18

...

Hening.

Maxell sama sekali tak menanggapi permintaan konyol Ge.

Biasanya kalau diam itu artinya setuju kan? ---Berdasarkan pengalaman Ge bersama pacar-pacarnya, saat mereka terdiam, itu artinya mereka setuju dengan apa yang Ge ajukan.

Tanpa membuang waktu lagi, atau sebelum Maxell sempat berpikir ulang untuk menolaknya, Ge langsung memajukan wajah dan melumat bibir yang sudah lama dirindukannya itu, seperti mencicipi permen yang sangat manis, diisapnya dan digigitinya bibir lembut Maxell. Bergantian, sebentar bibir bagian atas, sebentar bibir bagian bawahnya, sampai Ge merasa puas.

Menutup mata menikmati sensasi yang dirasakannya dari bibir Maxell ....

"Ngapain lu?" suara dengan nada heran yang amat kentara membuat Ge membuka mata. Yang ada di depan mata bukan wajah Maxell melainkan batang pohon. Maxell sudah berdiri dan menepuk ringan pantatnya dari rumput-rumput patah yang menempel di celana.

Rupanya permintaan Ge yang dirasa luar biasa konyol oleh Maxell hanya dianggap sebagai angin lalu. Alih-alih menjawab, Maxell malah langsung berdiri dan bersiap-siap kembali ke kelas.

Kecewa, Ge menunduk menatap rumput. Kenyataan memang tak pernah seindah khayalan. Mana mungkin Maxell pasrah dicium. Pertama kali, Ge ditonjok. Kedua kali, Ge digigit. Ketiga kali, mungkin Ge akan dibanting oleh Maxell kalau masih berani mencium tanpa izin.

Saat Ge mengangkat wajahnya untuk melihat Maxell, Maxell sedang menatap Ge yang masih berjongkok di atas rumput dengan tatapan yang cukup membuat wajah Ge memerah. ---Mata Maxell yang menatap Ge terlihat menyipit, seolah Ge adalah makhluk aneh berkepala dua.

"Udah bel. Lu gak balik ke kelas?" Suara bel berdering nyaring, tanpa pengertian sedikit pun terhadap perasaan Ge yang masih kacau. Padahal Ge masih sangat ingin menghabiskan waktu bersama Maxell, tapi bel sialan itu memupus harapannya.

Ah, tidak. Masih ada sedikit kesempatan. ---Ge tersenyum licik.

"Bantuin gue." Ge menjulurkan tangannya, meminta Maxell untuk menariknya berdiri, dan berharap Maxell akan cukup baik hati untuk memapahnya kembali ke kelas. Kalaupun Maxell menolak, Ge sudah memikirkan cara untuk membuatnya memeluk, ahem, memapah Ge.

Seperti dugaan Ge, Maxell hanya menatap tangannya, sedikit pun tak terlihat niatnya untuk membantu Ge.

"Lu bisa jalan sendiri dari UKS ke sini, jadi gak usah sok-sok lemah deh." Jarak dari UKS ke tempat ini bahkan lebih jauh dari jarak kelas mereka. Ge dari tadi sendirian di tempat ini, artinya dia cukup kuat menempuh jarak yang lumayan jauh tanpa bantuan siapa pun. Tak ada alasan bagi Maxell membantu orang yang sudah cukup kuat ini.

Sial! Ternyata Maxell jauh lebih teliti dibanding yang Ge kira.

"Iya. Tadi gue lari dari Bu Aura. Gak tahan gue sama omelannya. Tapi sampe sini gue kelelahan, energi gue habis. Mana gue belum makan siang lagi ...," wajah memelas, Ge mengeluhkan keadaannya. Bagian yang belum makan siang sih memang benar. Tapi bagian kehabisan energi itu sama sekali tidak benar.

Maxell menatap Ge cukup lama, seperti sedang mencoba melihat kejujuran di mata Ge. Setelah agak lama, Maxell pun hanya mengendikkan bahu, lalu berjalan pergi tanpa mempedulikan Ge.

Ge terpaku melihat dinginnya sikap Maxell. Hingga punggung Maxell tak terlihat lagi Ge masih duduk dengan ekspresi tercengang. Tak percaya kalau Maxell tega meninggalkannya begitu saja.

Aiihh ....

Dingin banget.

Meski mengeluh, sebuah senyum manis terukir di wajah Ge, memperlihatkan lesung pipinya yang dalam. Ge sendiri merasa aneh dengan dirinya. Padahal seharusnya Ge kecewa atau minimal sedih dengan dinginnya sikap Maxell, tapi entah kenapa, Ge malah merasa makin suka dengan sikap Maxell itu. Rasanya Maxell semakin bertambah keren dengan sikap dinginnya.

Bu Aura sudah memintakan izin untuk Ge tidak kembali ke kelas, jadi Ge tidak perlu terburu-buru masuk ke kelas seperti murid yang lain.

Merebahkan tubuh, menatap langit biru cerah melalui sela-sela rimbunnya dedaunan. Senyum tak lepas dari wajah.

Hari ini benar-benar luar biasa. Ge bisa berdekatan dan berbincang akrab dengan Maxell, hal yang bahkan tak terbayangkan sebelumnya. Mungkin memang kecerobohan Ge membawa berkah.

Beberapa hari yang lalu, Maxell masih dengan ketus mengatakan tidak suka pada Ge, tapi hari ini dia bersedia membantu Ge dan menunjukkan sedikit kepedulian terhadap Ge. Sungguh kemajuan yang luar biasa.

Ge terlalu tenggelam dengan pikirannya sendiri hingga tidak menyadari ada yang berjalan mendekatinya.

"Nih!"

"Eh?"

Bayangan tinggi menjulang menyodorkan bungkusan plastik ke arahnya. Walau wajahnya tidak terlihat jelas karena silau, tapi Ge langsung tahu siapa yang mendatanginya. ---Sosok yang beberapa hari belakangan ini mengisi pikirannya, siapa lagi kalau bukan Maxell.

Lagi-lagi Ge menyodorkan tangannya. Meminta bantuan yang tak perlu padahal hanya ingin punya alasan untuk memegang tangan Maxell.

Maxell menghela napas, tapi tetap mengulurkan tangannya, menyambut tangan Ge untuk menariknya duduk. Saat melihat mata Ge bersinar jahil, Maxell langsung menyadari kalau Ge sedang merencanakan sesuatu.

Benar saja. Tangan Maxell yang terulur langsung disentak oleh Ge, sepertinya Ge berniat membuat Maxell jatuh menimpanya. Maxell yang sudah punya persiapan mental hanya sedikit berayun ke depan, kehilangan keseimbangan untuk sesaat, tapi sama sekali tak terjatuh seperti harapan Ge.

"Trik murahan!"

"Sialan! Jatuh aja napa."

Kali ini giliran Maxell yang menyentak tangan Ge hingga bangkit dari posisinya yang rebahan menjadi duduk. "Dasar lemah!"

Bungkusan plastik yang ada di tangannya disodorkan kembali ke hadapan Ge yang sudah duduk. "Makan."

Isi di dalam bungkusan itu hanya beberapa jenis roti yang dijual di kantin dan sebotol air mineral. Ge menatap bungkusan itu dan wajah Maxell bergantian. Setengah tak percaya Maxell mau bersusah payah membelikan roti untuknya. Lebih tak percaya Maxell mau membolos di jam pelajaran fisika hanya demi dirinya.

Kalau saja ini dilakukan oleh Marsha atau Chelsea, atau oleh cewek-cewek yang tergila-gila padanya, Ge tidak akan merasa seterkejut ini. Tapi ini adalah Maxell. Manusia paling dingin yang tanpa ragu membuang Ge yang terluka di depan gerbang supaya tak menjadi yang paling akhir memasuki gerbang. Manusia yang sungguh-sungguh berniat menggigit lidah Ge hingga putus hanya gara-gara Ge menciumnya saat dia tertidur. Dan manusia yang pergi tanpa berpaling walau Ge mengaku lemah dan tak bisa berjalan.

Sepertinya Maxell kehilangan kesabaran melihat Ge yang hanya menatapnya dengan bengong tanpa berniat mengambil bungkusan dari tangannya. Tangan kirinya yang menggantung menyodorkan bungkusan roti itu ditariknya kembali.

"Ya sudah kalo gak mau," ucapnya kesal.

Sebelum Maxell berbalik pergi, Ge sudah menangkap kembali tangannya dan merebut bungkusan di tangannya. "Makasih."

Maxell hanya mengangguk sekilas kemudian berbalik kembali. Meninggalkan Ge sendiri lagi.

"Bu Bebi gak marah lu keluar kelas?" baru dua langkah Maxell berjalan, pertanyaan Ge menghentikan langkahnya.

Maxell menoleh ke belakang melalui bahunya dan melihat Ge yang membuka bungkusan roti dan memakannya lahap. Sepertinya dia memang sedang kelaparan.

"Bu Bebi gak masuk. Asmanya kumat lagi." Bu Bebi yang berbadan gemuk itu memang punya penyakit asma bawaan. Tak ada yang heran lagi saat Bu Bebi absen mengajar karena penyakitnya kumat.

Pantas saja Maxell punya waktu untuk membelikan roti buat Ge. Ternyata kelas mereka mendapat dua jam pelajaran bebas karena Bu Bebi tidak bisa masuk. "Ada tugas?"

Maxell mengangkat bahu. Namanya saja sakit yang kumat tanpa direncanakan, mana sempat Bu Bebi memikirkan menitipkan tugas, kecuali sakitnya sudah direncanakan sebelumnya. Logika sederhana seperti ini tidak perlu dipertanyakan lagi.

"Tunggu gue sebentar. Gue juga mau balik kelas." Melihat Maxell yang kembali beranjak dari tempatnya berdiri, lagi-lagi Ge memanggilnya kembali.

Kali ini Maxell berbalik dan menatapnya. "Bu Aura udah nitip surat izin buat lu. Lu gak masuk kelas juga gak pa-pa."

"Gak. Gue pengen balik kelas bareng lu. Gak bole?"

"Balik sendiri."

"Lu tega?"

"Kenapa harus gak tega?"

"Kalo gue jatuh dari tangga, gimana?"

"Bukan urusan gue. Lu uda dikasih izin buat gak masuk kelas."

"Tapi tas gue kan masih di kelas."

"Lu bisa minta tolong sama temen lu buat mengambilkan."

"Tapi gue maunya bareng lu."

Maxell terdiam. Matanya menatap lurus ke arah Ge yang seperti sengaja ingin membuatnya kesal.

Diingat-ingat lagi, baru kali ini Maxell berbicara cukup panjang dan lama dengan orang selain Tyo. Bahkan tadi saat sudah kembali ke kelas, begitu teringat dengan wajah memelas Ge yang mengaku lemah karena belum makan, begitu mendapat informasi bahwa Bu Bebi absen mengajar, badan Maxell seperti bergerak sendiri menuju ke kantin dan membelikan roti yang tersisa di kantin untuknya.

Maxell juga tak habis pikir, sepertinya Maxell tidak pernah bersikap ramah terhadap Ge, tapi kenapa si manusia aneh ini sepertinya senang sekali diketusin. Apa mungkin ini yang disebut dengan penyakit kejiwaan yang pernah dibaca Maxell?

"Gue gak suka sama lu!" Maxell benar-benar tak mau terlibat lebih jauh dengan si aneh ini.

"Tapi gue suka sama lu!"

Tuh, kan. Aneh kan. Maxell sampai kehabisan kata-kata berhadapan dengan Ge.

Melihat Maxell yang terdiam dengan alis bertaut, Ge malah tertawa senang. Susah payah Ge bangkit berdiri, di tangannya masih ada roti yang baru dimakan setengah.

Maxell masih berdiri terpaku menatap Ge. Bukan pernyataan Ge yang menyatakan suka padanya yang membuatnya terpaku, tapi dengan sikap Ge yang sepertinya malah bahagia mendengar ucapan Maxell yang kasar. Baru kali ini ada orang yang sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan dan sikapnya yang terus terang.

Dengan langkah agak diseret, Ge berjalan ke hadapan Maxell. Senyum berlesung pipinya dipamerkan dengan jelas di depan wajah Maxell. Matanya juga memancarkan kepercayaan diri yang kuat.

Dilepasnya kacamata yang melindungi wajah Maxell, mata cemerlang yang bagaikan mata burung elang itu menatap Ge tajam. Tapi Ge tak gentar. Ge sudah membulatkan tekadnya. Kesempatan seperti hari ini mungkin tak akan ada lagi. Hari dimana Maxell sendiri yang dengan sukarela mendekatinya.

Diam-diam Ge menarik napas beberapa kali untuk menenangkan detak jantungnya.

"Gue suka sama lu." Walau sudah berusaha keras untuk tetap tenang, Ge sendiri juga bisa merasa kalau suaranya sedikit bergetar.

"Bukan suka sebagai teman, tapi suka yang bikin gue pengen nyium lu."

Sejak SMP, Maxell sudah sering sekali menerima pernyataan cinta dari cewek, tapi baru hari ini ada cowok yang menyatakan cinta padanya. Biasanya Maxell akan langsung menolak mereka dengan tegas. Tapi kali ini ....

"Terserah!" Hanya kata ini yang terlintas di pikiran Maxell. Bukan kalimat penolakan, juga bukan kalimat persetujuan. Hanya sepatah kata ambigu yang Maxell sendiri juga tidak paham maksudnya.

"Artinya terserah gue bole nyium lu kan?"

Ini orang ngotot banget! Dari tadi itu-itu saja yang dia tanyakan. ---Maxell mendengkus kesal. Tangan terkepal kuat.

Syaraf refleks Ge memaksanya menutup mata saat dilihatnya tangan Maxell berkelebat ke arahnya dengan kecepatan penuh. Menunggu dengan pasrah rasa sakit yang pasti akan diterima wajahnya ....

------ 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top