsha sangat menyukai kegiatan cheerleadersnya ini, jadi sangatlah tidak bijaksana bagi Ge untuk menyinggungnya.
"Berhati-hati aja waktu latihan ya, jangan sampe cedera."
Tuh kan. Ge perhatian kan. Walaupun Ge tidak terlalu menunjukkannya, Ge sering sekali mengatakan hal-hal kecil yang membuat Marsha bahagia.
"Iyah. Gue selalu hati-hati kok," sahut Marsha dengan senyum yang sangat manis. "Oh ya, bagaimana dengan pekerjaan baru lu? Tukang kebun ya kali ini?"
"Yup. Tukang kebun, atau mungkin, hutan? Ya ampun, itu kebun, luasnya uda ngalahin kebun raya. Oke, gue berlebihan. Tapi itu kebun beneran luas banget. Mungkin butuh dua tiga bulan untuk merapikan semak belukarnya."
Marsha tertawa kecil. "Napa lu gak mau kerja di perusahaan bokap gue aja? Lu pasti langsung diterima kok. Bokap gue lebih liat kualitas dari pada ijazah."
Ge terdiam. "Sha, gue tau niat lu baik. Tapi gue uda pernah bilang, gue lebih suka nyari sampingan yang sederhana. Yang lebih bebas dan tidak diperhatikan oleh banyak orang."
"Ya ya. Gue tau. Tapi apa salahnya sih---" Marsha terdiam karena ditatap dengan tajam oleh Ge.
Ge memang sangat mata duitan. Segala cara dia tempuh untuk mendapatkan uang. Tapi Ge juga sangat takut terikat. Karena itu Ge hanya menerima tawaran pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam rentang waktu tertentu dan tidak perlu berkelanjutan.
Selama ini, pacar-pacarnya yang rata-rata memang anak konglomerat selalu berusaha mengikat Ge dengan menawarkan Ge bekerja di perusahaan orang tua mereka. Dan Ge selalu menolak mereka dengan tegas.
Ge paling benci jika harus terikat dengan mereka. Marsha juga tidak berbeda dengan mereka. Ge selalu bersikap jujur di hadapan Marsha karena Ge tahu, dengan sikapnya itu, Marsha akan lebih mudah dikontrolnya. Marsha punya sifat yang meledak-ledak seperti macan, tapi jika tahu cara menjinakkannya, maka dia akan lebih jinak dari kucing.
Di dunia ini, tidak akan ada orang yang bisa mengikat Ge. Tidak akan pernah ada!
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top