17
Tapi itu hanya untuk sedetik.
Maxell yang belajar ilmu beladiri sejak kecil tentu saja memiliki refleks yang luar biasa. Begitu Maxell sadar sepenuhnya, sekuat tenaga dirapatkannya mulut menggigit lidah yang dengan kurang ajarnya memasuki mulutnya tanpa izin itu.
"Auch!"
Ge langsung menarik mundur lidahnya, kehilangan keseimbangan hingga jatuh terjungkal sambil menutupi mulutnya. Lidahnya terasa perih luar biasa. Sepertinya tadi Maxell bersungguh-sungguh ingin menggigit lidahnya hingga putus.
Menggosok kasar bibirnya dengan punggung tangan, mencoba menghilangkan sensasi aneh di bibir dan mulutnya akibat ciuman Ge barusan. Tatapan mata dingin menusuk, menatap Ge dengan amarah yang siap meledak.
Kalau saja Maxell tidak mengingat manusia ini sedang cedera parah, mungkin Maxell sudah bangkit dan menendangnya. Berani-beraninya dia mencuri kesempatan di saat Maxell tertidur. Teringat kembali dengan wajah pucatnya tadi, Maxell mengurungkan niatnya untuk menghajar manusia kurang ajar yang sedang terduduk di atas rumput sambil menutupi mulutnya.
Ge ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya masih sakit dan sulit untuk digerakkan. Mata Ge sedikit berkaca-kaca menahan perih di lidahnya yang ternyata jauh lebih sakit dibanding sakit di kakinya. Maxell hanya memandanginya dengan tangan terkepal, tapi entah kenapa dia sama sekali tidak beranjak dari sana.
"Sadis lu! Gimana kalo lidah gue sampe putus?" Walau seperti orang cadel, Ge berusaha keras mengucapkan sesuatu untuk memecah kebisuan di antara mereka.
"Bagus kalo bisa putus."
Mendengar tanggapan Maxell, Ge tanpa sadar tersenyum. Dia merasa kalau Maxell tidak semarah yang dipikirkannya, buktinya Maxell masih mau menanggapinya dan masih tetap duduk di sana. Kalau benar-benar marah, pasti Maxell sudah pergi dari tadi. Rasa sakit di lidahnya sudah sedikit mereda, Ge pun memberanikan diri merangkak mendekati Maxell yang masih duduk tegak dengan sikap siaga.
Hati-hati Ge menjulurkan kaki kanannya yang perbannya baru diganti oleh Bu Aura agar tidak semakin terbebani. Tadi waktu dia terjatuh setelah lidahnya digigit Maxell, Ge merasa sekilas lukanya berdenyut, mungkin terbuka kembali.
Maxell meliriknya sekilas sebelum mengambil kembali bukunya yang tergeletak di atas rumput.
Seharusnya Ge meminta maaf atas perbuatannya yang tak pantas barusan, tapi Ge tak menyesalinya, jadi Ge tak merasa perlu untuk meminta maaf. Ge hanya menyesali Maxell yang terlalu cepat terbangun hingga tadi dia hanya berhasil menciumnya sebentar.
"Gue belum bilang makasih sama lu." Setelah merasa nyaman dengan posisi duduknya, Ge kembali mencoba untuk mengobrol dengan Maxell. Seperti dugaannya, Maxell tak menanggapinya. "Kata Bu Aura, kalo tadi lu gak nolong gue, mungkin gue harus pulang pake guling-guling."
"Gak juga. Pak Santoso pasti bakal nyadar kalo lu belum balik."
"Ahahaha ... gak mungkin! Setelah lu, sang juru kunci abadi, memasuki gerbang, pasti Pak Santoso juga akan mengira tak ada lagi murid yang masih tersisa di luar." Tadi Pak Santoso sempat mengomeli Ge yang jadi juru kunci menggantikan Maxell. Inti dari gerutuannya yang panjang itu hanya kekecewaannya karena gagal menyiksa Maxell di semester depan. "Secara gak langsung gue juga uda nolong lu, ya kan?"
Helaan napas panjang terdengar dari Maxell. "Cowok kok bawel!"
"Banyak cowok bawel di luar sana, lu aja yang terlalu pelit ngomong," tukas Ge terhadap celaan Maxell, "sekalinya ngomong, pake sinis lagi."
Maxell sangat sadar dengan ucapannya yang hampir selalu bernada sinis. Makanya Maxell malas berbicara. Bukannya sengaja, tapi memang sudah bawaan lahir. Maxell paling tak bisa mengucapkan hal-hal bernada manis untuk sekadar menyenangkan hati orang lain. Lebih baik tak usah berbicara sekalian dari pada mengatakan hal yang bertentangan dengan nuraninya.
"Yah gak usah ngomong. Gitu aja kok ribet."
"Tapi gue suka ngobrol sama lu!" balas Ge sambil tersenyum.
Hah?! Apa Maxell tak salah dengar? Bukannya barusan dia mengeluhkan soal nada bicara Maxell yang sinis, kenapa sekarang malah bilang suka? Maxell memalingkan wajahnya untuk menatap Ge. Heran dengan sikap Ge yang gampang berubah.
"Yang sakit kaki lu apa otak lu sih?"
Bukannya menjawab, Ge malah menjulurkan lidahnya yang tadi digigit Maxell. "Ini yang sakit, ciuman lu gak romantis."
Maxell memutar bola matanya. "Gue lebih suka dicium Michael."
Mungkin bagi sebagian besar orang, dicium itu sesuatu yang luar biasa. Tapi bagi Maxell, itu bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Awalnya memang Maxell marah, tapi setelah dipikir dengan kepala dingin, dulu juga Michael sering menjilat wajah Maxell, jadi buat apa marah kalau hanya dijilat oleh manusia. Anggap saja dia sama seperti Michael, beres kan?
Michael lagi. Lagi-lagi Maxell menyebut nama Michael. Ge langsung menunjukkan wajah tak suka.
"Siapa sih Michael?"
Bukan siapa, tapi apa. Kan Michael nama anjing kesayangan Maxell yang sudah mati lima atau enam tahun yang lalu.
"Michael siapa?" desak Ge lagi.
"Apa urusannya sama lu?"
"Banyak donk. Gue kan harus tau siapa-siapa aja saingan gue."
"Ngapain lu saingan sama Michael?" Maxell hampir tertawa mendengar Ge menganggap seekor anjing sebagai saingannya. Saingan apaan? Saingan sebagai binatang kesayangan? Lagipula Michael sudah tak ada lagi di dunia ini. Ada-ada saja si makhluk aneh ini.
Baru kali ini Ge melihat wajah Maxell yang tersenyum seperti ini. Sangat jauh berbeda dengan wajahnya yang bisa dikatakan selalu ditekuk dan terkesan muram. Di mata Ge, dengan wajah tersenyumnya, kadar keindahan wajah Maxell sudah sangat jauh melampaui titik maksimal, membuat Ge makin terpesona padanya.
Tapi sayang, wajah bahagia Maxell itu karena sedang membicarakan Michael. Bukan karena Ge.
Menyadari hal ini, wajah Ge berubah menjadi sendu.
"Michael berarti banget ya bagi lu?"
"Mm." Tentu saja. Michael itu istimewa. Teman pertama Maxell yang benar-benar setia mendampingi Maxell.
Maxell ingat di hari pertamanya masuk sekolah dasar, Maxell marah dan mengamuk karena Michael tidak diizinkan untuk ikut ke sekolah. Hampir saja Maxell tidak jadi bersekolah, tapi untungnya papa Maxell punya koneksi dengan kepala sekolah, jadi selama beberapa hari Michael diberi izin khusus untuk ke sekolah hingga Maxell tenang kembali.
Jujur saja, Ge sangat ingin tahu siapa sebenarnya Michael. Apa benar kecurigaannya selama ini bahwa Michael itu Pak Prasetyo? Tapi melihat wajah Maxell saat ini, Ge jadi takut untuk mengetahui kebenarannya. Ge takut jika benar Michael itu Pak Prasetyo, maka bibit-bibit harapan yang ada di hatinya saat ini akan mati sebelum sempat berkecambah.
Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Ge tahu pasti kenapa dia takut mengetahuinya. Ge sadar dengan keadaan dirinya yang tak mungkin sebanding dengan Pak Prasetyo yang tampan dan sudah mapan itu. Ge hanya anak orang miskin. Tak ada yang tahu bahwa sebenarnya Ge bersekolah di sekolah ini secara gratis. Semua biayanya ditanggung oleh Kepala Sekolah baik hati yang masih kerabat jauh ibunya.
"Itu, kaki lu ...." melihat Ge yang tiba-tiba terdiam dengan wajah terkulai lesu, Maxell jadi merasa tidak nyaman, dialihkannya pembicaraan ke kaki Ge yang terluka.
"Oh ... ini? Kena pisau pembabat rumput," jawab Ge sekenanya.
"Kok bisa?" Biasanya Maxell hanya akan membalas dengan ooo panjang tanpa mau tahu bagaimana dan kenapa. Tapi luka itu sepertinya sangat parah, jadi Maxell sedikit penasaran.
"Waktu kerja, gue gak konsen, melamun, jadi pisaunya terlepas dari tangan gue terus kena kaki gue."
Maxell kesulitan membayangkan bagaimana seseorang yang sedang memotong rumput malah menggores kaki bagian belakangnya. Biasanya, kalaupun sedang ceroboh, kebanyakan kaki bagian depan yang kena. Ini kok malah betis?
"Susah dibayangin ya?" Ge tertawa melihat wajah bingung Maxell. "Kejadiannya gini. Gue kan lagi motong rumput, terus pikiran gue kemana-mana, nah, tiba-tiba pisaunya yang lumayan panjang terlepas dari tangan gue, jatuh di atas rumput. Gue yang kaget karena pisaunya terlepas malah nginjak batu yang akhirnya bikin gue jatuh, sialnya itu pisau pas di bawah kaki gue, jadinya yah ... tergores cukup dalam."
"Lu kerja motong rumput?"
Pertanyaan Maxell menyadarkan Ge. Tanpa sengaja Ge sudah menceritakan hal yang sebenarnya ingin ditutupinya dari Maxell.
"Bukan motong rumput sih. Lebih tepatnya jadi tukang kebun. Ngerapiin kebun yang udah kayak hutan saking berantakannya."
"Kenapa?" Maxell tahu kalau Ge suka uang. Bukan sekali dua kali Maxell melihat Ge mengambil uang dari teman-temannya. Tapi baru hari ini Maxell tahu kalau ternyata Ge juga bekerja.
Ah iya. Ge kan punya banyak pacar. Berkencan pasti butuh uang yang banyak. Mungkin saja Ge butuh uang untuk membelikan sesuatu buat pacar-pacarnya. Menurut buku yang dibaca Maxell, cewek sangat suka dibelikan sesuatu. Apalagi barang yang mahal seperti tas, sepatu, dan lain-lain.
"Yah buat duit lah, masa hobi. Ada-ada aja lu!" Duit buat keluarganya. Buat meringankan beban ibunya. Buat menyenangkan adik semata wayangnya. Dan juga untuk tabungan masa depannya.
"Buat pacaran?"
Kali ini giliran Ge yang menatap Maxell tajam.
Senyum sinis terukir di bibir Ge. "Buat macam-macam." Gila saja kalau Ge capek-capek cari uang buat pacaran. Malah pacarnya yang harus membiayai kencan mereka, bukan Ge.
Maxell bukan orang bodoh. Sekali pandang saja Maxell sudah tahu kalau ucapannya yang terakhir membuat Ge tersinggung, dengan kata lain, Ge tidak mencari uang buat pacaran, tapi buat hal lain, hal yang tidak ingin dia beritahukan kepada Maxell, jadi lebih baik Maxell tidak bertanya lebih jauh.
Mengendikkan bahunya acuh tak acuh, Maxell kembali membaca buku yang tadi dibawanya. Tak lagi bertanya tentang kehidupan pribadi Ge.
Melihat Maxell yang terdiam karena ucapan sinisnya, Ge merasa tidak enak hati. Susah payah berhasil membuat Maxell berbicara padanya, malah dia sendiri yang merusaknya.
"Ehem ...." Ge berdeham untuk meminta perhatian Maxell. Saat dilihatnya Maxell mengalihkan fokusnya dari buku ke arahnya, Ge tersenyum lebar. Paling tidak Maxell peduli.
"Napa?" tanya Maxell singkat.
"Itu ... lu pake parfum apa?"
Maxell menautkan alis. "Maksud lu, gue bau?"
"Bukan, justru harum banget, makanya gue nanya." Ge mendekat dan mengendus daerah sekitar leher Maxell. Aroma yang tadi tercium olehnya kembali dapat dirasakannya. Aroma lembut yang membuatnya merasa nyaman.
"Gue gak pake parfum." Maxell berkata jujur. Dia memang tak pernah memakai parfum ke sekolah, hal yang dianggapnya tak perlu. Dia kan bukan Ge yang suka tebar pesona sana-sini.
"Terus, kenapa lu bisa harum banget?"
Mana Maxell tahu. Lagi pula belum pernah ada orang yang mengomentari tentang aroma Maxell. Ge si makhluk aneh ini yang pertama. Maxell sedikit memundurkan tubuhnya hingga membentur batang pohon di belakangnya karena Ge masih terus mengendusnya, seperti Michael dulu.
Ge tiba-tiba berhenti mengendusi aroma Maxell. Wajahnya terangkat dan menatap lurus ke mata Maxell.
"Gue boleh cium lu gak?"
APA?!
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top