25

"Kita temenan aja ya?"

Kalau saja ini adalah adegan dalam sinetron, saat ini pasti Marsha akan mendengar suara petir menggelegar. Luar biasa terkejut mendengar pernyataan Ge.

Tiada angin tiada hujan, kenapa Ge tiba-tiba ....

"Ge? Lu ... lu gak serius kan? Lu becanda kan?"

Gelengan pelan disertai senyum manis, senyum yang biasanya mampu mencerahkan dunia Marsha, hari ini membuat jantung Marsha bagai diremas dari dalam. Napas Marsha bahkan tercekat di tenggorokan, membuatnya kesulitan berbicara untuk beberapa saat.

Setelah menarik napas dalam-dalam beberapa kali, barulah Marsha bisa kembali bersuara, "Kenapa? Apa salah gue?" Suara lirih Marsha bergetar, sarat dengan isak yang ditahan.

Lagi-lagi Ge menggeleng. "Gak. Lu gak salah. Justru karena gue tau banget kalo lu tulus ke gue, jadi ...."

Perkataan Ge membuat mata Marsha membulat terkejut.

Marsha selalu tahu, di balik sikapnya yang selalu santai dan tidak pernah terlihat serius, sesungguhnya Ge hanya tidak suka terlalu bergantung pada orang lain. Di balik semua ucapan manis penuh canda, Ge sedang membangun pembatas antara dirinya dengan orang lain. Terasa dekat, namun tidak bisa dijangkau.

Hanya pada Marsha, Ge selalu berucap apa adanya. Hanya saat bersama Marsha, Ge tidak ragu untuk menunjukkan diri yang sebenarnya.

Salahkah jika Marsha menganggap dirinya yang paling istimewa? Salahkan jika Marsha semakin memperlihatkan ketulusannya?

Perasaannya yang tulus dijadikan alasan untuk putus, Marsha tidak tahu harus menangis atau tertawa.

Meraih tangan Marsha yang berdiri terpaku, tangan kokoh Ge meremas lembut tangan berjari lentik yang terasa dingin.

"Gue udah mempertimbangkan matang-matang. Sudah waktunya gue berhenti bermain. Kelulusan sudah di depan mata, gue harus bisa lulus dengan baik, dapat kerjaan yang jauh lebih layak---"

"Gue bisa minta papa---"

"SHA!"

Bentakan Ge membuat Marsha langsung menutup mulut. Marsha lupa, Ge paling benci diikat dengan cara seperti ini.

"Sorry ...." Melihat bahu Marsha bergetar, hati Ge sedikit luluh, menarik Marsha dalam pelukan, membiarkannya menangis di dada bidangnya. Tangan mengelus rambut kepala beraroma harum sampo mahal. "Prioritas gue sekarang adalah keluarga, jadi gue gak mau lagi keluar buat main seperti selama ini. Bukan hanya lu, yang lain juga bakal gue putusin, dan hanya lu yang gue kasih tau alasan sebenarnya."

"Ge, lu masih marah?"

"Hm? Marah kenapa?"

Marah karena waktu itu Marsha mempertanyakan posisi Marsha di hati Ge. Waktu itu Ge juga berkata kalau keluarganya adalah yang terpenting.

Tangan melingkari punggung Ge, memeluk erat, Marsha memantapkan hati untuk mengangkat kepala, menatap Ge. "Gue gak masalah. Walo gak keluar kencan, walo bertemu hanya seminggu atau bahkan sebulan sekali, gue gak keberatan. Pokoknya gue gak mau putus."

Sebenarnya Ge sudah menduga kalau Marsha akan menolak.

Kalau mau jujur, Ge juga sebenarnya sedikit tidak rela melepas Marsha yang luar biasa pengertian. Meski tahu kalau Ge memiliki banyak pacar, Marsha tidak pernah memperlihatkan kecemburuan berlebihan, juga tidak pernah meminta Ge memilih siapa yang paling disukai, A atau B. Sejak awal Ge juga sangat tahu perasaan Marsha. Sorot matanya sama sekali tidak bisa berbohong.

Dulu, Ge bisa santai memanfaatkan perasaan tulus Marsha. Sudah dibutakan oleh cinta, apa pun pasti rela dia lakukan kalau Ge yang meminta. Untunglah Ge bukan cowok berengsek perusak masa depan, paling-paling yang Ge lakukan hanya mencium dan meremas, tidak lebih dari itu.

Tapi itu Ge yang dulu.

Ge yang sekarang, sudah tahu rasa sakit saat orang yang disukai sama sekali tidak menyukainya, mana bisa lagi mempermainkan perasaan orang lain. Bahkan untuk sekadar dijadikan pelarian penghibur hati pun Ge tidak tega.

"Sha ... gue ... akhirnya gue tau gimana rasanya benar-benar menyukai seseorang."

Mata indah Marsha mengerjap. Terkejut luar biasa mendengar pengakuan Ge.

Raut wajah Ge saat ini terlihat ... sendu? ---Sorot mata yang menyimpan kesedihan, menatap kejauhan, alis sedikit bertaut.

Ge sangat memahami perasaan melambung bahagia saat mendapat perhatian, sekecil apa pun, untuk kemudian terbanting hancur saat tahu kalau perhatian yang diberikan sama sekali tidak memiliki arti selain kasihan, iba.

Ini pasti pembalasan atas perbuatan Ge pada cewek-cewek. Karena itu, Ge tidak mau lagi mengulangi kesalahan yang sama. Ge sudah memutuskan, kelak, hanya akan bersama dengan orang yang benar-benar dia suka. Hanya memberi perhatian tulus, bukan pura-pura.

"Ge?"

Lesung pipi kembali dipamerkan, kecupan lembut mendarat di kening Marsha.

"Lu berhak mendapat yang lebih baik, yang terbaik."

"Tapi bagi gue lu yang terbaik."

"Gue gak mau nipu lu lagi. Gue gak mau pura-pura lagi."

"Gue rela lu tipu. Gue gak keberatan."

Terdiam beberapa saat, Ge mengangguk maklum. "Itu hak lu. Gue gak bisa larang. Sebagai teman, gue hanya bisa ingetin lu buat lupain orang yang gak sungguh-sungguh sama lu."

Sebagai teman ....

Ge sudah memberi pernyataan final. Status mereka sekarang hanya teman.

Menghapus air mata, pandangan Marsha memutari ruang kelas kosong yang menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Tempat yang biasanya terlihat indah, hari ini terasa luar biasa luas dan senyap, muram.

Ge tidak langsung pergi, menunggu hingga Marsha selesai menangis, sampai Marsha benar-benar tenang. Bagaimanapun, sangat tidak baik meninggalkan cewek yang sedang menangis sendirian.

Tidak ada yang berbicara, hanya suara isak tertahan yang sesekali terdengar.

Saat Ge bersiap pergi, tangannya tiba-tiba ditahan. "Oh, iya. Gue uda daftarin nama lu buat karyawisata terakhir kita."

Sekalipun Ge sudah memutuskan hubungan mereka, Marsha masih tidak rela. Tadinya ingin menggunakan hal ini untuk meminta maaf sudah membuat Ge marah malam itu, sekarang malah digunakan untuk menahan Ge.

Alis Ge sontak menaut, menatap Marsha dengan ekor mata. "Kapan gue bilang mau ikut?"

"Kalo lu gak mau, ya gak usah. Ketimbang gak terdaftar, terus lu tiba-tiba berubah pikiran, malah jadi gak bisa ikut kan?"

" ... "

"Daripada nyesal kan? Ini karyawisata terakhir kita sebagai murid SMA. Bukannya tahun lalu lu juga gak ikutan?"

Berbicara tentang karyawisata sekolah, untuk sekolah mereka yang memang terhitung sekolah elite, tujuan paling dekat biasanya Eropa. Tahun lalu Perancis, tidak tahu tahun ini ke mana. Mana Ge punya uang dan waktu untuk dibuang dengan bermain ke luar negeri di saat keluarganya lebih butuh kehadirannya.

Walau setiap kencan selalu dibayar oleh pacar-pacarnya, Ge tidak suka menerima hal yang terlalu berlebihan, dan Marsha sangat paham dengan tabiat Ge. "Minggu lalu lu gak masuk, jadi lu gak tahu kalo tahun ini karyawisata kita hanya camping di sekolah. Kita hanya bayar biaya konsumsi harian, gak mahal-mahal amat."

Sadar kalau sikapnya sedikit ketus, Ge segera memperhalus nada suara, "Gue gak yakin bakal bisa ikut, tapi ... gue pikir-pikir dulu deh. Makasih udah daftarin gue."

Ada sedikit kelegaan dalam hati Marsha melihat sikap Ge yang sama sekali tidak berubah meski sudah menyatakan hubungan mereka berakhir.

Sambil mencari tahu siapa cewek kurang ajar yang sudah berani merebut hati Ge darinya, tidak ada salahnya berdiri di sisi Ge, meski hanya sebagai teman. Sudah menyukai Ge sejak lama, mana bisa Marsha melepas Ge begitu saja. Meski saat ini status mereka hanya teman, Marsha yakin, suatu saat dia akan bisa kembali meraih hati Ge.

Tidak ingin pembicaraan terhenti begitu saja, sambil melangkah keluar dari kelas kosong, mencoba terlihat biasa saja, Marsha kembali bertanya, "Oh, iya. Seminggu terakhir, lu ke mana aja?"

Mengangkat bahu tak acuh, Ge malas-malasan menjawab, "Gak ke mana-mana, di rumah doank. Istirahat. Napa?"

"Gak napa-napa. Heran aja. Lu jarang banget gak masuk sekolah kalo bukan urusan yang benar-benar penting."

"Hmm?"

"Ahem, karena gue paham banget sama tabiat lu."

Menatap Marsha sekian lama, tatapan curiga lama-lama berganti menjadi tatapan bersalah.

Sebenarnya Marsha benar-benar cewek ideal. Cantik, kaya, berprestasi, sangat pengertian dan tidak cemburuan. Di mana lagi bisa mendapat pacar sempurna seperti Marsha? Sayang sekali, Ge tidak bisa tulus menyukai Marsha.

Haruskah Ge lebih serius memikirkan Marsha?

Untuk saat ini, akan sedikit sulit, tapi, siapa tahu, di masa yang akan datang, Ge bisa benar-benar jatuh hati pada Marsha?

Baru berpikir ingin lebih serius pada Marsha, ekor mata langsung menangkap sosok yang berjalan tenang di kejauhan.

Mata sialan!

Kenapa selalu saja langsung terkunci pada sosok itu?

Mengikuti arah pandang Ge, alis Marsha seketika mengerut. Menatap tak suka sosok yang baru saja berjalan keluar dari ruang guru.

"Akhir-akhir ini, dia sering banget ke ruang guru. Entah apa hubungannya dengan Pak Prasetyo."

"Eh?" Mengira tertangkap basah tengah menatap Maxell, jantung Ge sontak berdetak tiga kali lebih kencang dari kecepatan biasa.

"Chelsea."

"Hah? Chelsea?" Teliti melihat, baru Ge sadari, dari arah yang dituju Maxell, Chelsea dan Tyo melangkah keluar dari ruang guru. Di matanya hanya ada Maxell sampai-sampai Chelsea pun tidak terlihat lagi.

Tertawa miris, Ge tidak sadar kalau suara tawa terlepas dari bibirnya, membuat Marsha menatap heran.

"Napa tertawa?"

Gelengan kepala diiringi senyum samar, juga tatapan yang begitu lembut, terpaku ke satu sosok di kejauhan ....

Jantung Marsha seketika berdetak tak nyaman.

------

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak."

"Yakin gak apa-apa? Apa perlu bapak---" Tatapan tajam menusuk dari sepasang mata menghentikan Tyo yang berniat mengantar Chelsea pulang.

"Terima kasih Bapak sudah mau mendengarkan masalah saya."

"Mm. Hati-hati di jalan."

Sedikit tak rela melihat Chelsea yang berjalan dengan bahu terkulai, apa daya, Tyo tidak bisa leluasa menunjukkan perhatian berlebih pada seorang murid, apalagi ini masih di lingkungan sekolah. Ditambah lagi, Maxell sudah melipat tangan di depan dada, menghakimi lewat tatapan. Lebih baik Tyo berhati-hati kalau tidak mau mendengar omelan panjang Maxell.

"Sudah ke berapa kali?"

"Maksud lu?"

"Sudah berapa kali lu make alasan nilai drop buat manggil dia ke ruang guru?"

"Eh? Bukankah ini wajar?"

"Iya. Wajar. Wajar banget, kalo lu wali kelas. Lu cuman guru sementara. Sadar diri. Lu kira guru lain buta sampe gak bisa liat gelagat aneh guru muda yang terlalu perhatian ama siswi!"

Mata Tyo memicing, berpikir sekeras apa pun, sama sekali tidak menemukan kata yang tepat untuk membantah ucapan Mxell.

"Murid lain juga uda mulai bisik-bisik. Jaga kelakuan lu!"

"Iya. Sorry."

Tahu kalau Tyo tidak benar-benar merasa bersalah, Maxell hanya menggelengkan kepala sambil memutar mata. Melangkah elegan, lebih dulu berjalan ke parkiran, diikuti Tyo yang buru-buru menyusul.

"Eh, Max, masalah keluarga Chelsea---"

"Gak usah ikut campur urusan orang lain. Memangnya lu bisa apa?"

"Denger dulu napa? Gue juga bukan mau ikut campur."

"Trus?"

"Tadi, kata Chelsea, mamanya punya solusi, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Chelsea curiga, mamanya berniat menjodohkan Chelsea dengan anak temannya."

Langkah cepat Max seketika terhenti, berbalik menatap Tyo dengan tatapan setengah tak percaya.

Memangnya di zaman modern begini, masih ada yang menjodohkan anak dengan harapan mendapat bantuan keuangan? Keluarga bodoh mana yang setuju dengan cara seperti ini? Apa anak laki-laki di keluarga kaya itu cacat sampai harus mencarikan pasangan dengan transaksi uang?

"Gue tau apa yang lu pikirin. Jujur, gue juga gak percaya. Tapi, Chelsea bukan tipe cewek yang berbohong demi mendapat simpati orang lain. Gue rasa dia jujur. Orang tuanya pasti udah putus asa banget sampe terpaksa ambil jalan pintas gini."

"Katakanlah benar dia dijodohkan dengan anak orang kaya, trus lu mau apa?"

Tertegun sesaat, Tyo pun menggeleng.

"Gak tau. Kalo misalnya Chelsea ada perasaan ke gue, sebagai cewek ke cowok, mungkin gue bakal berjuang."

"Syukur lu masih ingat kalo dia dah punya pacar."

"Cih! Hanya cowok labil berengsek. Bagusan gue ke mana-mana."

Maxell memutar mata. Sebal mendengar Tyo mendadak narsis. "Terserah lu mikir apa, pokoknya yang disukai Chelsea bukan lu. Titik!"

Meski sudah sangat terbiasa mendengar ucapan tajam pedas dari mulut Maxell, untuk kali ini, Tyo sedikit ingin meninju wajah Maxell. Sadar diri kalau kalah kuat, Tyo hanya berani meninju wajah tampan Maxell dalam kepalanya.

Sekadar ingin mengalihkan pandangan dari punggung tegap Maxell, Tyo yang asal-asalan melempar tatapan, tak sengaja malah bertemu pandang dengan Ge yang menatap tajam dari kejauhan. Dari depan kelas kosong di lantai 3. Di sisinya ada Marsha.

"Hm? Baru dibicarakan, ternyata lagi asik sama Marsha. Apa dia tidak tau kalo Chelsea lagi ada masalah? Dasar bocah!"

"Hmm?"

"Tuh." Dengan gerakan dagu, Tyo menunjuk ke arah Ge dan Marsha yang berdiri saling bersisian, sangat dekat.

Melihat Maxell menoleh, ikut menatap ke arahnya, sudah pasti Ge segera tersenyum manis.

Kening Maxell mengerut sesaat. Merasa aneh melihat Ge yang sudah memiliki begitu banyak pacar, masih saja melempar ancaman demi memaksa Maxell menjadi pacarnya.

Benar-benar orang aneh.

Mengibaskan tangan, Maxell kembali melanjutkan langkah yang tertunda. "Dia asik sama siapa, sama sekali bukan urusan kita!"

Seandainya saja Ge bukan pacar Chelsea, mungkin Tyo juga bisa bersikap tak acuh seperti Maxell.

Gadis sebaik Chelsea, kenapa memilih Ge yang tidak punya kelebihan apa pun selain modal tampang?

Api kemarahan memercik dalam dada, lupa kalau dia seharusnya bersikap netral terhadap murid, Tyo malah diam-diam bertekat ingin mempersulit Ge lewat statusnya sebagai guru.

Tunggu saja!

------ 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top