19
Mata Ge terpejam kuat hingga keningnya berkerut tajam. Tubuhnya juga sedikit mengerut, menantikan pukulan maut Maxell mendarat di wajahnya, atau mungkin perutnya. Melihat wajah marah Maxell, pasti kali ini pukulannya akan meninggalkan lebam yang cukup parah.
EEEHHH?!
I-i-i-i-ini ....
Nyaris tak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi, Ge sampai tergagap sendiri. Mata yang tadinya tertutup rapat pun terbuka lebar.
Tangan Maxell yang melayang itu bukan ditujukan untuk memukulnya, melainkan untuk menarik kerah bajunya, mendekatkan wajahnya ke wajah Maxell. Hal berikutnya yang dirasakan oleh Ge, tak lain dan tak bukan adalah bibir hangat Maxell yang menempel di bibirnya.
Kali ini Maxelllah yang mencium Ge.
Tidak tanggung-tanggung, Maxell mempraktikkan adegan ciuman panas yang pernah ditontonnya. Walau sama sekali tak berpengalaman dalam hal cium-mencium, sekadar menempelkan bibir dan menyelipkan lidah ke dalam mulut Ge bukanlah hal yang sulit bagi Maxell, apalagi Ge hanya terdiam dengan mata membulat, menatap Maxell dengan tatapan amat sangat tak percaya, mulutnya yang dibuka paksa oleh Maxell juga lupa bereaksi saking terkejutnya dengan tindakan Maxell yang sama sekali tidak terduga olehnya ini.
Sangat terlihat tidak berpengalaman, lidah lembut dan panas asal-asalan bergerak di dalam mulut Ge, sebentar menyentuh langit-langit mulut yang sensitif, sebentar mendorong lidah. Kalau saja kerah bajunya tidak ditahan oleh Maxell, mungkin saat ini Ge sudah tergeletak di atas rumput karena kakinya sudah lemas kehilangan tenaga. Siapa sangka, ciuman Maxell yang kasar dan sama sekali tidak romantis ini malah membuatnya gemetaran.
Harum nafas Maxell dan bibir lembutnya terasa begitu jelas. Kali ini bukan hanya khayalan Ge lagi. Mereka benar-benar berciuman. Lidah Maxell yang bergerak liar di dalam mulut membuat Ge gemas dan ingin menangkap lidah yang terus menyerbu setiap sudut mulutnya dengan gerakan tak beraturan itu.
Saat lidah Ge mulai bergerak untuk menangkap lidahnya, saat itulah baru Maxell tersadar dengan tindakannya. Secepat kilat, ditariknya wajah, tangan yang memegang kerah Ge juga dilepas, membuat Ge seketika itu juga jatuh terkulai karena lutut yang gemetaran tak bisa lagi menahan kaki untuk berdiri tegak.
Maxell berdiri tegak, wajah tanpa ekspresi. Sekali lagi disekanya bibir dengan punggung tangan.
"Udah kan? Jadi mulai sekarang, jangan ganggu gue lagi." Maxell menunduk dan memungut kacamatanya yang lepas dari tangan Ge saat mereka berciuman tadi.
Wajahnya yang tetap tenang membuat Ge merasa agak terganggu. Dulu Ge sempat mengira kalau Maxell itu tipe konservatif yang sangat menjunjung tinggi moral dan aturan, tapi dinilai dari ciuman Maxell barusan, sepertinya Ge harus berpikir ulang. Ge terlalu meremehkan Maxell.
Tapi Maxell juga terlalu meremehkan Ge kalau merasa dengan satu ciuman saja dia bisa membuat Ge menyerah. Butuh lebih dari itu untuk membuat Ge mundur dari pertarungan ini.
"Gak. Gue gak akan berhenti. Pokoknya gue gak akan berhenti ngejar lu sebelum gue berhasil."
Memakai kembali kacamatanya, kelebat sinar aneh yang sempat melintas di mata Maxell tidak lagi bisa tertangkap mata Ge. Maxell kembali menatap Ge seperti melihat makhluk aneh.
"Terus? Kalo udah berhasil lu mau apa?"
Mau apa? ---Tertegun, Ge bingung harus menjawab apa.
Dia sama sekali tidak memikirkannya, apa yang akan dia lakukan kalau misalnya benar dia berhasil membuat Maxell takluk?
Menjadikannya koleksi seperti pacar-pacarnya yang lain?
Dipamerkan karena berhasil membuat seorang Maxell Louis yang sangat dingin luluh?
Memanfaatkannya untuk mengusir kebosanan di hari Rabu dan Minggu yang masih kosong?
Melihat mata Ge yang tadinya bersinar penuh percaya diri mulai dihinggapi awan keraguan, seulas senyum tipis yang dinginnya mengalahkan dinginnya balok es terukir di bibir Maxell.
"Anggaplah lu sudah berhasil. Sekarang lu mau apa?" Dinginnya senyum di bibir Maxell menjalar hingga ke matanya, ---bahkan kacamatanya tak bisa menutupi sepasang mata yang seolah membeku itu. Ge sedikit bergidik ngeri melihat dinginnya sinar mata Maxell yang seperti bisa membekukan jantung.
Maxell yakin, dengan kepribadian Ge yang suka bermain dan melakukan banyak hal konyol untuk menarik perhatian orang-orang, mengejar Maxell hanyalah satu dari sekian hal konyol yang ada di daftar panjangnya. Nantinya dia akan tertawa bersama temannya sambil bersaing siapa yang pernah berbuat hal paling konyol. Dan Ge pasti akan menang dengan kekonyolannya mengejar-ngejar seorang pria. Mengejar-ngejar seorang pria hanya untuk mencampakkannya begitu dia berhasil.
Tanpa berkata-kata pun Ge bisa memahami arti tatapan dingin dan senyum sinis Maxell. Maxell menganggap Ge hanya bermain-main dengannya karena dorongan sesaat. Sebagai buktinya, Ge tak sanggup menjawab pertanyaan Maxell.
Seorang Ge yang selalu bisa menemukan sejuta alasan dalam hitungan detik kali ini diam membisu, Ge yang selalu tahu cara berkata manis untuk meluluhkan hati orang-orang kehilangan kemampuannya di depan seorang Maxell.
Mungkin Maxell benar. Mungkin Ge hanya mengejar-ngejar Maxell karena didorong oleh rasa penasarannya yang muncul sesaat karena pengaruh hormon. Mungkin memang benar Ge hanya mengejar Maxell untuk menghibur egonya.
Pada akhirnya Ge yang tak bisa menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Maxell hanya menggeleng lemah.
Gelengan kepala Ge sudah merupakan jawaban yang sangat jelas bagi Maxell. Ge sama sekali tidak berpikir. Ucapan dan perbuatannya hanyalah dorongan hormon semata. Hormon aneh yang membuatnya untuk sesaat menyukai seorang pria.
"Jangan ganggu gue lagi."
Sebelum berbalik pergi, Maxell melirik sekilas ke arah kaki Ge yang terluka. Antara kasihan dan kesal dengan sikap Ge yang menurutnya keterlaluan.
"Maxell ...," masih tak rela hubungan yang belum berbentuk berakhir begitu saja, Ge memanggil Maxell, suara lirih penuh ragu, "Gue memang belum mikir ke depannya mau gimana, tapi gue beneran suka sama lu. Gak bisa ya kalau sambil berjalan sambil memikirkan mau ke mana?"
Sekali lagi Maxell menarik napas panjang, diam-diam mengakui bahwa Ge ini memang gigih luar biasa. Para cewek yang ditolak Maxell dengan kata-kata ini biasanya sudah menangis putus asa dan tak akan berani walau hanya sekadar menyapa Maxell lagi, sedangkan Ge masih saja terus berusaha.
"Sorry. Gue bukan tipe yang menghabiskan waktu tanpa tujuan yang gak jelas. Gue selalu memastikan tujuan gue sebelum mulai melangkah."
Tanpa berbalik untuk melihat Ge, Maxell mengucapkan kata-kata tajam, menunjukkan dengan jelas jurang lebar antara dirinya dan Ge. Jurang lebar dan dalam yang tak mungkin diseberangi oleh Ge.
Sejak kecil Maxell selalu punya pendirian yang kuat dan tak bisa diganggu gugat. Apa pun yang diinginkannya pasti akan didapatnya. Maxell juga sangat membenci ketidakpastian. Setiap kali orang tuanya atau Tyo menjanjikan sesuatu padanya, mereka harus benar-benar memastikan mereka bisa mewujudkannya atau Maxell akan marah pada mereka untuk waktu yang sangat lama.
Sedangkan Ge, keadaan keluarga dan hidup yang tak pernah memberinya kepastian membuatnya menjadi Ge yang seperti sekarang. Ge yang menjalani hidup dengan mengikuti arus. Ge yang hanya punya target untuk dicapai. Ge yang hanya memikirkan bagaimana caranya mendapatkan targetnya. Pertanyaan Maxell menyadarkannya, Ge memang tak pernah berpikir sejauh itu.
Saat ini target terbesar dalam hidup Ge hanya dua. Pertama, mengumpulkan banyak uang untuk keluarganya. Kedua, Maxell. Mendapatkan targetnya saja sudah merupakan hal yang mustahil, bagaimana mungkin Ge berani berpikir apa yang harus dilakukan kalau sudah berhasil mencapai targetnya.
tidak mau menyerah begitu saja, Ge sangat ingin bangkit berdiri dan mengejar Maxell yang sudah menjauh. Tapi Ge sangat sadar, Ge yang sekarang tak akan pernah bisa menggapai Maxell. Paling tidak Ge harus yakin dulu dengan masa depannya sendiri.
Sisa roti yang tadi terlepas dari tangan Ge sudah mulai dikerubungi pasukan semut. Ge menatap mereka dengan pandangan nanar.
Ya, Ge sama seperti semut-semut itu. Masih harus bekerja keras demi hidup.
Saat matanya melihat bungkusan plastik yang masih berisi roti utuh dan sebotol air mineral, tiba-tiba semangat Ge yang tadinya sudah runtuh bangkit kembali.
Maxell tak pernah peduli dengan orang lain, tapi mau repot-repot berjalan memutar ke kantin hanya untuk membelikannya beberapa roti dan air mineral. Maxell juga bertanya apa yang akan Ge lakukan sesudahnya, bukankah itu artinya Maxell juga memikirkan Ge?
Pada dasarnya, Ge bukan orang yang mudah berputus-asa. Bahkan harapan terkecil, walau redup, akan berusaha dia capai sebisa mungkin. Memikirkan kalau Maxell, walau hanya sedikit, juga menaruh perhatian khusus padanya, sepasang mata kembali berbinar, bibirnya pun sudah bisa kembali mengulas senyum.
Kalau Ge tak bisa memutuskan ke arah mana mereka harus melangkah, kenapa tidak menyerahkannya kepada Maxell. Biar Maxell saja yang menetapkan arah mereka. Selama Ge bisa bersama Maxell, Ge tidak akan keberatan.
"Oke! Begitu saja!"
Bangkit berdiri, meraih bungkusan pemberian Maxell, dan walaupun ingin terlihat gagah, namun keadaan kakinya saat ini tak memungkinkan, jadinya Ge melangkah sedikit terseok-seok menuju kelas.
Kelas masih pelajaran kosong. Sang biang ribut yang biasanya meramaikan suasana, Ge, sedang tidak ada, makanya kelas terasa lebih teratur.
Seperti biasa, Maxell memandangi keadaan di luar kelas melalui jendela di samping kanannya, tangan kirinya menopang santai wajahnya, tenggelam dalam dunianya sendiri.
"Yo!" Wajah dengan senyum lebar dan sapaan ringan yang tiba-tiba muncul dari bawah jendela membuat Maxell terkejut dan terlonjak. "Sstt ...." Ge buru-buru menempelkan jari telunjuknya di depan bibirnya sebelum Maxell sempat bersuara.
"Gue cuma mau bilang, gue masih belum nyerah. Mungkin gak akan nyerah." Suara Ge mungkin pelan, tapi Maxell bisa mendengar setiap kata-katanya dengan sangat jelas. "Jadi, kapan-kapan, cium gue lagi ya?" Kedipan mata usil diperlihatkan sebelum berjalan sambil sedikit menunduk di bawah jendela. Seperti anak kecil yang sedang bermain petak umpet.
Dasar aneh!
Meski dalam hati mengatakan aneh, tak urung bibir Maxell membentuk lengkung samar yang tak disadarinya.
Kelas langsung riuh kembali begitu Ge muncul tiba-tiba dari balik pintu. Teman-temannya langsung sibuk menyerbunya, menanyakan kejadian tadi pagi saat marathon. Maklum saja, saat mereka menyerbu UKS di jam istirahat, Ge sudah hilang dari tempatnya. Bahkan Bu Aura ikutan marah-marah tak jelas gara-gara Ge melarikan diri dari ruang UKS.
Dan seperti biasa, Ge menanggapi mereka dengan ringan dan penuh canda, menutupi penyebab utama lukanya. Sekilas diliriknya Chelsea dan Marsha yang juga menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Ge tahu mereka sudah merasa khawatir sejak tadi, saat marathon, namun tak ada satu pun dari mereka yang berani terang-terangan menunjukkan perhatian mereka. Hanya berupa tatapan mata yang dibalas senyuman oleh Ge.
Ge membuat isyarat maaf ke arah Chelsea, ---malam ini dia tak akan bisa keluar karena luka di kakinya. Chelsea mengangguk tanda mengerti.
Meski bisa melihat dengan jelas isyarat di antara mereka, Marsha tetap berpura-pura tidak tahu. Toh sebentar lagi hubungan Chelsea dan Ge akan berakhir. Marsha hanya perlu bersabar sebentar lagi berbagi Ge dengan Chelsea. Di antara semua pacar Ge, Chelsea inilah saingan terberat Marsha. Wajah, fisik dan statusnya lebih kurang seimbang dengan Marsha, namun otak Chelsea jauh melebihi Marsha. Tapi itu semua tak akan lama lagi. Tak lama lagi, Chelsea akan kehilangan status sosialnya. Status sosial yang membuat Ge memilihnya. Tanpa status sosialnya, jangan harap Ge akan tetap mau menjadi pacarnya.
Bibir Marsha menyunggingkan senyuman yang terlihat manis bagi orang yang melihatnya, namun di dalam hatinya, yang ditertawakannya adalah nasib buruk sahabatnya.
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top