26.
Meski hanya saling bertatapan dari jarak jauh, percikan antara Tyo dan Ge sama sekali tidak bisa diabaikan. Bahkan Marsha pun bisa menyadari tatapan penuh persaingan di antara mereka.
Tidak ingin Ge bermasalah dengan guru, Marsha buru-buru menarik Ge, mengalihkan perhatiannya. "Tadi lu bilang, lu juga bakal putusin yang lain, apa ...." Apa termasuk Chelsea? Pertanyaan yang terpaksa ditelan kembali oleh Marsha. Hatinya belum siap untuk mendengar kejujuran Ge.
"Ya?"
"Apa alasan yang akan lu kasih ke mereka?"
"Apa lagi kalo bukan alasan klise, gue mau fokus belajar."
Tawa merdu Marsha mengalun. Klise memang, tapi alasan klise itu bukannya digunakan cewek yang minta putus ke cowok? Kenapa Ge menggunakan alasan seperti ini?
"Bukannya tadi lu bilang gak mau bohong lagi?"
"Yeee ... gue gak mau bohong soal perasaan gue, kalo bohong soal yang lain, ya masih tetap."
Meninju pelan bahu Ge, Marsha tersenyum, menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang semakin bergolak, menumbuhkan bibit-bibit kebencian yang memang sudah berakar.
Sama sekali tidak terpikir, Chelsea akan menjadi duri dalam daging.
Jika sebelumnya Marsha sedikit menyesal sudah menikam Chelsea dari belakang dengan diam-diam merekam pengakuan Chelsea mengenai kondisi perusahaan papanya, sekarang dia malah semakin berniat untuk membuat Chelsea hancur.
Dan tentu saja, Chelsea yang masih dibebani dengan urusan keluarga tidak tahu-menahu dengan rencana Marsha.
Namun, sebagai sahabat, sudah pasti Chelsea bisa merasakan sikap Marsha yang sedikit berubah akhir-akhir ini. Mungkin hanya perasaan Chelsea, tapi ... tatapan Marsha sepertinya sangat sengit. Setiap kali berbicara dengan Chelsea, kalau tidak berdecak tak sabar, pasti nadanya ketus.
Chelsea tidak suka berprasangka buruk pada sahabatnya. Mungkin Marsha juga sedang punya masalah, makanya senantiasa terlihat gusar alih-alih murung seperti Chelsea. Reaksi tiap orang saat berhadapan dengan masalah pasti berbeda. Kalau Chelsea tidak bisa membantu, paling tidak bisa mengurangi beban pikiran Marsha dengan tidak sering-sering mengganggunya.
Demi memberi Marsha keleluasaan menenangkan diri, Chelsea pun tahu diri untuk menjaga jarak, tidak lagi banyak bicara pada Marsha.
Sedangkan Ge, setelah absen selama seminggu, Chelsea hampir tidak memiliki kesempatan untuk berduaan dengan Ge. Tatapan tajam Marsha rasanya selalu mengikuti ke mana pun dia pergi, membuatnya tidak berani mendekati sang pacar.
Padahal Chelsea juga sangat ingin berbicara dengan Ge. Sangat ingin Ge memberinya semangat agar dia bisa kuat melewati cobaan yang saat ini sedang dihadapi. Tapi Chelsea juga tidak berani mengambil risiko. Kalau sampai ketahuan mereka berpacaran, Ge pasti akan tidak akan ragu mengucap kata putus.
Chelsea terus mengingatkan diri agar tidak terlalu serakah. Dengan melihat Ge yang bercanda dan tertawa bersama Jeffry dan yang lainnya saja sudah bisa membuatnya ikut tersenyum, memberinya banyak kekuatan.
Lagi pula, sudah ada Pak Prasetyo yang bersedia menampung segala keluh kesahnya.
Berbicara tentang Pak Prasetyo, walau seorang guru, sikap Pak Prasetyo saat mendengarkan masalahnya sama sekali tidak menggurui, membuat Chelsea merasa tenang dan nyaman. Memang lebih baik menceritakan masalah pada orang yang tidak berhubungan terlalu dekat. Bukan dengan pacar, atau sahabat.
Hati menjadi sedikit ringan, juga tidak perlu merasa bersalah. Seperti kata Pak Prasetyo, sudah menjadi tugas guru untuk mendengarkan masalah para murid.
Ketukan pelan terdengar, membuat Chelsea yang tengah melamun terlonjak kaget.
"Chelsea, boleh mama masuk?"
"Ya, Ma."
Wajah yang masih terlihat cantik walau sudah berumur nyaris 40 tahun muncul dari pintu yang terbuka. Bedak tebal tidak bisa menutupi lingkar hitam di bawah mata.
Seperti hanya mencari tempat untuk menenangkan diri, Shellia termenung lama.
Melihat sang mama hanya duduk menopang dagu di sisi tempat tidur, Chelsea merasa harus lebih dahulu memecah keheningan. "Ada apa, Ma?"
Senyum patah terlihat di wajah Shellia. "Minggu ini, luangkan waktu sebentar, ya? Kita ke rumah teman mama."
Chelsea menatap wajah mamanya, bertanya dengan suara pelan, "Ma ... apa Mama berniat ... menjodohkan Chelsea dengan anak teman Mama?"
Mata indah Shellia membulat sesaat, menggeleng pelan. "Bukan. Sama sekali bukan. Mama butuh alasan untuk berkunjung ke sana. Maaf kalau mama harus menjadikanmu alasan."
Sebenarnya Shellia juga sangat sungkan. Lama tidak bertemu dengan Juli, sekalinya bertemu, malah untuk meminta bantuan. Tapi apa boleh buat, selain Juli, tidak ada lagi yang bisa diharapkan.
Beberapa hari belakangan ini, Shellia sibuk berkeliling, menelan harga diri, menebalkan kulit, berusaha meminta bantuan teman-teman sosialitanya. Anehnya, teman yang dulu selalu bisa dihubungi kapan saja, teman yang katanya siap membantu kalau ada yang sedang kesulitan, belakangan semakin sulit dihubungi. Ada saja urusan mereka hingga tidak memiliki waktu luang untuk bertemu Shellia.
Jauh di dalam hati, Shellia juga tidak terlalu berharap pada mereka. Hanya saja, setipis apa pun harapan, tetap harus dicoba. Jelas Shellia juga tidak rela membiarkan kerja keras suaminya hancur begitu saja.
"Lagi pula, mama gak mau kamu direndahkan, dianggap cewek gak laku sampai harus dijodohkan. Waktu itu, mama hanya berbasa-basi mengatakan ingin saling mengenalkan anak, tidak disangka, sekarang bisa mama gunakan sebagai alasan berkunjung."
"Mm. Chelsea paham."
Sangat lega ternyata mama sama sekali tidak berniat mengorbankan Chelsea, senyum segera terbit di wajah yang belakangan ini sendu.
Ucapan Pak Prasetyo tadi sore kembali terngiang. Daripada berprasangka, lebih baik tanyakan langsung. Ternyata Pak Prasetyo benar. Setelah bertanya dan mendapat jawaban langsung, hati Chelsea menjadi sangat ringan.
Kalau hanya menemani, menjadi pilar tempat mama bersandar saat dibutuhkan, Chelsea masih bisa.
------
Hmm?
Apa ini hanya perasaan Maxell?
Setelah dengan tidak tahu malunya mengancam Maxell, memaksa Maxell menjadi pacarnya, ---walau hal ini belum disetujui Maxell, tidak tahu kenapa, Ge tidak pernah lagi mendekatinya. Jangankan mendekat, melirik ke arahnya pun tidak pernah lagi. Bukan hanya tidak melirik, beberapa hari belakangan ini, Ge bahkan terkesan menghindari Maxell.
Dulu selalu muncul di tempat Maxell berada, sekarang langsung angkat kaki begitu melihat bayangan Maxell. Selain di dalam kelas, jangan harap bisa bertemu kebetulan di tempat sepi di sekolah seperti dulu lagi.
Bukannya Maxell sangat ingin didekati. Hanya saja, bukankah ini sangat bertolak belakang dengan pernyataannya waktu itu?
Benar-benar tidak habis pikir. Apa maunya anak itu sebenarnya?
Eh. Tunggu sebentar.
Bukankah situasi ideal seperti ini yang sudah lama diharapkan Maxell? Seharusnya kedamaian kembali ke kehidupan sekolah Maxell, seperti dulu lagi, tidak ada yang mengganggunya dengan lirikan-lirikan dan tatapan-tatapan menyebalkan.
Lalu, kenapa dia malah terganggu saat tidak ada yang mengganggunya?
Kepala berdenyut sakit, dipenuhi pemikiran tak penting, wajah Maxell tetap dingin tanpa ekspresi berlebih. Hanya mata yang sangat sulit dialihkan dari sosok yang sedang saling melempar bola-bola kertas, bermain bulu tangkis dengan kertas dan buku dalam kelas. Heboh sekali.
Tyo sangat suka ikut campur dalam urusan orang lain, bagaimana mungkin tidak menyadari fenomena seaneh ini. ---Sepertinya Tyo tidak perlu bersusah-susah menjauhkan Ge dari Maxell, dia sudah tahu diri, menjauh sendiri.
Tidak.
Jangan lupa siapa Ge.
Playboy cap telur yang bisa membohongi lima cewek sekaligus.
Tidak mungkin dia melepaskan incarannya begitu saja.
Apa ini yang namanya taktik menjauh untuk membuat mangsa mendekat?
Tepat sekali!
Secara naluri, Ge tahu kalau Maxell tidak seperti para cewek yang bisa dengan mudah dijerat dengan kata-kata manis. Tidak juga dengan perhatian berlebih.
Untuk mendapatkan perhatian Maxell, cara yang tidak lazim harus digunakan, meski harus menyiksa dirinya sendiri. ---Setiap kali mata tanpa sadar melirik ke arah Maxell, Ge harus menampar diri, mengingatkan diri sendiri kalau dia harus bisa menahan diri.
"Ge, lu ada salah apa sama si Maxell?"
"Hah? Maksud lu?" pura-pura tidak mengerti, Ge bertanya balik.
Ekor mata Jeffry melirik Maxell. Benar saja. Tatapan dingin membeku terarah pada sobatnya, Ge, seolah siap mencincang Ge kapan saja.
"Gue saranin, kalo bener lu ada salah sama dia, mending lu minta maaf deh. Denger-denger, anak itu sabuk hitam loh."
Gosip yang sempat beredar di saat mereka masih murid baru, memang langsung lenyap saat marathon pertama ala Pak Santoso terjadi, akan tetapi, beberapa murid yang sangat percaya dengan gosip itu masih mengingat jelas. Tentu saja Jeffry salah satunya.
Masalahnya, dengan mata kepala dan mata kaki sendiri, Jeffry melihat bagaimana refleks abnormal Maxell bekerja. Refleks yang hanya dimiliki oleh mereka yang terlatih dalam ilmu beladiri.
Di pertengahan semester awal, sekolah sudah sepi karena memang sudah melewati jam sekolah, yang tersisa hanya murid yang mengikuti ekstrakurikuler dan kegiatan klab.
Saat sedang membawa tumpukan buku ke perpustakaan yang waktu itu masih berada di lantai 3, murid-murid yang bertugas terlibat baku canda. Sudah tentu, setelah saling senggol dan saling bacok, tumpukan buku yang dipegang terlempar, melewati pembatas, terjun bebas ke bawah berkat efek gravitasi.
Sekadar informasi, tumpukan buku yang mereka bawa adalah kamus bahasa asing yang baru tiba, sangat tebal, setebal dua batu bata yang ditumpuk jadi satu, masih baru, dan masih rapi tersegel. Artinya, tidak ada tekanan udara yang terjadi akibat halaman yang terbuka lebar, tidak ada bedanya dengan batu yang terjatuh dari langit.
Siapa pun manusia sial yang tertimpa kamus tebal nan berat yang terjatuh dari lantai 3, sudah bisa disebut sangat beruntung kalau hanya menjadi pasien rumah sakit jiwa akibat letak otak yang bergeser. Kebetulan, manusia sial yang berada tepat di bawah beberapa kamus yang terjatuh itu, tak lain dan tak bukan adalah Jeffry sendiri. ---Ingatan jeffry sangat terbatas, tidak ingat kenapa dia bisa berada di sana.
Pekik ngeri segera terdengar di sana-sini. Jeritan AWAS juga terdengar dari berbagai arah.
Nah. Jeffry ini bukan jenis yang saat diberi peringatan akan langsung bergerak. Alih-alih lari menghindar, dia malah berdiri di tempat, menengadah, menatap arah yang ditunjuk oleh orang-orang yang berteriak dengan mata membelalak. Otaknya bahkan belum selesai memproses apa yang sedang terjadi, hanya melihat kelebatan benda-benda yang turun dari langit.
Beruntung kejadian itu terjadi tepat saat Maxell melintas.
Setelah ikut melihat ke atas, sedetik kemudian, pekik keras AWW dan suara gedebuk bersusulan terdengar. Dengan kecepatan yang bahkan tidak Jeffry sadari, tahu-tahu saja pantat Jeffry sudah mendarat di tempat aman, ditendang Maxell. Baru saja semua mendesah lega, sebuah buku celaka memutuskan datang menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu menyentuh halaman rumput.
Kalau saja buku itu tidak ditepis oleh Maxell, saat ini mata kaki Jeffry pasti sudah buta untuk selamanya, hancur tertimpa si buku celaka.
Sejak itu, beredar gosip kalau Maxell memiliki keahlian beladiri setara sabuk hitam. ----Jeffry tidak ingat kalau dia sendiri yang telah menyebar gosip ini.
Tentu saja, insiden itu membuat perpustakaan akhirnya pindah ke lantai 1, dan para murid yang hampir mencelakakan Jeffry itu dihukum memindahkan semua buku perpustakaan.
Selain itu, sudah pasti aksi heroik membuat popularitas Maxell melejit. Berhubung Maxell tidak suka diperhatikan, popularitas Maxell pun tidak bertahan lama. Apalagi setelah dia memakai kacamata bulat besar, bukan hanya memudar, dia bahkan semakin tenggelam, tidak lagi terlalu sering dibicarakan.
Peristiwa menghebohkan yang sempat menggemparkan itu pun terlupakan.
Yang lain boleh lupa, tapi mana mungkin Jeffry bisa lupa. Walau tidak sampai bersujud, beberapa kali Jeffry mencoba berterima kasih secara langsung, yang dibalas dengan tatapan, siapa lu? Akhirnya Jeffry juga tidak lagi mengungkit peristiwa itu.
Sebagai teman yang baik, sudah menjadi kewajiban Jeffry untuk memberi nasihat demi kebaikan bersama.
Masih berpura-pura tak acuh, Ge sekuat tenaga tidak ikut melirik. Jangan sampai usahanya selama nyaris seminggu rusak hanya gara-gara Jeffry setitik. Untuk membuktikan kalau Maxell tengah menatap ke arahnya, Jeffry saja sudah cukup.
"Abaikan aja, gue gak bermasalah ama dia. Kalo dia sewot, mungkin saja masih dendam gara-gara kejadian itu dulu."
Butuh sekitar hampir dua menit sebelum Jeffry berseru,"Oh!" Itu pun setelah Ge memberi isyarat dengan menunjuk bibirnya sendiri. Otak Jeffry memang hanya berfungsi untuk hal yang dia sukai, terutama Marsha.
"Dia serius gitu, candaan gue diseriusin, jadinya masih susah move-on."
"Hmm. Mungkin juga ya ...."
Alasan Ge sangat masuk akal, bagi Jeffry. Sekali lagi melempar tatap ke sudut kelas tempat Maxell berdiam, Jeffry mengedikkan bahu, kembali fokus mencontek, eh, mencatat ulang PR Fisika milik Ge yang harus segera dikumpul setelah jam istirahat usai.
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top