28
Di sekolah ini, perpustakaan hanya formalitas pelengkap fasilitas. Tidak keren rasanya kalau sekolah tidak memiliki perpustakaan. Jadi, walau hanya menempati area seluas dua ruang kelas yang dibobol menjadi satu ruangan, buku juga tidak terlalu banyak, yang penting ada buku-buku yang disusun dalam rak-rak panjang, sudah bisalah disebut perpustakaan.
Dulu, sewaktu masih di lantai 3, berhubung tidak ada guru yang bersedia memanjat sampai lantai 3 hanya untuk memelototi buku-buku, urusan perpustakaan pun diserahkan pada OSIS. Seperti sedang arisan, nama murid-murid dikocok, diundi, bergiliran mendapat jatah menjadi pengawas di perpustakaan. Hasilnya sudah bisa diduga, perpustakaan yang seharusnya menjadi tempat membaca dan mendapat pengetahuan baru malah menjadi sarang pelarian para mafia tukang bolos. Tidak jarang juga menjadi arena penembakan, bahkan tempat transaksi surat cinta terjadi.
Sudah menjadi rahasia umum, tidak ada yang tidak tahu, tapi tetap dibiarkan begitu saja hingga insiden kamus bunuh diri terjadi.
Sejak dipindahkan ke lantai 1, perpustakaan memang semakin sepi. Selain tidak bisa lagi digunakan untuk tempat bersembunyi dari guru, pengawas perpustakaan juga sudah berganti. Bukan murid lagi, melainkan Bu Winda, mantan guru BK yang sudah nyaris memasuki usia pensiun. Penjaga perpustakaan yang garangnya melebihi singa betina kelaparan, siap menerkam siapa saja yang berniat tidak suci, menggunakan perpustakaan sebagai tempat persembunyian.
Melihat Maxell duduk tenang di dalam perpustakaan, mau tidak mau Ge bertanya-tanya dalam hati. Dukun mana yang Maxell pakai? Apa jenis pemikat yang dia gunakan sampai-sampai Bu Winda takluk dan memberinya izin eksklusif memasuki ruang sakral yang dulunya sering disalahgunakan untuk bolos dari pelajaran membosankan.
Mengedarkan pandangan ke segala penjuru perpustakaan, masih dalam lingkup jam pelajaran, tidak mengherankan kalau perpustakaan hanya berisi Maxell seorang.
Untuk ikut masuk, maaf-maaf saja ya. Ge masih sayang nyawa. Tidak mau mengambil risiko ditelan hidup-hidup oleh Bu Winda.
Pilihan mengetuk kaca jendela memang yang terbaik.
Eh, tidak. Mengetuk jendela terlalu biasa.
Ide brilliant melintas di benak Ge. Kalau beruntung, dia akan bisa melihat ekspresi lain di wajah Maxell.
Benar saja.
Tawa Ge meledak keras saat melihat Maxell terlonjak tinggi, luar biasa terkejut sampai mata melebar, alis naik hingga ke ubun-ubun, kalau saja tangan tidak refleks menutup mulut, mungkin pekikan keras juga akan terdengar.
Bagaimana mungkin Maxell tidak terkejut.
Sedang santai membaca, tiba-tiba ada bayangan di jendela, saat dilihat, sebentuk wajah aneh mengerikan menempel di sana.
Benar. Ide brilliant Ge, tak lain dan tak bukan adalah menempelkan wajah ke jendela, menempel erat sampai bibir dan hidung berbentuk tidak karuan. Jelek minta ampun.
Ge sama sekali tidak khawatir citra dirinya rusak di mata Maxell. Toh Maxell bukan tipe yang memandang fisik seseorang. Lagi pula, kapan lagi bisa melihat wajah tanpa ekspresi itu bereaksi seekstrem ini. Harga yang sangat sesuai.
Lama sekali Ge tertawa, sampai perutnya kram akibat terlalu banyak tertawa. Tawa yang membuat Bu Winda turun dari singgasana hanya untuk mengusir Ge, jauh-jauh dari perpustakaan.
Dengan isyarat jari, Ge meminta Maxell untuk keluar, ikut dengannya ke taman belakang.
Memang sedang tidak ada kegiatan, meski sambil mendengkus kasar, Maxell menuruti keinginan Ge. Sekadar penasaran saja, setelah dari Selasa sampai Jumat menghindari Maxell seolah Maxell adalah virus mematikan, kenapa sekarang tiba-tiba bersikap sok akrab, seperti tidak pernah menghindar sama sekali.
Ge masih berusaha menahan tawa, begitu melihat kedatangan Maxell, tawanya kembali meledak. Sepertinya akan sulit berhenti untuk waktu yang lama.
Menatap Ge yang tertawa sampai memegangi perut, Maxell bisa merasakan, ini bukan tawa dibuat-buat seperti yang selama ini Ge lakukan. Tawa ini benar-benar lepas dari dalam hatinya. Kalau dia sedang ingin tertawa, biarkan saja dia tertawa sampai puas.
Bersedekap, Maxell berdiri tegak, sabar menunggu hingga Ge selesai tertawa. Tanpa dia sadari, wajah yang selama ini dingin, sedikit melembut saat melihat Ge yang bisa tertawa tanpa beban. Benar-benar tertawa.
Ge sendiri juga heran. Kenapa dia bisa tertawa seperti ini, padahal sejak setahun lalu, tawa rasanya sudah menjadi kemewahan baginya.
"Sudah selesai ketawanya?"
"Bentar lagi."
Lima belas menit mereka habiskan begitu saja. Maxell menonton Ge yang tertawa, berhenti, tertawa lagi, berhenti lagi, tertawa lagi.
Biasanya, Maxell akan merasa sangat terganggu waktu terbuang-buang dalam kesia-siaan. Tidak tahu kenapa, rasanya dia memiliki batas toleransi yang tidak biasa kalau berhadapan dengan Ge.
Mau menuruti kemauan Ge yang hanya memberi isyarat tangan saja sebenarnya sudah luar biasa. Maxell yang biasa, dibujuk sampai langit runtuh pun, kalau memang dia tidak mau, tetap tidak akan bergerak. Diam bergeming bagai patung batu.
Setelah tersedak oleh ludah sendiri, terbatuk-batuk sampai mata berair, barulah Ge berhenti tertawa.
Maxell sedang tidak membawa air, hanya bisa menepuk pelan punggung Ge yang sekarang terlihat begitu menderita, batuk berkepanjangan.
"Makanya, gak usah berlebihan kalo ketawa." Kalau sampai Ge mati tersedak gara-gara tertawa, bisa jadi Ge akan masuk buku rekor dunia sebagai manusia pertama di dunia yang tertawa sampai mati. ---Atau sebelumnya sudah pernah ada manusia yang tertawa sampai mati, hanya saja, karena terlalu memalukan untuk disebutkan, tidak pernah ada yang mengakuinya?
"Hehehe ... siapa suruh lu begitu imut saat terkejut."
Disebut imut, ujung alis Maxell seketika berkedut. Mata memicing, bersinar garang, siap membunuh Ge yang seenaknya menempelkan kata sifat menjijikkan itu padanya.
Sebenarnya Ge sangat ingin memeluk dan mencium Maxell, tapi, dilihat dari sikap tubuhnya yang bersiaga penuh, Ge ragu akan bisa menyentuh Maxell sebelum ditendang lebih dulu oleh Maxell. Akhirnya Ge memilih mengalah, mundur bersandar pada pohon.
"Bolos?"
"Gak."
"Trus?"
"Kuis."
"Ahhh ...."
Pak Prasetyo sangat suka memberi kuis dadakan, dan yang sudah selesai boleh meninggalkan kelas, bebas bergentayangan ke mana pun mereka mau.
Ge tidak terlalu heran kalau Maxell sudah menyelesaikan kuis dalam waktu singkat. Meskipun jarang mendapat nilai sempurna, Ge tahu kalau itu disengaja. Ge pernah tak sengaja mendengar pembicaraan di ruang guru, terheran-heran kenapa Maxell selalu membiarkan satu dua pertanyaan tidak terjawab, membuatnya tidak bisa mendapat nilai penuh. ---Masalahnya, yang dibiarkan tidak terjawab justru pertanyaan termudah yang bisa dijawab dengan tepat oleh semua murid.
Sudahlah. Maxell pasti punya pertimbangan sendiri kenapa tidak ingin mendapat nilai sempurna.
"Ada urusan apa manggil gue?"
Saat ini, Ge benar-benar sudah lupa alasan dia menghampiri Maxell. Pesan Pak Sanusi sudah tenggelam dan hanyut entah ke bagian mana di dalam relung ingatannya.
Ditanya ada urusan apa, jawabannya malah, "Kangen. Gak boleh?"
Mengerjap dua kali, bibir Maxell membentuk garis lurus. Tanpa banyak bicara, balik badan, bersiap pergi. Malas menanggapi manusia gak jelas.
"Gue uda putus! Semua cewek-cewek gue, uda gue putusin." Kecuali Chelsea. Ge tidak bisa mendapat waktu untuk berduaan dengan Chelsea, jadinya tidak bisa mengucap kata putus pada gadis yang belakangan terlihat sedikit lesu itu.
"Gak ada urusan sama gue!"
"Ada donk! Kan sekarang lu pacar gue."
Memijat pelipis yang tiba-tiba berdenyut, Maxell berbalik, melempar tatapan malas. "Kapan gue setuju?"
"Gak masalah nih kalo hubungan lu sama 'Michael' gue sebar?"
"Silakan!"
Ditantang balik, Ge hanya bisa tercengang. Sama sekali tidak menyangka Maxell bisa secuek itu, tidak peduli walau hubungan rahasianya dengan Pak Prasetyo tersebar.
Apa dia tidak khawatir kalau Pak Prasetyo bisa dikeluarkan dengan tidak hormat? Jangan lupa, Pak Prasetyo hanya guru pengganti sementara, belum menjadi guru resmi. Kalau mendapat catatan hitam, kelak akan sangat sulit baginya untuk diterima di sekolah mana pun.
Apa Maxell sama sekali tidak peduli?
Sedingin inikah Maxell? Bahkan terhadap pacar resminya?
Ge bisa maklum, ---sangat maklum malah, kalau Maxell bersikap dingin acuh tak acuh padanya. Sejak awal, perasaan Ge sudah bertepuk sebelah tangan. Sedikit pun Maxell tidak pernah menunjukkan ketertarikan padanya. Hanya Ge yang bersikeras mengejar perhatian Maxell.
Tapi ini Prasetyo. Michael Prasetyo.
Masa sedikit pun dia tidak peduli?
Melihat Ge berdiri terpaku dengan kening mengerut tajam, seperti sedang berpikir keras, Maxell mengembuskan napas berat.
Apa sebenarnya mau anak ini?
Apa penolakan Maxell kurang jelas?
Maxell benar-benar tidak suka dengan manusia seperti Ge ini. Berisik. Tidak jelas. Sebentar begini sebentar begitu. Paling tidak tahan lagi kalau dia sudah mulai tertawa dibuat-buat. Maxell sangat benci orang yang suka berpura-pura. Pura-pura baik. Pura-pura lucu. Pura-pura kuat. Pura-pura ceria. Maxell sangat tidak suka. Benar-benar tidak suka.
Tapi, kalau dia sudah memasang ekspresi serius begini, Maxell juga tidak bisa pergi begitu saja. Maxell tidak suka melarikan diri dari masalah. Apa pun itu, semua dihadapi langsung.
Niat untuk pergi diurungkan, Maxell melangkah mendekat. Kacamata yang memang hanya aksesoris dilepas, sepasang mata tajam langsung menatap lurus ke mata Ge. Sudah Maxell putuskan untuk memberi kesempatan terakhir buat Ge.
Kalau Ge menghindar dengan berpura-pura tertawa lagi, mulai hari ini dan seterusnya, jangan harap Maxell akan menanggapi Ge lagi.
------
Kelas IPA II masih senyap. Kuis masih berlangsung.
Soal yang diberikan Pak Prasetyo tidak banyak, hanya 5. Benar, hanya 5. Jawabannya juga bisa mencapai 5 lembar!
Soal terlihat sangat sederhana, bahkan kunci jawaban sudah diberikan, mereka tinggal mencocokkan jawaban dengan kunci.
Coba tebak!
Soal pertama, soal kedua, bisa dicocokkan dengan mudah. Soal ketiga, harus memutar kepala mengocok otak baru jawaban bisa cocok.
Soal keempat?
Jangan disebut lagi!
Berhubung ini kelas tambahan, sebagai bekal untuk menghadapi ujian akhir, Pak Prasetyo penuh sukacita mengumumkan kalau kuis kimia hari ini adalah hasil kolaborasi dengan Pak Lukman, guru fisika mereka.
Tidak perlu heran jika sampai sepuluh menit menjelang bel pergantian pelajaran berbunyi, selain Ge yang sejak awal tidak masuk kelas, juga Maxell yang sudah meninggalkan kelas hanya 20 menit sejak kuis dimulai, asap tipis tampak sudah mulai keluar dari ubun-ubun semua murid dalam kelas, masih berkutat dengan soal yang penuh jebakan.
Lima menit menjelang bel, kasak-kusuk transaksi jawaban mulai terdengar. Awalnya hanya berupa desir angin, pssh, pssh, lama-lama berubah menjadi dengung lebah. Karena dibiarkan, dengung lebah pun bertransformasi menjadi pasar ikan, tidak lagi malu-malu berteriak menanyakan rumus yang tepat untuk digunakan.
Mata Tyo terpaku pada Chelsea yang menjadi sasaran colek sana-sini, semua ingin mengintip jawaban dari murid terbaik. Selaku murid teladan, adalah wajar jika Chelsea takut ditegur guru. Bagaimanapun, memberi jawaban itu tidak dibenarkan. Sebagai pelajar, harusnya berusaha sendiri dengan belajar keras. Pastinya Chelsea melirik malu-malu pada guru yang sedang mengawasinya, membuat nyalinya ciut untuk berbagi jawaban.
"Jeff, liat tuh. Chelsea ma Pak Prasetyo, mencurigakan gak sih?"
Mimpi apa Jeffry semalam?
Yayang Marsha, yang biasanya dingin dan cuek, hari ini tiba-tiba bersedia duduk di sisinya, mengisi tempat Ge yang kosong.
Hati Jeffry sudah menjadi kebun bunga, selain dipenuhi bunga segala musim aneka warna yang sedang bermekaran, kupu-kupu juga berterbangan ke sana kemari, membuat kepala Jeffry rasanya ringan, ringan sampai dia bisa terbang hingga ke langit ketujuh.
Bagaimana tidak?
Jeffry, pujangga yang tersesat di kelas sains, sejak awal memang sudah tidak tertolong lagi. Selain mengandalkan kebaikan dan kemurahan hati teman-teman yang bersedia berbagi jawaban, Jeffry juga hanya bermodalkan keberuntungan untuk lulus. Untuk kuis seperti ini, sirkuit di otak Jeffry sudah terbakar hangus bahkan sebelum membaca soal.
Beruntung sekali, ada keajaiban di tengah malapetaka. Keajaiban bernama Yayang Marsha.
Bukan hanya duduk di sisi, sekarang Yayang Marsha mengajaknya bicara.
Andaikan malaikat maut datang menjemputnya sekarang, Jeffry akan ikut dengan sukarela.
Marsha memutar mata. Ucapannya barusan sama sekali tidak terdengar oleh Jeffry yang sedang memasuki mode bucin akut.
Apa boleh buat, Jeffry si mulut bocor ini yang paling bisa diandalkan saat ini.
Tersenyum amat manis, memasang wajah terheran-heran, Marsha menyikut lengan Jeffry, membuatnya gelagapan sesaat sebelum ikut melihat ke arah yang diisyaratkan Marsha dengan lirikan mata.
Pak Prasetyo dan Chelsea?
Radar tak kasatmata di kepala Jeffry sontak berbunyi nyaring, menangkap sinyal-sinyal cinta di udara.
Memecahkan rumus, Jeffry memang bukan ahlinya, tapi, suasana merah muda dengan hati berterbangan seperti ini, Jeffry paling tanggap.
Bertepuk tangan memuji diri sendiri dalam hati, Marsha tersenyum puas.
Tidak perlu menunggu lama, ucapan yang membuat seisi kelas hening beberapa detik sebelum bersorak riuh pun terdengar.
"Pak Prasetyo dan Chelsea, ternyata diam-diam sudah jadian!"
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top