20
Langkah Ge riang walau agak terpincang, rumah sederhananya sudah di depan mata. Hari ini suasana hatinya sedang bagus karena banyaknya kejadian yang jauh melebihi harapan.
Hari Sabtu sekolah selesai satu jam lebih awal, dan Ge mendapat cuti khusus dari tempat kerjanya sampai kakinya sembuh total, jadi kemungkinan besar dia masih akan sempat bertemu ibu dan adiknya sebelum mereka pergi bekerja.
Ibu Ge berkeliling menjual gorengan, dibantu oleh adik perempuan Ge, Grace. Sepulang berjualan gorengan, mereka masih bekerja di tempat Bu Ratna tetangga mereka yang membuka usaha anyaman tikar hingga jam sembilan malam.
Setiap kali melihat wajah lelah ibunya, Ge hampir tak bisa menahan air matanya. Tangan adiknya juga kasar karena terlalu bekerja keras, padahal dia baru kelas 2 SMP. Di saat teman-temannya menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, Grace harus membantu ibunya bekerja.
Terkadang Ge merasa bersalah terhadap mereka. Di saat mereka bekerja menganyam tikar hingga tangan mereka melepuh, Ge malah sibuk pacaran. Tapi sebenarnya justru rasa sayangnya yang luar biasa terhadap keluarganya yang membuatnya tak betah melihat wajah lelah mereka, ---tak ingin mereka melihat wajah yang menatap mereka penuh kesedihan. Ibu dan adiknya juga punya harga diri yang tinggi, mereka tak suka jika ditatap dengan tatapan kasihan, walau itu Ge sekalipun.
Dulu, sebelum Ge sibuk pacaran, Ge juga bekerja sambilan di malam hari sebagai pelayan di kafe. Walau gajinya tak seberapa, namun cukuplah untuk membantu meringankan beban ibunya, dan ibunya juga tak perlu bekerja terlalu keras. Akibatnya, setiap malam jadi harus pulang hampir tengah malam.
Pulang tengah malam bukanlah masalah bagi Ge, yang menjadi masalah justru ibunya yang tak akan tidur sebelum Ge pulang. Walau sudah berkali-kali meyakinkan ibunya kalau dia akan baik-baik saja, ibunya tetap saja menunggui hingga Ge pulang. Grace yang tak tega melihat ibunya duduk termenung sendirian akhirnya juga ikut-ikutan menunggu Ge pulang.
Daripada ibu dan adiknya kurang tidur karena menungguinya, akhirnya Ge mengalah. Ge tak lagi bekerja sambilan dan lebih memilih mencari pekerjaan di siang hari sepulang sekolah. Tentu saja pilihannya ini berakibat terhadap kondisi keuangan mereka. Untung saja Bu Ratna sedang mencari pekerja tambahan, jadi, meski sangat tak rela, Ge harus menahan diri melihat ibunya dan Grace pergi menganyam tikar sesudah pulang dari menjual gorengan yang bermodal seadanya itu.
Menunggu itu ternyata memang pekerjaan yang paling sulit. Bukan hanya itu, melihat mereka pulang dengan wajah lelah ternyata jauh lebih menyakitkan bagi Ge. Akhirnya Ge memilih melarikan diri. Keluar rumah untuk sekadar menghabiskan waktu dan kembali sebelum jam 9 malam.
Dimulailah era gonta-ganti pacar sebelum akhirnya Ge memutuskan untuk memilih target yang lebih bisa memberinya keuntungan daripada yang hanya sekadar menemaninya membuang waktu. Saat ini Ge hanya punya lima pacar yang punya kewajiban membayari kencan mereka.
Tapi jangan salah, walau setuju ditraktir dalam setiap kencan, Ge selalu berhati-hati agar jangan sampai terikat pada mereka. Selalu menolak halus tawaran mereka yang ingin Ge bekerja di perusahaan orang tua mereka saat Ge meminta mereka mencarikan kenalan yang butuh pekerja harian. Juga selalu menolak tegas saat mereka ingin memberi uang dalam jumlah besar.
Ge bukan pengemis.
Memang benar Ge memanfaatkan mereka, tapi Ge sama sekali tak berniat menerima belas kasihan dari mereka. Dia lebih suka mendapatkan uang dari teman-temannya yang meminta jasa pengerjaan PR daripada menerima uang dari cewek-cewek manja yang hanya ingin mengikat Ge dengan uang mereka.
Satu-satunya barang yang diterimanya hanya ponsel pemberian Marsha yang diberikan sebagai hadiah ulang tahun, ---lengkap dengan nomor dan pulsa yang melimpah. Lagi pula, punya ponsel juga bukan hal yang buruk. Ge jadi bisa menghubungi pacar-pacarnya kalau dia sedang bosan.
Ge kembali tersenyum membayangkan wajah ibu dan adiknya. Sepertinya sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka duduk bersama dan mengobrol ringan tentang apa saja. Ge bahkan sudah tak bisa mengingat kapan terakhir kali mereka duduk bersama mengelilingi meja makan sambil melahap masakan ibunya yang menurutnya paling enak sedunia, bahkan makanan mewah di kafe-kafe juga tak seenak masakan ibunya. Mereka disibukkan oleh kebutuhan hidup hingga tak lagi punya waktu untuk sekadar tertawa bersama seperti dulu.
Langkah Ge sesaat terhenti saat matanya melihat pintu rumahnya yang terbuka lebar.
Tumben?
Tidak biasanya pintu rumahnya terbuka lebar, kecuali ada yang datang bertamu dan itu hampir tidak mungkin. Sejak kejadian tahun lalu, semua teman dan kerabat menjauhi mereka seakan mereka sekeluarga adalah kuman penyakit yang harus dihindari.
"Ge. Syukurlah kamu sudah pulang, Nak ...," suara ibu menyambutnya dari dalam rumah. Wajah memancarkan kelegaan yang membuat Ge sedikit heran. Tapi saat sudut matanya menangkap dua sosok yang juga berada di ruang yang sama, barulah Ge mengerti alasan ibunya terlihat lega.
Di ruang tamu yang sudah berubah fungsi menjadi ruang keluarga itu, dua orang pria dengan penampilan rapi lengkap dengan setelan jas langsung berdiri saat melihat Ge.
Pandangan penuh tanya Ge lemparkan ke arah ibunya.
"Mereka---"
"Selamat siang, Ge. Kami pengacara perwakilan dari yayasan sosial Law for People in Need. Kami ingin mendiskusikan beberapa hal dengan kalian sekeluarga." Belum sempat Bu Ellice menjelaskan pada Ge tentang dua orang tamunya ini, mereka sudah lebih dulu maju dan memperkenalkan diri mereka dengan menyerahkan kartu nama mereka.
Ekspresi wajah Ge yang tadinya masih penuh senyum langsung berubah dingin. Sama sekali tidak ada keramahan di mata Ge.
"Mau apa lagi kalian?" Sedikit banyak Ge sudah bisa menduga maksud kedatangan mereka, tapi menduga tanpa bukti sama saja dengan menuduh. Lebih baik mendengarkan mereka mengatakan dengan jelas maksud mereka.
"Bisa kita bicarakan sambil duduk saja, err... Dik Ge, boleh kami panggil adik?" Dinilai dari usia Ge yang masih sangat muda, memanggil Ge dengan sebutan Bapak akan sangat tidak pantas.
"Ge," tukas Ge singkat, tak suka dipanggil dengan sebutan sok akrab oleh orang yang tak dikenalnya.
"Ah, baiklah. Ge. Boleh kami duduk?" Ge tak menjawab mereka, hanya memberi isyarat dengan tangannya agar mereka duduk.
Melihat ke arah wajah cemas ibunya, Ge berjalan ke arah ibunya untuk duduk di sampingnya. Ibunya tadi sudah lebih dulu bangkit dari duduk saat melihat Ge pulang.
Setelah Ge dan ibunya duduk, dua orang yang mengaku pengacara itu saling berpandangan sebentar seolah saling menunjuk siapa yang akan mulai berbicara.
"Sekali lagi, perkenalkan, nama saya---"
"Aku tidak mau tahu siapa kalian. Langsung saja, tidak usah basa-basi!" mengibaskan tangan, Ge memotong perkenalan basa-basi mereka.
"Begini Bu Ellice, Ge. Mengenai kasus yang melibatkan Pak Gary tahun lalu ...."
Begitu nama almarhum ayah disebut, suara tarikan napas tajam terdengar. Ge bisa merasakan tubuh ibunya bergetar. Darah Ge juga bergolak, namun Ge berusaha sekuat tenaga menahan emosinya. Saat ini Ge harus menjadi kekuatan bagi ibunya, Ge tak boleh dikalahkan oleh emosinya lagi, seperti saat itu.
"Setelah mempelajari kasusnya lebih lanjut, kami mendapati bahwa Pak Gary hanyalah korban yang sengaja dipilih oleh perusahaannya sebagai kambing hitam agar perusahaan tempat Pak Gary bekerja bisa melimpahkan segala tuduhan pada Pak Gary sementara mereka sendiri bisa bebas dari tuntutan hukum." Pengacara yang tidak sempat menyebutkan namanya itu menatap wajah Ge, mempelajari segala perubahan air muka Ge untuk mengetahui reaksi Ge.
"Hmph! Butuh waktu setahun bagi kalian untuk mengetahuinya? Ck-ck-ck ... luar biasa sekali ...." Kesinisan sama sekali tidak disembunyikan Ge dalam nada suaranya. Matanya juga menunjukkan penghinaan terhadap pengacara yang barusan berbicara. Tangan Bu Ellice yang gemetaran digenggam erat oleh Ge, sangat mengerti bagaimana perasaan ibunya saat ini. Marah, sedih, kecewa, semua bercampur aduk menjadi satu.
"Hukum itu rumit. Butuh bukti dan saksi untuk menunjukkan seseorang itu bersalah atau tidak."
"Oh ya? Butuh bukti dan saksi? Bukti dan saksi yang bisa dibeli dengan uang maksudmu?"
Wajah pengacara yang tadinya tenang itu mengeruh sesaat, saling melempar lirikan dengan temannya. Mungkin karena pengalamannya dalam menghadapi berbagai jenis orang, hanya butuh waktu sedetik baginya untuk menguasai emosi, kembali berbicara dengan wajah dan suara tenang.
"Bukan begitu. Saat itu bukti-bukti memang menunjukkan bahwa Pak Garylah yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu."
"Berapa kalian dibayar?" Seringai sinis yang membuat wajah Ge terlihat sangat dingin sedikit membuat wajah kedua pengacara itu mengerut tak senang.
Seorang anak SMA terang-terangan menyerang mereka, bagaimana mungkin mereka tidak tersinggung. Tapi nyatanya mereka memang dibayar mahal, jadi mereka hanya bisa terdiam dan membalas tatapan dingin Ge dengan tatapan yang tak kalah dinginnya.
"Tahun lalu, kami sekeluarga memohon, mengiba, mengemis di kantor kalian yang katanya menyuarakan suara keadilan bagi rakyat kecil. Tapi apa yang kami dapat? Sekumpulan pengacara busuk yang hanya membela kaum kaya." Ge merasakan tangan ibunya yang kian erat menggenggam tangannya, menyalurkan kemarahan tak terucap.
"Itu---"
"Bukannya membela kami yang jelas-jelas difitnah, kalian lebih memilih diam karena sudah dibayar oleh mereka, benar kan?"
Dasar pengacara. Jelas-jelas emosi mereka hampir mencapai ubun-ubun, tapi mereka masih bisa pura-pura tersenyum damai.
"Ge sudah salah paham terhadap kami. Saat itu semua bukti benar-benar diarahkan untuk memberatkan Pak Gary. Saksi-saksi yang ada juga ditekan hingga tak berani bersuara."
"Lalu? Bukankah tugas kalian untuk membuktikan bahwa semua bukti itu palsu? Bahwa semua saksi ditekan? Tapi apa yang kalian lakukan? Tidak ada. Hanya karena kami tidak membayar sebesar orang kaya di belakang layar yang sudah membeli nurani kalian, kalian yang sudah menerima uang kami, dengan entengnya berkata hanya mampu memperingan hukuman? SAMPAH!"
Salah satu dari pengacara itu terpancing emosinya oleh umpatan kasar Ge, tapi temannya buru-buru mencegahnya dan memintanya tenang kembali.
Tapi Ge yang mendapat kesempatan langka untuk meluapkan emosi tidak mungkin berhenti hanya sampai di situ. Dengan memilih kata-kata yang diyakininya akan membuat bahkan malaikat yang paling sabar pun bisa kehilangan kesabaran, Ge melanjutkan umpatannya.
"Kalian hanya sampah-sampah berdasi. Ucapan yang keluar dari mulut kalian tak ada bedanya dengan kotoran busuk dan bau. Kebenaran di mata kalian hanyalah uang dan uang. Rakus. Tak ada bedanya dengan binatang yang berebut bangkai!"
Ge melihat dengan jelas tangan terkepal si pengacara yang sepertinya lebih muda dan lebih kurang pengalaman. Diam-diam Ge tertawa senang karena akhirnya punya kesempatan mengucapkan kata-kata yang sudah lama dipendamnya ini.
Pengacara yang lebih tua membuat suara berdeham untuk sedikit menenangkan diri sendiri. Dengan mata tajam penuh intimidasi, dia menatap lurus ke arah Ge. Pasti emosinya juga tersulut akibat ucapan Ge barusan.
"Ge. Ucapanmu barusan akan kami anggap sebagai ungkapan kemarahan seorang anak kecil. Kami tidak akan memperpanjang urusan penghinaan terhadap profesi kami ini karena kamu masih labil dan belum mengerti tentang hukum dan segala kerumitannya." Nada ancaman yang sangat jelas. Tapi Ge tak gentar sedikit pun. Matanya masih menatap mereka dengan pandangan meremehkan.
"Bu Ellice, tadi kami sudah sempat menjelaskan hal ini pada Bu Ellice, jadi kami mohon Bu Ellice bisa menjelaskan hal ini kepada anak Bu Ellice agar anak Bu Ellice tidak salah paham dengan tujuan kami kemari. Kami permisi dulu, kami akan kembali lain waktu, saat anak Ibu sudah bisa berpikir dengan kepala dingin."
Kedua pengacara itu dengan sopan pamit kepada Ge dan Bu Ellice, ---walau wajah mereka jelas-jelas menunjukkan kegusaran.
Ge masih sempat mendengar dering telepon dari pengacara itu saat mereka sudah berada di luar rumah.
"Ma, Mama gak kenapa-napa kan?" setelah mereka pergi, Ge baru sempat menanyakan keadaan ibunya.
"Mama baik-baik saja. Justru Ge. Mama paling mencemaskan Ge." Bukannya tidak beralasan, siapa lagi yang paling mengenal Ge kalau bukan ibunya sendiri. Ellice paling tahu bagaimana Ge yang tak pernah bisa menahan emosinya saat berhadapan dengan orang-orang yang dibencinya. Ellice khawatir kalau-kalau Ge membuat mereka marah hingga berakibat fatal.
"Ge baik Ma. Mama gak usah cemas." Ge memeluk tubuh kurus ibunya, setengahnya untuk menenangkan hati ibunya, setengahnya lagi untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Oh ya Ma, Grace mana?"
"Grace ada kerja kelompok hari ini. Syukurlah. Kalau dia juga ada di rumah, mama takut dia akan teringat kembali ...."
Ge mengangguk. Tersenyum menenangkan ibunya. "Grace itu kuat Ma. Anak Mama tuh kuat-kuat. Jadi Mama gak perlu mencemaskan kami. Mama harus menjaga kesehatan Mama, jangan bekerja terlalu lelah. Sebentar lagi Ge lulus, Ge akan bisa bekerja untuk Mama."
Ellice mengelus kepala Ge dengan lembut. Meskipun wajahnya menunjukkan ketenangan, tapi matanya tetap memancarkan kesedihan yang mendalam.
Kesedihan yang tak pernah memudar walau sudah setahun berlalu ....
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top