27.

Gelegar suara penuh semangat terdengar dari gerbang hingga ke dalam sekolah. Pak Santoso, si dewa petir, kembali memperlihatkan kerongkongan level toa pada murid-murid malang yang tadi pagi datang terlambat. Harus pasrah menerima hukuman dari guru olahraga yang belakangan ini kurang kerjaan gara-gara murid kelas 3 sudah dibebaskan dari pelajaran yang tidak berhubungan dengan ujian akhir nanti.

Duduk di kursi yang seharusnya diduduki Pak Santoso, mengunyah kuaci yang dibawa Pak Santoso dari rumah, Ge ikut mengawasi murid-murid yang berlari.

"Pak, itu yang gendut gak ikut lari Pak. Tambahin hukumannya!" lapor Ge penuh semangat.

Sekian lama berusaha mengingat nama yang berakhir dengan kegagalan, akhirnya Pak Santoso asal-asalan menggunakan panggilan pada si murid gendut yang berhenti sejenak untuk menarik napas. "GELAMBIRRR! GERAKKAN KAKIMU, BUKAN LEMAKMU!"

"Psst, Pak, ati-ati, ntar dilapor ke Pak Kepsek, dikata bodiseming."

"Astaga!" Pak Santoso menutup mulut, melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada murid lain yang menyadari perbuatan tidak terpujinya. Menyerahkan sebungkus kuaci lagi pada Ge sebagai sogokan, diterima dengan senang hati, tentu saja.

Kuaci bunga matahari ini produksi rumah tangga dari istri Pak Santoso yang luar biasa rajin. Bayangkan, demi memberikan jajanan sehat pada suaminya, proses dimulai dari pemilihan bibit bunga matahari terbaik, dirawat hingga menghasilkan kuaci besar dan padat berisi, semua dia lakukan sendiri.

Bagaimana Ge bisa tahu? Ya, tentu saja Pak Santoso sendiri yang bercerita, setengah memaksa Ge untuk mencicipi kuaci kebanggaan keluarga.

"Ngomong-ngomong, Ge. Kenapa gak masuk kelas?"

"Lagi kosong."

Pak Santoso tidak tahu jadwal pelajaran selain jadwal olahraga, mana dia tahu kalau Ge berbohong.

Saat ini Ge sedang kabur dari pelajaran tambahan kimia. Malas melihat wajah Pak Prasetyo yang sebentar-sebentar melempar lirikan penuh arti pada Maxell.

Menjijikkan.

Lihat saja nanti, siapa yang akan menang.

Tengah membandingkan kualitas kuaci yang diracik oleh istri Pak Santoso dengan kualitas kuaci di pasar yang sudah pasti jauh lebih rendah, tiba-tiba tepukan ringan mendarat di pundak Ge. Mengira temannya yang datang menjemput, Ge hanya menepis tangan di pundaknya tanpa menoleh, masih belum selesai memuji kuaci nomor satu terbaik di dunia, ---terbaik karena gratis.

"Kuaci ini, kalau diekspor, pasti akan menjadi produk favorit dunia, gak ada lawannya!"

"Uhuk-uhuk-lihat-uhuk-belakang-uhuk-uhuk!"

"Pak? Kesedak? Minum dulu." Prihatin dengan Pak Santoso yang tiba-tiba batuk, Ge segera mengambilkan tempat air milik Pak Santoso, penuh perhatian disodorkan pada Pak Santoso yang tiba-tiba juga sudah seperti orang epilepsi, mata juling dan kepala dimiring-miringkan sambil terus terbatuk-batuk.

"Uhuk-uhuk-uhuk-belakang-uhuk-uhuk!"

Ge menepuk pelan punggung Pak Santoso. "Pelan-pelan minumnya, Pak. Jangan sampe kesedak lagi."

Tangan kembali menepuk ringan pundak Ge, kali ini disertai panggilan, "Ge."

Pelan-pelan memutar kepala, sontak Ge berdiri tegak saat melihat siapa pemilik tangan yang tadi ditepis Ge dengan gerakan mengusir lalat.

Pak Sanusi! Kepala Sekolah!

"Ikut bapak ke kantor."

Suara Pak Sanusi lembut dan pelan, sama sekali tidak menggelegar seperti suara Pak Santoso, akan tetapi, di telinga Ge, suara itu bahkan lebih mengejutkan dari suara bom meledak.

Mampos!

"Ba-baik, Pak."

Dasar Pak Santoso pengkhianat! Kenapa tidak bilang kalau Pak Kepsek di belakang Ge!

Melempar tatapan menuduh pada Pak Santoso, Ge hanya menerima endikan bahu. Padahal Pak Santoso sudah mencoba memberitahu Ge. Siapa suruh Ge yang tidak peka. Rasakan sendiri.

Meraih bungkusan kuaci yang ditinggalkan Ge, Pak Santoso harus kecewa mendapati bungkus kosong. Ge sempat menuang seluruh isi ke dalam saku sebelum berangkat digiring Pak Kepsek menuju ruang penghakiman.

------

"Duduk, Ge. Tidak usah malu-malu."

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Ge memasuki ruangan kepala sekolah, tapi tetap saja, ada rasa sungkan yang sangat sulit dijelaskan kalau sudah berhadapan dengan pengambil keputusan nomor satu di sekolah ini.

Ruang Pak Kepsek sudah pasti sejuk dan nyaman dengan pendingin udara yang menyala. Aroma kembang tujuh rupa memenuhi ruangan. Pertama kali masuk dulu, Ge sempat mengira Pak Kepsek melakukan ritual aneh untuk mendapat jabatan kepala sekolah. Setelah tahu kalau beliau adalah pemilik sekolah, tuduhan Ge pun dialihkan kalau ritual aneh ini dilakukan agar sekolah ini tetap menjadi sekolah favorit para orang kaya.

Ternyata salah lagi.

Walau benar sekolah diisi oleh anak-anak orang kaya tajir melintir tujuh turunan delapan tanjakan sembilan tikungan sepuluh belokan, cukup banyak juga anak-anak yang dari kalangan biasa-biasa saja, ---seperti Ge. Alasan mereka diterima juga sangat sederhana. Tidak perlu pintar dan berprestasi, cukup dengan landasan kenal, sudah bisa diterima di sekolah ini, ---termasuk Ge.

Pada akhirnya, Ge memutuskan kalau kesukaan Pak Sanusi terhadap aroma kembang tujuh rupa ini mungkin karena faktor keturunan. Siapa tahu, Pak Sanusi ini keturunan Mbak Kunti, bisa saja kan?

"Silakan diminum."

Segelas teh manis yang baru dituang dari termos masih mengepulkan asap tipis, disodorkan ke hadapan Ge. ---Bahkan teh juga beraroma melati.

"Te-terima kasih, Pak."

Pak Sanusi tersenyum bijak. Menatap Ge tanpa mengatakan apa pun. Tatapan yang memaksa Ge untuk mengangkat cangkir teh, menyesapnya sedikit, baru beliau mengangguk puas.

"Bapak langsung saja, ya. Tidak perlu basa-basi."

Punggung Ge seketika tegak sempurna. Jantung berdetak keras, menunggu apa yang akan disampaikan Pak Sanusi.

"Tidak perlu terlalu tegang. Santai saja."

Murid mana yang masih bisa bersikap santai saat tertangkap basah bolos pelajaran, duduk santai mengobrol sambil makan kuaci di gerbang sekolah? Tunjukkan orangnya pada Ge, biar Ge bisa bersujud dan memanggilnya master!

Sanusi tersenyum.

Anak ini sangat mirip dengan ayahnya. Bukan wajah. Kalau wajah, jelas anak ini jauh di atas ayahnya. Sifat mereka yang sangat mirip.

Ayahnya dulu juga sangat manis mulut, disukai dan disayangi oleh hampir semua guru. Sangat populer di kalangan murid dengan sifat periang dan selalu ramai, tapi menunjukkan rasa tanggung jawab yang luar biasa. Sangat pantas menjadi pemimpin.

"Sudah kamu pikirkan apa yang akan kamu lakukan setelah lulus?"

"Eh?" Mengira akan diberi ceramah panjang, malah ditanya tentang masa depan, jelas Ge terkejut. Mata sampai mengerjap seperti sudah salah dengar.

"Kelulusan hanya hitungan bulan. Setelah ini, kamu bukan lagi pelajar. Sudah kamu pikirkan matang-matang bagaimana setelah ini? Lanjut ke perguruan tinggi, atau mencari pekerjaan?"

Wajah Ge perlahan menggelap. Pandangan mata pun diturunkan, menatap meja kayu dengan tumpukan berkas di atasnya, sama sekali enggan menatap wajah Pak Sanusi, apalagi menjawab pertanyaan barusan.

Bagi Ge, saat di sekolah adalah saat dia ingin sedikit melepaskan beban berat, bersenang-senang seolah tidak memiliki masalah. Tidak ingin memikirkan hal-hal berat.

Keheningan mengisi ruangan, hanya ada suara detak jarum jam yang entah sudah berumur berapa tahun.

Pada akhirnya, Sanusi yang mengalah, lebih dulu memecah keheningan.

"Bukannya bapak ingin ikut campur, saran bapak, lebih baik kamu terima tawaran dari biro hukum, bersihkan nama baik ayahmu agar kalian sekeluarga juga bisa lebih ringan melangkah ke depan."

Tentu saja Pak Sanusi tahu permasalahan keluarga Ge.

Tahun lalu, pertama kali memasuki ruangan ini adalah saat Ge meminta izin untuk mengundurkan diri dari sekolah. Masalah yang menimpa keluarga, selain membuat Ge tidak masuk sekolah untuk waktu yang cukup panjang, Ge juga memikirkan bagaimana harus membayar biaya sekolah. Gary sedang bermasalah, harta keluarga sudah habis untuk membebaskan Gary, rasanya tidak baik kalau Ge masih menambah beban dengan bersekolah di tempat yang butuh biaya besar seperti ini.

Walau mendapat keringanan biaya yang tidak sedikit, tetap saja harus bayar, kan?

Hasilnya bisa ditebak. Sanusi menolak pengunduran diri Ge. Memberi Ge keleluasaan izin sampai membebaskan Ge dari segala biaya sekolah. Karena itulah, Ge selalu merasa bersalah kalau tidak masuk sekolah hanya gara-gara sakit ringan.

Masuk sekolah dan masuk kelas itu dua hal berbeda. Datang ke sekolah belum tentu Ge masuk ke kelas. Terutama kalau pelajarannya membosankan dan gurunya menyebalkan.

Tidak ingin masalah rumah dibawa ke sekolah, Ge lagi-lagi diam tanpa menjawab.

Helaan napas Sanusi terasa seperti beton berat yang ditimpakan ke kepala Ge, membuatnya sulit mengangkat kepala menatap wajah kepala sekolah yang sudah sangat membantunya.

"Gary itu dulu murid bapak, salah satu murid yang paling bapak favoritkan. Bapak tahu betul karakter anak itu, makanya, sampai kapan pun, bapak akan berada di pihak kalian. Bapak selalu percaya, Gary tidak mungkin melakukan kelalaian fatal, apalagi ini menyangkut nyawa orang lain."

Tahun lalu, di proyek yang dimandori oleh Gary, terjadi kecelakaan. Bahan berat yang sedianya diangkut ke atas, entah bagaimana, terjatuh dan menimpa banyak buruh yang sedang bekerja di bawah. Banyak yang meninggal seketika, korban yang selamat hanya bertahan beberapa hari.

Setelah diselidiki, ternyata operator yang mengoperasikan mesin pengangkut bahan berat di hari nahas itu bukan operator yang berpengalaman, melainkan kenalan manajer proyek yang baru dipekerjakan, bahkan sama sekali tidak tahu cara mengoperasikan mesin.

Anehnya, perusahaan sama sekali tidak mau mendengar alasan Gary, bersikeras kalau mandor harus bertanggung jawab penuh atas kelalaian di tempat kerja.

Lebih jauh lagi, seperti tidak puas melemparkan seluruh kesalahan ke kepala Gary, perusahaan tidak hanya menolak membayar biaya santunan untuk keluarga korban, mereka bahkan menuntut Gary untuk menanggung segala kerugian yang diderita, baik oleh perusahaan maupun para korban.

Siapa pun yang berakal sehat pasti bisa mencium aroma busuk di balik segala tuduhan.

Gary dan keluarga juga tidak tinggal diam dan pasrah menerima fitnah keji yang dituduhkan. Berusaha melawan dengan meminta bantuan pengacara dari lembaga hukum.

Tapi apa yang mereka dapat?

Sudah menjual semua harta yang ada dan mengosongkan semua tabungan, semua diserahkan pada para pengacara yang katanya bisa membantu Gary, hasilnya, nol besar. Sia-sia. Enteng sekali mereka berkata kalau mereka hanya bisa membantu memperingan hukuman.

Kebenaran pasti selalu menang? Di depan uang, kalimat itu tak lebih hanya kebohongan besar!

Kebenaran tidak mungkin menang melawan ketamakan!

Uang mengalahkan segalanya. Saksi, bukti, semua telah diatur dan diarahkan untuk memberatkan Gary. Membuat Gary terpuruk hingga memutuskan untuk mengakhiri hidup, tidak kuat melihat anak dan istri yang setiap hari masih menunggu kepulangannya.

Lalu, sekarang, tiba-tiba menawarkan untuk membersihkan nama baik Gary?

OMONG KOSONG!

Ketika Gary masih hidup, mereka tidak mau membantu.

Apa gunanya menuntut balik perusahaan yang sudah menfitnah Gary? Apa Gary bisa hidup kembali?

Jangan anggap Ge bocah yang tidak paham apa-apa.

Bukan nama baik Gary yang mereka pedulikan, melainkan hal lain. Ada kepentingan lain di belakang ini semua, dan siapa pun yang ingin memanfaatkan mereka, jangan harap bisa mendapatkan apa yang mereka mau!

Mata Ge bersinar tajam. Tersenyum penuh percaya diri.

"Kami juga selalu yakin kalau papa tidak mungkin melakukan kesalahan. Karena itu, tidak perlu membersihkan nama yang sejak awal sudah bersih."

Senyum Sanusi ikut terkembang. Mengangguk setuju. Sangat puas melihat Ge yang sudah memiliki pemikiran yang sangat dewasa meski masih berusia sangat muda.

"Bapak tahu kamu tidak suka berutang budi, tapi, jangan pernah ragu untuk minta bantuan bapak. Bapak tahu, walau terlihat selalu bermain, nilaimu tidak pernah anjlok. Rekomendasi ke perguruan tinggi bisa bapak berikan."

"Akan saya ingat. Masih ada yang lain?"

Pak Sanusi menggeleng.

"Boleh saya bertanya?"

"Ya?"

"Bagaimana Bapak bisa tahu kalau ada yang menawarkan untuk membersihkan nama baik papa?"

"Kemarin mereka datang, minta bantuan bapak untuk membujukmu. Karena bapak pikir tidak ada ruginya buatmu, maka bapak coba saja, siapa tahu kamu berubah pikiran."

"Kalau mereka datang lagi, tolong minta mereka berhenti mengganggu kami. Sampai kapan pun, kami tidak akan mau lagi berurusan dengan hal kotor seperti mereka."

"Pasti."

Ge baru mencapai pintu saat Pak Sanusi tiba-tiba memanggil lagi, "Oh, iya, Ge. Tolong panggilkan teman sekelasmu, Maxell Louis."

Mendengar nama Maxell, jantung Ge berdetak lebih kencang dibanding saat mendengar Pak Sanusi juga didatangi para pengacara sialan itu.

"Anak itu. Padahal sudah bapak wajibkan untuk mengikuti karyawisata, hanya dia saja yang masih tidak mau ikut. Guru-guru sudah menyerah membujuknya, makanya harus bapak langsung yang turun tangan."

"Wajib?"

"Kamu tidak dengar? Ah, iya. Memang belum bapak umumkan. Rencananya Senin nanti baru bapak umumkan, saat upacara. Hahahaha ...."

Benar rupanya gosip yang beredar. Pak Kepsek orang yang sangat aneh!

Tersenyum simpul, mata Ge yang sudah sangat terlatih kalau sudah berurusan dengan Maxell segera menemukan sosok yang duduk tenang di perpustakaan.

Entah buku apa yang dibaca, yang jelas, wajah tenang tanpa ekspresi berlebih itu selalu terlihat indah.

Eh?

Bukankah seharusnya ini masih pelajaran tambahan kimia?

Kenapa Maxell malah mojok di perpustakaan?

------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top