21
Dua pengacara yang melangkah gusar meninggalkan rumah Ge diam-diam mengumpat dalam hati. Tak menyangka seorang anak muda yang terlihat masih hijau bisa mengatakan dengan kata-kata gamblang dan lugas mengenai kenyataan di dunia kerja mereka.
Ya. Apa yang dikatakan oleh Ge itu sangat benar. Dan kenyataan selalu pahit hingga sangat sulit diterima.
Benar sekali kata Ge. Tahun lalu, di kasus yang menimpa Pak Gary, walau kantor mereka sudah berjanji untuk membantu Pak Gary dan keluarganya, bahkan sudah menerima uang dari mereka, tapi rupanya bos mereka juga menerima uang dari pihak lain dalam jumlah yang jauh lebih besar, meminta mereka tak lagi mendalami kasus itu lebih jauh. Saat uang sudah berbicara, hukum pun bisa dibeli. Mau tak mau mereka harus menuruti perintah atasan mereka.
Kali ini juga tak berbeda jauh. Ada pihak yang membayar dengan jumlah yang sangat besar, meminta mereka membuka kembali kasus ini dan dengan cara apa pun harus membela Pak Gary dan menuntut perusahaan yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu.
Telepon yang berdering membuat pengacara senior menghela napas. Tak ingin membuat si penelepon menunggu lama, dijawabnya panggilan itu.
"Ya, Pak Effendy?" Matanya melirik ke arah rekannya yang juga melihat ke arahnya dengan penasaran.
"Sudah Pak, tapi mereka belum menyatakan setuju ... tentu Pak, pasti. Pasti kami akan memfollow-up mereka lagi ... akan kami usahakan, Pak ... ya, selamat siang Pak."
Ditutup dengan kata selamat siang itu, sambungan telepon pun diputuskan.
"Pak Effendy bilang apa, Pak Anwar?" pengacara yang lebih muda itu bertanya tak sabar.
Pengacara yang dipanggil Pak Anwar ini hanya mendesah. "Apa lagi? Pasti nanya soal kasus ini lah." Pak Anwar mengeluarkan kunci mobilnya dari sakunya. "Kamu yang nyetir aja ya hari ini," katanya sembari menyerahkan kunci di tangan kepada sang rekan.
"Benny. Belajarlah untuk lebih mengontrol emosimu. Tadi kamu hampir bersikap tidak profesional. Ingat, biarpun bukan mereka yang membayar, kali ini mereka adalah klien kita."
"Saya mengerti Pak Anwar, hanya saja ... Ge itu, ucapannya ...." terlalu kasar!
"Memangnya ada yang salah dari ucapannya?"
Benny terdiam. Justru karena tidak ada yang salah makanya Benny makin emosi.
"Saat menghadapi anak muda dengan emosi meledak seperti Ge, aku jadi teringat dengan aku yang dulu. Aku yang idealis dan selalu mengira bisa mengubah dunia ... naïf sekali." Suara kunci otomatis mobil yang terbuka menghentikan Anwar dari pidato singkatnya. Memutar dari arah depan mobil, Anwar pun duduk di bangku penumpang, membiarkan Benny yang mengemudikan mobilnya.
"Kamu baru jadi pengacara dua tahun ini kan? Apa alasanmu menjadi pengacara?"
Benny melirik Pak Anwar sekilas. "Mungkin sama seperti semua pengacara lainnya, ingin membela orang-orang kecil dan lemah yang tidak berdaya ...."
"Iya kan? Coba lihat kita sekarang ... membela orang-orang yang mempersalahkan karena mereka membayar lebih. Ironisnya, kita bukannya tidak tahu. Kita malah sangat sadar kalau kita tidak membela orang yang benar-benar perlu dibela." Tertawa miris, semua kata-kata tajam menusuk yang tadi diucapkan Ge kembali terngiang dalam kepala.
Diam mendengarkan isi hati Anwar, sejujurnya, Benny juga mengakui kebenaran di kata-kata Anwar. Benny baru dua tahun jadi pengacara, hampir semua kasus yang ditanganinya bersama rekan-rekannya adalah kasus pemutar-balikan fakta oleh orang-orang kaya yang membayar mereka. Nuraninya terus berteriak. Bukan menjadi pengacara seperti ini yang diinginkannya, tapi egonya tertawa. Uang dan status mengalahkan suara nuraninya.
"Kali ini, walaupun lagi-lagi atas dasar uang, tapi paling tidak kita membela orang yang berada di pihak yang benar. Pak Gary itu sama sekali tidak bersalah. Kasihan dia, menjadi kambing hitam ... maka dari itu Ben, sesebal apa pun kamu terhadap mulut lancang Ge, bersabarlah. Jadikan ini sedikit penebus untuk melegakan nurani kita."
Pak Anwar benar. Mungkin kasus kali ini adalah kesempatan mereka untuk sedikit menebus nurani mereka yang telah mereka gadaikan demi uang.
------
"Chelsea, kamu sudah siap?" Shellia mengetuk pelan pintu kamar Chelsea.
"Bentar Ma ...."
"Jangan kelamaan, gak baik bertamu terlalu malam."
Shellia memang mengajak Chelsea untuk bertamu ke rumah temannya sejak SMA. Kebetulan Chelsea tidak punya acara malam ini karena kencannya dengan Ge batal.
Mamanya sudah pernah menyinggung soal ini kemarin dulu. Soal teman SMA nya yang mungkin bisa membantu mereka keluar dari krisis ini. Demi membantu papanya, Chelsea tak akan keberatan mendukung rencana mamanya.
Krisis yang menimpa keluarga mereka ini mendekatkan Chelsea dengan mamanya, Chelsea sedikit bersyukur juga, ada hikmah di balik cobaan ini. Tapi papa ....
Saat teringat dengan papanya yang terlihat makin kurus, wajah Chelsea pun berubah sendu.
Chelsea pasti akan bantu Papa. Chelsea janji, Pa.
Shellia menatap wajah sendu Chelsea. Dia yang selalu iri dengan kedekatan antara Chelsea dan papanya tentu tahu penyebab awan mendung di wajah Chelsea. Namun Shellia memilih diam. Menepuk pelan punggung anaknya untuk memberi semangat.
"Yuk."
------
Rumah yang tidak terlalu mewah, namun entah kenapa, Chelsea malah bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari rumah itu.
"Juli itu gak suka berlebihan. Dia lebih nyaman tinggal di rumah seperti ini walaupun suaminya sanggup membelikan dia istana." Chelsea mengangguk mendengarkan penjelasan mamanya sambil mengedarkan matanya ke area sekeliling rumah.
Taman kecil di halaman rumah ditumbuhi beberapa jenis bunga yang sama sekali tidak menyolok. Hanya rumpun bunga kemuning dan rumpun bunga melati. Chelsea tersenyum melihat bunga kesukaannya itu. Sejak dulu melati yang putih bersih dan beraroma harum itu sudah menjadi favoritnya.
Shellia menekan bel rumah yang terletak di pagar. Jarak antara pagar dan pintu sama sekali tidak jauh, mungkin hanya sekitar delapan meter. Berbeda jauh dengan rumah mereka yang bahkan sampai butuh pos satpam untuk mengabarkan kedatangan tamu pada mereka.
Mereka tidak perlu menunggu lama. Tidak sampai tiga menit, pintu rumah yang sepertinya terbuat dari kayu mahal itu terbuka. Sesosok wajah cantik muncul dan langsung tersenyum saat melihat Chelsea dan mamanya.
"Cindy! kok gak ngabarin ke aku kalo kamu mau datang hari ini!" pekik sang tuan rumah tanpa menyembunyikan nada gembira. Sepertinya benar-benar terkejut dan senang dengan kedatangan mereka.
"Juli! Berapa kali aku harus bilang, aku tuh gak pernah ingkar janji. Aku kan udah janji bakal datang hari ini."
"Iyah, tapi aku kira gak jadi soalnya kamu juga bilang bakal telepon aku lagi."
"Dih, Jul, aku kan bilangnya aku telepon kalo gak jadi. Aku gak telepon artinya jadi donk!"
"Gitu ya? Sorry deh. Aku yang salah. Ayuk, masuk." Mungkin terlalu sibuk dengan mamanya, wanita cantik yang wajahnya sedikit mengingatkan Chelsea pada seseorang itu tak melihat kehadiran Chelsea, saat dia mempersilakan mereka masuk, saat itulah matanya melihat Chelsea.
"Ya ampun! Ini ya Chelsea? Aduh, cantiknya ... jauh lebih cantik dari foto yang kamu tunjukkan, tapi memang mirip kamu sih Cin." Juli cermat mengamati wajah Chelsea, tersenyum hangat.
"Makasih, Tante ...."
"Aduh! Sayang sekali! Tyo baru saja keluar. Padahal mau tante kenalin sama Tyo, lho."
Tante Juli berjalan di depan, menunjukkan jalan menuju ruang tamu. Saat berpapasan dengan asisten rumah tangga, Tante Juli berpesan padanya untuk membuat minum untuk tamu. Terlihat sekali kalau Tante Juli ini orangnya cekatan. Walaupun sambil terus berbicara dengan Chelsea, dia tetap tak lupa untuk menjamu tamu.
Di ruang tamu, seorang pria berusia sekitar 40-an sedang santai menonton televisi. Rupanya ruang tamu di rumah ini juga merangkap sebagai ruang keluarga. Saat matanya melihat istrinya membawa tamu, televisi langsung dimatikan.
"Siapa, Ma?" tanyanya dengan nada ramah.
"Ini, Pa, teman SMA mama yang mama ceritakan itu, Cindy Shellia. Dan ini Chelsea, anak perempuan tunggalnya yang usianya sebaya Max. Cindy, Chelsea, ini suamiku, Andre." Juli memperkenalkan mereka dengan wajah penuh senyum.
"Silakan duduk, anggap saja rumah sendiri." Setelah saling menganggukkan kepala sebagai tanda perkenalan, Andre mempersilakan kedua tamunya untuk duduk. Matanya mengamati Chelsea dengan cermat lalu disenggolnya lengan istrinya, berbisik, "Ini yang Mama bilang mau dikenalin ke Tyo itu, Ma? Kalo yang ini sih, papa setuju banget Ma. Pilihan Mama memang the best!"
"Siapa dulu donk, mama gitu lho!"
Chelsea dan Shellia hanya bisa saling pandang melihat mereka berbisik-bisik mesra seolah sudah lupa bahwa ada Chelsea dan Shellia di sana.
"Ehem. Tyo mana, Ma?" Menyadari pandangan Chelsea dan Shellia, Andre buru-buru berdeham untuk menghilangkan rasa canggungnya.
Juli malah menghela napas panjang. "Itu dia, Pa. Tadi mama nunggu-nunggu kepastian kedatangan Cindy, tapi rupanya mama salah mengartikan perkataan Cindy, jadi mama kira mereka tidak jadi datang. Tyo sama Max barusan keluar, kira-kira sepuluh menit sebelum mereka tiba. Sayang sekali ya..."
"Loh? Biasanya malam minggu gini mereka paling malas keluar? Tumben?"
"Max yang tiba-tiba mau ke toko buku. Ada buku penting yang harus dibeli katanya." Melihat suaminya mengangguk, Juli segera beralih ke Shellia, atau yang lebih suka dipanggilnya Cindy. "Maaf ya Cin, kalian udah jauh-jauh datang, Tyo nya malah gak ada."
Ada apa ini? Kok rasanya Chelsea seperti mau dijodohkan saja?
"Gak pa-pa, Jul. Santai aja. Kita kan bisa ngobrol-ngobrol santai sambil nostalgia masa SMA kita." Shellia pura-pura tak melihat tatapan penuh tanya Chelsea dan melanjutkan berbicara dengan Juli. "Kamu masih saja manggil aku Cindy, padahal semua orang memanggilku Shellia."
"Soalnya nama kamu mirip sama nama sahabatku, si Aulia, daripada sering tertukar, aku panggil kamu Cindy aja."
"Tapi gara-gara ini juga, aku langsung tau kamu Juli. Hanya ada beberapa orang yang manggil aku Cindy dan salah satunya kamu."
"Iya ya?"
Mereka berdua tertawa dan terus bercerita mengenang masa SMA mereka sementara Chelsea dan Andre yang tidak tahu-menahu mengenai masa lalu mereka hanya bisa diam mendengarkan, sesekali terpaksa tersenyum mengiyakan saat mereka berbalik meminta dukungan dari kalimat-kalimat saling mengejek yang mereka lontarkan. Kalimat yang sama sekali tidak didengar oleh Chelsea karena saat ini pikirannya sedang kacau.
Entah kenapa, Chelsea merasa bahwa mamanya berniat menjodohkannya dengan orang bernama Tyo ini. Sampai saat ini mamanya masih belum memberitahu secara rinci bagaimana cara mereka menolong papa. Mamanya hanya berkata kalau dia punya jalan keluar untuk mereka.
Chelsea meremas tangannya untuk menyembunyikan kegugupannya. Berharap semoga semua ini hanya prasangkanya semata.
Bayangan wajah Ge berkelebat di pikiran Chelsea. Tiba-tiba Chelsea jadi sangat ingin bertemu dengan Ge dan menumpahkan segalanya pada Ge. Seperti saat Chelsea menceritakannya pada Pak Prasetyo.
Pasti Ge bisa mengerti. Pasti!
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top