22
Jalanan kota ramai oleh suara deru mesin mobil dan motor, sama sekali tak mengusik Ge yang sedang duduk di halte bus. Matanya menatap kosong ke jalanan sementara pikirannya mengembara hingga jauh.
Kejadian pulang sekolah tadi sudah merusak suasana hati Ge. Setelah ibunya dan adiknya berangkat ke rumah Bu Ratna, Ge memutuskan untuk berjalan-jalan di pusat kota. Menghibur diri dengan suara berisik untuk menghilangkan suara-suara yang terus terngiang di kepalanya.
Suara tangisan ibu dan adik, suara memohon sang ayah, suara bentakan bernada sinis, suara cacian bernada menghina---semua suara itu silih-berganti bergema di otaknya, membuat Ge hampir gila rasanya. Mendengarkan suara berisik mesin kendaraan dan klakson dari pengemudi marah yang tidak sabaran malah lebih bisa membuatnya tenang.
Ge memejamkan mata, menarik napas panjang, mengusir segala rasa sumpek di dadanya. Aroma pekat asap kendaraan khas perkotaan mengisi indera penciuman. Entah sudah berapa banyak bus yang berhenti di hadapannya. Penumpang bus yang naik turun pun tak ada yang mempedulikan Ge. Semua manusia sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Angin malam membawa aroma lembap, mengelus lembut wajah Ge, menyadarkannya dari lamunan panjang. Jam digital di dekat perempatan jalan sudah menunjukkan pukul delapan malam, tanpa disadarinya, dia sudah duduk di tempat itu selama dua jam lebih.
---Ge tadi keluar rumah sekitar jam lima lewat, jarak dari halte bus ini ke rumahnya hampir setengah jam perjalanan, ditambah dengan keadaan kakinya yang masih sedikit sakit dan belum bisa dipaksa untuk berjalan seperti biasa, waktu yang dibutuhkan akan lebih lama dari biasa.
Meski sangat enggan, Ge yang ingin sudah di rumah sebelum ibunya dan adiknya pulang akhirnya memaksakan diri beranjak dari tempatnya duduk.
Baru saja berdiri dan menepuk-nepuk pantat yang sedikit kebas karena duduk terlalu lama, mata tak sengaja menangkap sosok yang sepertinya sangat dikenal. Ditajamkannya penglihatan untuk meyakinkan kalau dia tidak salah lihat.
Di depan sana, di bangunan mewah tiga tingkat yang bagian atasnya dijadikan toko buku sedangkan bagian bawahnya dijadikan kafe nyaman yang bernuansa klasik, di bangku yang terletak persis di samping jendela kaca yang bisa terlihat jelas dari tempat Ge berdiri sekarang, sesosok pemuda bertubuh tinggi, berkulit putih bersih dibalut kaus lengan panjang sederhana berwarna hitam yang melekat sempurna di tubuhnya, dengan rambut bagian depan dan samping diikat ke belakang memperlihatkan dengan jelas wajahnya yang luar biasa indah.
Tidak salah lagi. Itu Maxell.
Lihat saja tatapan penasaran dari orang-orang di sekitarnya yang berkali-kali menoleh ke arahnya dan dia masih bisa duduk santai seolah hanya ada dia seorang di tempat itu.
Senyum di wajah Ge terkembang lebar. Semua kejadian buruk yang sejak siang tadi mengikutinya seperti terbang terbawa angin begitu melihat Maxell berada di seberang sana, hanya berjarak beberapa meter darinya.
Bus sialan!
Rutuk Ge dalam hati saat pandangan matanya terhalangi oleh bus yang berhenti tepat di saat dia hendak menyeberangi jalan, lupa dengan bahaya menyeberang jalan di tempat yang tak ada rambunya ini. Tapi untunglah bus tadi berhenti sebelum Ge nekat menyeberang padahal tempat penyeberangan jalan hanya berjarak beberapa meter. Ge yang bagaikan terhipnotis begitu melihat Maxell tak sabar ingin segera menemuinya. Ge bahkan lupa dengan keadaan kakinya yang masih dalam tahap penyembuhan.
Penuh bersemangat, Ge berjalan sedikit tertatih di atas zebracross yang akan menghubungkannya dengan Maxell. Makian dari beberapa pengendara yang terkejut karena Ge menyeberang tiba-tiba juga tidak dihiraukan oleh Ge, matanya hanya menatap lurus ke arah punggung Maxell yang duduk sendirian di kafe itu.
Hanya beberapa meter lagi ....
Tiba-tiba Ge berdiri terpaku di tempat. Senyum di wajah juga sirna tanpa bekas, berganti kerutan tajam di antara alis.
Eh? Kenapa si sialan itu ada di sana juga? Kenapa tadi Ge tidak melihatnya?
Menatap penuh amarah ke arah Tyo yang tersenyum sambil menyerahkan bungkusan pada Maxell. Dari tempatnya berdiri sekarang, Ge tak bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi wajah Maxell, tapi Ge bisa melihat dengan jelas wajah Tyo yang menurutnya adalah wajah paling memuakkan di dunia. Wajah yang ingin ditinjunya hingga tak berbentuk.
Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya di mana ada Maxell, di situ ada Tyo. Bukan hanya beberapa kali, tapi sering sekali Ge melihat mereka bersama. Dulu hal itu tidak terlalu mengganggunya, tapi sekarang, Ge benar-benar tidak suka melihat Maxell bersama orang lain.
Michael Prasetyo. Kalau benar dia adalah Michael yang dimaksud oleh Maxell, sepertinya Ge harus bekerja ekstra keras untuk merebut Maxell darinya.
Niat bertemu Maxell yang tadinya menggebu-gebu padam seketika. Sekali lagi menatap punggung Maxell, Ge berbalik dan kembali menyeberangi jalan dengan langkah terpincang.
------
"Kenapa?" Tyo ikut-ikutan melihat dengan penasaran saat tiba-tiba Maxell berbalik dan menoleh belakang melalui bahunya seperti mencari-cari sesuatu di luar jendela sana.
"Gak," mulutnya menjawab pertanyaan Tyo, tapi matanya terus menatap ke luar, ke arah sosok yang berjalan dengan langkah ringan tapi tetap terlihat tertatih. Sosok yang kemudian menghilang setelah berbelok ke arah lain.
Wajah Maxell seperti berpikir keras.
"Ada apa?" Tentu saja Tyo penasaran. Tidak biasanya Maxell tertarik melihat sesuatu untuk waktu yang lama.
"Tadi seperti ada Ge."
"Ge?"
Maxell mengangguk.
"Mana?" Tyo memanjangkan leher, menatap ke arah yang tadi dilihat oleh Maxell.
"Mungkin salah lihat."
"Bisa jadi. Kan gak segampang itu ketemu sama orang yang kita kenal di kota yang luas gini."
Maxell tak menanggapi Tyo, hanya sesekali berpaling ke arah luar untuk memastikan. Suara kecil di sudut hatinya yakin kalau yang tadi dilihatnya memang Ge.
Saat sedang duduk menunggu Tyo yang sedang antre di kasir, Maxell sudah merasa ada yang menatapnya dengan tajam tapi Maxell tak mempedulikannya. Di luar sekolah, Maxell sudah terbiasa ditatap sedemikian rupa oleh orang-orang. Lama-kelamaan, Maxell makin merasa kalau tatapan tajam ini tidak asing baginya, ---rasanya seperti saat ditatap oleh Ge. Didorong rasa penasarannya, Maxell menoleh, tapi hanya bayangan itu yang terlihat oleh Maxell.
"Ngomong-ngomong soal Ge, tadi siang dia dimasukkan ke DPO sama Bu Aura. Katanya kabur dari UKS padahal masih cedera gara-gara marathon?"
"Bukan. Cederanya udah ada sebelumnya, dianya aja yang sok kuat, memaksakan diri, jadinya cederanya jadi makin parah."
Sebenarnya Tyo sudah mendengar tentang kondisi Ge dari Bu Aura. Bukan hanya Tyo, tapi seisi kantor guru juga mendengarnya. Bu Aura mengaum dengan suara keras di jam istirahat saat menyadari Ge hilang dari UKS.
---Itu pun tahunya dari teman-teman sekelas yang datang menjenguk tapi tidak menemukan Ge. Bu Aura meminta guru-guru ikut mencari Ge, tapi semua guru hanya tertawa. Menolak dengan halus permintaan Bu Aura. Konyol rasanya membuang waktu istirahat mereka yang berharga untuk mencari seorang murid SMA yang melarikan diri dari UKS.
Tyo bertanya hanya sekadar ingin tahu reaksi Maxell. Bukankah Maxell mendeklarasikan diri sebagai yang paling tidak suka kepada Ge.
"Kok lu tau?" pancing Tyo.
"Ya tau la. Kan dia cerita." Maxell memutar bola matanya. Memangnya Maxell bisa baca pikiran orang, bisa tahu kalau tidak dikasih tahu?
"Maksud gue, sejak kapan kalian akrab? Kan lu gak suka sama dia."
Akrab? Siapa yang akrab dengan siapa?
Raut wajah Maxell yang mengeruh menandakan pancingan Tyo kena sasaran. Dengan sabar Tyo menunggu Maxell yang berkutat dengan pikirannya sendiri.
Maxell menolong Ge bukan karena mereka akrab. Maxell hanya tidak tega membiarkan Ge yang meringis kesakitan sendirian di sana. Lagi pula, secara tak langsung, menolong Ge juga menguntungkan baginya. Maxell tak lagi menjadi juru kunci dan bebas dari hukuman Pak Santoso.
Kejadian di taman belakang itu juga bukan disengaja. Maxell memang sudah berencana hendak ke tempat itu dan kebetulan saja Ge sudah ada di sana duluan. Meski cukup kesal dengan Ge yang menciumnya di saat dia tertidur, tapi mengingat Ge sedang terluka, dan menganggapnya seperti Michael, Maxell juga tak bisa terlalu marah padanya.
Yang paling membuat Maxell terganggu justru dirinya sendiri. Kenapa waktu itu dia tersinggung dengan ucapan Ge? Tindakannya yang menuruti emosi sesaat dan mencium Ge hanya gara-gara merasa tertantang oleh kalimat Ge.
"Apa ciuman beberapa kali itu sudah bisa dibilang akrab?"
Pertanyaan yang tak diduga dari Maxell ini membuat Tyo hampir menyemburkan minuman yang sedang diminum. "Ci-ciuman?"
Maxell menaikkan sebelah alisnya. Heran dengan reaksi Tyo yang dianggapnya berlebihan. "Apa anehnya sih?"
Sebenarnya Tyo tidak terlalu terkejut lagi dengan pola pikir Maxell yang kadang-kadang tak lazim. Maxell memang tidak seperti anak-anak normal lain yang suka bergaul dan kelihatan gaul. Maxell tidak peduli dengan orang lain, tidak mau tahu mengenai trend masa kini, bahkan, menonton saja, kalau tidak dipaksa oleh Tyo, Maxell tidak akan mau.
Satu-satunya makhluk yang dianggap teman oleh Maxell hanya Michael. Hari-hari Maxell lebih banyak ditemani oleh buku yang isinya kadang sulit dipahami oleh Tyo.
Eh, tunggu dulu. Sepertinya Tyo pernah melihat buku-buku yang kontroversial di antara buku-buku Maxell.
Mungkin Maxell perlu diberitahu kalau berciuman antar lelaki itu hal yang aneh di masyarakat mereka.
"Ehem, gak aneh sih, kalau ciuman sama lawan jenis."
"Gue gak nyangka, ternyata lu masih berpandangan sempit, padahal lu guru."
"Eh? Memangnya lu gak merasa risi ciuman sama sesama cowok?"
Iya kah? Haruskah Maxell merasa risi? Ciuman itu bukannya hanya sekedar menempelkan bibir pada bagian tubuh tertentu sebagai ungkapan rasa sayang dan suka dalam bentuk reaksi fisik. Di luar negri, ciuman bahkan hanya dianggap sebagai salam. Lagi pula, ciuman Ge sama sekali tidak membuat Maxell merasa jijik kok.
"Biasa aja." Mengangkat bahu, acuh tak acuh.
Tyo menepuk wajahnya sendiri. Benar-benar Ge ini bisa membawa pengaruh buruk buat Maxell.
"Gini aja de Max, lu jauhin si Ge."
"Kapan gue pernah bilang mau deketin dia?"
"Pokoknya jauhin aja. Gue bantu kalo perlu."
Bukannya ucapan terima kasih, yang didapat Tyo atas tawarannya malah tatapan curiga dari Maxell.
"Apa yang lu dapet dari bantu gue?"
Tyo mengangkat bahunya. "Terserah lu sih. Pokoknya kapan pun lu merasa terganggu sama dia, bilang aja ke gue." Tyo yang memang sudah berniat memisahkan mereka tak ingin memancing kecurigaan Maxell. Selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri dengan caranya sendiri, Maxell paling benci urusannya dicampuri, dan Tyo yang sangat tahu tabiatnya juga selalu berusaha tak mencampuri urusan Maxell, sebesar apa pun masalahnya. Tapi kali ini Tyo tak bisa membiarkan Ge begitu saja. Salah-salah, Maxell bisa terseret terbawa arus.
Sebut saja Tyo rasis atau apalah karena merasa Ge tak sebanding dengan Maxell. Tyo selalu merasa dengan kualifikasi seperti Maxell, seorang Ge yang urakan tidak akan pantas berdiri di samping Maxell. Harus diakui, secara fisik, ya, Ge juga termasuk jajaran cowok keren yang digilai oleh cewek-cewek, tapi tetap saja, kalah jauh jika dibandingkan dengan Maxell yang elegan.
"Tapi jangan harap gue akan bantu lu buat dapetin Chelsea."
Ternyata ini alasan Maxell curiga padanya. Untunglah Maxell tidak menyadari niat Tyo yang sebenarnya.
"Urusan Chelsea, gue akan usaha sendiri. Lagi pula sekarang bukan saat yang tepat untuk mendekatinya. Gue akan nunggu."
"Nunggu apa?"
"Nunggu sampe Chelsea tamat SMA. Kan dia masih berstatus murid gue, gak pantes aja rasanya seorang guru pacaran sama muridnya."
"Bagus lu masih punya akal sehat," sindir Maxell, mengingatkan Tyo dengan tindakannya mengantar Chelsea pulang. "Ngomong-ngomong soal guru, setelah masa kerja lu sebagai guru pengganti selesai. Gimana selanjutnya?"
"Gue udah mempertimbangkan ini cukup lama, tapi sepertinya gue akan berhenti."
Maxell tak bertanya lebih lanjut lagi. Tyo sudah dewasa, sudah sewajarnya dia memutuskan sesuatu sesuai dengan pertimbangannya sendiri. Maxell tak punya hak untuk mempertanyakannya.
Di luar sana, rintik-rintik hujan yang entah datang dari mana tiba-tiba turun ....
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top